Benar-benar jadi sejauh ini, padahal aku sudah melupakan kasus itu.
“Dia benar-benar gigih,” aku berkomentar.
“Bukan gigih lagi, tapi dia memang gak puas kalau gak menang di persidangan.”
Aku menyunggingkan senyum.
“Padahal aku sudah tidak ambil pusing lagi tentang kasus itu. Toh juga Rafael sudah bebas lewat jalur tikus,” ujarku.
Rafael menekuk wajah mendengar komentarku seakan pria itu tidak senang meremehkan hukum.
“Kalau membiarkan ‘hukum jalur tikus’ begitu saja, hukum akan selamanya pincang. Erika pun wanita yang tidak suka ketidak adilan. Jadi, dia meminta untuk mengajukan banding.”
Rafael meraih remote di atas nakas, menyalakan TV yang tergantung di tembok kamar rawat inapku kemudian mencari chanel berita. Seorang presenter berita pria pun tampak memasang wajah tegang di dalam layar sana.
[Putera CEO Jayanta Tambang kembali ditang
Selimutku tersingkap, ketika dia menarik selimutku, sebilah pisau sudah terhunus di depan dadaku. Sebelum benda itu menancap, aku mengulingkan badan ke lantai. Namun, selang infus membuatku tidak leluasa. Ditambah lagi bahu yang terbalut perban terasa sakit karena membentur lantai. Mataku membeliak, sosok Tina yang masih mengenakan seragam sekolah dengan ujung baju dikeluarkan dari dalam rok melangkah dengan sebilah pisau di tangannya.Mata yang seakan penuh amarah dan mengeluarkan rasa ketidakpuasan memandangku lekat-lekat. Langkahnya perlahan semakin dekat.“T-Tina, apa yang kamu lakukan?” pekikku. Tina tidak mejawab pertanyaanku, dia hanya menyeringai. Khawtir aku jadi sasaran pisaunya, aku melepas infus di tanganku agar pergelakanku leluasa sembari memasang sikap waspada.“Aku tidak puas jika kamu hanya tertembak.”Tap! Tap! Tap! Tina semakin mendekat. Aku tersudut dalam posi
Tina masih terisak di ranjang rumah sakit saat istriku masuk ke ruang rawat dengan raut heran mendapati Tina duduk menutupi wajah dengan kedua tangan. Langsung aku memberi tanda pada Erika, menggidikan bahu. Lalu, mendekati Erika. Menarik tangannya agak menjauhi anak itu.“Gadis itu nyaris saja membunuhku!” Aku mengadu. Erika tersentak, dia mendelik tidak terima dan hampir melabrak Tina namun, sebelum dia mendekat aku menahannya.“Tenang dulu. Jangan gegabah.”“Kamu gak kenapa-kenapa, kan?” tanya Erika setelah melirik Tina.“Hanya sedikit nyeri di bahuku. Nanti kita periksa lagi.”“Mau dia apa?”“Kebenaran dan keadilan tentang kakaknya.”“Itu lagi?”“Iya!” Tiba-tiba saja, pundakku terasa nyeri, rasa sakit yang tidak bisa kutahan di dalam sana. Kakiku tidak kuat lagi menahan tubuhku. Sambil
Dokter memeriksa keadaanku. Pertama-tama dokter itu memeriksa bahu kiri yang diperban. Kemudian, melihat darah menodai bagian luar perban, dia langsung membuka benda itu, melepaskan lilitannya.“Wah, ini jahitannya lepas!” ucap dokter.“Kok bisa begini?” tanyanya kemudian.“Tadi jatuh dari kasur, kejungkal terus membentur lantai.” Aku menyahut. Namun, di belakang dokter, sepasang mata milik Erika mendelik. Dia tahu kalau aku bohong.“Infusnya juga lepas nih.” Aku hanya bisa cengengesan. Tidak mau mengakui kejadian barusan pada dokter.Dokter pun menyuntikan obat bius di sana lalu mulai menjahit bekas jahitan yang terlepas setelah menyuruhku berbaring. Di tangan dingin dokter yang profesional, hanya dalam sekejap saja luka jahit yang robek itu kembali seperti semula. Diganti dengan perban baru yang bersih dan dipas
“Sedari awal, ini adalah rekayasa, Pras. Kamu sendiri tidak menyadarinya, ya?” Erika tersenyum sumringah. “Lalu, apa penusukan mama dan kebakaran kedai itu juga adalah drama kalian?” tanyaku penasaran. Mendengar pertanyaanku, senyum Erika luntur. “Kalau itu, bukanlah sesuatu yang kami harapkan. Itu murni karena perbuatan Rey. Penusukan mamamu, kebakaran kedai dan kehamilan Dwi itu kelakuan Rey,” jawab Erika. Aku tidak bisa berkata apa-apa mengetahui semua ini. Pernikahanku dengan Erika ternyata memang benar-benar direncanakan. Seperti yang dikatakan Tante tetapi, Tante mengatakan pernikahanku dengan Erika karena bisnis papa yang terancam bangkrut. Kalau tidak salah, Tante juga menyinggung tentang Om Jayanta yang mengancam papa. Bila dikomparasi antara pengakuan Erika dengan cerita Tante, semuanya jadi tampak abu-abu di mataku. Fakta mana yang harus kupercaya? “Lalu, kenapa kamu menyetujui pernikahan ini padahal kamu mencintai Rey wa
Pikiran negatifku tentang Erika mulai terbesit setiap kali aku mengingat saat kami melakukan hubungan suami-istri. Jangan-jangan Erika hanya menginginkan keturunan untuk meneruskan Jayanta Group nantinya. Akan tetapi, aku, tidak bisa langsung menilainya hanya karena itu saja. Sikap Erika yang kadang hangat dan bahkan tidak segan melaporkan kasus pembakaran kedai yang tidak pernah kubayangkan dampaknya nyaris merengut nyawaku kemarin. Kalau pun pikiranku tentang Erika ini salah, itu berarti aku hanya berasumsi saja. Namun, kalau ini benar bisa jadi ini akan menguntungkanku. Bisa jadi, kalau Erika hamil dan melahirkan anak untukku, aku akan lebih mudah menggeser posisi papa mertua. Kriit! “Kak Pras!” Ryan berlari ke arahku dengan antusias. “Hey!” sapaku sembari menngacak rambut adik sepupukku itu. “Katanya Ryan kangen kamu, jadi, Tante ajak dia aja hari ini. Kasian juga kalau di rumah terus,” ujar Tante sembari me
“Itu berarti, PT. Fast Granola Trading adalah saham yang diwariskan Papa kepadaku, kan?” Sangsi, aku ingin mendapatkan penjelasan dari Tante. “Benar. Makanya kamu dinikahkan dengan Erika agar kalian menjadi pemilik saham tetap dari industri pangan itu.” “Begitu rupanya. Lalu, tentang dokumen pailit?” “Dokumen pailit itu adalah dokumen pailit Jayanta Tambang yang belum terakuisisi dengan Jayanta Group.” “Jika Jayanta Tambang pailit, bukankah Jayanta Group juga akan pailit?” Aku semakin penasaran. “Tidak. Jayanta Tambang sudah tidak terakuisisi lagi dengan Jayanta Group. Kepemilikan sahamnya pun sudah bukan Pak Jayanta lagi. Tetapi, papamu dan ayah Rey.” “Kenapa bukan Pak Jayanta? Bukankah beliau foundernya?” “Tante pun gak ngerti kenapa bisa begitu. Tetapi, yang Tante tahu pasti kalau Jayanta Tambang dinyatakan pailit, maka Jayanta Group akan mengakuisisinya.” Jadi, itulah alasannya mengapa Rey s
“Katanya kamu mau simpan di tempat yang aman. Tempat yang aman itu ya di tangan Tante,” ucap Tante. Dwi melirik map cokelat di tangannya seakan berpikir sebentar, pikirannya berubah dengan cepat dan mengulurkan benda itu dengan gamang ke tangan Tante. “Nah, begitu.” Tante tersenyum sumringah. Benda itu kemudian dimasukkan ke dalam tas yang dipanggul di bahunya. “Tapi, Rey gak akan mau menikahiku kalau aku gak bawa dokumen itu.” Dwi memelas. “Begini saja, kita akan scan lalu print salinannya.” “Kalau dia tahu itu palsu, gimana?” Dwi sangsi terhadap rencana Tante namun, jawaban tante cukup meyakinkan. “Dia tidak akan tahu kalau ini hasil scan. Sekarang zaman sudah canggih, Dwi.” Tante memandang wajah Dwi yang mulai khawatir dengan rencana Tante. Dia tidak mengerti rencana Tante dari kakak iparnya itu. Sorot matanya mengandung pertanyaan yang sudah tentu harus segera dijawab. “Aku tahu
Satu minggu kemudian, aku dinyatakan pulih dan diperbolehkan pulang dengan syarat lukaku harus dikontrol seminggu sekali dalam masa pemulihan. Biaya rumah sakit pun ditanggung oleh Tante. Katanya, uang untuk biaya rumah sakit adalah hasil tabungan untuk keadaan darurat. Meski merasa bersalah, aku sudah berjanji untuk mengembalikannya sesegera mungkin. Sampai di rumah, aku disambut oleh istriku yang tampaknya hari ini dia mengambil cuti. Bukan sosok dia yang kucari duluan tetapi, aku malah mendongak ke kamar adik ipar sambil bertanya, “Dwi dimana?” tanyaku. “Katanya, dia gak akan tinggal di sini lagi,” jawab Erika sembari menyiapkan beberapa makanan yang tampaknya dia pesan melalui layanan ojek online. “Padahal, pasca Dwi keguguran aku belum sempat ketemu,” keluhku. Aku menarik kursi kemudian meletakkan bokong di sana. “Kamu mengkhawatirkan adik iparmu, ya?” sahut Tante yang sudah duluan duduk di sebelahku.