Rean menghela napas. Ia hanya bisa menatap hampa ke arah Sofia yang dipaksa Wira masuk ke dalam mobil.
Setelah memastikan kedua tuannya masuk, barulah ajudan itu kembali ke balik kemudi dan memacu mobil dengan kecepatan tinggi, menyisakan kepulan debu di hadapan Rean yang merana.
Sofia menatap ke luar jendela sambil sesekali mengusap air mata.
Wira mengenakan kacamata yang menyembunyikan sorot tegas matanya, dan mendengus keras-keras.
“Kamu nggak boleh berhubungan lagi dengan anak itu!” kata Wira tajam.
Sofia tidak menjawab. Ia tahu, pucuk cintanya pada Rean harus ditebang habis.
Setibanya mereka di rumah mewah Wira, Sofia langsung dibawa ke dalam kamar utama. Inilah pertama kali Sofia masuk ke dalam rumah kendatipun separuh hidupnya ia sering datang berkunjung untuk menemani sang ibu membayar cicilan utang. Seperti warga lainnya yang datang dengan keperluan serupa, ia hanya diizinkan masuk sampai batas balkon depan.
“Sekarang ini rumahmu juga,” ucap Wira, merangkul Sofia ke dalam dekapannya. Sofia menahan diri, namun ia tidak cukup kuat melawan lengan kokoh Wira yang melingkari bahu.
Wira melepas jasnya dan duduk di sisi ranjang bertiang empat. Ranjang yang sangat luas bahkan jika seluruh keluarga Sofia ikut tidur bersamaan.
Wira menggiring Sofia duduk di sisinya, dan mengangkat dagu Sofia yang sejak tadi terus menunduk.
“Adakah yang kamu inginkan, Sofia?” tanya Wira kemudian.
Itulah pertama kalinya Sofia menatap wajah Wira secara langsung begitu dekat. Sampai-sampai Sofia bisa merasakan embusan napas Wira yang terasa panas di wajahnya.
“M-maksud Abang?”
“Katakan saja, kamu mau mobil? Bisa kamu pakai keliling kampung, atau pergi jalan-jalan ke kota.” Wira mengatakan itu sambil menatap lekat setiap lekuk wajah Sofia yang menawan.
Sofia tahu wajahnya memerah karena malu, tapi ia tidak bisa menyingkirkan tangan Wira di dagunya karena ketampanan Wira membuat seluruh saraf Sofia melemah.
Garis wajah Wira yang sempurna bergerak semakin dekat ke arah Sofia, dan saat permukaan lembut bibir Wira mendarat di bibirnya, pandangan Sofia mulai mengabur.
“Jangan menangis,” bisik Wira, ia memagut kelopak bibir ranum Sofia semakin lama semakin membara.
Sofia tidak melawan, tidak juga merespon. Ia membiarkan Wira mendapatkan apa yang diinginkannya, termasuk saat suaminya itu mengangkat tubuh Sofia ke atas ranjang dan menjamahnya penuh kelembutan.
“Katakan jika ini terasa sakit, ya,” ucap Wira dalam selaan napas berat.
Sofia memejamkan mata erat, memasrahkan diri seutuhnya. Wira menjelajah setiap jengkal kulit Sofia yang lembut dan segar dengan sangat perlahan.
Sofia yang merasa nyaman, membuka mata untuk mendapati Wira tengah tersenyum padanya.
“Aku ingin kamu menikmatinya juga, Sofia.” Wira yang sejak tadi berada di atas Sofia, berguling ke sisi ranjang dan berkata tenang, “Kita akan melakukannya hanya jika kamu sudah merasa siap.”
Sofia mengatur napas, dan berkata lirih, “T-terima kasih, Bang.”
Karena lelah sehabis pesta sepanjang hari, Sofia tertidur dengan cepat. Ranjang empuk dan nyaman milik Wira membuai Sofia ke dalam tidur nyenyak tanpa mimpi.
Keesokan harinya, Sofia bangun lebih dulu dari Wira. Pria itu terlelap di sisi Sofia, dengan lengan memeluk tubuh Sofia erat.
Sofia menyingkirkan lengan kokoh Wira dari pinggangnya, dan berjingkat menuju kamar mandi. Sehabis membersihkan diri dan menunaikan shalat, Sofia berinisiatif untuk membuat sarapan.
Ia hilir mudik di dalam rumah luas itu, mencari arah yang benar menuju dapur, hingga akhirnya ia tiba di satu ruangan besar menuju sebuah pintu yang terbuka.
Tanpa pikir panjang, Sofia masuk ke dalamnya dan sangat terkejut saat melihat Brian Mahesa tengah bertelanjang dada.
“Aaargh!” jerit Sofia mengejutkan Brian yang baru saja membuka kausnya.
“Aaargh!” Brian ikut berteriak. Ia sangat kaget melihat kehadiran Sofia yang begitu mendadak di ambang pintu kamarnya.
“Ngapain kamu ke sini!” bentak Brian, seraya mengenakan kembali kausnya yang bau keringat sehabis balapan sepeda tadi malam.
“B-brian?”
“Iya, ini aku!” sungut Brian ketus. Diliriknya Sofia yang tercengang, “Kenapa kaget begitu? Ini kan rumahku!”
Sofia yang baru sadar akan hal ini, memalingkan wajah dengan perasaan kacau. Ia telah menikahi seorang pria yang memiliki anak seusia dirinya.
“Maaf … aku tadi mau ke dapur,” ucap Sofia salah tingkah.
Brian berjalan mendekatinya, dan mendengus keras. “Dapur ada di bagian belakang rumah, ngapain kamu ke kamarku! Lagian, kenapa nggak tanya Papa, sih?”
“Itu … um, Abang masih tidur … eh.” Wajah Sofia memerah karena memanggil Wira dengan sebutan Abang di depan teman sekaligus anak tirinya sendiri.
Brian tertawa mengejek. Ia berkacak pinggang superior seperti kebiasaannya, dan berkata sinis, “Gimana rasanya menikahi Papaku? Enak dong sekarang kamu bisa pamer keliling kampung pakai harta Papa! Sudah minta apa kamu sama Papa? Mobil? Kartu kredit?”
“Aku nggak minta apa-apa sama Papamu! Lagipula, aku nggak pernah menginginkan pernikahan ini!” balas Sofia sengit. Ucapan Brian telah melukai harga dirinya.
Brian tertawa lebih keras membuat Sofia jengkel. “Nggak ingin tapi kok nggak protes?”
Sofia menatap Brian tajam. “Kamu tahu Papamu, Brian! Dia bisa memaksa kita melakukan semua keinginannya! Sebagai warga biasa, aku nggak bisa mengelak!”
“Nah, itu tahu!” Sebelah alis Brian menukik naik. “Tanpa Papa, kamu memang warga biasa! Jadi jelas, kan, sekalipun kamu sudah menikahi Papa, jangan harap bisa mengaturku seperti anakmu sendiri!”
Sofia tercengang, namun dengan cepat bisa mengendalikan diri. Ini bukanlah pertama kalinya ia terlibat adu mulut dengan Brian. Sejak dulu, Brian memang kerap membuat onar dan menindas anak-anak seusianya di kampung.
“Jangan khawatir, aku nggak akan mengurusi hidupmu, dan alangkah lebih baiknya kamu juga tidak mencampuri urusanku.” Sofia mengangkat wajah, sebelum balik badan menuju bagian belakang rumah.
Brian mengikutinya cepat, dan saat Sofia menoleh, Brian melotot galak padanya.
“Apa? Ini rumahku, terserah aku dong mau ke mana!” hardik Brian galak.
“Memang terserah, tapi kamu nggak boleh mengikutiku.” Sofia mengibas rambutnya ke balik bahu.
Brian terkekeh menyebalkan, “Ngikutin kamu? Dih, ngapain? Males banget!”
“Dari dulu kamu memang suka ngikutin aku, kan?” ucap Sofia menghapus cengiran di wajah Brian.
“Jaga mulut kamu!”
“Kamu yang seharusnya jaga sikap!” balas Sofia tidak mau kalah. Ia sudah mahir meladeni sikap menyebalkan Brian yang sering kumat jika Sofia mengungkit masa lalu mereka.
“Aku bisa kasih tahu papamu kapanpun, tentang anaknya yang kasih bunga sebagai kado valentine sama teman kelasnya!”
“Sofia! Jangan ungkit cerita lama!” Brian mengangkat tangan sebagai ancaman.
“Lama? Itu kan kamu lakukan tahun lalu, Yan. Sayang aku sudah punya Rean, jadi, dengan berat hati kutolak hadiahmu.”
“Brengsek kamu!” Brian siap menyerang Sofia, namun sebuah suara menghentikannya.
“Brian! Sopan sedikit sama ibumu!” bentak Wira yang baru saja bangun. Ia berdiri tegap di belakang Brian dan Sofia yang langsung terdiam seperti dua anak ketahuan berbuat nakal oleh ayahnya.
Jantung Sofia nyaris copot saat mendengar suara Wira yang tegas, begitu juga Brian. Mereka saling melempar tatap, takut jika percakapan tadi terdengar Wira.
“Papa nggak pernah ajari kamu bersikap tidak sopan sama yang lebih tua.” Wira mengedikan kepala ke arah tangan Brian yang masih teracung di depan wajah Sofia.“Turunkan tanganmu,” perintah Wira tegas dan tenang.“Dia nggak lebih tua dariku, Pa!” ucap Brian membela diri.Wira bersidekap dengan rahang mengeras. “Tetap saja sekarang ini dia ibumu, Brian! Minta maaf, cepat!”Brian melirik Sofia yang tidak bisa menahan senyuman. Sambil membuang napas kasar, Brian balik badan dan berkata tajam, “Nggak sudi!”“Brian!”“Sudah, nggak apa-apa.” Sofia menahan lengan Wira yang hendak menghentikan Brian. “Dia memang terbiasa bersikap seperti itu.”“Anak itu memang sering bertindak berlebihan,” ucap Wira menggelengkan kepala. Ditatapnya Sofia yang masih memegang lengannya.“Apa yang tadi dia ucapkan padamu?”“Eh?” Sofia bergerak gelisah di tempatnya. “Itu … bukan apa-apa.”“Bukan apa-apa gimana? Aku lihat, tadi Brian hampir saja memukul kamu.”Sofia tertawa. “Dia memang begitu, suka mengancam. Tapi
“Abang mau menyita tanah Mang Somad, ya?” Sofia mendekat pada Wira yang langsung menyambutnya ke dalam pelukan.“Dia harus membayar utangnya, Sayang.”“Tapi apa harus disita, Bang? Kasian Mang Somad, dia dan keluarganya bergantung pada hasil panen kebun mereka.”Wira menghela napas. Wajahnya menjadi serius, persis seperti yang dikenal Sofia selama ini.“Dia harus tanggung jawab atas utang-utangnya, gimanapun caranya.” Wira melepas pelukan dari bahu Sofia, dan kembali mematut diri di depan cermin.“Apa nggak bisa dibicarakan dulu? Siapa tahu Mang Somad punya cara lain untuk menyicil, Bang.”“Nggak bisa, dia sudah gagal panen selama lima bulan berturut-turut. Kamu sendiri yang bilang, mereka nggak punya penghasilan selain dari hasil kebun.”“Maka dari itu, Bang, kasihlah mereka tenggat waktu.” Sofia memelas pada ujung jas mewah Wira.Wira menangkup pipi istrinya, lalu berkata lembut, “Abang sudah kasih dia waktu lima bulan, lebih lama dari tenggat waktu yang Abang kasih pada orangtuamu.
Walaupun selama memasak Wira terus menggoda Sofia, ia tetap berhasil memasak sayur sawi putih, ayam goreng sederhana dan sambal lezat.“Wah, Abang nggak sabar ingin menyantap habis semuanya!” Wira menggosok tangan penuh semangat saat Sofia menyajikan sepiring penuh nasi dan lauk pauk ke hadapannya.“Jangan dong, Brian kan belum makan. Sisakan buat dia,” ucap Sofia mengingatkan.Wira berdecak, “Ah, dia bilang akan pulang terlambat karena ada acara trekking sama teman-teman sepedanya. Biar saja anak itu beli nasi goreng di tempat si Mamat kalau pulang nanti.”Sofia tersenyum, namun ia tetap menyisihkan sepotong ayam goreng dan semangkuk sayur untuk Brian.“Sayang, Abang ada urusan di kota malam ini, mungkin baru pulang besok siang. Kamu nggak apa-apa, kan, tidur sendiri malam ini?”Sofia kembali tersenyum. “Nggak apa-apa, Bang.”“Kamu jangan senyum terus, nanti Abang nggak mau pergi.”“Lho, ya nggak usah pergi saja,” timpal Sofia santai. Ia sudah mulai terbiasa dengan guyonan menggoda d
“Dia pakai ini untuk kasih sumbangan ke warga, Pa!” ucap Brian yang mendadak muncul dari lorong kamarnya.Wira bangkit berdiri, dan mengambil kartu debit Sofia dari tangan Brian.“Benar itu, Sofia?”Sofia menunduk. Air matanya menggenang lagi tanpa bisa ditahan. Hinaan Brian semalam, kembali menggaung di telinganya.“Sofia, kamu nggak boleh asal memberi seperti itu pada warga kampung. Nanti mereka ngelunjak! Kamu harus menjaga nama baik Abang di kampung ini, Sofia.”Brian tertawa mengejek. Ia berdiri jumawa di sisi sang ayah, dengan tangan menyuruk saku celana tidurnya.Melihat Sofia menangis, Wira memeluk istrinya tersebut dan berbisik penuh kasih, “Jangan menangis, Sofia, asal tidak kamu ulangi perbuatan itu, Abang maafkan.”Wira menyodorkan kartu debit ke tangan Sofia yang langsung menola
Sofia menatapnya lega. “Brian! Papamu nyari-nyari sampai kampung seb⸻”“Sssst!” Brian meraih bahu Sofia, dan menyeretnya menjauh.“Kamu mau bikin aku malu di depan teman-teman, hah?” omelnya jengkel.Sofia mengerutkan kening. “Ayo pulang, papamu pasti khawatir.”“Bawel, deh! Dasar ibu tiri!”“Terserah kamu mau ngomong apa, aku nggak akan marah. Yang penting kamu pulang, ya,” bujuk Sofia, meraih tangan Brian yang langsung menepisnya kasar.“Nggak mau! Ini kan tujuan kamu, menyingkirkan aku agar kamu bisa menguasai papa seutuhnya?”“Brian ….” Sofia memijat keningnya putus asa, “Aku nggak ada niat buruk sama sekali, sungguh. Pernikahan aku sama papamu, murni karena masalah utang yang nggak bisa dibayar orangtuaku. Kamu benar, aku ini
“Terus, apa hubungannya denganku?” seloroh Brian cuek.Sofia menggeleng lemah. “Keluarga kamu satu-satunya orang berduit di kampung ini. Kalian bisa bantu orang-orang seperti Mang Somad.”“Orang-orang seperti Mang Somad lah yang bikin usaha papa bangkrut! Coba kamu bayangin kalau warga kampung kredit macet semua, papa kena imbasnya, tahu! Makannya, jangan sok baik kamu sama warga kampung.”“Membantu sesama nggak akan bikin kamu jatuh miskin, Brian,” ucap Sofia tegas.Brian hanya berdecak mengejek.Mereka tiba di pekarangan luas rumah, dan mendapati mobil mewah Wira sudah terparkir di sana.Mahawira Anggabaya bergegas keluar rumah saat mengetahui kedatangan Sofia dan Brian.“Dari mana kamu, Brian? Papa mencari kamu sampai ke kampung lain!”“Sudahlah, Ban
“Hm?”“Soal kuliah, boleh nggak aku ngambil jurusan pertanian?” Sofia memasang tampang lugu, tahu betul hal itu bisa dengan mudah meluluhkan hati sang suami.Benar saja, Wira langsung menjawil hidung Sofia gemas, dan menanggalkan sikap arogannya tadi.“Kan sudah Abang bilang, Abang ingin mengembangkan sektor peternakan di kampung ini. Ada baiknya, kamu dan Brian belajar soal peternakan yang Abang sendiri nggak kuasai. Jadi, kalian berdua bisa mengurusnya dengan baik di kemudian hari, Sayang.”“Tapi, dari dulu cita-citaku ingin seperti Abang, belajar tentang pertanian sampai ke luar negeri, dan pulang kampung untuk membawa tanah kelahiranku ini menjadi lebih baik.” Sofia membuat nada suaranya seimut mungkin. Sampai-sampai ia mual sendiri mendengarnya.“Memangnya, apa yang mau kamu tahu, Sofia? Abangmu ini bisa mengajarimu lebih
“Brian laper! Sudah boleh makan?” Brian Mahesa mengempaskan diri di kursi dapur dan menatap hasil masakan Sofia yang mulai dingin sambil cemberut.“Brian!” Wira terlonjak kaget dan menjauh dari wajah Sofia yang semakin padam. “Maaf, kami ….”“Nggak apa-apa, aku nggak lihat.” Brian menjawil tahu goreng dan melahapnya acuh. “Makan, Pa.”Tanpa mempedulikan dua insan yang salah tingkah di hadapannya, Brian memenuhi piring dengan nasi dan lauk hasil masakan Sofia lalu makan.Wira bergerak grogi persis seperti remaja yang tertangkap basah bermesraan dengan kekasih di koridor kelas.“Kamu pulang, kok, nggak bilang-bilang.” Wira mengambil tempat di hadapan Brian dan membalik piring kosong yang tergelincir di jemarinya yang licin.“Hati-hati, Bang.” Sofia dengan sigap menahan pi
“Aku bisa bantu bicara sama papamu soal jurusan yang kamu nggak suka itu,” Sofia mundur beberapa langkah agar bisa melihat wajah Brian dengan baik.Lelaki itu bengong sesaat sebelum kemudian berdecak dan tertawa mengejek. “Mana mungkin bisa! Aku sudah rayu papa jauh sebelum ini. Dia tetap ingin aku kuliah peternakan. Kamu tahu sendiri alasannya.”Sofia mengedikkan bahu. “Ya, siapa tahu.”Brian menepis udara sebelum kembali melanjutkan langkahnya menuju gedung administrasi fakultas.Sementara Brian sibuk mengurus keperluan semester, Sofia berjalan-jalan di sekitar gedung fakultas peternakan.Gedung itu masih mempertahankan arsitektur zaman dahulu. Lorong-lorongnya punya langit-langit tinggi dari bebatuan. Pepohonan rindang memagari sekeliling fakultas. Sofia menyukai anginnya, hawa sejuknya, suara gemerisik dedaunan yang saling beradu, suara cericit burung yang riang, dan kepingan sinar matahari yang jatuh dari antara kanopi dahan-dahan pohon.“Sofia!” Brian berseru dari lobi fakultas.
“Mamamu ingin ikut lihat-lihat kampus, Nak. Ajaklah sekalian kamu urus administrasi hari ini.”“Aduh,” Brian mengeluh keras-keras, membuat Sofia semakin mengerut di kursinya. “Ada-ada aja, deh. Ngapain, sih, ngikutin aku ke kampus? Kayak nggak ada kerjaan aja!”“Iya, lebih baik aku nggak jadi ikut, deh, Bang.” Sofia buru-buru mengamini. “Masih banyak pekerjaan rumah yang bisa aku kerjakan.”“Apa itu?” Kening Wira mengerut dalam. “Kamu tidak boleh menyentuh pekerjaan rumah lagi, Sofia, kamu ini aku nikahi untuk kujadikan isteri, bukan pembantu! Brian, ajak mamamu ke kampus hari ini. Lagipula, tahun depan kalian kuliah di kampus yang sama, bahkan satu jurusan. Kalian harus terbiasa saling membantu, karena di kemudian hari, kalian akan bekerja sama memajukan sektor peternakan kampung kita.”Brian berdecak sebal. Ia sudah tak berselera menghabiskan sarapannya yang tinggal beberapa suap saja.Dengan wajah masam, Brian menyambar tasnya lalu pergi. “Aku tunggu di mobil! Lima menit nggak ada,
Sofia membiarkan kulit tangannya dingin di bawah kucuran air keran sejak setengah jam lalu. Tak banyak piring kotor yang bisa ia cuci, tapi ia tidak beranjak dari tempat pencucian.Seharian penuh gadis itu tidak beranjak dari dapur. Ia memasak, mencuci, menyapu, melakukan banyak hal hingga membuat Wira bosan melarang.“Kalau begini, si Mbak bisa makan gaji buta gara-gara semua pekerjaannya kamu kerjakan,” keluh Wira sambil meneguk habis jus jeruknya yang disediakan Sofia pagi tadi.“Tidak apa-apa, aku senang melakukan semua pekerjaan ini.” Sofia tersenyum hambar. “Aku sudah terbiasa bergerak, jadi kalau tidak ada kerjaan badanku sakit semua.”“Masa, sih.” Wira meneliti gerak gerik isterinya yang kini sibuk memotong bawang dan sayur. “Kalau cuma harus bergerak, nggak mesti mengerjakan pekerjaan rumah, kan?”Sofia mengalihkan pandang sejenak dari potongan sayurnya lalu tersenyum. “Benar. Tapi nggak ada hal lain yang bisa aku lakukan.”Kening Wira mengerut. “Sudah Abang bilang, kalau per
“Jika lima menit ke depan Rean tidak datang, maka, kemenangan mutlak menjadi milik Brian. Anak itu harus angkat kaki dari kampung ini!” Suara menggelegar Wira memantul ke lereng-lereng bukit yang disesaki para warga kampung.Semua orang saling berbisik. Kaki bukit itu senyap tapi tidak dengan hati Sofia yang bergemuruh. Badai petir menyambar-nyambar hingga telinganya tuli. Bahkan ia tak bisa lagi mendengar ucapan suaminya sendiri.Tangan gagah Wira yang melingkari pinggangnya bertengger begitu saja tanpa mengaitkan perasaan seperti biasa. tanah yang dipijak seolah bergoyang, tidak teguh.Sofia ingin menangis tapi air matanya tertahan rasa takut. Dan saat dilihatnya sosok tinggi kurus nan familiar melangkah tegar bersama sepeda kumbangnya yang menyedihkan, air mata itu leleh juga.“Saya di sini, Juragan.” Rean tersenyum lepas. “Maklumlah, sepeda tua. Tadi rantainya copot lagi dalam perjalanan ke sini. Nah, saya tidak terlambat, kan?”Wira membalas senyuman itu dengan sebuah cengiran pi
Sofia tengah merenung di atas ranjang masa kecilnya ketika Mahawira Anggabaya datang menjemput.“Dia dia terus di kamar sejak Den Juragan pergi tadi pagi,” ujar Dasimah nelangsa. Sebuah kesedihan yang terlalu dibuat-buat.“Ada apa, Sofia?” Suara lembut Wira semakin menambah perih hatinya. Bagaimana tidak, hati si pria yang baik ternyata masih menjadi duri tajam yang kerap menyakiti orang lain.Sofia merasa tinggal menunggu gilirannya saja sampai ia melakukan suatu hal yang akan membuat sang juragan tanah marah dan mengusirnya seperti yang pria itu lakukan pada warga lain.“Nggak ada apa-apa. Aku hanya kangen kamarku, itu saja.”“Kamu mau menginap di sini barang sehari dua hari?” tawar Wira seraya duduk di sisi Sofia dan membelai lembut kepala si gadis.Sofia menggeleng lemah. “Nggak. Nggak mau.”Di kamarnya, wajah Rean dan gulungan memori masa lalu kerap terbayang. Ia tak sanggup jika harus bermalam di sana, dianiaya nostalgia. “Sudah makan?” tanya Wira lagi dengan kesabaran seorang
“Sofia, sayang, ayo makan dulu. Ibu masak sop daging kesukaanmu banyak sekali. Kamu boleh nambah sepuasnya, Nak. Uang kami lebih dari cukup untuk membeli segala macam daging yang susah kamu dapat dulu.” Dasimah menggelendot di lengan anaknya.“Nggak usah, Bu. Fia sudah makan.” Sofia tersenyum getir. “Fia cuma mau rebahan di kamar. Kangen rasanya sama ranjangku.”“Alah, ranjang butut begitu kok dikangenin. Ranjangmu di rumah Juragan pasti lebih besar, lho, Nak. Tadinya mau Ibu buang kasur bututmu itu.”“Eh, jangan, Bu. Buat kenang-kenangan.”“Kenang-kenangan itu harus yang menyenangkan, Nak. Masa kasur dekil begitu kamu jadikan kenangan.” Dasimah menggerutu tidak senang.Sofia tertawa kecil. “Banyak hal menyenangkan yang Sofia rasakan sepanjang hidup dan kasur itu jadi saksinya.” Ia mengusap lengan
“Bapak!” Sofia memeluk tubuh renta itu kuat-kuat, enggan menjauh. Tangan keriput Susanto mengusap kepala Sofia gemetaran.“Apa kabarmu, Nak?”“Baik, Pak.” Sofia terisak.“Kenapa menangis?”“Fia kangen Bapak.”“Bapak juga kangen sama kamu.” Susanto meraih bahu Sofia dan mendorongnya lembut. Ditelititnya wajah sang anak dengan seksama.“Kamu semakin cantik, Sofia, apa kamu bahagia?”Sofia menelan ludah. Ia ingin meluapkan segala kegelisahannya pada sang ayah, namun separuh hatinya tidak tega menambah beban pria tua itu.Ayahnya telah tersiksa rasa bersalah karena perkawinan paksa dengan Mahawira, dan Sofia tidak mau menambah pikulan bobot di pundak sang ayah dengan kisah deritanya.“Fia bahagia, Pak. Abang memp
Sofia memejamkan mata, tak sanggup jika harus melihat Wira menyerang Rean. Namun suaminya itu malah berpaling dan masuk ke mobil.Sofia menghela napas. Kepalanya terus tertunduk seolah beban dunia ada di tengkuknya yang malang. Gadis itu akhirnya ikut berpaling, namun saat ia hendak melangkah menyusul Wira ke mobil, Rean memanggilnya pelan. Begitu lirih hingga Sofia mengira itu hanyalah suara desiran angin semata.“Sofia ….”Gadis itu menyentuh dada yang terasa nyeri. Satu kata singkat yang keluar dari bibir Rean telah mengirisnya begitu perih.Ia ingin menoleh, menghampiri lelakinya yang terluka. Bertanya tentang keadaannya. Sakitkah itu, bisakah ia berjalan, sudahkah ia mendapatkan pengobatan sesuai. Namun tak ada keberanian tersisa. Wajah marah Wira membayang di pelupuk mata.Sofia menahan tangis seraya mengayun langkah berat menyusul sang suami yang sudah l
Tak sampai disitu, Wira yang seperti kesetanan menarik Sofia yang masih merintih dan menggiringnya ke luar kamar.“Bang!” lirih Sofia lemah. Ia tak bisa melakukan apapun selain mengimbangi langkah cepat Wira agar dirinya tidak terjatuh.Wira tidak berhenti hingga tiba di halaman rumah. Ajudannya, Ajat, tengah asyik mencuci mobil sambil bersenandung lagu dangdut kesukaannya.“Jatuh bangun akuuu mengejarmuuu… hu… hu…”“Ajat!” Wira meraung garang. “Kunci.” Ia menadahkan tangan, menagih.“Eh… iya mengejar… mengejar ayam!” Ajat yang terkejut nyaris mengarahkan selang air pada tuannya kalau saja tidak ada badan mobil di antara mereka yang menghalangi.“Kunci mobil kemarikan, Ajat!” Wira kembali berteriak tak sabar.“Eh, iya ini, Gan!