“Papa nggak pernah ajari kamu bersikap tidak sopan sama yang lebih tua.” Wira mengedikan kepala ke arah tangan Brian yang masih teracung di depan wajah Sofia.
“Turunkan tanganmu,” perintah Wira tegas dan tenang.
“Dia nggak lebih tua dariku, Pa!” ucap Brian membela diri.
Wira bersidekap dengan rahang mengeras. “Tetap saja sekarang ini dia ibumu, Brian! Minta maaf, cepat!”
Brian melirik Sofia yang tidak bisa menahan senyuman. Sambil membuang napas kasar, Brian balik badan dan berkata tajam, “Nggak sudi!”
“Brian!”
“Sudah, nggak apa-apa.” Sofia menahan lengan Wira yang hendak menghentikan Brian. “Dia memang terbiasa bersikap seperti itu.”
“Anak itu memang sering bertindak berlebihan,” ucap Wira menggelengkan kepala. Ditatapnya Sofia yang masih memegang lengannya.
“Apa yang tadi dia ucapkan padamu?”
“Eh?” Sofia bergerak gelisah di tempatnya. “Itu … bukan apa-apa.”
“Bukan apa-apa gimana? Aku lihat, tadi Brian hampir saja memukul kamu.”
Sofia tertawa. “Dia memang begitu, suka mengancam. Tapi dia tidak pernah benar-benar memukul, kok.”
Wira terdiam. Dilihatnya Sofia dari atas sampai bawah. Gadis itu mengenakan piyama sutra berwarna pastel, dengan rambut panjang halus tergerai di punggungnya, membangkitkan hasrat pagi Wira yang tertahan sejak semalam.
“Aku minta maaf atas sikap Brian, ya.” Wira mengalihkan pandangannya ke arah dapur.
“Nggak apa-apa.”
“Kamu mau sarapan, ya?” Wira merangkul Sofia ke arah dapur.
“Heem. Tadinya aku mau masak sarapan, cuma rumah ini terlalu besar, jadi aku sempat tersesat saat mencari dapur.”
“Tersesat? Ya ampun!” Wira terkekeh.
Ia sepenuhnya menjadi pribadi asing di hadapan Sofia. Mahawira yang selama ini terkenal karena keangkuhan dan sikap sewenang-wenang, ternyata merupakan sosok murah senyum dan lembut di dalam rumahnya.
“Sini, biar kubuatkan roti panggang.”
“Aku nggak suka roti,” kata Sofia, mengikuti Wira ke area kitchen set.
“Sukanya apa, dong? Aku?” Wira bersandar ke sisi lemari buffet, dan nyengir ke arah Sofia.
Mau tidak mau Sofia ikut tertawa. Keramahan Wira menghilangkan perasaan sungkan yang menggelayuti Sofia sejak hari pertama pernikahan mereka.
“Abang mau kubuatkan nasi goreng? Ini kesukaan bapak sebelum berangkat ke ladang, lho!” tawar Sofia.
Wira mengangguk bersemangat. “Mau!”
“Tunggu sebentar, ya.”
“Oke. Aku panggil Brian dulu, biar kita makan sama-sama.”
Wira mengecup pipi Sofia sekilas, sebelum pergi menuju kamar Brian.
Wira mengetuk pintu kamar Brian yang terkunci.
“Brian? Nak, buka pintunya.” Wira mengetuk berulang kali pintu kamar yang tidak kunjung terbuka.
“Brian? Kamu dengar Papa, kan?” Wira mengeraskan suaranya.
Pintu kamar terbuka sedikit, wajah lesu Brian mengintip di baliknya.
“Kenapa, Pa? Brian capek, mau tidur.”
“Biarkan Papa masuk, ya?”
Brian membuka pintu lebih lebar, memberi ruang agar Wira bisa masuk ke dalam kamarnya.
Wira duduk di sisi ranjang Brian yang berantakan. Nampaknya Brian memang sedang tidur tadi.
“Kamu kemana semalam? Papa pulang kamu nggak ada.”
“Trekking sama anak-anak, Pa.”
Wira mengangguk penuh pengertian.
“Seharian? Kamu nggak menghadiri pernikahan Papa karena ada jadwal trekking sejak pagi sama kawan-kawanmu, kan?”
Brian menghempaskan diri di ranjang, dan menyelundup ke balik selimut bergambar klub sepak bola favoritnya.
“Brian pergi ke Bukit Sinaran, treknya panjang di sana, jadi kami semua pulang larut.”
Wira mengangguk lagi.
“Sarapan, yuk.” Wira menarik selimut Brian, dan menepuk paha anak laki-lakinya itu.
Brian mendengus kasar. “Nggak mau.”
“Brian ….”
“Papa duluan saja sama Sofia, Brian nggak laper.”
“Brian, jangan panggil Sofia dengan namanya begitu. Dia ibumu sekarang!” ucap Wira tegas.
Brian mencibir di atas bantalnya.
“Papa nggak ngerti kenapa kamu segini marahnya karena Papa menikahi Sofia.”
“Brian nggak marah,” ujar Brian berkelit.
“Tapi sikapmu sangat tidak ramah padanya, Brian.”
“Itu karena Sofia memang nyebelin, Pa, dari dulu! Papa aja nggak tahu,” kata Brian kesal.
Wira tertawa kecil. Ia lupa bahwa Brian baru saja lulus SMU dan usianya tidak terpaut jauh dari Sofia.
“Sudahlah, kamu harus membiasakan diri menerima dia sebagai ibumu mulai hari ini. Ayo bangun, mamamu sudah bikin nasi goreng, tuh,” bujuk Wira lembut.
Brian menutup wajahnya dengan bantal. “Nggak mau!”
“Oke, teruslah bersikap menjengkelkan seperti itu. Papa akan sita sepeda kamu, sampai kamu mau bersikap layak di rumah ini.”
“Pa!” Brian tersentak duduk. Ditatapnya Wira yang sudah berdiri di ambang pintu.
“Ayo sarapan, bersopansantunlah pada mamamu. Papa pastikan kamu masih bisa balap downhill dengan sepedamu itu.”
Brian berdecak gusar. Ia menendang selimut sampai merosot jatuh ke kaki ranjang, dan bergegas mendului ayahnya ke dapur.
Aroma lezat menguar dari penggorengan di hadapan Sofia. Gadis itu memasak dengan cekatan, dan saat Wira bergabung di meja makan, Sofia sudah selesai dengan hidangan nasi goreng bawang putih andalannya.
“Wah, wangi sekali aromanya! Abang jadi laper,” ucap Wira bergembira.
Brian duduk menekuk wajah, cemberut pada piring kosong di hadapannya.
Sofia membawa bakul nasi berisi nasi goreng panas dan menyendokkannya ke atas piring Wira.
“Coba, deh, Abang pasti suka.” Sofia sengaja bermanja di hadapan Brian, karena ia suka melihat temannya itu memasang wajah sebal.
“Terima kasih, Sayang, Abang pasti suka apapun yang kamu buat, Sofia.” Wira mencium pipi Sofia mesra.
Brian membuat gestur pura-pura muntah saat Sofia mencuri pandang ke arahnya, membuat Sofia ingin terbahak.
Sofia menyendokan nasi ke piring Brian yang melotot galak padanya.
“Aku bisa sendiri,” katanya sewot.
Wira menatap tajam puteranya itu, membuat Brian langsung terdiam.
Sofia nyengir lebar penuh kemenangan mendapati Brian yang biasa mengolok-oloknya, mati kutu di hadapan sang ayah.
“Bilang apa sama mamamu, Brian?” ucap Wira lembut.
Brian mengerutkan kening kebingungan. “Apa?” katanya pada Wira.
“Bilang, terima kasih, dong. Kan, Mama sudah bikinin kita sarapan lezat.” Wira menatap penuh cinta pada Sofia yang terkikik di sisinya.
“Astaga, Pa!” Brian membeliak tidak percaya. Wira membuat Brian kembali seperti anak kecil berusia lima tahun yang baru belajar adab sopan santun.
“Ayo bilang, Sayang,” bujuk Wira lemah lembut pada Brian yang tampak sangat tersiksa.
“Brian bukan anak kecil, Pa,” sanggah Brian malu karena Wira memperlakukannya sedemikian halus.
“Kalau bukan anak kecil, masa bilang terima kasih saja harus diajarin?”
Brian memandang Sofia sebal. “Terima kasih,” katanya kasar.
“Sama siapa?” timpal Wira menahan senyum.
Brian kembali menatap Wira kebingungan.
“Hah?”
“Terima kasih⸻siapa?” Wira memiringkan kepala, menunggu.
Brian menghela napas panjang, dan berdecak tidak sabar. “Terima kasih, Ma!”
***
Kejadian saat sarapan tadi cukup membangkitkan semangat Sofia yang padam sejak hari pernikahannya berlangsung.
Melihat Brian sedemikian tersiksa karena terpaksa menghormati Sofia sebagai ibu barunya, sungguh membuat Sofia gembira.
Sofia memilih untuk menghabiskan waktu sehabis sarapan di dalam kamar utama. Terlebih lagi, Wira memiliki banyak koleksi buku di ruang kerja yang tersambung langsung dengan kamar utama.
“Sofia?”
“Aku di sini, Bang, di ruang kerjamu.” Sofia yang tengah membaca sebuah buku, bangkit ke arah kamar utama.
Wira tengah bersiap dengan jas mahal yang biasa ia kenakan saat berkeliling kampung memeriksa keadaan setiap ladang dan kebun, dan mengontrol gudang penyimpanan hasil panen sebelum dikirim ke kota.
Sofia menatap punggung suaminya yang gagah. Mahawira memang tampan dan rupawan, kalau saja ia mau bersikap ramah.
“Mau ke mana, Bang?” tanya Sofia.
Wira menoleh, dan tersenyum hangat. Senyuman menawan yang tidak lagi tampak mencemooh di mata Sofia.
“Abang mau pergi ke kebun si Somad, Sayang. Dia menunggak utang lima bulan, bunganya saja sudah seharga satu hektar ladang rempahnya.”
Sofia terdiam. Kisah lama yang kerap terulang di kampung mereka.
“Abang mau menyita tanah Mang Somad, ya?” Sofia mendekat pada Wira yang langsung menyambutnya ke dalam pelukan.“Dia harus membayar utangnya, Sayang.”“Tapi apa harus disita, Bang? Kasian Mang Somad, dia dan keluarganya bergantung pada hasil panen kebun mereka.”Wira menghela napas. Wajahnya menjadi serius, persis seperti yang dikenal Sofia selama ini.“Dia harus tanggung jawab atas utang-utangnya, gimanapun caranya.” Wira melepas pelukan dari bahu Sofia, dan kembali mematut diri di depan cermin.“Apa nggak bisa dibicarakan dulu? Siapa tahu Mang Somad punya cara lain untuk menyicil, Bang.”“Nggak bisa, dia sudah gagal panen selama lima bulan berturut-turut. Kamu sendiri yang bilang, mereka nggak punya penghasilan selain dari hasil kebun.”“Maka dari itu, Bang, kasihlah mereka tenggat waktu.” Sofia memelas pada ujung jas mewah Wira.Wira menangkup pipi istrinya, lalu berkata lembut, “Abang sudah kasih dia waktu lima bulan, lebih lama dari tenggat waktu yang Abang kasih pada orangtuamu.
Walaupun selama memasak Wira terus menggoda Sofia, ia tetap berhasil memasak sayur sawi putih, ayam goreng sederhana dan sambal lezat.“Wah, Abang nggak sabar ingin menyantap habis semuanya!” Wira menggosok tangan penuh semangat saat Sofia menyajikan sepiring penuh nasi dan lauk pauk ke hadapannya.“Jangan dong, Brian kan belum makan. Sisakan buat dia,” ucap Sofia mengingatkan.Wira berdecak, “Ah, dia bilang akan pulang terlambat karena ada acara trekking sama teman-teman sepedanya. Biar saja anak itu beli nasi goreng di tempat si Mamat kalau pulang nanti.”Sofia tersenyum, namun ia tetap menyisihkan sepotong ayam goreng dan semangkuk sayur untuk Brian.“Sayang, Abang ada urusan di kota malam ini, mungkin baru pulang besok siang. Kamu nggak apa-apa, kan, tidur sendiri malam ini?”Sofia kembali tersenyum. “Nggak apa-apa, Bang.”“Kamu jangan senyum terus, nanti Abang nggak mau pergi.”“Lho, ya nggak usah pergi saja,” timpal Sofia santai. Ia sudah mulai terbiasa dengan guyonan menggoda d
“Dia pakai ini untuk kasih sumbangan ke warga, Pa!” ucap Brian yang mendadak muncul dari lorong kamarnya.Wira bangkit berdiri, dan mengambil kartu debit Sofia dari tangan Brian.“Benar itu, Sofia?”Sofia menunduk. Air matanya menggenang lagi tanpa bisa ditahan. Hinaan Brian semalam, kembali menggaung di telinganya.“Sofia, kamu nggak boleh asal memberi seperti itu pada warga kampung. Nanti mereka ngelunjak! Kamu harus menjaga nama baik Abang di kampung ini, Sofia.”Brian tertawa mengejek. Ia berdiri jumawa di sisi sang ayah, dengan tangan menyuruk saku celana tidurnya.Melihat Sofia menangis, Wira memeluk istrinya tersebut dan berbisik penuh kasih, “Jangan menangis, Sofia, asal tidak kamu ulangi perbuatan itu, Abang maafkan.”Wira menyodorkan kartu debit ke tangan Sofia yang langsung menola
Sofia menatapnya lega. “Brian! Papamu nyari-nyari sampai kampung seb⸻”“Sssst!” Brian meraih bahu Sofia, dan menyeretnya menjauh.“Kamu mau bikin aku malu di depan teman-teman, hah?” omelnya jengkel.Sofia mengerutkan kening. “Ayo pulang, papamu pasti khawatir.”“Bawel, deh! Dasar ibu tiri!”“Terserah kamu mau ngomong apa, aku nggak akan marah. Yang penting kamu pulang, ya,” bujuk Sofia, meraih tangan Brian yang langsung menepisnya kasar.“Nggak mau! Ini kan tujuan kamu, menyingkirkan aku agar kamu bisa menguasai papa seutuhnya?”“Brian ….” Sofia memijat keningnya putus asa, “Aku nggak ada niat buruk sama sekali, sungguh. Pernikahan aku sama papamu, murni karena masalah utang yang nggak bisa dibayar orangtuaku. Kamu benar, aku ini
“Terus, apa hubungannya denganku?” seloroh Brian cuek.Sofia menggeleng lemah. “Keluarga kamu satu-satunya orang berduit di kampung ini. Kalian bisa bantu orang-orang seperti Mang Somad.”“Orang-orang seperti Mang Somad lah yang bikin usaha papa bangkrut! Coba kamu bayangin kalau warga kampung kredit macet semua, papa kena imbasnya, tahu! Makannya, jangan sok baik kamu sama warga kampung.”“Membantu sesama nggak akan bikin kamu jatuh miskin, Brian,” ucap Sofia tegas.Brian hanya berdecak mengejek.Mereka tiba di pekarangan luas rumah, dan mendapati mobil mewah Wira sudah terparkir di sana.Mahawira Anggabaya bergegas keluar rumah saat mengetahui kedatangan Sofia dan Brian.“Dari mana kamu, Brian? Papa mencari kamu sampai ke kampung lain!”“Sudahlah, Ban
“Hm?”“Soal kuliah, boleh nggak aku ngambil jurusan pertanian?” Sofia memasang tampang lugu, tahu betul hal itu bisa dengan mudah meluluhkan hati sang suami.Benar saja, Wira langsung menjawil hidung Sofia gemas, dan menanggalkan sikap arogannya tadi.“Kan sudah Abang bilang, Abang ingin mengembangkan sektor peternakan di kampung ini. Ada baiknya, kamu dan Brian belajar soal peternakan yang Abang sendiri nggak kuasai. Jadi, kalian berdua bisa mengurusnya dengan baik di kemudian hari, Sayang.”“Tapi, dari dulu cita-citaku ingin seperti Abang, belajar tentang pertanian sampai ke luar negeri, dan pulang kampung untuk membawa tanah kelahiranku ini menjadi lebih baik.” Sofia membuat nada suaranya seimut mungkin. Sampai-sampai ia mual sendiri mendengarnya.“Memangnya, apa yang mau kamu tahu, Sofia? Abangmu ini bisa mengajarimu lebih
“Brian laper! Sudah boleh makan?” Brian Mahesa mengempaskan diri di kursi dapur dan menatap hasil masakan Sofia yang mulai dingin sambil cemberut.“Brian!” Wira terlonjak kaget dan menjauh dari wajah Sofia yang semakin padam. “Maaf, kami ….”“Nggak apa-apa, aku nggak lihat.” Brian menjawil tahu goreng dan melahapnya acuh. “Makan, Pa.”Tanpa mempedulikan dua insan yang salah tingkah di hadapannya, Brian memenuhi piring dengan nasi dan lauk hasil masakan Sofia lalu makan.Wira bergerak grogi persis seperti remaja yang tertangkap basah bermesraan dengan kekasih di koridor kelas.“Kamu pulang, kok, nggak bilang-bilang.” Wira mengambil tempat di hadapan Brian dan membalik piring kosong yang tergelincir di jemarinya yang licin.“Hati-hati, Bang.” Sofia dengan sigap menahan pi
“Nggak lucu!” alis tebal Brian saling terpaut, tanda Sofia telah berhasil menangani tingkah angkuhnya dengan baik.“Aku nggak ngelucu. Keren lagi, lo… gue… seasyik itu jadi mahasiswa, ya, Yan?” Sofia menopang dagu dan menatap Brian menggoda.Brian melempar tatapan mencela. “Tahun depan kamu ngerasain juga, kan, jadi mahasiswa. Setelah berhasil merayu papa untuk nguliahin kamu, terus mau minta apa lagi? Mobil biar sekalian keren?”Sofia melirik langit-langit dengan gaya manja yang dibuat-buat, senang bukan kepalang melihat tampang sebal Brian yang susah payah menahan diri untuk tidak menyerangnya.“Hm, menurut kamu apa itu perlu?” Sofia balik bertanya.Sudut bibir Brian otomatis terangkat naik. “Minta aja, papa pasti kasih, toh, sudah kadung basah kamu morotin harta papa!”“Morotin
“Aku bisa bantu bicara sama papamu soal jurusan yang kamu nggak suka itu,” Sofia mundur beberapa langkah agar bisa melihat wajah Brian dengan baik.Lelaki itu bengong sesaat sebelum kemudian berdecak dan tertawa mengejek. “Mana mungkin bisa! Aku sudah rayu papa jauh sebelum ini. Dia tetap ingin aku kuliah peternakan. Kamu tahu sendiri alasannya.”Sofia mengedikkan bahu. “Ya, siapa tahu.”Brian menepis udara sebelum kembali melanjutkan langkahnya menuju gedung administrasi fakultas.Sementara Brian sibuk mengurus keperluan semester, Sofia berjalan-jalan di sekitar gedung fakultas peternakan.Gedung itu masih mempertahankan arsitektur zaman dahulu. Lorong-lorongnya punya langit-langit tinggi dari bebatuan. Pepohonan rindang memagari sekeliling fakultas. Sofia menyukai anginnya, hawa sejuknya, suara gemerisik dedaunan yang saling beradu, suara cericit burung yang riang, dan kepingan sinar matahari yang jatuh dari antara kanopi dahan-dahan pohon.“Sofia!” Brian berseru dari lobi fakultas.
“Mamamu ingin ikut lihat-lihat kampus, Nak. Ajaklah sekalian kamu urus administrasi hari ini.”“Aduh,” Brian mengeluh keras-keras, membuat Sofia semakin mengerut di kursinya. “Ada-ada aja, deh. Ngapain, sih, ngikutin aku ke kampus? Kayak nggak ada kerjaan aja!”“Iya, lebih baik aku nggak jadi ikut, deh, Bang.” Sofia buru-buru mengamini. “Masih banyak pekerjaan rumah yang bisa aku kerjakan.”“Apa itu?” Kening Wira mengerut dalam. “Kamu tidak boleh menyentuh pekerjaan rumah lagi, Sofia, kamu ini aku nikahi untuk kujadikan isteri, bukan pembantu! Brian, ajak mamamu ke kampus hari ini. Lagipula, tahun depan kalian kuliah di kampus yang sama, bahkan satu jurusan. Kalian harus terbiasa saling membantu, karena di kemudian hari, kalian akan bekerja sama memajukan sektor peternakan kampung kita.”Brian berdecak sebal. Ia sudah tak berselera menghabiskan sarapannya yang tinggal beberapa suap saja.Dengan wajah masam, Brian menyambar tasnya lalu pergi. “Aku tunggu di mobil! Lima menit nggak ada,
Sofia membiarkan kulit tangannya dingin di bawah kucuran air keran sejak setengah jam lalu. Tak banyak piring kotor yang bisa ia cuci, tapi ia tidak beranjak dari tempat pencucian.Seharian penuh gadis itu tidak beranjak dari dapur. Ia memasak, mencuci, menyapu, melakukan banyak hal hingga membuat Wira bosan melarang.“Kalau begini, si Mbak bisa makan gaji buta gara-gara semua pekerjaannya kamu kerjakan,” keluh Wira sambil meneguk habis jus jeruknya yang disediakan Sofia pagi tadi.“Tidak apa-apa, aku senang melakukan semua pekerjaan ini.” Sofia tersenyum hambar. “Aku sudah terbiasa bergerak, jadi kalau tidak ada kerjaan badanku sakit semua.”“Masa, sih.” Wira meneliti gerak gerik isterinya yang kini sibuk memotong bawang dan sayur. “Kalau cuma harus bergerak, nggak mesti mengerjakan pekerjaan rumah, kan?”Sofia mengalihkan pandang sejenak dari potongan sayurnya lalu tersenyum. “Benar. Tapi nggak ada hal lain yang bisa aku lakukan.”Kening Wira mengerut. “Sudah Abang bilang, kalau per
“Jika lima menit ke depan Rean tidak datang, maka, kemenangan mutlak menjadi milik Brian. Anak itu harus angkat kaki dari kampung ini!” Suara menggelegar Wira memantul ke lereng-lereng bukit yang disesaki para warga kampung.Semua orang saling berbisik. Kaki bukit itu senyap tapi tidak dengan hati Sofia yang bergemuruh. Badai petir menyambar-nyambar hingga telinganya tuli. Bahkan ia tak bisa lagi mendengar ucapan suaminya sendiri.Tangan gagah Wira yang melingkari pinggangnya bertengger begitu saja tanpa mengaitkan perasaan seperti biasa. tanah yang dipijak seolah bergoyang, tidak teguh.Sofia ingin menangis tapi air matanya tertahan rasa takut. Dan saat dilihatnya sosok tinggi kurus nan familiar melangkah tegar bersama sepeda kumbangnya yang menyedihkan, air mata itu leleh juga.“Saya di sini, Juragan.” Rean tersenyum lepas. “Maklumlah, sepeda tua. Tadi rantainya copot lagi dalam perjalanan ke sini. Nah, saya tidak terlambat, kan?”Wira membalas senyuman itu dengan sebuah cengiran pi
Sofia tengah merenung di atas ranjang masa kecilnya ketika Mahawira Anggabaya datang menjemput.“Dia dia terus di kamar sejak Den Juragan pergi tadi pagi,” ujar Dasimah nelangsa. Sebuah kesedihan yang terlalu dibuat-buat.“Ada apa, Sofia?” Suara lembut Wira semakin menambah perih hatinya. Bagaimana tidak, hati si pria yang baik ternyata masih menjadi duri tajam yang kerap menyakiti orang lain.Sofia merasa tinggal menunggu gilirannya saja sampai ia melakukan suatu hal yang akan membuat sang juragan tanah marah dan mengusirnya seperti yang pria itu lakukan pada warga lain.“Nggak ada apa-apa. Aku hanya kangen kamarku, itu saja.”“Kamu mau menginap di sini barang sehari dua hari?” tawar Wira seraya duduk di sisi Sofia dan membelai lembut kepala si gadis.Sofia menggeleng lemah. “Nggak. Nggak mau.”Di kamarnya, wajah Rean dan gulungan memori masa lalu kerap terbayang. Ia tak sanggup jika harus bermalam di sana, dianiaya nostalgia. “Sudah makan?” tanya Wira lagi dengan kesabaran seorang
“Sofia, sayang, ayo makan dulu. Ibu masak sop daging kesukaanmu banyak sekali. Kamu boleh nambah sepuasnya, Nak. Uang kami lebih dari cukup untuk membeli segala macam daging yang susah kamu dapat dulu.” Dasimah menggelendot di lengan anaknya.“Nggak usah, Bu. Fia sudah makan.” Sofia tersenyum getir. “Fia cuma mau rebahan di kamar. Kangen rasanya sama ranjangku.”“Alah, ranjang butut begitu kok dikangenin. Ranjangmu di rumah Juragan pasti lebih besar, lho, Nak. Tadinya mau Ibu buang kasur bututmu itu.”“Eh, jangan, Bu. Buat kenang-kenangan.”“Kenang-kenangan itu harus yang menyenangkan, Nak. Masa kasur dekil begitu kamu jadikan kenangan.” Dasimah menggerutu tidak senang.Sofia tertawa kecil. “Banyak hal menyenangkan yang Sofia rasakan sepanjang hidup dan kasur itu jadi saksinya.” Ia mengusap lengan
“Bapak!” Sofia memeluk tubuh renta itu kuat-kuat, enggan menjauh. Tangan keriput Susanto mengusap kepala Sofia gemetaran.“Apa kabarmu, Nak?”“Baik, Pak.” Sofia terisak.“Kenapa menangis?”“Fia kangen Bapak.”“Bapak juga kangen sama kamu.” Susanto meraih bahu Sofia dan mendorongnya lembut. Ditelititnya wajah sang anak dengan seksama.“Kamu semakin cantik, Sofia, apa kamu bahagia?”Sofia menelan ludah. Ia ingin meluapkan segala kegelisahannya pada sang ayah, namun separuh hatinya tidak tega menambah beban pria tua itu.Ayahnya telah tersiksa rasa bersalah karena perkawinan paksa dengan Mahawira, dan Sofia tidak mau menambah pikulan bobot di pundak sang ayah dengan kisah deritanya.“Fia bahagia, Pak. Abang memp
Sofia memejamkan mata, tak sanggup jika harus melihat Wira menyerang Rean. Namun suaminya itu malah berpaling dan masuk ke mobil.Sofia menghela napas. Kepalanya terus tertunduk seolah beban dunia ada di tengkuknya yang malang. Gadis itu akhirnya ikut berpaling, namun saat ia hendak melangkah menyusul Wira ke mobil, Rean memanggilnya pelan. Begitu lirih hingga Sofia mengira itu hanyalah suara desiran angin semata.“Sofia ….”Gadis itu menyentuh dada yang terasa nyeri. Satu kata singkat yang keluar dari bibir Rean telah mengirisnya begitu perih.Ia ingin menoleh, menghampiri lelakinya yang terluka. Bertanya tentang keadaannya. Sakitkah itu, bisakah ia berjalan, sudahkah ia mendapatkan pengobatan sesuai. Namun tak ada keberanian tersisa. Wajah marah Wira membayang di pelupuk mata.Sofia menahan tangis seraya mengayun langkah berat menyusul sang suami yang sudah l
Tak sampai disitu, Wira yang seperti kesetanan menarik Sofia yang masih merintih dan menggiringnya ke luar kamar.“Bang!” lirih Sofia lemah. Ia tak bisa melakukan apapun selain mengimbangi langkah cepat Wira agar dirinya tidak terjatuh.Wira tidak berhenti hingga tiba di halaman rumah. Ajudannya, Ajat, tengah asyik mencuci mobil sambil bersenandung lagu dangdut kesukaannya.“Jatuh bangun akuuu mengejarmuuu… hu… hu…”“Ajat!” Wira meraung garang. “Kunci.” Ia menadahkan tangan, menagih.“Eh… iya mengejar… mengejar ayam!” Ajat yang terkejut nyaris mengarahkan selang air pada tuannya kalau saja tidak ada badan mobil di antara mereka yang menghalangi.“Kunci mobil kemarikan, Ajat!” Wira kembali berteriak tak sabar.“Eh, iya ini, Gan!