Suara Dwi terisak, di dekatnya terdengar kegaduhan yang membuatku panik.
“Dwi, apa yang terjadi?”
[Tolong aku, Ka-]
[Woy, Pras. Kalau ingin adik iparmu selamat datang dan bawa dokumen pailit Jayanta Group]
“Rey?”
[Besok, jam lima sore di gudang kosong kompleks pertokoan Sudirman]
“Tung-“
Panggilan diputus sebelum aku selesai bicara.
“Aaaaraaagh! Masalah apalagi ini?” pekikku.
Kulihat jam di layar ponsel, sudah menunjukkan jam setengah dua belas. Sudah mau selarut ini tapi masalah masih datang. Sudah tidak ada energi lagi rasanya, terkuras rasa marah, dendam dan kesal. Kalimat Erika masih saja berputar di kepalaku. Itu adalah k
ebenarannya, pernikahanku dengan Erika adalah upaya untuk menghancurkan hidupku.
Semua yang kami lakukan di ranjang, rayuannya, sikap dingin dan lembut Erika bis
“Sebaiknya kalian istirahat, ini sudah larut. Bersiaplah untuk penderitaan besok!”Rey menurunkan senjata itu, memasukkan kembali ke tempatnya lalu pergi melenggang. Salah satu dari pria penjaga menyalakan lilin, meletakkannya di atas meja kayu usang. Para penjaga itu pun mengikuti langkah Rey, meninggalkan aku dan Dwi, hanya berdua dan runagan ini seketika jadi remang, hanya dibawah penerangan lampu lilin.“Ini semua karena aku.” Dwi memulai pembicaraan.“Bukan saatnya menyalahkan dirimu. Yang terpenting adalah bagaimana caranya kita kabur dari sini.” Aku meyela Dwi.“Seharusnya aku gak memercayai Rey atas janin ini.” Dwi berkata lirih. Karena dia terus menyesali yang terjadi padanya sekarang, aku ingin sekali mendekap adik iparku tetapi, tangan yang terikat menghalangi membuat tidak berdaya untuk melakukan itu jadi, aku hanya diam. Mendengar semua penyesala
“Banguuun!” Sebuah hentakan di kakiku menyadarkan dari tidurku yang lelap. Perlahan, mataku samar-samar melihat sosok seorang pria berwajah oriental lalu, sosok itu semakin jelas. Rey sudah berdiri dengan pakaian yang sama seperti semalam.“Rey!” sapaku lirih. Rey mengambil posisi jongkok di hadapanku. Menodongkan moncong senjata ke dagu.“Katakan! Dimana dokumen pailitnya?”“A-aku tidak tahu!” suaraku tercekat. Lalu, sebuah hentakan di perut membuatku merintih.“Kalau tidak kamu katakana-,” Rey berdiri kemudian menodongkan senjata ke pelipis Dwi.“Kalau gak mau ngaku, adikmu dalam bahaya!” ancamnya.“Hentikan, Rey! Dia gak ada hubungannya dengan ini.” Aku memekik, takut dia semakin nekat.“Kalau begitu, katakan!”“Sudah kubilang, aku tidak tahu apapun tentang itu!” tegasku.
Satu tembakan itu menembus skapulaku. Rasanya begitu sakit, seakan ada yang bergerak di sana, tubuhku mulai kebas. Pelukanku pada tubuh Erika pun terlepas, badanku memerosot. Ditopang oleh tangan Erika, dia membaringkanku ke tanah. Samar-samar, wajah Erika berubah panik.“Pras! Pras! Bertahanlah!” Pandanganku yang samar-samar sekeetika menjadi gelap, aku tidak sadarkan diri. Entah apa yang terjadi selanjutnya, hanya gelap dan aku tidak ingat apa-apa.*** Setelah insiden itu, aku tersadar di ranjang rumah sakit. Bahuku terasa sakit, badan bagian atas terasa kaku. Tanganku terhubung ke selang infus. Satu-satunya sosok yang kulihat samar-samar adalah tanteku yang sedang terlihat cemas sembari menyatukan tangannya. Ketika mataku terbuka sepenuhnya, Tante lalu memanggil lirih.“Pras!” Tante menyunggingkan senyum terpaksa, menghiburku yang terbaring lemas di atas bra
Matahari menyelendup dari jendela rumah sakit, membias ke atas kakiku yang terjulur di atas brankar. Aku duduk bersandar pada bantal membiarkan seorang perawat wanita mengganti infus yang menggantung di tiang. Setelah menyelesaikan tugasnya, dia melenggang tanpa berkata apa-apa. Pandanganku teralihkan ketika sosok Erika menyapa.“Jangan kebanyakan melamun!” Erika menarik kursi kemudian duduk di sana.“Ya, mau bagaimana lagi? Yang bisa kulakukan cuma melamun.” Aku menyunggingkan senyum.“Rahayu sedang mengajukan banding untuk Yus.” Mendengar nama pengacara itu disebut, aku tertegun, berkomentar tentang Sang Pengacara. “Benar-benar wanita yang gak suka kekalahan, ya.”“Soalnya, dia gak puas.”“Oh.”“Dengan begitu, kita bisa menyeret Rey kepenjara.” Erika memandangku lurus-lurus.“Aku
Benar-benar jadi sejauh ini, padahal aku sudah melupakan kasus itu. “Dia benar-benar gigih,” aku berkomentar. “Bukan gigih lagi, tapi dia memang gak puas kalau gak menang di persidangan.” Aku menyunggingkan senyum. “Padahal aku sudah tidak ambil pusing lagi tentang kasus itu. Toh juga Rafael sudah bebas lewat jalur tikus,” ujarku. Rafael menekuk wajah mendengar komentarku seakan pria itu tidak senang meremehkan hukum. “Kalau membiarkan ‘hukum jalur tikus’ begitu saja, hukum akan selamanya pincang. Erika pun wanita yang tidak suka ketidak adilan. Jadi, dia meminta untuk mengajukan banding.” Rafael meraih remote di atas nakas, menyalakan TV yang tergantung di tembok kamar rawat inapku kemudian mencari chanel berita. Seorang presenter berita pria pun tampak memasang wajah tegang di dalam layar sana. [Putera CEO Jayanta Tambang kembali ditang
Selimutku tersingkap, ketika dia menarik selimutku, sebilah pisau sudah terhunus di depan dadaku. Sebelum benda itu menancap, aku mengulingkan badan ke lantai. Namun, selang infus membuatku tidak leluasa. Ditambah lagi bahu yang terbalut perban terasa sakit karena membentur lantai. Mataku membeliak, sosok Tina yang masih mengenakan seragam sekolah dengan ujung baju dikeluarkan dari dalam rok melangkah dengan sebilah pisau di tangannya.Mata yang seakan penuh amarah dan mengeluarkan rasa ketidakpuasan memandangku lekat-lekat. Langkahnya perlahan semakin dekat.“T-Tina, apa yang kamu lakukan?” pekikku. Tina tidak mejawab pertanyaanku, dia hanya menyeringai. Khawtir aku jadi sasaran pisaunya, aku melepas infus di tanganku agar pergelakanku leluasa sembari memasang sikap waspada.“Aku tidak puas jika kamu hanya tertembak.”Tap! Tap! Tap! Tina semakin mendekat. Aku tersudut dalam posi
Tina masih terisak di ranjang rumah sakit saat istriku masuk ke ruang rawat dengan raut heran mendapati Tina duduk menutupi wajah dengan kedua tangan. Langsung aku memberi tanda pada Erika, menggidikan bahu. Lalu, mendekati Erika. Menarik tangannya agak menjauhi anak itu.“Gadis itu nyaris saja membunuhku!” Aku mengadu. Erika tersentak, dia mendelik tidak terima dan hampir melabrak Tina namun, sebelum dia mendekat aku menahannya.“Tenang dulu. Jangan gegabah.”“Kamu gak kenapa-kenapa, kan?” tanya Erika setelah melirik Tina.“Hanya sedikit nyeri di bahuku. Nanti kita periksa lagi.”“Mau dia apa?”“Kebenaran dan keadilan tentang kakaknya.”“Itu lagi?”“Iya!” Tiba-tiba saja, pundakku terasa nyeri, rasa sakit yang tidak bisa kutahan di dalam sana. Kakiku tidak kuat lagi menahan tubuhku. Sambil
Dokter memeriksa keadaanku. Pertama-tama dokter itu memeriksa bahu kiri yang diperban. Kemudian, melihat darah menodai bagian luar perban, dia langsung membuka benda itu, melepaskan lilitannya.“Wah, ini jahitannya lepas!” ucap dokter.“Kok bisa begini?” tanyanya kemudian.“Tadi jatuh dari kasur, kejungkal terus membentur lantai.” Aku menyahut. Namun, di belakang dokter, sepasang mata milik Erika mendelik. Dia tahu kalau aku bohong.“Infusnya juga lepas nih.” Aku hanya bisa cengengesan. Tidak mau mengakui kejadian barusan pada dokter.Dokter pun menyuntikan obat bius di sana lalu mulai menjahit bekas jahitan yang terlepas setelah menyuruhku berbaring. Di tangan dingin dokter yang profesional, hanya dalam sekejap saja luka jahit yang robek itu kembali seperti semula. Diganti dengan perban baru yang bersih dan dipas