“Dulu kamu selalu bilang ingin jadi seperti dia, sekarang kamu berkesempatan jadi istrinya!” Dasimah, ibu Sofia, menekan dahi sang anak dengan ujung telunjuk.
“Sofia ingin kuliah ke luar negri kayak dia, bukan jadi istrinya, Bu! Lagian, dia sudah bangkotan, Sofia nggak mau!”
“Bangkotan dari mana, jaga mulutmu, Fia! Usianya baru tiga puluh sembilan, lagi matang-matangnya itu, sembarangan saja kalau ngomong!” omel Dasimah kesal.
Sofia jauh lebih kesal lagi. Ia melirik tidak senang pada pantulan wajahnya yang tertutup riasan tebal pengantin di balik cermin.
“Kita beruntung karena Juragan Wira tidak mengusir kita dari kampung ini, Fia.” Dasimah berlemah lembut lagi. Pasalnya, ia harus segera menggiring Sofia ke luar kamar karena penghulu dan pengantin pria sudah siap di ruang tengah, menunggu kehadiran sang mempelai wanita yang masih merajuk.
“Fia, Ibu minta maaf karena telah melibatkan kamu ke dalam masalah keluarga. Kalau kamu nggak mau, ya nggak apa-apa. Kita bisa batalkan pernikahan ini,” desah Dasimah, seraya bangkit dari sisi Sofia yang masih cemberut.
Air muka Sofia berubah cepat. Diraihnya lengan sang ibu yang menjauh. “Lalu, utang kita sama Juragan Wira bagaimana, Bu?”
Dasimah menatap Sofia dengan kesenduan yang memilukan hati.
“Itu … biar jadi urusan bapakmu. Kamu bisa pergi kuliah ke luar negri seperti impianmu, nggak perlulah memikirkan dua manula di rumah ini. Lagipula, Ibu dan Bapak akan mati juga, entah karena usia atau kuasa Juragan Wira.”
“Bu!” Sofia bangkit cepat, dan memeluk Dasimah yang tidak bisa menahan cengiran lebih lama.
“Ibu jangan bicara begitu. Memangnya Juragan Wira betul-betul akan menghabisi orang yang nggak bisa bayar utang sama dia, ya, Bu?” tanya Sofia lugu.
Dasimah buru-buru menelan rasa geli, dan menampilkan wajah muram sambil mengangguk.
Sofia menggigit bibir cemas. “B-baiklah, Sofia mau menikah sama dia. Asal Bapak dan Ibu selamat.”
“Nah!” Dasimah melonjak kegirangan. Ia kembali sumringah saat menuntun Sofia keluar kamar. “Ini baru anak Ibu!”
Obrolan di ruang tengah berdengung di telinga Sofia kala ia berjalan menunduk menuju meja ijab kabul.
“Akhirnya datang juga sang pengantin wanita,” sambut salah satu saksi, disambut tawa sang mempelai pria, Mahawira Anggabaya, seorang juragan tanah sekaligus penguasa kampung Cibuni.
Sofia mengernyit tidak senang. Ia terbiasa mendengar tawa mengintimidasi Wira setiap kali pria itu tengah menindas para warga.
“Duduk di sini, Dik Sofia, di samping suamimu. Alhamdulillah, akadnya berjalan lancar. Sekarang, kalian resmi sebagai suami istri,” ucap penghulu.
Sofia duduk di samping pria dewasa yang kini telah menjadi suaminya. Mahawira tampil sempurna dalam balutan jas mahal. Ia begitu menawan kalau saja bukan pria berusia tiga puluh sembilan tahun untuk Sofia yang baru saja menginjak usia sembilan belas!
Semua warga Cibuni mengatakan Sofia yang cantik sangat beruntung karena sang juragan tanah mengharuskan dia membayar utang dengan sebuah pernikahan, sementara warga lain yang terlibat kasus serupa, harus rela angkat kaki dari kampung sebagai bayarannya.
“Dik Sofia?”
“Eh?” Sofia mengangkat wajah saat penghulu memanggil namanya. Semua orang terkekeh akan tingkah linglung Sofia yang dianggap sebagai sikap malu-malu pengantin baru.
“Ayo, dicium tangan suamimu, Nak,” tuntun sang penghulu sabar hati.
Sofia menelan ludah. Ia menoleh ke samping dan mendapati Mahawira Anggabaya tersenyum ke arahnya.
Ia tidak bisa menahan rasa mual yang mendadak terasa. Senyuman mencemooh yang biasa dilempar Wira pada seluruh warga kampung, bathin Sofia sebal.
Gadis itu mengangkat tangan Wira, dan menciumnya cepat. Terdengar riuh-rendah para warga yang hadir sebagai saksi.
Tanpa diduga, Wira menyentuh kepala Sofia dan menariknya ke depan.
Cup! Ia mengecup dahi Sofia, lama dan lembut.
Sofia merasakan getaran aneh di dada, sampai ia harus menyentuh bagian muka baju pengantinnya yang dihiasi manik-manik.
“Alhamdulillah,” seru penghulu, melihat keromantisan sang mempelai.
Setelah acara ijab selesai, tiba saatnya sesi ramah-tamah. Mahawira Anggabaya tidak main-main soal pesta yang ia janjikan akan dihelat di hari pernikahan mereka.
Seluruh warga kampung hadir dalam jamuan internasional yang dihadirkan Wira. Alunan musik lembut, menyambut kedatangan para warga yang berpenampilan kontras dengan warna-warna pastel dekorasi.
“Selamat, ya, Juragan!” Mang Baim, pemilik warung kopi yang dimodali Wira, menjabat tangan Wira sambil membungkuk.
Mahawira menyambut semua warganya dengan sumringah. Sofia nyaris lupa bahwa pria di sampingnya itu adalah tirani kejam yang sering menindas orang dengan semena-mena.
“Sofia, kamu cantik sekali!” seloroh Ceu Yeyeh, ketika menjabat tangan Sofia. “Kamu beruntung!”
Sofia cemberut. ‘Beruntung apanya! Sebentar lagi aku akan tinggal satu atap dengan penjajah ini!’
Karena sikap bengisnya, Wira yang pergi bertahun-tahun ke negeri Belanda untuk menimba ilmu kerap dijuluki penjajah oleh para warga.
“Minum ini,” Wira menyodorkan gelas air mineral pada Sofia yang terlonjak kaget. Ia belum terbiasa mendapati kehadiran Wira sedekat ini.
“Nggak usah, aku nggak haus,” kata Sofia, seraya menggeser kakinya mengambil jarak.
Wira ikut bergeser, menempatkan mereka tetap rapat.
“Aku laper, pengin makan,” kata Wira lagi. Ia menunjuk tenda VIP yang dikhususkan untuk keluarga inti, “Kita makan di sana, yuk!”
Sofia menggeleng. “Aku nggak laper. Om Juragan makan duluan aja.”
Wira mengernyit mendengar Sofia tetap memanggilnya Om, kendatipun saat Sofia masih kecil dan ia sudah beranjak dewasa, Sofia dan anak-anak kampung lain terbiasa memanggil dirinya Om Juragan.
“Kok masih panggil Om, aku kan sudah jadi suamimu. Panggil saja Abang.”
Bibir mungil Sofia mengerucut. “Iya, Bang.”
Wira mengangguk puas. “Nah, begitu kan lebih enak didengar.”
Setelah berjam-jam pesta berlangsung, akhirnya Sofia bisa melepas atribut pengantin yang membuatnya pusing.
Sofia menghapus riasan tebal yang menutup wajah dengan pembersih, dan segera mandi. Ia sudah tidak sabar untuk mengenakan pakaian kaos yang biasa dikenakannya.
Alangkah terkejutnya Sofia saat ia kembali dari kamar mandi hanya berbalut handuk, didapatinya Wira tengah berbaring santai sambil memainkan ponsel di atas ranjang.
“Astagfirullah! Om!”
Wira terlonjak kaget mendengar jeritan Sofia.
“K-kenapa, Dek?” katanya tergagap.
Sofia menunjuk Wira dengan jari gemetar, “K-kenapa Om di sini! Keluar! Keluar!”
Wira melompat dari atas ranjang dengan tangan terulur panik. “Eh, eh, jangan teriak! Aduh, kamu kenapa, sih? Sstt!”
Sofia mundur cepat hingga punggungnya menabrak daun pintu. Ia menatap ngeri Wira yang datang mendekat.
“Jangan dekati aku!”
“Lho, kenapa?” Wira balik menatap Sofia bingung. “Aku suamimu!”
Sofia memejamkan mata, menyesal telah diingatkan. “Benar, Om sekarang suamiku.”
“Jangan panggil Om,” keluh Wira keberatan.
“Baiklah, Abang.”
“Nah, begitu lebih baik.”
Tatapan Wira beralih pada tubuh segar Sofia yang hanya berbalut handuk. Gadis itu segera mencengkram simpul handuknya di depan dada defensif.
“A-aku mau pakai baju dulu, Om, eh, Bang. Abang bisa keluar sebentar?”
“Keluar? Kenapa aku harus keluar?”
Sofia menatap Wira ketakutan. “K-karena aku harus pakai baju.”“Pakai saja.”“T-tapi Om gak boleh lihat.”“Om lagi!” keluh Wira menggaruk kepalanya gusar.Sofia menunduk. Ia ingin berlari keluar kamar, dan bersembunyi di balik punggung orangtuanya seperti biasa ia lakukan setiap kali dimarahi oleh ajudan Juragan Wira saat menghalangi jalan sang juragan yang tengah keliling kampung kala tengah bermain.“Sofia, aku ini suamimu. Jangankan cuma lihat, aku bahkan berhak atas seluruh tubuh kamu.” Wira balik badan, dan kembali naik ke atas ranjang tidur Sofia yang berkeriut lemah ketika tubuh tegap Wira merebah.Wira menepuk ruang kosong di sisinya, dan tersenyum. “Kemarilah, Sofia, berbaring di sisiku.”Sofia semakin merapat ke daun pintu, berharap bisa menembus ke baliknya.“A-aku … belum siap, Om, maksudku … Bang.”Wira berdecak tidak sabar.“Sofia, aku akan melakukannya dengan lembut. Kemari, Sayang.”“Nggak mau.”“Kok nggak mau? Itu kewajiban kamu!” suara Wira kembali meninggi, persis s
Rean menghela napas. Ia hanya bisa menatap hampa ke arah Sofia yang dipaksa Wira masuk ke dalam mobil.Setelah memastikan kedua tuannya masuk, barulah ajudan itu kembali ke balik kemudi dan memacu mobil dengan kecepatan tinggi, menyisakan kepulan debu di hadapan Rean yang merana.Sofia menatap ke luar jendela sambil sesekali mengusap air mata.Wira mengenakan kacamata yang menyembunyikan sorot tegas matanya, dan mendengus keras-keras.“Kamu nggak boleh berhubungan lagi dengan anak itu!” kata Wira tajam.Sofia tidak menjawab. Ia tahu, pucuk cintanya pada Rean harus ditebang habis.Setibanya mereka di rumah mewah Wira, Sofia langsung dibawa ke dalam kamar utama. Inilah pertama kali Sofia masuk ke dalam rumah kendatipun separuh hidupnya ia sering datang berkunjung untuk menemani sang ibu membayar cicilan utang. Seperti warga lainnya yang datang dengan keperluan serupa, ia hanya diizinkan masuk sampai batas balkon depan.“Sekarang ini rumahmu juga,” ucap Wira, merangkul Sofia ke dalam dek
“Papa nggak pernah ajari kamu bersikap tidak sopan sama yang lebih tua.” Wira mengedikan kepala ke arah tangan Brian yang masih teracung di depan wajah Sofia.“Turunkan tanganmu,” perintah Wira tegas dan tenang.“Dia nggak lebih tua dariku, Pa!” ucap Brian membela diri.Wira bersidekap dengan rahang mengeras. “Tetap saja sekarang ini dia ibumu, Brian! Minta maaf, cepat!”Brian melirik Sofia yang tidak bisa menahan senyuman. Sambil membuang napas kasar, Brian balik badan dan berkata tajam, “Nggak sudi!”“Brian!”“Sudah, nggak apa-apa.” Sofia menahan lengan Wira yang hendak menghentikan Brian. “Dia memang terbiasa bersikap seperti itu.”“Anak itu memang sering bertindak berlebihan,” ucap Wira menggelengkan kepala. Ditatapnya Sofia yang masih memegang lengannya.“Apa yang tadi dia ucapkan padamu?”“Eh?” Sofia bergerak gelisah di tempatnya. “Itu … bukan apa-apa.”“Bukan apa-apa gimana? Aku lihat, tadi Brian hampir saja memukul kamu.”Sofia tertawa. “Dia memang begitu, suka mengancam. Tapi
“Abang mau menyita tanah Mang Somad, ya?” Sofia mendekat pada Wira yang langsung menyambutnya ke dalam pelukan.“Dia harus membayar utangnya, Sayang.”“Tapi apa harus disita, Bang? Kasian Mang Somad, dia dan keluarganya bergantung pada hasil panen kebun mereka.”Wira menghela napas. Wajahnya menjadi serius, persis seperti yang dikenal Sofia selama ini.“Dia harus tanggung jawab atas utang-utangnya, gimanapun caranya.” Wira melepas pelukan dari bahu Sofia, dan kembali mematut diri di depan cermin.“Apa nggak bisa dibicarakan dulu? Siapa tahu Mang Somad punya cara lain untuk menyicil, Bang.”“Nggak bisa, dia sudah gagal panen selama lima bulan berturut-turut. Kamu sendiri yang bilang, mereka nggak punya penghasilan selain dari hasil kebun.”“Maka dari itu, Bang, kasihlah mereka tenggat waktu.” Sofia memelas pada ujung jas mewah Wira.Wira menangkup pipi istrinya, lalu berkata lembut, “Abang sudah kasih dia waktu lima bulan, lebih lama dari tenggat waktu yang Abang kasih pada orangtuamu.
Walaupun selama memasak Wira terus menggoda Sofia, ia tetap berhasil memasak sayur sawi putih, ayam goreng sederhana dan sambal lezat.“Wah, Abang nggak sabar ingin menyantap habis semuanya!” Wira menggosok tangan penuh semangat saat Sofia menyajikan sepiring penuh nasi dan lauk pauk ke hadapannya.“Jangan dong, Brian kan belum makan. Sisakan buat dia,” ucap Sofia mengingatkan.Wira berdecak, “Ah, dia bilang akan pulang terlambat karena ada acara trekking sama teman-teman sepedanya. Biar saja anak itu beli nasi goreng di tempat si Mamat kalau pulang nanti.”Sofia tersenyum, namun ia tetap menyisihkan sepotong ayam goreng dan semangkuk sayur untuk Brian.“Sayang, Abang ada urusan di kota malam ini, mungkin baru pulang besok siang. Kamu nggak apa-apa, kan, tidur sendiri malam ini?”Sofia kembali tersenyum. “Nggak apa-apa, Bang.”“Kamu jangan senyum terus, nanti Abang nggak mau pergi.”“Lho, ya nggak usah pergi saja,” timpal Sofia santai. Ia sudah mulai terbiasa dengan guyonan menggoda d
“Dia pakai ini untuk kasih sumbangan ke warga, Pa!” ucap Brian yang mendadak muncul dari lorong kamarnya.Wira bangkit berdiri, dan mengambil kartu debit Sofia dari tangan Brian.“Benar itu, Sofia?”Sofia menunduk. Air matanya menggenang lagi tanpa bisa ditahan. Hinaan Brian semalam, kembali menggaung di telinganya.“Sofia, kamu nggak boleh asal memberi seperti itu pada warga kampung. Nanti mereka ngelunjak! Kamu harus menjaga nama baik Abang di kampung ini, Sofia.”Brian tertawa mengejek. Ia berdiri jumawa di sisi sang ayah, dengan tangan menyuruk saku celana tidurnya.Melihat Sofia menangis, Wira memeluk istrinya tersebut dan berbisik penuh kasih, “Jangan menangis, Sofia, asal tidak kamu ulangi perbuatan itu, Abang maafkan.”Wira menyodorkan kartu debit ke tangan Sofia yang langsung menola
Sofia menatapnya lega. “Brian! Papamu nyari-nyari sampai kampung seb⸻”“Sssst!” Brian meraih bahu Sofia, dan menyeretnya menjauh.“Kamu mau bikin aku malu di depan teman-teman, hah?” omelnya jengkel.Sofia mengerutkan kening. “Ayo pulang, papamu pasti khawatir.”“Bawel, deh! Dasar ibu tiri!”“Terserah kamu mau ngomong apa, aku nggak akan marah. Yang penting kamu pulang, ya,” bujuk Sofia, meraih tangan Brian yang langsung menepisnya kasar.“Nggak mau! Ini kan tujuan kamu, menyingkirkan aku agar kamu bisa menguasai papa seutuhnya?”“Brian ….” Sofia memijat keningnya putus asa, “Aku nggak ada niat buruk sama sekali, sungguh. Pernikahan aku sama papamu, murni karena masalah utang yang nggak bisa dibayar orangtuaku. Kamu benar, aku ini
“Terus, apa hubungannya denganku?” seloroh Brian cuek.Sofia menggeleng lemah. “Keluarga kamu satu-satunya orang berduit di kampung ini. Kalian bisa bantu orang-orang seperti Mang Somad.”“Orang-orang seperti Mang Somad lah yang bikin usaha papa bangkrut! Coba kamu bayangin kalau warga kampung kredit macet semua, papa kena imbasnya, tahu! Makannya, jangan sok baik kamu sama warga kampung.”“Membantu sesama nggak akan bikin kamu jatuh miskin, Brian,” ucap Sofia tegas.Brian hanya berdecak mengejek.Mereka tiba di pekarangan luas rumah, dan mendapati mobil mewah Wira sudah terparkir di sana.Mahawira Anggabaya bergegas keluar rumah saat mengetahui kedatangan Sofia dan Brian.“Dari mana kamu, Brian? Papa mencari kamu sampai ke kampung lain!”“Sudahlah, Ban
“Aku bisa bantu bicara sama papamu soal jurusan yang kamu nggak suka itu,” Sofia mundur beberapa langkah agar bisa melihat wajah Brian dengan baik.Lelaki itu bengong sesaat sebelum kemudian berdecak dan tertawa mengejek. “Mana mungkin bisa! Aku sudah rayu papa jauh sebelum ini. Dia tetap ingin aku kuliah peternakan. Kamu tahu sendiri alasannya.”Sofia mengedikkan bahu. “Ya, siapa tahu.”Brian menepis udara sebelum kembali melanjutkan langkahnya menuju gedung administrasi fakultas.Sementara Brian sibuk mengurus keperluan semester, Sofia berjalan-jalan di sekitar gedung fakultas peternakan.Gedung itu masih mempertahankan arsitektur zaman dahulu. Lorong-lorongnya punya langit-langit tinggi dari bebatuan. Pepohonan rindang memagari sekeliling fakultas. Sofia menyukai anginnya, hawa sejuknya, suara gemerisik dedaunan yang saling beradu, suara cericit burung yang riang, dan kepingan sinar matahari yang jatuh dari antara kanopi dahan-dahan pohon.“Sofia!” Brian berseru dari lobi fakultas.
“Mamamu ingin ikut lihat-lihat kampus, Nak. Ajaklah sekalian kamu urus administrasi hari ini.”“Aduh,” Brian mengeluh keras-keras, membuat Sofia semakin mengerut di kursinya. “Ada-ada aja, deh. Ngapain, sih, ngikutin aku ke kampus? Kayak nggak ada kerjaan aja!”“Iya, lebih baik aku nggak jadi ikut, deh, Bang.” Sofia buru-buru mengamini. “Masih banyak pekerjaan rumah yang bisa aku kerjakan.”“Apa itu?” Kening Wira mengerut dalam. “Kamu tidak boleh menyentuh pekerjaan rumah lagi, Sofia, kamu ini aku nikahi untuk kujadikan isteri, bukan pembantu! Brian, ajak mamamu ke kampus hari ini. Lagipula, tahun depan kalian kuliah di kampus yang sama, bahkan satu jurusan. Kalian harus terbiasa saling membantu, karena di kemudian hari, kalian akan bekerja sama memajukan sektor peternakan kampung kita.”Brian berdecak sebal. Ia sudah tak berselera menghabiskan sarapannya yang tinggal beberapa suap saja.Dengan wajah masam, Brian menyambar tasnya lalu pergi. “Aku tunggu di mobil! Lima menit nggak ada,
Sofia membiarkan kulit tangannya dingin di bawah kucuran air keran sejak setengah jam lalu. Tak banyak piring kotor yang bisa ia cuci, tapi ia tidak beranjak dari tempat pencucian.Seharian penuh gadis itu tidak beranjak dari dapur. Ia memasak, mencuci, menyapu, melakukan banyak hal hingga membuat Wira bosan melarang.“Kalau begini, si Mbak bisa makan gaji buta gara-gara semua pekerjaannya kamu kerjakan,” keluh Wira sambil meneguk habis jus jeruknya yang disediakan Sofia pagi tadi.“Tidak apa-apa, aku senang melakukan semua pekerjaan ini.” Sofia tersenyum hambar. “Aku sudah terbiasa bergerak, jadi kalau tidak ada kerjaan badanku sakit semua.”“Masa, sih.” Wira meneliti gerak gerik isterinya yang kini sibuk memotong bawang dan sayur. “Kalau cuma harus bergerak, nggak mesti mengerjakan pekerjaan rumah, kan?”Sofia mengalihkan pandang sejenak dari potongan sayurnya lalu tersenyum. “Benar. Tapi nggak ada hal lain yang bisa aku lakukan.”Kening Wira mengerut. “Sudah Abang bilang, kalau per
“Jika lima menit ke depan Rean tidak datang, maka, kemenangan mutlak menjadi milik Brian. Anak itu harus angkat kaki dari kampung ini!” Suara menggelegar Wira memantul ke lereng-lereng bukit yang disesaki para warga kampung.Semua orang saling berbisik. Kaki bukit itu senyap tapi tidak dengan hati Sofia yang bergemuruh. Badai petir menyambar-nyambar hingga telinganya tuli. Bahkan ia tak bisa lagi mendengar ucapan suaminya sendiri.Tangan gagah Wira yang melingkari pinggangnya bertengger begitu saja tanpa mengaitkan perasaan seperti biasa. tanah yang dipijak seolah bergoyang, tidak teguh.Sofia ingin menangis tapi air matanya tertahan rasa takut. Dan saat dilihatnya sosok tinggi kurus nan familiar melangkah tegar bersama sepeda kumbangnya yang menyedihkan, air mata itu leleh juga.“Saya di sini, Juragan.” Rean tersenyum lepas. “Maklumlah, sepeda tua. Tadi rantainya copot lagi dalam perjalanan ke sini. Nah, saya tidak terlambat, kan?”Wira membalas senyuman itu dengan sebuah cengiran pi
Sofia tengah merenung di atas ranjang masa kecilnya ketika Mahawira Anggabaya datang menjemput.“Dia dia terus di kamar sejak Den Juragan pergi tadi pagi,” ujar Dasimah nelangsa. Sebuah kesedihan yang terlalu dibuat-buat.“Ada apa, Sofia?” Suara lembut Wira semakin menambah perih hatinya. Bagaimana tidak, hati si pria yang baik ternyata masih menjadi duri tajam yang kerap menyakiti orang lain.Sofia merasa tinggal menunggu gilirannya saja sampai ia melakukan suatu hal yang akan membuat sang juragan tanah marah dan mengusirnya seperti yang pria itu lakukan pada warga lain.“Nggak ada apa-apa. Aku hanya kangen kamarku, itu saja.”“Kamu mau menginap di sini barang sehari dua hari?” tawar Wira seraya duduk di sisi Sofia dan membelai lembut kepala si gadis.Sofia menggeleng lemah. “Nggak. Nggak mau.”Di kamarnya, wajah Rean dan gulungan memori masa lalu kerap terbayang. Ia tak sanggup jika harus bermalam di sana, dianiaya nostalgia. “Sudah makan?” tanya Wira lagi dengan kesabaran seorang
“Sofia, sayang, ayo makan dulu. Ibu masak sop daging kesukaanmu banyak sekali. Kamu boleh nambah sepuasnya, Nak. Uang kami lebih dari cukup untuk membeli segala macam daging yang susah kamu dapat dulu.” Dasimah menggelendot di lengan anaknya.“Nggak usah, Bu. Fia sudah makan.” Sofia tersenyum getir. “Fia cuma mau rebahan di kamar. Kangen rasanya sama ranjangku.”“Alah, ranjang butut begitu kok dikangenin. Ranjangmu di rumah Juragan pasti lebih besar, lho, Nak. Tadinya mau Ibu buang kasur bututmu itu.”“Eh, jangan, Bu. Buat kenang-kenangan.”“Kenang-kenangan itu harus yang menyenangkan, Nak. Masa kasur dekil begitu kamu jadikan kenangan.” Dasimah menggerutu tidak senang.Sofia tertawa kecil. “Banyak hal menyenangkan yang Sofia rasakan sepanjang hidup dan kasur itu jadi saksinya.” Ia mengusap lengan
“Bapak!” Sofia memeluk tubuh renta itu kuat-kuat, enggan menjauh. Tangan keriput Susanto mengusap kepala Sofia gemetaran.“Apa kabarmu, Nak?”“Baik, Pak.” Sofia terisak.“Kenapa menangis?”“Fia kangen Bapak.”“Bapak juga kangen sama kamu.” Susanto meraih bahu Sofia dan mendorongnya lembut. Ditelititnya wajah sang anak dengan seksama.“Kamu semakin cantik, Sofia, apa kamu bahagia?”Sofia menelan ludah. Ia ingin meluapkan segala kegelisahannya pada sang ayah, namun separuh hatinya tidak tega menambah beban pria tua itu.Ayahnya telah tersiksa rasa bersalah karena perkawinan paksa dengan Mahawira, dan Sofia tidak mau menambah pikulan bobot di pundak sang ayah dengan kisah deritanya.“Fia bahagia, Pak. Abang memp
Sofia memejamkan mata, tak sanggup jika harus melihat Wira menyerang Rean. Namun suaminya itu malah berpaling dan masuk ke mobil.Sofia menghela napas. Kepalanya terus tertunduk seolah beban dunia ada di tengkuknya yang malang. Gadis itu akhirnya ikut berpaling, namun saat ia hendak melangkah menyusul Wira ke mobil, Rean memanggilnya pelan. Begitu lirih hingga Sofia mengira itu hanyalah suara desiran angin semata.“Sofia ….”Gadis itu menyentuh dada yang terasa nyeri. Satu kata singkat yang keluar dari bibir Rean telah mengirisnya begitu perih.Ia ingin menoleh, menghampiri lelakinya yang terluka. Bertanya tentang keadaannya. Sakitkah itu, bisakah ia berjalan, sudahkah ia mendapatkan pengobatan sesuai. Namun tak ada keberanian tersisa. Wajah marah Wira membayang di pelupuk mata.Sofia menahan tangis seraya mengayun langkah berat menyusul sang suami yang sudah l
Tak sampai disitu, Wira yang seperti kesetanan menarik Sofia yang masih merintih dan menggiringnya ke luar kamar.“Bang!” lirih Sofia lemah. Ia tak bisa melakukan apapun selain mengimbangi langkah cepat Wira agar dirinya tidak terjatuh.Wira tidak berhenti hingga tiba di halaman rumah. Ajudannya, Ajat, tengah asyik mencuci mobil sambil bersenandung lagu dangdut kesukaannya.“Jatuh bangun akuuu mengejarmuuu… hu… hu…”“Ajat!” Wira meraung garang. “Kunci.” Ia menadahkan tangan, menagih.“Eh… iya mengejar… mengejar ayam!” Ajat yang terkejut nyaris mengarahkan selang air pada tuannya kalau saja tidak ada badan mobil di antara mereka yang menghalangi.“Kunci mobil kemarikan, Ajat!” Wira kembali berteriak tak sabar.“Eh, iya ini, Gan!