“Hm?”
“Soal kuliah, boleh nggak aku ngambil jurusan pertanian?” Sofia memasang tampang lugu, tahu betul hal itu bisa dengan mudah meluluhkan hati sang suami.
Benar saja, Wira langsung menjawil hidung Sofia gemas, dan menanggalkan sikap arogannya tadi.
“Kan sudah Abang bilang, Abang ingin mengembangkan sektor peternakan di kampung ini. Ada baiknya, kamu dan Brian belajar soal peternakan yang Abang sendiri nggak kuasai. Jadi, kalian berdua bisa mengurusnya dengan baik di kemudian hari, Sayang.”
“Tapi, dari dulu cita-citaku ingin seperti Abang, belajar tentang pertanian sampai ke luar negeri, dan pulang kampung untuk membawa tanah kelahiranku ini menjadi lebih baik.” Sofia membuat nada suaranya seimut mungkin. Sampai-sampai ia mual sendiri mendengarnya.
“Memangnya, apa yang mau kamu tahu, Sofia? Abangmu ini bisa mengajarimu lebih baik dari dosen manapun di dunia.” Wira menggosok kepala Sofia penuh kasih.
“Banyak, dong, Bang, aku pengin tahu soal cara menanam bibit sampai menjadi hasil panen berlimpah dan berkualitas baik.”
“Bisa Abang ajarkan, gampang lah itu.” Wira melanjutkan menyantap sisa makanannya dengan santai.
Keesokan harinya, Sofia dibangunkan oleh kecupan hangat dari sang suami.
“Pulas sekali tidurmu, Dek. Sampai-sampai Abang mandi dan bersiap begini, kamu masih terlelap,” goda Wira cengengesan. “Capek sekali kamu Abang buat semalam, eh.”
Sofia menangkup wajah, menyembunyikan malu.
“Jam berapa ini, Bang?” tanya Sofia dengan suara serak. Ia menggeliat bangun, dan meregangkan otot.
Diliriknya Wira yang memperhatikan tubuh Sofia sambil tersenyum. Serta merta si gadis memeluk dirinya sendiri. Malu karena mendadak teringat kesibukan mereka semalam.
“Sudah mau jam enam⸻”
“Jam enam? Kenapa Abang nggak bangunin aku dari tadi? Aku, kan, belum subuhan.”
“Ya shalat, lah, sekarang.” Wira cekikikkan melihat Sofia melompat dari ranjang dan tunggang langgang menuju kamar mandi.
Setelah mandi, seperti biasa Sofia langsung menyiapkan sarapan untuk sang suami. Mereka makan bersama, sambil mengobrol ringan.
“Omong-omong, Brian kok nggak ikut sarapan?” Sofia mendadak berhenti mengunyah, dan celingukan cemas mencari keberadaan teman sekaligus anak tirinya tersebut.
“Dia pergi trekking subuh tadi, sama teman-teman sepedanya.” Wira memberi tahu.
“Lho, bukannya Abang menyita sepeda Brian?” Sofia mengerjapkan mata, menatap Wira yang menunduk.
“Yah … dia sudah janji akan lebih sopan sama kamu mulai sekarang, Sayang. Abang nggak punya alasan untuk menahan sepedanya lebih lama.” Wira beralasan. Padahal Sofia tahu betul, rasa sayangnya lah yang membuat Wira membatalkan sanksi penyitaan itu.
“Kalau dia membangkang lagi, atau bikin kamu kesal, bilang Abang, ya. Biar Abang sita lagi sepedanya.” Wira tersenyum pada Sofia yang kini tergelak.
Gadis itu mengangguk tanpa debat. Dalam hatinya ia sendiri tahu, Wira tidak akan tega menghukum Brian sedemikian keras hanya karena anak itu bersikap arogan.
Setelah mengantar Wira sampai ke sisi mobil untuk pergi berkegiatan hari itu, Sofia kembali masuk ke rumah. Ia mengambil kaus Brian yang dipakainya kemarin, lalu mencucinya sendiri tanpa bantuan asisten.
Menjelang sore, baik Brian maupun Wira belum ada yang kembali. Sofia yang menghabiskan waktu di dalam perpustakaan pribadi Wira, bergegas ke halaman belakang untuk mengambil kaus Brian dari jemuran, kemudian menyetrikanya.
Setelah memastikan baju sang anak tiri rapi dan wangi, Sofia membawanya ke kamar Brian dan menaruh kaus itu di atas meja belajar.
Wira kembali pulang sebelum jam makan malam. Sofia yang tengah sibuk menyiapkan makan malam di dapur, langsung melepas apron memasak dan menyambut kedatangan sang suami.
“Sudah pulang, Bang?” Sofia mengambil jaket yang dilepas Wira, dan membiarkan pria gagah itu mencium pipinya mesra.
“Maaf terlambat, ada yang harus Abang urus di kota siang tadi. Jalanan macet, baru sampai kampung setelah Isya begini.” Wira mengusap wajah letih.
“Biar kusiapkan air hangat untuk Abang mandi, ya. Setelah itu, baru kita makan sama-sama.” Sofia mengusap lengan kokoh Wira yang langsung membelit di pinggangnya.
“Kamu sempurna sekali, Sayang. Sudah cantik, baik, pengertian. Ingatkan Abang untuk memperluas tanah kebun orangtuamu besok, ya. Semuanya gratis, tidak masuk catatan utang.” Wira menciumi kepala Sofia.
“Jangan berlebihan,” ucap Sofia tenang.
Wira merengut. “Nggak berlebihan, dong. Abang sangat bersyukur punya istri seperti kamu, dan sudah selayaknya juga Abang berterima kasih pada orangtuamu yang sudah melahirkan anak seperti kamu ke dunia untuk Abang nikahi. Sepetak tanah nggak sebanding dengan kebahagiaan Abang memiliki kamu.”
Wajah Sofia memerah. Ia menatap lengan Wira yang semakin erat memeluknya.
“Bang, boleh aku tanya sesuatu?” ucap Sofia lirih.
“Tanya saja.”
“Benarkah Abang menikahiku karena cinta? Bukan untuk tebusan utang semata?”
Wira tersenyum lembut. Dibelainya pipi kemerahan Sofia, lalu mengecupnya pelan.
“Seandainya Abang katakan kalau utang itu hanya alasan belaka agar Abang bisa menikahi kamu, apa kamu akan marah?” Suara Wira terdengar sangat lembut di telinga Sofia.
Gadis itu menatap suaminya sungguh-sungguh. “Kenapa aku harus marah?”
Wira mengedikkan bahu. “Mungkin, kamu merasa aku sudah memanipulasi kehidupanmu.”
“Orangtuaku tidak bisa membayar utang itu diluar rencana, Bang. Orang-orang bilang, aku beruntung harus membayar dengan menikahi Abang, bukan diusir seperti kebanyakan para warga lain yang menunggak.”
“Awalnya aku nggak setuju karena kupikir menikahi manusia paling galak di muka bumi akan jadi kesengsaraan tak berujung. Tapi ….” Sofia diam sejenak saat menatap air muka Wira yang berubah.
Bukan marah, pria itu malah menahan gemas tak tertahan dengan gigi saling terkatup dan senyum mengembang.
“Tapi?” pancing Wira tak sabar.
“Tapi ternyata Abang memperlakukan aku sangat baik.” Sofia menyentuh dada Wira dengan jemari, mengagumi kegagahan di balik kulit langsatnya yang mungil.
Wira mengikuti arah manik mata Sofia yang berkilauan indah, dan menggenggam tangan kecil itu erat.
Menelan ludah, Wira membawa jemari mungil dalam genggamannya ke kelopak bibir dan mengecup lembut ujung lentiknya yang harum.
“Abang mencintaimu, Sofia. Lebih dari yang bisa kamu rasakan.” Wira bicara dengan mata terpejam. Suaranya rendah tak jelas, seperti deburan ombak di bibir pantai yang timbul tenggelam.
Tanpa kata, tangan Wira menjamah kedua pipi halus Sofia yang kini kemerahan karena desakan emosinya sendiri. Gadis itu tidak mengerti apa yang membuat jantungnya memompa seribu kali lebih cepat dari biasanya. Ia bisa merasakan seluruh darahnya terpompa naik di kepala, berpadu dengan napas panas Wira yang menerpa wajah, hingga membuatnya pusing.
Meniru Wira, Sofia memejamkan mata tepat ketika birai bibir keduanya saling terpagut. Lama dan lembut. Saling mencari kekosongan yang lama tak bertuan. Hasrat yang sejak dulu ada namun tertahan.
Sebelah tangan Wira meninggalkan pipi Sofia dan beralih ke lekukan pinggangnya yang molek. Ditariknya mendekat tubuh ramping itu hingga tiada jarak. Si gadis bahkan bisa merasakan keras garis otot perut sang suami, membuat hatinya semakin bergolak.
Keduanya terombang-ambing badai asmara hingga sekitar tak lagi berarti. Seolah kaki-kaki mereka melayang meninggalkan lantai dapur, terbang tinggi ke awang-awang. Tak tahu sepasang mata menatap keduanya dengan cibiran tak suka.
Brak!
“Brian laper! Sudah boleh makan?” Brian Mahesa mengempaskan diri di kursi dapur dan menatap hasil masakan Sofia yang mulai dingin sambil cemberut.“Brian!” Wira terlonjak kaget dan menjauh dari wajah Sofia yang semakin padam. “Maaf, kami ….”“Nggak apa-apa, aku nggak lihat.” Brian menjawil tahu goreng dan melahapnya acuh. “Makan, Pa.”Tanpa mempedulikan dua insan yang salah tingkah di hadapannya, Brian memenuhi piring dengan nasi dan lauk hasil masakan Sofia lalu makan.Wira bergerak grogi persis seperti remaja yang tertangkap basah bermesraan dengan kekasih di koridor kelas.“Kamu pulang, kok, nggak bilang-bilang.” Wira mengambil tempat di hadapan Brian dan membalik piring kosong yang tergelincir di jemarinya yang licin.“Hati-hati, Bang.” Sofia dengan sigap menahan pi
“Nggak lucu!” alis tebal Brian saling terpaut, tanda Sofia telah berhasil menangani tingkah angkuhnya dengan baik.“Aku nggak ngelucu. Keren lagi, lo… gue… seasyik itu jadi mahasiswa, ya, Yan?” Sofia menopang dagu dan menatap Brian menggoda.Brian melempar tatapan mencela. “Tahun depan kamu ngerasain juga, kan, jadi mahasiswa. Setelah berhasil merayu papa untuk nguliahin kamu, terus mau minta apa lagi? Mobil biar sekalian keren?”Sofia melirik langit-langit dengan gaya manja yang dibuat-buat, senang bukan kepalang melihat tampang sebal Brian yang susah payah menahan diri untuk tidak menyerangnya.“Hm, menurut kamu apa itu perlu?” Sofia balik bertanya.Sudut bibir Brian otomatis terangkat naik. “Minta aja, papa pasti kasih, toh, sudah kadung basah kamu morotin harta papa!”“Morotin
Sofia tengah menyiram bunga di halaman depan ketika Brian datang dengan sepeda downhillnya yang lagi-lagi dikendalikan sedemikian rupa hingga nyaris menabrak Sofia.“Dari mana kamu anak nakal?” kata Sofia tenang tanpa mengalihkan pandang dari tangkai-tangkai mawar yang mulai berbunga.Brian mencibir sebal. “Nggak usah berlagak kayak ibu tiri, deh.”“Memang aku ibu tirimu,” Sofia membelai satu mawar kuning dan menciumnya dengan mata terpejam.Seulas senyuman puas tergambar di wajah cantiknya. Sudah lama ia mengagumi taman kediaman sang juragan tanah yang mengusung konsep ala Mediterania. Mahawira Anggabaya memang memiliki selera tinggi dalam segala hal.“Ya, cocok sih kamu jadi ibu tiri.” Brian melompat dari sepeda dan menyimpannya asal hingga menyenggol beberapa bunga yang baru disiram Sofia.“Memang benar
“Sayang, soal itu… ada baiknya nggak usah kita bahas terutama di depan Brian, ya. Kamu nggak perlu tahu soal ibunya Brian, karena dengan tahu pun nggak akan berpengaruh apa-apa buat kita, dan nggak akan membuat masa depan Brian lebih baik.” Bayang suram menggantung di manik mata Wira yang biasa menyorot tangguh, menyisipkan rasa takut yang coba diabaikan Sofia.“Maaf,” lirihnya pelan.Wira menyapu kerisauan istrinya dengan sebuah senyuman lebar memukau. Diusapnya lembut kepala Sofia yang wangi.“Sudah makan malam?” tanyanya lembut.Sofia menggeleng. “Menunggu Abang.”“Terima kasih, lho. Maaf, ya, Abang pulang terlambat. Jalanan macet, dan diskusi dengan pemasok agak alot tadi.”“Abang pasti capek banget, ya.” Sofia menelaah wajah letih suaminya. “Aku siapkan air hangat untuk
Tak sampai disitu, Wira yang seperti kesetanan menarik Sofia yang masih merintih dan menggiringnya ke luar kamar.“Bang!” lirih Sofia lemah. Ia tak bisa melakukan apapun selain mengimbangi langkah cepat Wira agar dirinya tidak terjatuh.Wira tidak berhenti hingga tiba di halaman rumah. Ajudannya, Ajat, tengah asyik mencuci mobil sambil bersenandung lagu dangdut kesukaannya.“Jatuh bangun akuuu mengejarmuuu… hu… hu…”“Ajat!” Wira meraung garang. “Kunci.” Ia menadahkan tangan, menagih.“Eh… iya mengejar… mengejar ayam!” Ajat yang terkejut nyaris mengarahkan selang air pada tuannya kalau saja tidak ada badan mobil di antara mereka yang menghalangi.“Kunci mobil kemarikan, Ajat!” Wira kembali berteriak tak sabar.“Eh, iya ini, Gan!
Sofia memejamkan mata, tak sanggup jika harus melihat Wira menyerang Rean. Namun suaminya itu malah berpaling dan masuk ke mobil.Sofia menghela napas. Kepalanya terus tertunduk seolah beban dunia ada di tengkuknya yang malang. Gadis itu akhirnya ikut berpaling, namun saat ia hendak melangkah menyusul Wira ke mobil, Rean memanggilnya pelan. Begitu lirih hingga Sofia mengira itu hanyalah suara desiran angin semata.“Sofia ….”Gadis itu menyentuh dada yang terasa nyeri. Satu kata singkat yang keluar dari bibir Rean telah mengirisnya begitu perih.Ia ingin menoleh, menghampiri lelakinya yang terluka. Bertanya tentang keadaannya. Sakitkah itu, bisakah ia berjalan, sudahkah ia mendapatkan pengobatan sesuai. Namun tak ada keberanian tersisa. Wajah marah Wira membayang di pelupuk mata.Sofia menahan tangis seraya mengayun langkah berat menyusul sang suami yang sudah l
“Bapak!” Sofia memeluk tubuh renta itu kuat-kuat, enggan menjauh. Tangan keriput Susanto mengusap kepala Sofia gemetaran.“Apa kabarmu, Nak?”“Baik, Pak.” Sofia terisak.“Kenapa menangis?”“Fia kangen Bapak.”“Bapak juga kangen sama kamu.” Susanto meraih bahu Sofia dan mendorongnya lembut. Ditelititnya wajah sang anak dengan seksama.“Kamu semakin cantik, Sofia, apa kamu bahagia?”Sofia menelan ludah. Ia ingin meluapkan segala kegelisahannya pada sang ayah, namun separuh hatinya tidak tega menambah beban pria tua itu.Ayahnya telah tersiksa rasa bersalah karena perkawinan paksa dengan Mahawira, dan Sofia tidak mau menambah pikulan bobot di pundak sang ayah dengan kisah deritanya.“Fia bahagia, Pak. Abang memp
“Sofia, sayang, ayo makan dulu. Ibu masak sop daging kesukaanmu banyak sekali. Kamu boleh nambah sepuasnya, Nak. Uang kami lebih dari cukup untuk membeli segala macam daging yang susah kamu dapat dulu.” Dasimah menggelendot di lengan anaknya.“Nggak usah, Bu. Fia sudah makan.” Sofia tersenyum getir. “Fia cuma mau rebahan di kamar. Kangen rasanya sama ranjangku.”“Alah, ranjang butut begitu kok dikangenin. Ranjangmu di rumah Juragan pasti lebih besar, lho, Nak. Tadinya mau Ibu buang kasur bututmu itu.”“Eh, jangan, Bu. Buat kenang-kenangan.”“Kenang-kenangan itu harus yang menyenangkan, Nak. Masa kasur dekil begitu kamu jadikan kenangan.” Dasimah menggerutu tidak senang.Sofia tertawa kecil. “Banyak hal menyenangkan yang Sofia rasakan sepanjang hidup dan kasur itu jadi saksinya.” Ia mengusap lengan
“Aku bisa bantu bicara sama papamu soal jurusan yang kamu nggak suka itu,” Sofia mundur beberapa langkah agar bisa melihat wajah Brian dengan baik.Lelaki itu bengong sesaat sebelum kemudian berdecak dan tertawa mengejek. “Mana mungkin bisa! Aku sudah rayu papa jauh sebelum ini. Dia tetap ingin aku kuliah peternakan. Kamu tahu sendiri alasannya.”Sofia mengedikkan bahu. “Ya, siapa tahu.”Brian menepis udara sebelum kembali melanjutkan langkahnya menuju gedung administrasi fakultas.Sementara Brian sibuk mengurus keperluan semester, Sofia berjalan-jalan di sekitar gedung fakultas peternakan.Gedung itu masih mempertahankan arsitektur zaman dahulu. Lorong-lorongnya punya langit-langit tinggi dari bebatuan. Pepohonan rindang memagari sekeliling fakultas. Sofia menyukai anginnya, hawa sejuknya, suara gemerisik dedaunan yang saling beradu, suara cericit burung yang riang, dan kepingan sinar matahari yang jatuh dari antara kanopi dahan-dahan pohon.“Sofia!” Brian berseru dari lobi fakultas.
“Mamamu ingin ikut lihat-lihat kampus, Nak. Ajaklah sekalian kamu urus administrasi hari ini.”“Aduh,” Brian mengeluh keras-keras, membuat Sofia semakin mengerut di kursinya. “Ada-ada aja, deh. Ngapain, sih, ngikutin aku ke kampus? Kayak nggak ada kerjaan aja!”“Iya, lebih baik aku nggak jadi ikut, deh, Bang.” Sofia buru-buru mengamini. “Masih banyak pekerjaan rumah yang bisa aku kerjakan.”“Apa itu?” Kening Wira mengerut dalam. “Kamu tidak boleh menyentuh pekerjaan rumah lagi, Sofia, kamu ini aku nikahi untuk kujadikan isteri, bukan pembantu! Brian, ajak mamamu ke kampus hari ini. Lagipula, tahun depan kalian kuliah di kampus yang sama, bahkan satu jurusan. Kalian harus terbiasa saling membantu, karena di kemudian hari, kalian akan bekerja sama memajukan sektor peternakan kampung kita.”Brian berdecak sebal. Ia sudah tak berselera menghabiskan sarapannya yang tinggal beberapa suap saja.Dengan wajah masam, Brian menyambar tasnya lalu pergi. “Aku tunggu di mobil! Lima menit nggak ada,
Sofia membiarkan kulit tangannya dingin di bawah kucuran air keran sejak setengah jam lalu. Tak banyak piring kotor yang bisa ia cuci, tapi ia tidak beranjak dari tempat pencucian.Seharian penuh gadis itu tidak beranjak dari dapur. Ia memasak, mencuci, menyapu, melakukan banyak hal hingga membuat Wira bosan melarang.“Kalau begini, si Mbak bisa makan gaji buta gara-gara semua pekerjaannya kamu kerjakan,” keluh Wira sambil meneguk habis jus jeruknya yang disediakan Sofia pagi tadi.“Tidak apa-apa, aku senang melakukan semua pekerjaan ini.” Sofia tersenyum hambar. “Aku sudah terbiasa bergerak, jadi kalau tidak ada kerjaan badanku sakit semua.”“Masa, sih.” Wira meneliti gerak gerik isterinya yang kini sibuk memotong bawang dan sayur. “Kalau cuma harus bergerak, nggak mesti mengerjakan pekerjaan rumah, kan?”Sofia mengalihkan pandang sejenak dari potongan sayurnya lalu tersenyum. “Benar. Tapi nggak ada hal lain yang bisa aku lakukan.”Kening Wira mengerut. “Sudah Abang bilang, kalau per
“Jika lima menit ke depan Rean tidak datang, maka, kemenangan mutlak menjadi milik Brian. Anak itu harus angkat kaki dari kampung ini!” Suara menggelegar Wira memantul ke lereng-lereng bukit yang disesaki para warga kampung.Semua orang saling berbisik. Kaki bukit itu senyap tapi tidak dengan hati Sofia yang bergemuruh. Badai petir menyambar-nyambar hingga telinganya tuli. Bahkan ia tak bisa lagi mendengar ucapan suaminya sendiri.Tangan gagah Wira yang melingkari pinggangnya bertengger begitu saja tanpa mengaitkan perasaan seperti biasa. tanah yang dipijak seolah bergoyang, tidak teguh.Sofia ingin menangis tapi air matanya tertahan rasa takut. Dan saat dilihatnya sosok tinggi kurus nan familiar melangkah tegar bersama sepeda kumbangnya yang menyedihkan, air mata itu leleh juga.“Saya di sini, Juragan.” Rean tersenyum lepas. “Maklumlah, sepeda tua. Tadi rantainya copot lagi dalam perjalanan ke sini. Nah, saya tidak terlambat, kan?”Wira membalas senyuman itu dengan sebuah cengiran pi
Sofia tengah merenung di atas ranjang masa kecilnya ketika Mahawira Anggabaya datang menjemput.“Dia dia terus di kamar sejak Den Juragan pergi tadi pagi,” ujar Dasimah nelangsa. Sebuah kesedihan yang terlalu dibuat-buat.“Ada apa, Sofia?” Suara lembut Wira semakin menambah perih hatinya. Bagaimana tidak, hati si pria yang baik ternyata masih menjadi duri tajam yang kerap menyakiti orang lain.Sofia merasa tinggal menunggu gilirannya saja sampai ia melakukan suatu hal yang akan membuat sang juragan tanah marah dan mengusirnya seperti yang pria itu lakukan pada warga lain.“Nggak ada apa-apa. Aku hanya kangen kamarku, itu saja.”“Kamu mau menginap di sini barang sehari dua hari?” tawar Wira seraya duduk di sisi Sofia dan membelai lembut kepala si gadis.Sofia menggeleng lemah. “Nggak. Nggak mau.”Di kamarnya, wajah Rean dan gulungan memori masa lalu kerap terbayang. Ia tak sanggup jika harus bermalam di sana, dianiaya nostalgia. “Sudah makan?” tanya Wira lagi dengan kesabaran seorang
“Sofia, sayang, ayo makan dulu. Ibu masak sop daging kesukaanmu banyak sekali. Kamu boleh nambah sepuasnya, Nak. Uang kami lebih dari cukup untuk membeli segala macam daging yang susah kamu dapat dulu.” Dasimah menggelendot di lengan anaknya.“Nggak usah, Bu. Fia sudah makan.” Sofia tersenyum getir. “Fia cuma mau rebahan di kamar. Kangen rasanya sama ranjangku.”“Alah, ranjang butut begitu kok dikangenin. Ranjangmu di rumah Juragan pasti lebih besar, lho, Nak. Tadinya mau Ibu buang kasur bututmu itu.”“Eh, jangan, Bu. Buat kenang-kenangan.”“Kenang-kenangan itu harus yang menyenangkan, Nak. Masa kasur dekil begitu kamu jadikan kenangan.” Dasimah menggerutu tidak senang.Sofia tertawa kecil. “Banyak hal menyenangkan yang Sofia rasakan sepanjang hidup dan kasur itu jadi saksinya.” Ia mengusap lengan
“Bapak!” Sofia memeluk tubuh renta itu kuat-kuat, enggan menjauh. Tangan keriput Susanto mengusap kepala Sofia gemetaran.“Apa kabarmu, Nak?”“Baik, Pak.” Sofia terisak.“Kenapa menangis?”“Fia kangen Bapak.”“Bapak juga kangen sama kamu.” Susanto meraih bahu Sofia dan mendorongnya lembut. Ditelititnya wajah sang anak dengan seksama.“Kamu semakin cantik, Sofia, apa kamu bahagia?”Sofia menelan ludah. Ia ingin meluapkan segala kegelisahannya pada sang ayah, namun separuh hatinya tidak tega menambah beban pria tua itu.Ayahnya telah tersiksa rasa bersalah karena perkawinan paksa dengan Mahawira, dan Sofia tidak mau menambah pikulan bobot di pundak sang ayah dengan kisah deritanya.“Fia bahagia, Pak. Abang memp
Sofia memejamkan mata, tak sanggup jika harus melihat Wira menyerang Rean. Namun suaminya itu malah berpaling dan masuk ke mobil.Sofia menghela napas. Kepalanya terus tertunduk seolah beban dunia ada di tengkuknya yang malang. Gadis itu akhirnya ikut berpaling, namun saat ia hendak melangkah menyusul Wira ke mobil, Rean memanggilnya pelan. Begitu lirih hingga Sofia mengira itu hanyalah suara desiran angin semata.“Sofia ….”Gadis itu menyentuh dada yang terasa nyeri. Satu kata singkat yang keluar dari bibir Rean telah mengirisnya begitu perih.Ia ingin menoleh, menghampiri lelakinya yang terluka. Bertanya tentang keadaannya. Sakitkah itu, bisakah ia berjalan, sudahkah ia mendapatkan pengobatan sesuai. Namun tak ada keberanian tersisa. Wajah marah Wira membayang di pelupuk mata.Sofia menahan tangis seraya mengayun langkah berat menyusul sang suami yang sudah l
Tak sampai disitu, Wira yang seperti kesetanan menarik Sofia yang masih merintih dan menggiringnya ke luar kamar.“Bang!” lirih Sofia lemah. Ia tak bisa melakukan apapun selain mengimbangi langkah cepat Wira agar dirinya tidak terjatuh.Wira tidak berhenti hingga tiba di halaman rumah. Ajudannya, Ajat, tengah asyik mencuci mobil sambil bersenandung lagu dangdut kesukaannya.“Jatuh bangun akuuu mengejarmuuu… hu… hu…”“Ajat!” Wira meraung garang. “Kunci.” Ia menadahkan tangan, menagih.“Eh… iya mengejar… mengejar ayam!” Ajat yang terkejut nyaris mengarahkan selang air pada tuannya kalau saja tidak ada badan mobil di antara mereka yang menghalangi.“Kunci mobil kemarikan, Ajat!” Wira kembali berteriak tak sabar.“Eh, iya ini, Gan!