“Sedari awal, ini adalah rekayasa, Pras. Kamu sendiri tidak menyadarinya, ya?” Erika tersenyum sumringah.
“Lalu, apa penusukan mama dan kebakaran kedai itu juga adalah drama kalian?” tanyaku penasaran. Mendengar pertanyaanku, senyum Erika luntur.
“Kalau itu, bukanlah sesuatu yang kami harapkan. Itu murni karena perbuatan Rey. Penusukan mamamu, kebakaran kedai dan kehamilan Dwi itu kelakuan Rey,” jawab Erika.
Aku tidak bisa berkata apa-apa mengetahui semua ini. Pernikahanku dengan Erika ternyata memang benar-benar direncanakan. Seperti yang dikatakan Tante tetapi, Tante mengatakan pernikahanku dengan Erika karena bisnis papa yang terancam bangkrut. Kalau tidak salah, Tante juga menyinggung tentang Om Jayanta yang mengancam papa. Bila dikomparasi antara pengakuan Erika dengan cerita Tante, semuanya jadi tampak abu-abu di mataku. Fakta mana yang harus kupercaya?
“Lalu, kenapa kamu menyetujui pernikahan ini padahal kamu mencintai Rey wa
Pikiran negatifku tentang Erika mulai terbesit setiap kali aku mengingat saat kami melakukan hubungan suami-istri. Jangan-jangan Erika hanya menginginkan keturunan untuk meneruskan Jayanta Group nantinya. Akan tetapi, aku, tidak bisa langsung menilainya hanya karena itu saja. Sikap Erika yang kadang hangat dan bahkan tidak segan melaporkan kasus pembakaran kedai yang tidak pernah kubayangkan dampaknya nyaris merengut nyawaku kemarin. Kalau pun pikiranku tentang Erika ini salah, itu berarti aku hanya berasumsi saja. Namun, kalau ini benar bisa jadi ini akan menguntungkanku. Bisa jadi, kalau Erika hamil dan melahirkan anak untukku, aku akan lebih mudah menggeser posisi papa mertua. Kriit! “Kak Pras!” Ryan berlari ke arahku dengan antusias. “Hey!” sapaku sembari menngacak rambut adik sepupukku itu. “Katanya Ryan kangen kamu, jadi, Tante ajak dia aja hari ini. Kasian juga kalau di rumah terus,” ujar Tante sembari me
“Itu berarti, PT. Fast Granola Trading adalah saham yang diwariskan Papa kepadaku, kan?” Sangsi, aku ingin mendapatkan penjelasan dari Tante. “Benar. Makanya kamu dinikahkan dengan Erika agar kalian menjadi pemilik saham tetap dari industri pangan itu.” “Begitu rupanya. Lalu, tentang dokumen pailit?” “Dokumen pailit itu adalah dokumen pailit Jayanta Tambang yang belum terakuisisi dengan Jayanta Group.” “Jika Jayanta Tambang pailit, bukankah Jayanta Group juga akan pailit?” Aku semakin penasaran. “Tidak. Jayanta Tambang sudah tidak terakuisisi lagi dengan Jayanta Group. Kepemilikan sahamnya pun sudah bukan Pak Jayanta lagi. Tetapi, papamu dan ayah Rey.” “Kenapa bukan Pak Jayanta? Bukankah beliau foundernya?” “Tante pun gak ngerti kenapa bisa begitu. Tetapi, yang Tante tahu pasti kalau Jayanta Tambang dinyatakan pailit, maka Jayanta Group akan mengakuisisinya.” Jadi, itulah alasannya mengapa Rey s
“Katanya kamu mau simpan di tempat yang aman. Tempat yang aman itu ya di tangan Tante,” ucap Tante. Dwi melirik map cokelat di tangannya seakan berpikir sebentar, pikirannya berubah dengan cepat dan mengulurkan benda itu dengan gamang ke tangan Tante. “Nah, begitu.” Tante tersenyum sumringah. Benda itu kemudian dimasukkan ke dalam tas yang dipanggul di bahunya. “Tapi, Rey gak akan mau menikahiku kalau aku gak bawa dokumen itu.” Dwi memelas. “Begini saja, kita akan scan lalu print salinannya.” “Kalau dia tahu itu palsu, gimana?” Dwi sangsi terhadap rencana Tante namun, jawaban tante cukup meyakinkan. “Dia tidak akan tahu kalau ini hasil scan. Sekarang zaman sudah canggih, Dwi.” Tante memandang wajah Dwi yang mulai khawatir dengan rencana Tante. Dia tidak mengerti rencana Tante dari kakak iparnya itu. Sorot matanya mengandung pertanyaan yang sudah tentu harus segera dijawab. “Aku tahu
Satu minggu kemudian, aku dinyatakan pulih dan diperbolehkan pulang dengan syarat lukaku harus dikontrol seminggu sekali dalam masa pemulihan. Biaya rumah sakit pun ditanggung oleh Tante. Katanya, uang untuk biaya rumah sakit adalah hasil tabungan untuk keadaan darurat. Meski merasa bersalah, aku sudah berjanji untuk mengembalikannya sesegera mungkin. Sampai di rumah, aku disambut oleh istriku yang tampaknya hari ini dia mengambil cuti. Bukan sosok dia yang kucari duluan tetapi, aku malah mendongak ke kamar adik ipar sambil bertanya, “Dwi dimana?” tanyaku. “Katanya, dia gak akan tinggal di sini lagi,” jawab Erika sembari menyiapkan beberapa makanan yang tampaknya dia pesan melalui layanan ojek online. “Padahal, pasca Dwi keguguran aku belum sempat ketemu,” keluhku. Aku menarik kursi kemudian meletakkan bokong di sana. “Kamu mengkhawatirkan adik iparmu, ya?” sahut Tante yang sudah duluan duduk di sebelahku.
Mendengar jawaban Rahayu, aku tersentak. Jika banding ditolak itu berarti sudah tidak ada harapan lagi untuk menjebloskan Rey ke dalam penjara dan membuat dia menyesal atas perbuatannya. Itu berarti juga, harapan untuk meringankan hukuman Yus pupus sudah. “Bagaimana dengan Yus?” tanyaku sambil sedikit berharap agar Yus masih punya kesempatan paling tidak, hukuman Yus bisa diringankan. “Bukankah putusan pengadilan untuk Yus belum ditetapkan pasca Rey bebas dari jalur tikus?” “Benar, tapi aku pun tidak bisa berbuat banyak.” “Jadi benar tidak ada harapan, ya?” Aku mengela napas. “Tapi kita bisa ajukan kasasi.” Rahayu membuka botol air mineral kemudian menenggaknya hingga setengah tandas. “Apa bisa? Biayanya mahal hanya untuk itu,” keluhku. Aku melirik Erika yang sedang membereskan peralatan makan di meja makan. Lalu, aku memalingkan wajah saat mata kami bertemu. “Jika Rey bisa bebas dengan j
Saat matahari masih belum menerangi bumi sepenuhnya, aku berangkat ke rumah orang tuaku. Meninggalkan Erika yang masih terlelap di kamarnya. Menyetir di jalanan kota yang belum terlalu padat di hari kerja ini. Wagonku melaju kencang ke arah rumah orang tuaku yang sekarang ditinggali tante. Mobilku kuparkir di luar pagar agar tidak repot untuk keluar garasi. Dari sini, kudapati sosok Tante sedang menyapu halaman. Padahal, matahari belum juga tinggi. “Pagi, Tante!” sapaku. “Eh, Pras. Tumben pagi-pagi begini kamu bertandang.” Tante meletakkan sapunya, menyambutku. “Pakainmu juga formal banget hari ini.” Mata Tante mengembara dari ujung kepala sampai ujung kakiku. Karena tidak biasanya dia melihatku berpenampilan seformal ini. Seingatku, wanita yang melahirkan Ryan itu jarang sekali melihatku berpakaian begini jika tidak ada acara keluarga atau pesta. “Tante, bisa kita ngobrol di dalam?” ajakku. “Penting banget kayaknya. Tapi,
Sesaat kemudian, Tante turun membawa dokumen yang kuminta. Dia mengeluarkan seluruh isinya di hadapanku. “Kamu hanya perlu dokumen pailit, jadi Tante akan memberikan itu saja. Sisanya, Tante akan menyimpannya untukmu nanti.” Tante memasukan dokumen yang kuperlukan ke dalam amplop kemudian merapikan sisanya. “Ini.” Tante mengulurkan benda pipih cokelat itu kepadaku. Aku mengambilnya kemudian menyimpan di kantong bagian dalam jasku. “Sebenarnya Tante mengkhawatirkanmu. Maafkan, Tante atas tamparan itu. Kamu sudah seperti putraku sendiri, Nak.” Tante mulai terisak. Aku berjongkok di hadapan tante, meletakkan kepalaku di pahanya. “Tante, aku mencintaimu. Cuma Tante yang bisa gantiin sosok Mama dan orang tua untukku. Aku minta maaf karena lancang dan merepotkan selama ini. Terima kasih.” Aku kembali merasakan kehangat seorang ibu ketika tangan tante mengelus lembut kepalaku. A
Aku duduk di sofa, menyilangkan kakiku dan merentangkan tangan di atas daun sofa. Pria paruh baya yang kulihat di TV pasca Rey dijebloskan dipenjara untuk pertama kalinya sekarang ada di di depanku. “Kamu siapa? Kenapa lancang masuk ke ruangan ini tanpa izin?” tanyanya. “Dia Pras, Ayah!” sahut Rey. “Salam, Pak!” Aku menangkupkan tangan sambil tersenyum. “Jadi kamu yang telah merebut Erika dari anak saya?" Pria itu mendekat sembari mengarahkan telunjuknya kepadaku. “Tenanglah, Pak!” ucapku santai. “Apa maksudmu datang ke sini tiba-tiba begini? Belum puas kamu membawa penderitaan kepada anakku?” Senyum di bibirku luntur seketika. Aku bangkit berdiri di hadapan pria yang sudah membesarkan Rey hingga dia menjadi seberengsek itu. “Penderitaan katamu, wahai Tuan CEO yang terhormat?” Kupandang wajahnya yang berkerut. Sesaat kemudian, aku beralih pandang ke Rey yang berdiri di depan meja kerja mewah ayahnya.