"Nikah, yuk?" ajak Radit yang sudah berada di kamar Dita.
Ucapan Radit yang tiba-tiba itu bagai petir di tengah gelapnya hari yang dirundung hujan deras. Membuat Dita semakin dalam bersembunyi dari kenyataan hidup di hadapannya.
Ia terbaring sakit karena asam lambungnya naik, terlalu memikirkan perjodohan yang direncanakan orang tua. Kini, harus pula menghadapi sosok lelaki yang terus muncul ke mana pun mata memandang. Menawarkan kandang harimau untuk terlepas dari sarang buaya.
Alih-alih menjawab ucapan Radit, Dita justru memiringkan tubuh. Menutupi dari ujung rambut hingga kaki dengan selimut. Membelakangi sosok lelaki yang duduk di tepi ranjangnya.
"Ta …," panggil Radit.
"Sakit, lo, ya!" ketus Dita.
"Gue sehat, nih. Kan elo yang sakit. Tiga hari gak ngantor," balas Radit.
Dita bergeming di balik selimut.
"Coba gue cek panas lo." Radit menarik selimut Dita. Menempelkan telapak tangan di kening gadis itu.
"Lumayan panas," ucapnya setelah membandingkan dengan suhu tubuh di dahinya.
"Lo kira gue pura-pura sakit?" Kini Dita mengubah posisi. Ia duduk di hadapan Radit.
"Gue gak bilang gitu." Radit mengedikkan bahu.
"Sana lo keluar dari kamar gue. Gue mau lanjut tidur." Dita kembali membaringkan tubuh. Menutup dengan selimut.
"Baru dijodohin ama buaya aja lo udah sakit ampe tiga hari gitu. Gimana kalau lo beneran nikah sama dia? Jangan-jangan entar lo masuk RSJ lagi," ucap Radit asal.
"Sembarangan lo kalau ngomong!" Dita menyibak selimut yang menutupi wajah. Ia mendelik tajam pada Radit. Memajukan bibirnya tanda kesal.
Ekspresi Dita yang seperti itu selalu membuat Radit gemas. Ingin rasanya ia melumat bibir sahabatnya yang bawel dan polos itu.
"Makanya, ayo nikah," ucapnya.
Mendengar ajakan sahabatnya yang kedua kali, membuat Dita yang tadi berbaring, seketika duduk dan mengetuk kepala Radit.
"Demen banget lo jitak kepala gue!" keluh Radit sambil mengelus kepalanya.
"Gue jitak lo biar saraf di kepala lo gak buntu," balas Dita.
"Itu saran terbaik yang gue punya biar lo selamat dari buaya."
"Iya, gue selamat dari buaya. Tapi masuk ke kandang macan. Gitu kan?"
"Haarrgg … gue makan juga lo. Ngatain gue macan!" ucap Radit seyara mempraktekkan seekor macan yang hendak menangkap mangsa. Mengangkat kedua tangan dan siap menerkam.
"Amit-amit gue nikah ama lo," keluh Dita. "Gue tuh, maunya nikah ama Kak Danu," lanjutnya. Tersenyum membayangkan lelaki yang ia sukai semasa mereka kuliah. Kakak kelas sekaligus ketua BEM di kampus.
Melihat sikap Dita yang berubah setelah menyebut nama Danu, hati Radit mendadak kesal. "Sadar, lo! Dia udah nikah." Radit mencubit gemas hidung Dita."Au! Sakit, tahu!" Dita meringis. Mengusap-usap hidungnya yang tidak mancung, tetapi juga tidak pesek.
"Emang kenapa kalau dia udah nikah? Kalau dia juga mau sama gue kan gak masalah?"
"Gue pikir fisik lo aja yang sakit, Ta. Rupanya saraf lo juga sakit!" Radit mencebik.
"Apa salahnya kalau misalnya gue jadi istri kedua Kak Danu?"
"Nikah diem-diem gitu?" tanya Radit. Tak mengerti jalan pikiran Dita.
"Yaa … kalau istrinya gak setuju kami nikah, mau apalagi kalau gak nikah diem-diem. Dari pada zina, kan?" jawab Dita.
"Dita, lo bayangin ya. Seandainya lo punya suami, terus suami lo nikah diem-diem sama wanita lain. Gimana perasaan lo?"
"Hmm … sorry, gue belum nikah. Jadi gak tahu!" jawab Dita asal. Menyepelekan kata-kata Radit.
"Perjodohan lo dengan Arya ternyata bikin lo jadi sinting!" Radit menyesalkan sikap Dita. Ia meninggalkan gadis itu dengan hati kesal. Emosi terpancar jelas dari raut wajah tampan beralis tebal.Ternyata, sahabatnya belum berubah. Masih saja mengharapkan Danu meski lelaki itu sudah beristri dan akan segera menjadi seorang ayah.
"Lah, kenapa dia yang marah?" gumam Dita heran melihat sikap Radit.
Gadis itu membaringkan tubuh. Mencoba kembali memejamkan mata. Namun, kalimat-kalimat yang keluar dari bibir Radit terus terngiang di telinga. Tentang pengandaian suaminya yang menikah diam-diam, juga tentang perjodohan yang membuatnya seperti ini.
Dita mendesah. Ia mengusap-usap wajah. Berharap ada jalan lain untuk lepas dari keinginan orang tua.
***
Setelah tiga hari sakit, Dita kembali masuk kerja. Namun, tak seperti biasanya, hari ini ia berangkat sendiri dengan taksi. Radit yang selalu menjemput kini hilang tanpa kabar. Sejak kemarin, setelah lelaki itu keluar dari kamarnya dengan wajah marah.
'Radit kenapa, sih? Gak biasanya. Masa dia marah sama gue cuma gara-gara gue bilang gak masalah nikah diem-diem sama laki orang?' batin Dita di dalam taksi. Bertanya-tanya perihal sikap Radit yang berubah.
Suara steletto beradu dengan lantai keramik. Dita berjalan anggun melewati ruang kerja beberapa divisi. Kedua matanya menatap lurus pada sosok leleki yang bekerja sebagai Internal Audit. Lelaki itu tampak sibuk memeriksa file di ruangan Accounting. Dita melewati ruangan itu dan terus memandang ke dalam melalui kaca bening pembatas ruangan. Namun, yang dilihat sama sekali tak menyadari kehadirannya.
"Dasar, Radit! Maksudnya apa coba nyuekin gue kayak gitu?" keluh Dita kesal.
Seharian bekerja, tetapi ia sama sekali tak melihat Radit. Sahabat yang selalu mengajaknya makan siang itu kini sibuk dengan aktivitasnya sendiri. Dita terpaksa menyantap makan siangnya sendirian di kantin.
***
"Dita, ada yang nyariin kamu tuh," kata Bu Meri, mama Dita.
Dita yang sedang asik berselancar di akun sosial media, kini menaruh ponselnya dan menghampiri sang mama di pintu kamar. "Siapa, Ma?" tanyanya. Berharap Radit yang datang.
"Calon menantu Mama," jawab Bu Meri tersenyum.
Dita mendesah. Kecewa. Ternyata bukan Radit. Ia lupa bahwa sahabatnya itu akan langsung menemuinya di kamar. Tak perlu minta izin seperti ini.
"Kenapa?" tanya Bu Meri yang melihat rasa malas dari gestur sang anak.
"Ma, Dita udah berapa kali ngasih tahu, si Arya itu buaya. Dita gak mau dijodohin sama dia …," keluh Dita.
"Mama lihat dia anak yang baik. Orang tuanya juga temen Mama waktu kuliah. Mama kenal bagaimana keluarganya."
"Mama cuma tahu waktu dia ke sini. Tapi gak tahu gimana dia di luar sana."
"Karena Mama gak liat sendiri, jadi Mama gak percaya. Bisa aja itu akal-akalan kamu buat menghindar."
"Tega, ya, Mama sama Dita. Mama gak ngerti perasaan Dita. Dita gak mau dijodohin. Apalagi sama Arya!" protes Dita. Air mata nyaris tumpah. Napasnya memburu. Darah serasa naik ke ubun-ubun. Ingin ia melampiaskan emosi. Namun, ia harus menahan kemarahan terhadap orang tua.
"Kamu lihat Mama?" Bu Meri menangkup wajah anak gadisnya dengan kedua telapak tangan. "Mama dan Papa kamu juga dulu dijodohkan. Dan lihat sekarang, keluarga kita bahagia, kan? Papa dan Mama saling mencintai. Punya anak dua yang sekarang sudah besar. Sudah pantas menikah."
"Tapi gak dengan Arya, Ma. Dita gak mau …." Pertahanan diri Dita rubuh. Air mata mengalir begitu saja tanpa perintah.
"Kamu sudah waktunya untuk berumah tangga. Kapan lagi Mama dan Papa akan menimang cucu? Nunggu Dito nikah? Dia masih SMA," kata Bu Meri.
"Apa cuma cucu yang Mama harapkan dari Dita?" Dita menatap nanar pada sang mama.
"Mama ingin kebahagiaan buat kamu. Sampai kapan kamu mau melajang terus?"
Dita bergeming. Ia tidak tahu harus menjawab apa atas pertanyaan mamanya. Belum ada sosok lelaki yang menarik hati selain Kak Danu. Namun, cinta bertepuk sebelah tangan. Pria idamannya menikah dengan wanita lain.
"Kalau kamu gak mau nikah sama Arya, bawa lelaki ke rumah untuk melamarmu. Satu minggu. Gak lebih dari itu!" tegas Bu Meri. "Sekarang, kamu temui Arya di bawah," perintahnya.
Dita segera menghapus air mata. Memoles bedak untuk menutupi wajah yang baru saja menangis. Dengan langkah berat ia menemui Arya. Menuruti perintah sang mama.
***
Jarum pendek pada jam dinding berada di angka 12, tetapi Dita masih belum dapat memejamkan mata. Perintah sekaligus ancaman dari Bu Meri membuat pikirannya tidak tenang. Menikah dengan Arya adalah momok menakutkan baginya.
"Dari mana gue bawa laki ke rumah buat ngelamar gue? Ini sama aja Mama bakalan menang. Terus gue jadi istri si buaya itu!" gerutu Dita.
Ia mondar-mandir di kamar. Memikirkam berbagai ide agar terlepas dari keinginan orang tua. Pikirannya melayang pada satu orang yang hari ini membuatnya bertanya-tanya.
"Radit! Cuma itu jalan satu-satunya," ucapnya.
Dita meraih ponsel di dekat bantal. Mengirimkan pesan pada sahabat yang seharian ini tidak ada kabar.
[Dit, udah tidur?]
Tak lama, sebuah chat masuk dari kontak Radit.
[Belum. Ada apa, Ta?]
[Lo seharian ini kenapa, sih? Gak jemput gue. Di kantor, lo ngindarin gue. Gak ada chat gak penting ke gue.]
[Lo kangen sama gue, ya, Ta?]
Balasan dari Radit membuat Dita mencebik. Lelaki itu selalu saja percaya diri dan menggodanya.
[Ge-er, lo! Besok jemput gue, ya? Sekalian ada yang mau gue omongin.]
[Apaan, tuh? Jadi penasaran.][Pokoknya gue tunggu kayak biasa. See you.][Oke, bawel. See you.]***
Suasana kafe yang Dita pilih cukup tenang. Tak seperti kantin di kantor yang sangat ramai dengan obrolan karyawan. Gadis itu memanfaatka jam istirahat kantor untuk mengajak Radit keluar. Membicarakan hal penting yang akan menyelamatkan hidupnya.
"Gue kagak salah denger?" Radit mengusap-usap telinganya.
"Lo butuh cutton bud atau paku buat ngorek telinga lo?" sindir Dita.
"Haha, sendok aja sekalian!" Radit terpingkal. "Lagian, kenapa sekarang lo ngajak gue nikah?"
"Eh, bukan gue yang ngajak elo. Elo tuh yang kemaren ngajak gue nikah," kilah Dita.
"Udah, deh, gak usah gengsi. Bilang aja lo mau jadi bini gue," ucap Radit percaya diri.
"Iih, serah lo, dah! Mau kagak lo nolongin gue?"
"Gak, ah!" tolak Radit. "Minta Kak Danu sana buat nikahin lo!" tukasnya.
"Tega lo, ya ama gue …," lirih Dita. Kedua matanya berkaca-kaca. Ekspresi Dita yang memelas dan hendak menangis itu membuat Radit serba salah.
"Jangan nangis di sini, malu."
"Bodo!"
"Plis, Ta … entar mereka ngira gue ngapa-ngapain lo." Radit memelas.
"Elo gak kasian ngeliat gue jadi bini Arya?"
"Gue gak suka dan gak akan pernah rela elo nikah sama Arya!" tegas Radit.
"Terus, lo tolongin gue, dong …." Dita memelas.
"Tentu gue bakal nolongin lo tanpa lo minta sekalipun. Tapi gue punya satu syarat," ucap Radit.
"Apa?"
"Jangan pernah minta cerai dalam rumah tangga kita meski hanya pura-pura!" tegas Radit.
Dita mengernyit. "Gue bakal selamanya jadi bini lo, dong!"
Radit mengedikkan bahu. Menyeruput es capucino di hadapannya.
"Sama aja gue lepas dari lubang buaya, masuk ke kandang macan seumur hidup," cetus Dita. Melipat kedua tangan di dada.
"Serah," balas Radit santai.
Dita mencebik. Mengangkat kedua tangannya ke depan. "Fine. Tapi gue juga punya syarat."
"Oke. Apa syaratnya?" tanya Radit. Antusias mendengarkan kalimat demi kalimat yang akan keluar dari bibir Dita.
"Kita gak boleh tidur satu kamar. Lo, gak boleh nyentuh-nyentuh gue. Pernikahan kita gak boleh ada temen kantor yang tau. Acaranya cuma buat keluarga doank. Pokoknya gue gak mau orang lain tau kalau kita udah nikah."
Radit menghela napas berat. Gadis keras kepala di hadapannya selalu ingin menang sendiri. Lagi … ia harus mengalah pada syarat-syarat yang Dita berikan.
"Oke. Tapi, setelah nikah kita bakal tinggal di rumah gue."
"Rumah orang tua lo?" tanya Dita.
"Bukan. Rumah gue. Gue beli rumah sendiri, tapi gak sebesar rumah orang tua. Cukuplah untuk hidup berdua."
Kelopak mata gadis itu menyipit. "Kapan lo beli rumah?" selidik Dita.
"Entar juga lo tahu kalau udah jadi bini gue." Radit mengerling.
"Ch!" Dita mencebik. "Pakai rahasia-rahasiaan lo ama gue. Kenapa gak tinggal di rumah ortu gue aja, sih?"
"Lo mau kepura-puraan kita ketahuan? Tinggal bareng ortu tuh sama aja ngebuka sandiwara kita pelan-pelan."
Gadis itu tampak berpikir. Mencerna apa yang dikatakan oleh pemuda di hadapannya. Ia pikir tak ada salahnya jika tinggal berdua di rumah Radit. Mereka justru tak perlu bersandiwara setiap hari.
"Oke. Setuju!" Dita mengacungkan kelingkingnya. Tanda perjanjian antara mereka telah disepakati.
Radit tertawa kecil melihat tingkah Dita. Seperti anak kecil yang berjanji pada teman. Namun, pada akhirnya ia juga turut melakukan apa yang dilakukan gadis itu. Menyatukan jari kelingking mereka.
"Setuju!"
❤❤❤
"Radit?" teriak kedua orang tua Dita serta Dito bersamaan. Tak menyangka lelaki yang setiap hari keluar masuk rumah mereka."Gak usah kaget gitu napa!" Dita menyandarkan punggung di sofa, melipat kedua tangan di dada."Mau-maunya Bang Radit nikah sama lo, Kak," ucap Dito, adik Dita satu-satunya."Emang kenapa? Sirik aja, lo!" Dita melotot."Ngapain gue sirik. Kasian ja sama Bang Radit. Entar punya bini yang suka kentut sembarangan, hobi makan, tukang ngambek. Hiii …," ejek Dito, membuat kedua orang tua mereka tertawa."Biarin! Bagus malah. Dia dah tahu kebiasaan gue, jadi gue gak perlu jaim,"
"Ma, masak apa?" tanya Dita yang baru saja melarikan diri dari godaan Radit di depan kamar."Loh, kamu ngapain ke sini?" tanya Bu Meri."Dita laper.""Mandi dulu sana. Nanti kalau sarapannya udah siap Mama panggil. Sekalian Radit juga.""Dita mau bantuin Mama masak aja, biar cepat," kilah Dita. Alasan utamanya adalah ingin menghindari Radit."Mandi sana! Pengantin baru kok jam segini belum mandi?" kata Mama Radit yang bergabung dengan Bu Meri di dapur."Jangan lupa keramas ya, kak!" goda Dito seraya duduk santai di kursi sambil meneguk susu."Apaan, lo? Anak kecil!" Dita melempar sebutir bawang merah ke arah adiknya. Beruntung, remaja itu berhasil menghindar."Cie, pipinya merah …," goda Dit
Perut Dita terasa keroncongan. Setelah lelah membereskan pakaiannya ke dalam lemari sore tadi, ia tertidur hingga pukul tujuh malam. Segera mandi dan menemui Radit yang sedang menonton televisi."Dit, keluar, yuk. Gue laper," ajak Dita."Sama, gue juga laper. Nungguin lo dari tadi molor mulu," jawab Radit."Ya udah, ayo!"Bukannya keluar rumah, Radit malah berjalan ke arah dapur"Ngapain ke dapur? Kita kan gak ada bahan makanan buat dimasak.""Emang lo bisa masak?" tanya Radit."Masak nasi. Hehe," jawab Dita cengengesan.Radit mengacak rambut sang istri dan tersenyum. Lalu kembali melangkah ke dapur."Taraaa!" ucap Radit seraya menunjukkan makanan yang sudah t
Dita mengempaskan tubuhnya yang lelah di kasur setelah berbelanja berbagai macam sayur dan ikan juga memasak bersama kedua wanita yang ia panggil Mama. Ia tak menyangka kedua mamanya akan datang. Niatnya yang tadi ingin membeli pakaian dan sepatunya, malah jadi aneka bahan masakan yang memenuhi lemari esnya. Ia tak tahu akan jadi apa bahan makanan tersebut, sementara ia hanya seorang diri di rumah itu.Memikirkan itu, Dita jadi teringat akan hadiah bulan madu yang akan diberikan oleh orang tua mereka. Pikirannya mulai berkelana, membayangkan Radit dengan genit menggodanya. Dita pun menggeleng-geleng cepat untuk menghalau pikiran tersebut.“Honeymoon? Oh My God! Bikin gue merinding aja!” Dita menepuk-nepuk pipinya, lalu menutup matanya untuk menjemput mimpi siang ini.Tak lama, sebuah notifikasi di ponselnya muncul. Dengan mata berat menahan kantuk, Dita membuka pesan di sebuah
Ponsel Dita kembali berdering untuk kedua kalinya. Kali ini, Dita menolak panggilan tersebut dan mengaktifkan mode pesawat di ponselnya. Ia sedang tak ingin berdebat atau pun mendengar candaan dari sahabat sekaligus suaminya itu.Hatinya dirundung duka melihat lelaki yang dicinta sedang ditimpa musibah. Ingin sekali ia mengusap air mata di pipi lelaki itu, tetapi Dita masih sadar bahwa itu tak mungkin di lakukannya. Ia pun menghapus air matanya sendiri hingga merasa benar-benar tak meninggalkan bekas di pipi. Ketika berbalik dan hendak melangkah ke dalam rumah Danu, Dita dikejutkan dengan satu sosok lelaki yang selama ini ia benci.“Arya?” ucap Dita spontan kala lelaki itu berdiri tepat di hadapannya.“Lo kaget banget ngeliat gue. Kayak ngeliat hantu,” kata Arya yang tak beranjak dari tempatnya berdiri.
Seminggu sudah Dita menjalani hari sebagai istri pura-pura. Selama itu pula ia menghabiskan waktunya yang membosankan di rumah Radit sendirian. Membosankan kala Radit sedang bekerja, tetapi menjengkelkan saat Radit meneleponnya. Dita tak punya tujuan untuk keluar rumah dan enggan pergi sendirian. Seperti orang bodoh, batinnya jika tak ada teman untuk sekadar berkeliling mal. Sedang ia tak mungkin mengajak rekan kerja karena sudah izin cuti dengan alasan keluar kota.Sedangkan Radit tak pernah absen menghabiskan waktu istirahat kerja dan sebelum tidur dengan menggoda Dita, baik lewat panggilan suara maupun panggilan video. Hari ini hari terakhir ia di Semarang. Rencananya Radit akan kembali ke Jakarta esok pagi.Sore ini pun, ketika Dita sedang mandi, Radit kembali meneleponnya. Ponselnya berdering berkali-kali sampai ia selesai mandi dan mengangkatnya."Lagi ngapain, Ta?""Baru siap mandi. Tumben lo nelepon sore-sore?"&nb
"Ngapain nyuri-nyuri kalau bisa terang-terangan? Yuuk? Gue udah gak sabar." Radit tersenyum manis dan mengerling. Ia lantas membuka jaketnya yang sedari tadi masih melekat di badan.Dita melotot. Apa yang Radit ucapkan dan lakukan benar-benar horor, membuatnya merinding. Ia lantas mengambil bantal dan mmemukukannya berkali-kali ke tubuh Radit."Ampun, Ta. Ampun!" teriak Radit diiringi tawa sambil tetap menangkis pukulan bantal Dita.Dita yang kesal terus saja memukul hingga Radit berada di depan kamarnya.Napas Dita memburu dengan mimik wajah yang sangat kesal. Sementara, Radit masih saja tertawa.Dita menutup pintu dan segera menguncinya. "Nyebeliiin!" pekiknya.Radit yang mendengar dari depan kamar semakin tertawa tanpa beranjak dari tempatnya.Dita mengambil jaket radit di ranjang dan membuka pintu. Radit yang masih berdiri di depan kamar lantas tersenyum.
"Gak cukup cuma ucapan terima kasih. Gue mau ...." Wajah Radit semakin mendekat. Bibirnya nyaris menyentuh bibir Dita. Semakin dekat dan ....‘Bugh!’ Dita menghantamkan keningnya ke kening Radit.“Aak!” Radit meringis. Dita segera bangkit dari pangkuannya.“Sukurin!” Dita langsung berlari ke depan kompor dan mengaduk supnya yang nyaris saja ia lupakan.“Gagal maning ... gagal maning, Son!”Dita pura-pura tak mendengar dan terus mengaduk sup. Ia merasakan ada sesuatu yang berdesir di dadanya. Belum sempat Dita menguasai gejolak yang tak ia pahami, tiba-tiba Radit menariknya pelan hingga mereka berhadapan.Tanpa kata, Radit memakaikan celemek dari kepala Dita, lalu mengikatkan tali di belakang pinggangnya hingga posis
“Dita?” Radit bergegas keluar ruangan dan menghampiri istrinya yang tampak terkejut dengan kejadian barusan.“Aku udah taruh makan siang kamu di meja,” ucap Dita dengan mencoba untuk bersikap biasa. Namun, dari raut wajahnya masih tampak emosi yang sulit diartikan oleh Radit.“Kita makan bareng, ya?” ajak Radit. Ia yakin bahwa istrinya telah salah paham padanya.“Enggak. Aku mau langsung pulang aja.” Dita mencoba tersenyum meski hatinya ingin menangis melihat suaminya sangat dekat dengan wanita lain.“Mbak Dita.” Tiara yang mengerti bahwa telah terjadi kesalahpahaman pun akhirnya keluar ruangan dan menghampiri sepasang suami istri itu.“Maaf, Mbak. Jangan salah pah—““Enggak. Tena
“Sayang, kamu gak apa-apa?”Dita menggeleng lemah setelah membersihkan mulutnya. “Rada pusing aja.”Radit memapahnya keluar kamar mandi.“Aku mau istirahat di kamar.”“Ya udah. Nanti aku bawakan sarapan kamu ke kamar.” Radit pun menuntun Dita ke kamar mereka.“Mama, Papa, maaf. Gak bisa ikut sarapan bareng,” ucap Radit.Orang tuanya tersenyum dan mengangguk.Di kamar, Radit membantu Dita berbaring. Ia memberikan air minum yang tersedia di meja di dekat kasur untuk Dita.“Kamu mau sarapan, Sayang?” tanya Radit setelah menaruh kembali gelas ke tempatnya.Dita menggeleng. “Aku lagi gak nafsu
Dita berbaring di kamarnya, kamar yang selalu ia tempati sebelum menikah. Ruangan itu kini telah disulap menjadi kamar pengantin bernuansa putih, dengan bunga-bunga di setiap sudutnya. Hatinya berdebar-debar menanti esok tiba, juga luahan rindu yang tiada tara.Sudah dua hari ini ia tidak bisa bertemu dengan Radit, sang kekasih yang akan ia kenalkan pada dunia esok hari sebagai seorang suami. Keluarga mereka melarang keduanya bertemu dua hari sebelum resepsi. Bahkan, mamanya Dita menyita ponsel sang anak agar tidak bisa menghubungi Radit.“Biar seperti pengantin baru lagi, biar rindu,” ujar Bu Meri kala itu.Kini, Dita benar-benar dilanda perasaan tersebut. Demam rindu yang begitu besar terhadap sosok lelaki yang selama ini berada di sisinya. Sangat berbeda kala Radit meninggalkannya selama seminggu ke Semarang, saat lelaki itu baru sehari melakuka
“Habis ini kita langsung pulang, ya,” goda dengan mengedipkan sebelah matanya.“Bukannya mau ke rumah Mama?”Radit mendesah. “Yah, gagal deh.”“Kayak malam gak bisa aja!”“Kamu sih menggoda banget. Aku kan jadi gak sabar.” Radit mencubit gemas hidung Dita.“Luntur deh make up ku. Buruan ah kancingin. Tukang fotonya dah nunggu tuh!” protes Dita.Radit pun menaikkan ritsleting gaun Dita. Ia lalu memutar tubuh istrinya ke kanan dan kiri.“Kenapa, sih? Udah buruan.”Radit menahan Dita yang hendak keluar kamar ganti.“Tunggu! Ganti aja nih baju,” ucapnya.
Radit meringis saat Dita menyentuh luka di wajahnya.“Sakit?” tanya Dita lembut.Radit mengangguk.“Emangnya waktu pukul-pukulan tadi gak sakit?”Kali ini Radit menggeleng.Gemas, Dita menekan luka di pelipis lelaki itu.“Aw! Kenapa sih?”“Kenapa harus pukul-pukulan coba? Bonyok kan nih muka!” geram Dita.“Gak laki kalau gak mukul,” jawab Radit asal.“Kalimat apaan, tuh!”“Kamu gak suka aku kasar atau gak suka aku mukulin Danu?” Pelan, Radit mendekatkan wajahnya dan menatap intens kedua bola mata Dita.
“Kalian di sini juga?”“Kak Danu?” Dita tampak bingung dengan kehadiran sosok lelaki itu. Berbeda dengan Radit yang justru memperhatikan lelaki yang berdiri di samping mejanya dari ujung kepala hingga kaki.“Apa maksudnya ‘juga’?’ tanya Dita dalam hati.“Apa ... Arya yang meminta kalian ke sini?” tanya Danu kemudian.Dita mengangguk, tetapi raut tanya tak hilang dari wajah cantiknya.“Kalau begitu, boleh saya tunggu dia di sini sama kalian?”Dita memandang Radit. Ia takut Radit akan cemburu seperti sebelumnya.“Dita, sini.” Radit meminta Dita duduk di sampingnya. Lalu, dengan kode matanya, ia menyuruh Danu duduk di hadapan mereka.
Dita mendekatkan wajahnya hingga berjarak beberapa senti saja dengan wajah Radit.“Kamu beneran amnesia atau cuma ngerjain aku?” tanyanya curiga.Tiba-tiba Radit menarik kepalanya hingga wajah mereka bersentuhan. Dita yang terkejut berusaha mengangkat kepala, tetapi Radit justru menekannya lebih kuat dan terus menghujani bibirnya dengan ciuman.Radit akhirnya melepaskan Dita setelah wanita itu tampak sulit bernapas.“Kamu ngerjain aku lagi ya!” Dita mengusap kasar mulutnya. Napasnya masih terengah-engah.“Aku cuma mau buktiin kalau kamu emang beneran istriku,” jawab Radit dengan santainya.“Kamu nyebelin banget siiih! Gak usah pura-pura amnesia kalau cuma mau nyium aku!”“Kenap
“Maaf untuk semuanya. Semua kesalahan dan kebodohanku selama ini,” lirih Dita. Tangannya berhenti mengusap keringat di wajah Radit.“Maaf ya udah nyinggung kamu,” balas Radit.Keduanya kini saling melempar senyum. Dita kembali mengusap keringat yang terus bercucuran di kening Radit. Tanpa sadar, ia terpesona dengan sosok Radit yang tengah mengganti ban.“Suka ngeliat aku berkeringat?” tanya Radit tiba-tiba, membuat Dita tersadar dan malu karena ketahuan menatap lelaki itu tanpa berkedip.“Eh, a-anu, aku ke mobil dulu. Di sini panas,” ucap Dita gugup. Ia hendak berdiri, tetapi Radit menahan tangannya.“Sesekali, ikutlah olah raga denganku.”Dita mengangguk.Radit tersenyum
“Yaah, napa gak sepuluh menit lagi aja sih sampainya?” keluh Radit yang sudah bersiap menyelam di lautan cinta bersama sang istri. Ia yang masih mengenakan celana panjangnya sejak semalam, lantas memakai kaus dan menuju ke pintu depan.Dita tertawa geli melihat ekspresi Radit yang gagal ‘sarapan' di kasur pagi ini. Ia pun segera mengenakan pakaian dan mengambil lingerie untuk segera dimasukkan ke mesin cuci.Di depan, Radit tampak bingung setelah membuka pintu. Tak ada sesiapa pun di sana. Namun, ada sebuah kotak berukuran sebesar kotak sepatu yang tergeletak di teras rumahnya.“Siapa yang naruh ini di sini?” gumam Radit.“Mana buburnya?” tanya Dita yang menghampirinya di pintu depan.“Gak ada. Tapi ada ini.” Radit mengambil kotak tersebut.