Aku terduduk lemas, menyibak rambutku. Masih tidak bisa kupercaya jika Erika yang melaporkan kasus ini. Mendadak harga diriku terasa diinjak oleh Sang Manajer. Meruntuhkan tekadku untuk menyelesaikan kasus ini sendirian. Dia sudah melanggar perjanjian pernikahan.
Aku tidak tahu kemana sekarang keadaan akan membawaku, yang jelas sekarang ini keadaan menjadikanku seorang pria lemah yang tergantung kepada istri secara tidak langsung.
Erika. Ada satu sisi yang baru saja kuketahui dari wanita dingin dan gampang berubah mood itu. Sisi yang tidak kupunya sebagai laki-laki yaitu, sesuatu yang disebut ambisi.
“Kamu lagi apa?” suara parau Erika membuatku mengangkat kepala. Wajahnya yang tirus seperti biasa mencuatkan aura dingin, tanpa ekspresi.
“Gak penting juga kalau kujawab,” ucapku.
“Daripada leha-leha di kafe seperti ini, mending kamu ke kantor aja. Kerja!”
&
Biasanya aku takjub dengan pemandangan kota di malam hari. Bahkan, aku sangat suka menghibur hati dengan berkeliling mengendarai wagon hitam kesayanganku kalau sedang stres. Kali ini begitu berbeda, gemerlap lampu kota dan biang lala yang terlihat berputar pelan dari kejauhan, monumen Bajra Sandhi yang megah dengan mahkota dan bahkan tangkringan anak muda sekalipun tidak dapat menghibur hati berselimut kalut karena permasalahan hidup. Keluar dari jalur kota, aku membanting setir wagon ke jalur yang sepi. Jalan yang mengarah ke sebuah taman dengan suguhan danau. Mobilku melaju pelan di gang sempit lalu memasuki area lapang. Menginjak rem, menarik rem tangan kemudian mematikan mesin. Terpakir di antara lampu merkuri remang di tanah lapang. Angin sepoi menyambutk tubuhku begitu keluar dari wagon hitam seakan menyambut pangeran yang kesepian. Aku menyandarkan pantat di kap wagon, mengeluarkan sebungkus rokok,
Lampu kedua kamar tampak padam. Hanya lampu ruang tamu yang menyala. Hari ini begitu lelah padahal aku tidak melakukan apapun. Hanya pergi ke rumah sakit, bertemu Rahayu dan menikmati angin di danau. Kubuka pintu kamar, Erika sedang tidur miring. Tubuhnya tertutupi selimut putih, bahunya mencuat, ditutupi sedikit oleh rambut panjangnya. Aku tersenyum kemudian kembali menutup pintu lalu beralih ke kamarku yang sekarang ditempati oleh Tuan Putri Dwi. Membuka pelan pintu agar tidak membangunkannya kalau dia sudah bermimpi. Pintu kamar terbuka, dugaanku salah. Adik iparku itu masih membaca buku. Diterangi lampu belajar, kamar ini jadi remang. “Ibu hamil harusnya tidur lebih cepat,” ucapku dari pintu. Malas melihatku, Dwi membalik badan, melanjutkan membaca bukunya. Rupanya gadis itu masih kesal gara-gara omonganku tadi pagi. Tidak ingin membuat suasana lebih dingin, aku me
Erika mengembarakan mata dari ujung rambut hingga ujung kakiku. Berdecak kesal. “Kenapa warna outfitmu mesti sama, sih?” keluhnya. Aku baru ingat kalau dia mengenakan pakaian warna biru langit. Karena tadi di tempat tidur aku tidak memerhatikannya. “Gak sengaja,” jawabku. “Ya udah. Yuk, ah!” Mobilku melaju dengan kecepatan konstan, berhenti di bawah lampu merah bersama mobil-mobil lainnya. Erika yang sedari tadi sibuk dengan smartphone kemudian mengalihkan pandangan ke kemacetan di depan kami. Tidak ada suara darinya. “Gimana produknya?” tanyaku. “Sudah dimulai beberapa waktu lalu. Kuserahkan kepada Bu Dewi sebagai koordinator pengawas.” “Jadi, beliau sudah tidak menguji siklamat lagi?” tanyaku sembari memelankan injakan pada pedal gas. “Sudah ada orang lain yang menangani itu. Kamu bantu dia saja!” “Oke.” Lampu hijau men
“Ketemu, gak?” Bu Dewi mendekat, buru-buru aku mengklik tombol tanda silang di pojok bagian kanan atas sehingga semua tampilan jendela tertutup. “Eng … Enggak ketemu,” jawabku gugup. Bu Dewi mengambil alih tetikus, tangannya lihai mengklik folder dimana hanya dia yang tahu tempatnya. “Nah, terbuka,” seru Bu Dewi. Muncul tampilan data di komputer. “Tolong dilanjutkan dari sini.” Bu Dewi membuka buku folio, menyodorkannya padaku. Tanganku tertahan pada buku itu. Kutatap Bu Dewi lekat-lekat. Aku ingin menanyakan kenapa bukti penting persidangan ada di dalam laptop kerja milik Bu Dewi. Seharusnya aku melontarkan kata tanya akan tetapi, otakku mendadak beku. “Pak Pras … Pak Pras!” Suara Bu Dewi membuyarku. Tanganku masih memegang erat buku itu. “Maaf, saya melamun,” ucapku. “Tolong ya, Pak Pras.” Aku mengangguk. B
Dentingan sendok dan garpu beradu di atas piring. Erika menyantap makanannya dengan lahap. Sekarang dia bisa merasakan kenikmatan setelah indera perasanya kembali seperti semula. “Makanlah pelan-pelan!” ucapku. “Kamu makan terlalu pelan!” ucap Erika. Mulutnya penuh dengan makanan. Aku mengelupas kulit ayam goreng, mencocol di atas saus tomat kemudian menyantapnya. Nafsu makanku berkurang secara tiba-tiba hari ini jadi, aku hanya pesan ayam goreng dan minuman soda. “Dua hari lagi sidang lanjutan. Aku akan bolos lagi,” ucapku sambil mengunyah kulit ayam goreng. “Lagi? Kamu resign saja kalau gitu,” ucap Erika ketus. Sepotong kentang goreng dimasukannya ke mulut. “Mau bagaimana, aku harus datang ke persidangan.” “Ya sudah. Aku juga gak bisa nahan kamu, Pras. Lagipula itu urusanmu sekarang.” Padahal dia yang menjadikan urusanku tambah rumit dengan melaporkan kasus itu.
Kembali ke ruang riset. Bu Dewi dan dua karyawan lainnya sudah duluan mengambil pekerjaan pasca makan siang. Aku pun melanjutkan tugas yang diberikan Bu Dewi. Sekali lagi, hasratku untuk membuka folder berjudul “Kasus Kedai Mi Ayam” tidak terbendung lagi. Segera setelah mengamati kemungkinan Bu Dewi tidak menghampiriku, aku mengklik folder itu. Foto pun terbuka, semakin aku melihat foto, semakin dadaku terbakar oleh sesuatu. Pertanyaan di tempurung kepalaku pun berubah, dugaanku tentang Bu Dewi yang terlibat dengan kasus ini malah membuatku jadi mempresepsikan kalau dia juga terlibat dengan kasus ini. Buktinya sudah jelas dengan folder ini ada di dalam laptop kerjanya. Bukti penting yang kuperlukan untuk menjebloskan kedua pengkhianat itu ke dalam penjara. Bu Dewi … Wanita itu sepertinya sekarang sedang mengkhianatiku juga. Akan tetapi, tidak ada alasan kuat untuk menyerangku dari belakang. Dia sudah mendapatkan posisi field coordinator un
Aku dan Erika pulang ke rumah saat langit sudah mulai gelap. Membawa sebungkus makanan cepat saji untuk Tuan Putri Dwi. Erika segera melenggang ke kamar tanpa berkata apa-apa. Sementara Dwi, masih kudapati di kamar dengan bukunya. Sang Tuan Putri, entah kenapa begitu betah menghabiskan waktu di kamarnya. Sejak kehamilannya diketahui, dia tidak pergi kuliah. Pasti mentalnya akan jatuh kalau teman-temannya tahu dia sedang mengandung. Dirundung dan ditertawakan lalu, hilang semua keceriaannya. Saat ini, tinggal di rumah adalah pilihan yang tepat untuk menghindari hal seperti itu di kampus sampai anak yang dikandungnya lahir ke dunia. “Dwi, makan dulu. Dibeliin ayam goreng Kakek Sanders nih sama Erika!” perintahku sambil mendongak ke kamar dari pintu. Namun, sambutan tidak kudapatkan, sepertinya kekesalannya kemarin masih mengendap di dasar hatinya. Dia membalik badan, enggan menoleh ke arahku. “Ya sudah
Dua hari itu, cepat sekali datangnya. Hari yang dijadwalkan untuk kelanjutan sidang pun tiba. Aku tiba di pengadilan lebih awal, duduk di mobil sambil menunggu Rahayu. Semalam kami berjanji untuk bertemu di halaman parkir pengadilan. Tetapi, janji wanita untuk tepat waktu sepertinya memang tidak bisa dipegang teguh. Hampir tiga puluh menit sejak mobilku diparkir di sini pengacara itu belum datang juga. Entah sudah keberapa kali aku melirik jam tangan sambil bermain candy swipe di smartphone untuk meghilangkan rasa bosan. Tok … Tok … Tok! Ketukan di jendela wagon yang terbuka seperempat sontak membuatku memalingkan wajah. “Turun!” perintah wanita berambut bob yang sedari tadi kunantikan kedatangannya. Aku melepas sabuk pengaman, bergegas keluar dari dalam mobil. “Lama banget, sih!” protesku. “Maaf, jalanan macet. Ayo!” kelit Rahayu. &nbs