Sofia menatapnya lega. “Brian! Papamu nyari-nyari sampai kampung seb⸻”
“Sssst!” Brian meraih bahu Sofia, dan menyeretnya menjauh.
“Kamu mau bikin aku malu di depan teman-teman, hah?” omelnya jengkel.
Sofia mengerutkan kening. “Ayo pulang, papamu pasti khawatir.”
“Bawel, deh! Dasar ibu tiri!”
“Terserah kamu mau ngomong apa, aku nggak akan marah. Yang penting kamu pulang, ya,” bujuk Sofia, meraih tangan Brian yang langsung menepisnya kasar.
“Nggak mau! Ini kan tujuan kamu, menyingkirkan aku agar kamu bisa menguasai papa seutuhnya?”
“Brian ….” Sofia memijat keningnya putus asa, “Aku nggak ada niat buruk sama sekali, sungguh. Pernikahan aku sama papamu, murni karena masalah utang yang nggak bisa dibayar orangtuaku. Kamu benar, aku ini murahan, hargaku nggak lebih mahal dari satu hektar ladang ayahku.”
Melihat Sofia merendahkan diri seperti itu, membuat Brian bungkam.
“Pulang, ya …” Sofia menautkan jemari, memohon di hadapan Brian.
Brian memalingkan wajah, dan berdecak kesal, “Nanti, agak malam.”
Sofia tersenyum lega.
“Brian …,” panggil Sofia pelan.
Brian melotot galak. “Apa lagi?”
“Tolong bayar dulu ongkos jeepnya, ya, aku dan Haris sama-sama nggak punya uang.”
Brian membeliak, “Astaga!”
Walaupun kesal, Brian tetap bertanggung jawab dengan membayar ongkos jeep Sofia dan Haris.
Sofia duduk di bangku warung kopi, sementara Brian dan Haris berbincang hangat dengan komunitas sepeda downhill.
Sofia tengah menikmati sinar keemasan matahari yang sebentar lagi terbenam ke balik bukit, saat Brian menyodorkan segelas susu panas padanya.
“Kenapa nggak pakai jaket? Angin di sini besar, kalau nanti masuk angin, papa marahin aku lagi!”
Sofia meneguk susu manis yang terasa hangat di tenggorokan.
“Pulang sekarang, yuk!” ajaknya pada Brian.
“Nggak,” jawab Brian ketus. “Masih ada yang harus aku obrolin sama mereka.” Brian menunjuk kumpulan teman-temannya dengan dagu.
Brian bangkit berdiri, dan melepas kaus panjang yang ia pakai di atas kaus berlengan pendek, lalu menyodorkannya pada Sofia.
“Pakai ini sampai aku selesai mengobrol. Aku nggak mau dimarahi papa lagi gara-gara kamu masuk angin.”
Sofia menerimanya dan memakai kaus itu sambil tersenyum. Kemudian, ia kembali menikmati susu panas sambil menyaksikan matahari pulang ke peraduan.
Itulah pertama kalinya Sofia melihat fenomena menakjubkan dari atas bukit. Sinar keemasan mentari jatuh ke wajahnya yang cantik, hingga perlahan menggelap.
Di antara teman-temannya, Brian mencuri pandang pada sosok Sofia yang duduk di bangku warung kopi. Walaupun langit sudah sepenuhnya gelap, gadis itu berpendar sendiri, seolah-olah kulitnya memancarkan cahaya.
“Ris, kamu bawa sepedaku pulang, ya. Aku menumpang jeep sama Sofia.” Brian bangkit berdiri, dan berpamitan pada seluruh anggota komunitas.
Ia menghampiri Sofia dan berkata sinis, “Ayo pulang!”
Tanpa perlu disuruh dua kali, Sofia langsung bangkit berdiri. Ia mengekor Brian yang menuju jeep Mang Tono.
“Turun, Mang,” ucap Brian pada sopir.
“Siap, Den! Nggak trekking pakai sepeda?” tanya sopir sambil memasang topi baret andalannya.
“Haris yang bawa, Mang.”
Sopir itu nyengir sebagai tanggapan.
Brian naik lebih dulu tanpa membantu Sofia yang kesulitan memanjat ke atas mobil beroda besar tersebut.
“Jadi si Neng teh pacarnya Den Brian atau Haris? Tadi datang sama Haris, pulang sama Den Brian,” seloroh si sopir iseng.
Brian berdecak malas. “Jalan deh, Mang,” katanya enggan menanggapi gurauan sopir.
Sofia duduk di sisi Brian. Angin malam menyibak rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai.
“Papamu sampai pergi ke kampung sebelah untuk mencari kamu, Yan,” ucap Sofia menatap jurang gelap di sisinya.
“Ngapain aku pergi ke kampung sebelah, anak-anak kampung sebelah aja mencari bukit yang bagus ke sini.”
“Pak Ajat nggak bisa menemukan kamu dimanapun. Katanya dia sudah keliling kampung seharian kemarin.”
Brian mendengus. “Kok kamu tahu aku di sini?”
“Haris yang kasih tahu.”
“Haris nggak kasih tahu Pak Ajat?”
Sofia mengangkat bahunya. “Mungkin Pak Ajat nggak nanya.”
“Lho, katanya tadi Pak Ajat keliling kampung nyari aku. Dia nggak mampir ke rumah Haris?” Brian tertawa mengejek.
Sofia menoleh menatap Brian yang menghindari matanya. “Pak Ajat cuma nanya kamu ada di rumah Haris atau nggak, jelas Haris jawab nggak.”
“Kalo kamu?” tanya Brian pada kelebatan tebing yang memagar di sepanjang lereng.
“Aku tanya, kemana kamu biasa pergi kalau lagi marah.”
Brian tergelak. “Hampir setiap hari aku pergi ke bukit, nggak cuma kalau lagi marah.”
Sofia diam tidak menanggapi, hingga Brian berkata lemah, “Papa bahkan nggak tahu itu, kan?”
“Dia kan nggak suka ikut naik gunung sama kamu, kayak Haris,” bela Sofia, “Wajar papamu nggak tahu.”
“Dih, ngebelain,” sindir Brian mencibir.
“Itu faktanya, Brian.” Sofia berkata bijak.
Brian menyugar rambutnya yang tertiup angin.
Mereka saling diam untuk beberapa saat lamanya, hingga Brian berkata lagi dengan nada datar, “Aku minta maaf.”
Sofia menoleh cepat. Ditatapnya Brian tidak percaya.
“Apa?” kata Sofia memiringkan kepala.
Brian mendengus kesal. Ditatapnya balik Sofia dengan sorot tajam, “Besok, ambil kartu debit papa terus pakai periksa ke THT, jangan malah dibagi-bagi ke warga!”
“Apaan, sih!” keluh Sofia, membuang wajah.
Brian bersandar ke punggung jok dan tertawa mengejek, “Nah, kan, nggak dengar lagi.”
“Bukan nggak dengar, aku cuma nggak paham kamu ngomong apa!”
“Kalau gitu uangnya pakai bimbel, biar pintar!”
“Ehm, permisi Neng cantik, Den Juragan, kita sudah sampai,” sela sopir mengintrupsi.
Brian celingukan, dan terkejut saat menyadari mereka sudah tiba di kaki bukit. Ia melompat turun, dan menyodorkan beberapa lembar ratusan ribu pada sopir.
“Terima kasih, Den,” sopir itu menerima uang Brian sambil membungkuk. Melihat Brian tidak menjawab, Sofia buru-buru mengambil alih.
“Sama-sama, Mang.”
“Terima kasih, Neng cantik, semoga langgeng sampai pelaminan sama Den Juragan.” Sopir itu mengedip jahil pada Sofia yang tergelak.
“Nggak ada yang lucu,” sindir Brian saat Sofia menyejajari langkahnya.
“Kamu kenapa, sih, marah-marah terus? Heran, deh, kalau lagi sama teman-teman sepeda kamu, kamu nggak galak kayak kamu sama warga kampung.”
Sudut bibir Brian menukik naik. “Untuk apa aku galakin teman-temanku sendiri?”
“Untuk apa kamu galakin wargamu sendiri?” balas Sofia membuat Brian kesal.
Brian menatap Sofia judes. “Karena kalau mereka dibaikin, nanti ngelunjak!”
“Masa? Contohnya?”
“Kamu lihat, digalakin aja masih banyak yang nunggak utang! Apalagi kalau dibaikin.”
Sofia menggeleng lemah. “Itu bukan ngelunjak, Brian, mereka terdesak keadaan. Kamu tahu Mang Somad yang siang tadi tanahnya mau papamu sita? Sekarang dia kritis di puskesmas, dan harus dibawa ke rumah sakit dengan biaya yang nggak sedikit.”
Brian berdecak malas. “Bukan urusanku,” katanya acuh.
“Apa kamu nggak kasihan? Mang Somad gagal panen selama lima bulan berturut-turut karena nggak bisa berkebun dengan benar. Dia sakit, Brian, dia sakit dan nggak punya uang.”
Kening Brian berkerut. “Terus?”
Sofia mengangkat wajah menatap Brian. Laki-laki itu balik menatap Sofia dengan sorot menyebalkannya yang biasa.
“Terus, apa hubungannya denganku?” seloroh Brian cuek.Sofia menggeleng lemah. “Keluarga kamu satu-satunya orang berduit di kampung ini. Kalian bisa bantu orang-orang seperti Mang Somad.”“Orang-orang seperti Mang Somad lah yang bikin usaha papa bangkrut! Coba kamu bayangin kalau warga kampung kredit macet semua, papa kena imbasnya, tahu! Makannya, jangan sok baik kamu sama warga kampung.”“Membantu sesama nggak akan bikin kamu jatuh miskin, Brian,” ucap Sofia tegas.Brian hanya berdecak mengejek.Mereka tiba di pekarangan luas rumah, dan mendapati mobil mewah Wira sudah terparkir di sana.Mahawira Anggabaya bergegas keluar rumah saat mengetahui kedatangan Sofia dan Brian.“Dari mana kamu, Brian? Papa mencari kamu sampai ke kampung lain!”“Sudahlah, Ban
“Hm?”“Soal kuliah, boleh nggak aku ngambil jurusan pertanian?” Sofia memasang tampang lugu, tahu betul hal itu bisa dengan mudah meluluhkan hati sang suami.Benar saja, Wira langsung menjawil hidung Sofia gemas, dan menanggalkan sikap arogannya tadi.“Kan sudah Abang bilang, Abang ingin mengembangkan sektor peternakan di kampung ini. Ada baiknya, kamu dan Brian belajar soal peternakan yang Abang sendiri nggak kuasai. Jadi, kalian berdua bisa mengurusnya dengan baik di kemudian hari, Sayang.”“Tapi, dari dulu cita-citaku ingin seperti Abang, belajar tentang pertanian sampai ke luar negeri, dan pulang kampung untuk membawa tanah kelahiranku ini menjadi lebih baik.” Sofia membuat nada suaranya seimut mungkin. Sampai-sampai ia mual sendiri mendengarnya.“Memangnya, apa yang mau kamu tahu, Sofia? Abangmu ini bisa mengajarimu lebih
“Brian laper! Sudah boleh makan?” Brian Mahesa mengempaskan diri di kursi dapur dan menatap hasil masakan Sofia yang mulai dingin sambil cemberut.“Brian!” Wira terlonjak kaget dan menjauh dari wajah Sofia yang semakin padam. “Maaf, kami ….”“Nggak apa-apa, aku nggak lihat.” Brian menjawil tahu goreng dan melahapnya acuh. “Makan, Pa.”Tanpa mempedulikan dua insan yang salah tingkah di hadapannya, Brian memenuhi piring dengan nasi dan lauk hasil masakan Sofia lalu makan.Wira bergerak grogi persis seperti remaja yang tertangkap basah bermesraan dengan kekasih di koridor kelas.“Kamu pulang, kok, nggak bilang-bilang.” Wira mengambil tempat di hadapan Brian dan membalik piring kosong yang tergelincir di jemarinya yang licin.“Hati-hati, Bang.” Sofia dengan sigap menahan pi
“Nggak lucu!” alis tebal Brian saling terpaut, tanda Sofia telah berhasil menangani tingkah angkuhnya dengan baik.“Aku nggak ngelucu. Keren lagi, lo… gue… seasyik itu jadi mahasiswa, ya, Yan?” Sofia menopang dagu dan menatap Brian menggoda.Brian melempar tatapan mencela. “Tahun depan kamu ngerasain juga, kan, jadi mahasiswa. Setelah berhasil merayu papa untuk nguliahin kamu, terus mau minta apa lagi? Mobil biar sekalian keren?”Sofia melirik langit-langit dengan gaya manja yang dibuat-buat, senang bukan kepalang melihat tampang sebal Brian yang susah payah menahan diri untuk tidak menyerangnya.“Hm, menurut kamu apa itu perlu?” Sofia balik bertanya.Sudut bibir Brian otomatis terangkat naik. “Minta aja, papa pasti kasih, toh, sudah kadung basah kamu morotin harta papa!”“Morotin
Sofia tengah menyiram bunga di halaman depan ketika Brian datang dengan sepeda downhillnya yang lagi-lagi dikendalikan sedemikian rupa hingga nyaris menabrak Sofia.“Dari mana kamu anak nakal?” kata Sofia tenang tanpa mengalihkan pandang dari tangkai-tangkai mawar yang mulai berbunga.Brian mencibir sebal. “Nggak usah berlagak kayak ibu tiri, deh.”“Memang aku ibu tirimu,” Sofia membelai satu mawar kuning dan menciumnya dengan mata terpejam.Seulas senyuman puas tergambar di wajah cantiknya. Sudah lama ia mengagumi taman kediaman sang juragan tanah yang mengusung konsep ala Mediterania. Mahawira Anggabaya memang memiliki selera tinggi dalam segala hal.“Ya, cocok sih kamu jadi ibu tiri.” Brian melompat dari sepeda dan menyimpannya asal hingga menyenggol beberapa bunga yang baru disiram Sofia.“Memang benar
“Sayang, soal itu… ada baiknya nggak usah kita bahas terutama di depan Brian, ya. Kamu nggak perlu tahu soal ibunya Brian, karena dengan tahu pun nggak akan berpengaruh apa-apa buat kita, dan nggak akan membuat masa depan Brian lebih baik.” Bayang suram menggantung di manik mata Wira yang biasa menyorot tangguh, menyisipkan rasa takut yang coba diabaikan Sofia.“Maaf,” lirihnya pelan.Wira menyapu kerisauan istrinya dengan sebuah senyuman lebar memukau. Diusapnya lembut kepala Sofia yang wangi.“Sudah makan malam?” tanyanya lembut.Sofia menggeleng. “Menunggu Abang.”“Terima kasih, lho. Maaf, ya, Abang pulang terlambat. Jalanan macet, dan diskusi dengan pemasok agak alot tadi.”“Abang pasti capek banget, ya.” Sofia menelaah wajah letih suaminya. “Aku siapkan air hangat untuk
Tak sampai disitu, Wira yang seperti kesetanan menarik Sofia yang masih merintih dan menggiringnya ke luar kamar.“Bang!” lirih Sofia lemah. Ia tak bisa melakukan apapun selain mengimbangi langkah cepat Wira agar dirinya tidak terjatuh.Wira tidak berhenti hingga tiba di halaman rumah. Ajudannya, Ajat, tengah asyik mencuci mobil sambil bersenandung lagu dangdut kesukaannya.“Jatuh bangun akuuu mengejarmuuu… hu… hu…”“Ajat!” Wira meraung garang. “Kunci.” Ia menadahkan tangan, menagih.“Eh… iya mengejar… mengejar ayam!” Ajat yang terkejut nyaris mengarahkan selang air pada tuannya kalau saja tidak ada badan mobil di antara mereka yang menghalangi.“Kunci mobil kemarikan, Ajat!” Wira kembali berteriak tak sabar.“Eh, iya ini, Gan!
Sofia memejamkan mata, tak sanggup jika harus melihat Wira menyerang Rean. Namun suaminya itu malah berpaling dan masuk ke mobil.Sofia menghela napas. Kepalanya terus tertunduk seolah beban dunia ada di tengkuknya yang malang. Gadis itu akhirnya ikut berpaling, namun saat ia hendak melangkah menyusul Wira ke mobil, Rean memanggilnya pelan. Begitu lirih hingga Sofia mengira itu hanyalah suara desiran angin semata.“Sofia ….”Gadis itu menyentuh dada yang terasa nyeri. Satu kata singkat yang keluar dari bibir Rean telah mengirisnya begitu perih.Ia ingin menoleh, menghampiri lelakinya yang terluka. Bertanya tentang keadaannya. Sakitkah itu, bisakah ia berjalan, sudahkah ia mendapatkan pengobatan sesuai. Namun tak ada keberanian tersisa. Wajah marah Wira membayang di pelupuk mata.Sofia menahan tangis seraya mengayun langkah berat menyusul sang suami yang sudah l
“Aku bisa bantu bicara sama papamu soal jurusan yang kamu nggak suka itu,” Sofia mundur beberapa langkah agar bisa melihat wajah Brian dengan baik.Lelaki itu bengong sesaat sebelum kemudian berdecak dan tertawa mengejek. “Mana mungkin bisa! Aku sudah rayu papa jauh sebelum ini. Dia tetap ingin aku kuliah peternakan. Kamu tahu sendiri alasannya.”Sofia mengedikkan bahu. “Ya, siapa tahu.”Brian menepis udara sebelum kembali melanjutkan langkahnya menuju gedung administrasi fakultas.Sementara Brian sibuk mengurus keperluan semester, Sofia berjalan-jalan di sekitar gedung fakultas peternakan.Gedung itu masih mempertahankan arsitektur zaman dahulu. Lorong-lorongnya punya langit-langit tinggi dari bebatuan. Pepohonan rindang memagari sekeliling fakultas. Sofia menyukai anginnya, hawa sejuknya, suara gemerisik dedaunan yang saling beradu, suara cericit burung yang riang, dan kepingan sinar matahari yang jatuh dari antara kanopi dahan-dahan pohon.“Sofia!” Brian berseru dari lobi fakultas.
“Mamamu ingin ikut lihat-lihat kampus, Nak. Ajaklah sekalian kamu urus administrasi hari ini.”“Aduh,” Brian mengeluh keras-keras, membuat Sofia semakin mengerut di kursinya. “Ada-ada aja, deh. Ngapain, sih, ngikutin aku ke kampus? Kayak nggak ada kerjaan aja!”“Iya, lebih baik aku nggak jadi ikut, deh, Bang.” Sofia buru-buru mengamini. “Masih banyak pekerjaan rumah yang bisa aku kerjakan.”“Apa itu?” Kening Wira mengerut dalam. “Kamu tidak boleh menyentuh pekerjaan rumah lagi, Sofia, kamu ini aku nikahi untuk kujadikan isteri, bukan pembantu! Brian, ajak mamamu ke kampus hari ini. Lagipula, tahun depan kalian kuliah di kampus yang sama, bahkan satu jurusan. Kalian harus terbiasa saling membantu, karena di kemudian hari, kalian akan bekerja sama memajukan sektor peternakan kampung kita.”Brian berdecak sebal. Ia sudah tak berselera menghabiskan sarapannya yang tinggal beberapa suap saja.Dengan wajah masam, Brian menyambar tasnya lalu pergi. “Aku tunggu di mobil! Lima menit nggak ada,
Sofia membiarkan kulit tangannya dingin di bawah kucuran air keran sejak setengah jam lalu. Tak banyak piring kotor yang bisa ia cuci, tapi ia tidak beranjak dari tempat pencucian.Seharian penuh gadis itu tidak beranjak dari dapur. Ia memasak, mencuci, menyapu, melakukan banyak hal hingga membuat Wira bosan melarang.“Kalau begini, si Mbak bisa makan gaji buta gara-gara semua pekerjaannya kamu kerjakan,” keluh Wira sambil meneguk habis jus jeruknya yang disediakan Sofia pagi tadi.“Tidak apa-apa, aku senang melakukan semua pekerjaan ini.” Sofia tersenyum hambar. “Aku sudah terbiasa bergerak, jadi kalau tidak ada kerjaan badanku sakit semua.”“Masa, sih.” Wira meneliti gerak gerik isterinya yang kini sibuk memotong bawang dan sayur. “Kalau cuma harus bergerak, nggak mesti mengerjakan pekerjaan rumah, kan?”Sofia mengalihkan pandang sejenak dari potongan sayurnya lalu tersenyum. “Benar. Tapi nggak ada hal lain yang bisa aku lakukan.”Kening Wira mengerut. “Sudah Abang bilang, kalau per
“Jika lima menit ke depan Rean tidak datang, maka, kemenangan mutlak menjadi milik Brian. Anak itu harus angkat kaki dari kampung ini!” Suara menggelegar Wira memantul ke lereng-lereng bukit yang disesaki para warga kampung.Semua orang saling berbisik. Kaki bukit itu senyap tapi tidak dengan hati Sofia yang bergemuruh. Badai petir menyambar-nyambar hingga telinganya tuli. Bahkan ia tak bisa lagi mendengar ucapan suaminya sendiri.Tangan gagah Wira yang melingkari pinggangnya bertengger begitu saja tanpa mengaitkan perasaan seperti biasa. tanah yang dipijak seolah bergoyang, tidak teguh.Sofia ingin menangis tapi air matanya tertahan rasa takut. Dan saat dilihatnya sosok tinggi kurus nan familiar melangkah tegar bersama sepeda kumbangnya yang menyedihkan, air mata itu leleh juga.“Saya di sini, Juragan.” Rean tersenyum lepas. “Maklumlah, sepeda tua. Tadi rantainya copot lagi dalam perjalanan ke sini. Nah, saya tidak terlambat, kan?”Wira membalas senyuman itu dengan sebuah cengiran pi
Sofia tengah merenung di atas ranjang masa kecilnya ketika Mahawira Anggabaya datang menjemput.“Dia dia terus di kamar sejak Den Juragan pergi tadi pagi,” ujar Dasimah nelangsa. Sebuah kesedihan yang terlalu dibuat-buat.“Ada apa, Sofia?” Suara lembut Wira semakin menambah perih hatinya. Bagaimana tidak, hati si pria yang baik ternyata masih menjadi duri tajam yang kerap menyakiti orang lain.Sofia merasa tinggal menunggu gilirannya saja sampai ia melakukan suatu hal yang akan membuat sang juragan tanah marah dan mengusirnya seperti yang pria itu lakukan pada warga lain.“Nggak ada apa-apa. Aku hanya kangen kamarku, itu saja.”“Kamu mau menginap di sini barang sehari dua hari?” tawar Wira seraya duduk di sisi Sofia dan membelai lembut kepala si gadis.Sofia menggeleng lemah. “Nggak. Nggak mau.”Di kamarnya, wajah Rean dan gulungan memori masa lalu kerap terbayang. Ia tak sanggup jika harus bermalam di sana, dianiaya nostalgia. “Sudah makan?” tanya Wira lagi dengan kesabaran seorang
“Sofia, sayang, ayo makan dulu. Ibu masak sop daging kesukaanmu banyak sekali. Kamu boleh nambah sepuasnya, Nak. Uang kami lebih dari cukup untuk membeli segala macam daging yang susah kamu dapat dulu.” Dasimah menggelendot di lengan anaknya.“Nggak usah, Bu. Fia sudah makan.” Sofia tersenyum getir. “Fia cuma mau rebahan di kamar. Kangen rasanya sama ranjangku.”“Alah, ranjang butut begitu kok dikangenin. Ranjangmu di rumah Juragan pasti lebih besar, lho, Nak. Tadinya mau Ibu buang kasur bututmu itu.”“Eh, jangan, Bu. Buat kenang-kenangan.”“Kenang-kenangan itu harus yang menyenangkan, Nak. Masa kasur dekil begitu kamu jadikan kenangan.” Dasimah menggerutu tidak senang.Sofia tertawa kecil. “Banyak hal menyenangkan yang Sofia rasakan sepanjang hidup dan kasur itu jadi saksinya.” Ia mengusap lengan
“Bapak!” Sofia memeluk tubuh renta itu kuat-kuat, enggan menjauh. Tangan keriput Susanto mengusap kepala Sofia gemetaran.“Apa kabarmu, Nak?”“Baik, Pak.” Sofia terisak.“Kenapa menangis?”“Fia kangen Bapak.”“Bapak juga kangen sama kamu.” Susanto meraih bahu Sofia dan mendorongnya lembut. Ditelititnya wajah sang anak dengan seksama.“Kamu semakin cantik, Sofia, apa kamu bahagia?”Sofia menelan ludah. Ia ingin meluapkan segala kegelisahannya pada sang ayah, namun separuh hatinya tidak tega menambah beban pria tua itu.Ayahnya telah tersiksa rasa bersalah karena perkawinan paksa dengan Mahawira, dan Sofia tidak mau menambah pikulan bobot di pundak sang ayah dengan kisah deritanya.“Fia bahagia, Pak. Abang memp
Sofia memejamkan mata, tak sanggup jika harus melihat Wira menyerang Rean. Namun suaminya itu malah berpaling dan masuk ke mobil.Sofia menghela napas. Kepalanya terus tertunduk seolah beban dunia ada di tengkuknya yang malang. Gadis itu akhirnya ikut berpaling, namun saat ia hendak melangkah menyusul Wira ke mobil, Rean memanggilnya pelan. Begitu lirih hingga Sofia mengira itu hanyalah suara desiran angin semata.“Sofia ….”Gadis itu menyentuh dada yang terasa nyeri. Satu kata singkat yang keluar dari bibir Rean telah mengirisnya begitu perih.Ia ingin menoleh, menghampiri lelakinya yang terluka. Bertanya tentang keadaannya. Sakitkah itu, bisakah ia berjalan, sudahkah ia mendapatkan pengobatan sesuai. Namun tak ada keberanian tersisa. Wajah marah Wira membayang di pelupuk mata.Sofia menahan tangis seraya mengayun langkah berat menyusul sang suami yang sudah l
Tak sampai disitu, Wira yang seperti kesetanan menarik Sofia yang masih merintih dan menggiringnya ke luar kamar.“Bang!” lirih Sofia lemah. Ia tak bisa melakukan apapun selain mengimbangi langkah cepat Wira agar dirinya tidak terjatuh.Wira tidak berhenti hingga tiba di halaman rumah. Ajudannya, Ajat, tengah asyik mencuci mobil sambil bersenandung lagu dangdut kesukaannya.“Jatuh bangun akuuu mengejarmuuu… hu… hu…”“Ajat!” Wira meraung garang. “Kunci.” Ia menadahkan tangan, menagih.“Eh… iya mengejar… mengejar ayam!” Ajat yang terkejut nyaris mengarahkan selang air pada tuannya kalau saja tidak ada badan mobil di antara mereka yang menghalangi.“Kunci mobil kemarikan, Ajat!” Wira kembali berteriak tak sabar.“Eh, iya ini, Gan!