Perut Dita terasa keroncongan. Setelah lelah membereskan pakaiannya ke dalam lemari sore tadi, ia tertidur hingga pukul tujuh malam. Segera mandi dan menemui Radit yang sedang menonton televisi.
"Dit, keluar, yuk. Gue laper," ajak Dita.
"Sama, gue juga laper. Nungguin lo dari tadi molor mulu," jawab Radit.
"Ya udah, ayo!"
Bukannya keluar rumah, Radit malah berjalan ke arah dapur
"Ngapain ke dapur? Kita kan gak ada bahan makanan buat dimasak."
"Emang lo bisa masak?" tanya Radit.
"Masak nasi. Hehe," jawab Dita cengengesan.
Radit mengacak rambut sang istri dan tersenyum. Lalu kembali melangkah ke dapur.
"Taraaa!" ucap Radit seraya menunjukkan makanan yang sudah tertata di atas meja. Sekotak pizza, dua piring nasi goreng seafood, dua gelas jus terong belanda. Semua itu adalah makanan favorit Dita.
"Waaw ... kapan lo beli ini semua?" tanya Dita.
"Tadi, pas lo tidur. Pake Jekfood."
"Oh, thanks, ya. Enak nih kayaknya." Dita segera duduk dan menyantap nasi goreng di hadapannya.
Radit yang duduk di hadapan Dita tak serta merta menyantap makanannya. Ia menopang dagu dengan kedua tangan dan tersenyum melihat sang istri menyuap nasi ke mulut.
Dita yang merasa risih diperhatikan seperti itu menghentikan makannya. "Napa liatin gue kayak gitu? Lo gak pernah liat gue makan, apa?" tanyanya setelah menaruh sendok di piring.
"Tiap hari," jawab Radit singkat. Masih dengan posisi yang sama.
"Terus, ngapain lo kayak gitu. Gue risih nih mau makan diliatin gitu!"
"Makan berdua sebagai sepasang suami istri ternyata beda rasanya dengan makan berdua sebagai temen," kata Radit, menampakkan deretan giginya.
"Kita nikah cuma pura-pura. Jangan lupa lo. Di depan ortu aja kita belagak suami istri. Di luar itu, kita temen kayak biasa."
Kata-kata yang keluar dari mulut Dita dengan sekejap mampu mengubah suasana hati Radit. Senyum di wajahnya menghilang. Kedua tangannya kini beralih memegang sendok dan garpu. Matanya menatap kosong pada nasi goreng di meja. Ada sekeping hati yang terpukul dalam dada.
"Bener. Kita cuma pura-pura. Gue gak akan lupa," lirihnya. Radit memandang sekilas ke arah Dita. Berusaha menunjukkan senyumnya seperti biasa. Kemudian melahap makanannya dengan cepat tanpa menoleh sedikit pun pada wanita yang bertanya-tanya atas perubahan sikapnya itu.
Perubahan sikap Radit membuat Dita merasa tak enak hati. Ia tak mengerti di mana salahnya. Dari awal mereka nikah memang hanya pura-pura. Tak ada rasa cinta. Tujuannya agar Dita lepas dari perjodohan dengan Arya. Namun, Dita merasa Radit lebih sensitif semenjak mereka menikah. Mudah sekali berubah moodnya.
Dite berdehem pelan, lalu melanjutkan makannya yang sudah kehilangan selera. Juga rasa lapar yang mendadak hilang.
Hening. Ada kecanggungan yang tercipta dalam diri keduanya. Sebuah rasa yang membuat makan malam jadi kurang nyaman.
***
Radit duduk di serambi seraya menikmati semilir angin malam di rumah barunya. Ia memandangi langit yang berhias bintang-bintang. Seolah-olah mereka sedang menari di tengah alunan melodi galaksi.
"Ngapain, Dit?" tanya Dita yang tiba-tiba menghampiri dan duduk di sebelahnya.
"Gak ada, Ta. Lagi ngeliat langit aja," jawab Radit yang menoleh pada sang istri, lalu melemparkan pandangan ke taman.
"Cantik, ya. Banyak bintangnya," ucap Dita memandang langit.
"Gak secantik pemandangan yang ada di depan gue."
Dita menoleh mendengar kata-kata Radit. "Kolam ikan maksud lo?"
Radit tertawa mendengar ucapan Dita. Mencubit hidung wanita itu dengan gemas sambil berkata, "Dasar lemot!"
Suasana hati Radit yang tadi beku mulai mencair. Seorang Dita benar-benar mampu mengubah suasana hatinya dalam sekejap.
"Duh, sakit, tahu! Hobi banget lo narikin hidung gue," keluh Dita.
"Biar hidung lo mancung kayak gue," balas Radit.
"Iya deh, yang mancung itu!" Dita membuang muka.
"Ya elah, gitu aja ngambek." Radit mengacak-acak rambut Dita.
Dita menepis tangan Radit dengan kesal.
"Rambut gue juga, rajin amat lo ngacak-ngacak."
"Sensi banget, sih, Ta? Lagi dapet lo ya?"
"Kalau iya, kenapa?" ketus Dita. Ia sendiri tak mengerti mengapa moodnya malam ini kurang baik. Semenjak kecanggungan yang tercipta saat mereka makan malam, ia merasa sedikit kesal atas sikap radit yang sering membuatnya bertanya-tanya.
"Yaah ... gagal lagi deh malam pertama."
Dita mendelik. Mengetuk kening Radit.
"Mesum banget otak lo. Ngeri gue tinggal berdua sama lo di sini."
"Emang gue bakal ngapain lo?"
"Ya ... mana gue tahu!" Dita mengangkat kedua bahu.
"Dari pada diem-diem gue berbuat macem-macem sama lo, mending gue minta terang-terangan. Betul gak, istriku?" Radit tersenyum, menaik-turunkan kedua alisnya.
"Iih, sarap lo!" Dita geli melihat ekspresi Radit. Ia beranjak dari tempat duduk.
"Mau ke mana, Ta?"
"Tidur! Merinding gue lama-lama duduk berdua sama lo." Dita melanjutkan langkah.
"Besok gue ke Semarang," kata Radit dengan mengeraskan suaranya, agar Dita yang sudah masuk ke rumah mendengar.
"Semarang?" Dita berbalik dan menatap heran lelaki itu. "Emangnya lo gak cuti?"
"Cuti buat apa?" tanya Radit balik.
"Cuti nikah," jawab Dita.
"Emangnya lo ngambil cuti?"
"Ya iya lah. Gue ngambil cuti seminggu. Gue kira kan habis nikah kita masih tinggal di rumah ortu, seenggaknya selama seminggu. Tahunya lo ngajak gue pindah hari ini," jelas Dita.
"Sorry, Ta. Gue gak ngomong dulu sama lo. Pengennya biar surprise gitu."
Dita menghela napas. Kembali duduk di sebelah Radit.
"Kenapa lo mendadak ke Semarang?"
"Bukan mendadak. Gue udah di suruh Pak Yusril buat ngaudit cabang Semarang sejak hari Kamis, dua hari sebelum kita nikah. Cuma gue minta undur di hari Senin. Gue beralasan kalau laporan keuangan di pusat masih ada yang mesti gue koreksi," jelas Radit.
Dita mengangguk. "Berapa lama lo di sana?"
"Seminggu."
"Seminggu?!" pekik Dita kaget.
Radit mengangguk.
"Terus gue mesti tinggal di rumah lo sendiri selama lo di sana, gitu?" Dita kembali kesal dengan sikap Radit yang tak memberitahu apapun padanya.
"Lo berani, kan?" tanya Radit pelan.
Dita memukul lengan Radit. Rasa kesalnya kian bertambah. Ia menarik napas kasar. Merapatkan gigi dan menatap tajam pada lelaki itu.
"Lo ngajak gue pindah hari ini tanpa ngasih tahu gue dulu. Lo gak ngambil cuti juga gak ngasih tahu gue. Terus, sekarang tiba-tiba lo mau ninggalin gue sendiri tinggal di sini. Maksud lo tuh apa, sih?" Dita meninggikan suara.
"Gue gak maksud apa-apa, Ta. Coba lo bayangin kalau kita masih tinggal di rumah ortu. Terus, baru nikah dua hari, gue udah tugas ke Semarang. Ortu lo pasti curiga," jelas Radit.
Dita mengusap kasar wajahnya.
"Kenapa jadi ribet gini, sih?" kesalnya.
"Gak ada yang ribet, Ta. Pakaian kotor lo tinggal bawa ke loundry. Kalau lo laper tinggal pesen Jekfood. Ini, lo pakai duit di situ buat kebutuhan lo." Radit mengeluarkan kartu ATM dan menyodorkannya ke Dita.
Dita menepis tangan Radit, membuat kartu itu terjatuh.
"Gue gak butuh!"
Sejenak Radit memejamkan mata dan mengembuskan napas dalam-dalam, lalu mengambil kembali kartu ATM di lantai.
"Lo masih takut tinggal sendirian?" tanya Radit lembut. Ia tahu kalau Dita takut sendirian di rumah. Namun, ia juga tak punya pilihan.
Dita membuang muka dari Radit dan menatap lampu taman. Ia lipat kedua tangan di dada. Dalam hati mengiyakan ucapan lelaki itu. Ia memang tak berani tinggal di rumah seorang diri. Terlebih, rumah yang baru ditempati. Ada sebuah perasaan was-was tanpa sebab. Ia sendiri tak mengerti alasan atas ketakutannya.
"Gak ada yang perlu ditakuti, Ta. Lo harus lawan ketakutan lo itu. Gak selamanya lo selalu ditemani orang lain."
"Gue lagi gak mau denger nasehat lo." Dita berdiri. Hendak masuk ke dalam rumah, tetapi Radit menahan tangannya.
"Elo mau ikut gue? Sekalian liburan di sana." Radit mencoba menawarkan opsi lain.
"Ogah!" Dita menepis tangan Radit dengan kasar. Meninggalkan sosok lelaki yang tertunduk lesu di bawah sinar rembulan.
Radit menghela napas berat. Ia sudah menduga Dita akan marah. Namun, tak menyangka hatinya akan terasa sesakit ini.
***
Jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi ketika Dita membuka mata. Membersihkan diri dalam kamar mandi yang berada di kamarnya. Berniat keluar untuk mencari sarapan.
Dita mengerutkan dahi ketika membuka pintu kamar. Sebuah amplop putih dengan tulisan 'to Dita' menempel di sana. Sebuah kartu ATM milik Radit, juga kertas dengan tulisan tangan ada di dalam amplop.
[Dita, gue minta maaf udah bikin lo marah.
Semua yang gue lakuin ada alasannya.
Gue janji bakal ngajak lo jalan-jalan ke mana lo mau sebagai permintaan maaf gue.
Oh ya, itu ATM gue. Lo pake aja. Pinnya tanggal nikahan kita.
Biar pun kita nikah cuma pura-pura, tapi dalam agama dan negara, kita sah suami istri.
Jadi, kebutuhan lo tetap jadi tanggung jawab gue.
Tiap bulan gue transfer ke situ, buat lo pake.
Gue berangkat jam 5 tadi. Kalau lo mau nyusul gue ke sini, gue seneng banget, Ta. Sekalian kita honeymoon, nyetak anak. Haha
Baik-baik lo di rumah ya, Ta.
Tertanda,
Si ganteng sahabat Dita.
Sekarang udah jadi suaminya.]
Selesai membacanya, Dita melipat kembali surat itu.
"Dih, dasar Radit! Siapa juga yang mau honeymoon sama lo. Gue maunya sama orang yang gue suka," gumam Dita.
Tiba-tiba ia teringat sosok Danu. Lelaki yang sejak menjadi Mahasiswa hingga saat ini masih menempati hatinya. Sayang, cinta bertepuk sebelah tangan. Dita harus menelan pil pahit atas cinta yang tak berbalas.
"Kak Danu … why did you leave me? Hiks …." Dita mendramatisir. "Radit sialan! Dia ngejebak gue. Duuh, Dita bego! Bisa-bisanya lo setuju sama syarat yang Radit kasih. Sampai tua lo bakal hidup sebagai istri Radit …!" Dita merutuk diri. Menyesali penerimaannya atas syarat dari Radit sebelum pernikahan.
Ia melirik pada kartu kecil berwarna kuning. Terlintas sebuah ide yang membuatnya menarik sebelah bibir ke atas.
"Bakal gue kuras ATM lo, Radit!"
Dita bergegas keluar rumah. Ia ingin makan dan membeli apa saja menggunakan ATM Radit. Belum sempat membuka pintu, terdengar suara ketukan dari luar.
'Siapa, tuh? Gak mungkin Radit, 'kan?' batinnya bertanya-tanya.
Dita mengintip dari jendela sebelum membuka pintu, sebagai bentuk kewaspadaan terhadap orang asing yang datang ke rumah. Ia terkejut mendapati dua orang wanita yang ia kenal sedang menunggu di luar.
"Mama dan Tante Ami? Oh My God, apa yang harus gue bilang kalau mereka nanyain Radit?" Dita menggigit bibir. Tak lama, ia buka pintu perlahan.
"Mama, Mama Ami, kok pagi-pagi udah sampai sini?" tanyanya dengan berusaha tetap tenang.
"Emang gak boleh?" tanya Mama Dita.
"Boleh, dong, Ma. Masuk mama-mamaku yang cantik …," ucapnya pada kedua wanita paruh baya itu.
"Mau ke mana, Ta? Cantik banget," tanya Bu Ami.
"Eh, anu … mau ke pasar, Ma. Iya, ke pasar," jawab Dita sedikit gugup.
"Emang kamu mau belanja apa?" tanya Bu Meri.
"Belanja sayur donk, Mama," jawab Dita, tersenyum lebar.
"Emang bisa masak?" tanya mamanya lagi.
"Ini mau belajar. Tinggal d******d cookpit.”
"Ngomong-ngomong, Radit mana, Ta?" tanya Bu Ami yang sedari tadi tak melihat kehadiran anaknya.
'Waduh, mampus gue. Mesti jawab apa, nih?' batin Dita.
"Kok diem? Suami kamu mana?" tanya Bu Meri.
"Radit ke kantor, Ma," jawab Dita pelan.
"Baru nikah kok udah ngantor. Gimana, sih? Emang kalian gak honeymoon?" Mamanya Radit heran dengan anaknya yang gila kerja.
"Darurat, Ma."
"Darurat apanya?"
"Itu, ada masalah laporan keuangan di kantor. Radit mesti ngaudit dari tahun lalu. Entar kita honeymoon kalau semuanya udah beres." Dita menampakkan deretan gigi. Jawaban keluar begitu saja dari bibirnya. Sekarang ia bisa sedikit lega.
"Ya udah, kalau gitu. Kalian mau honeymoon ke mana? Nanti Mama dan Papa yang siapin semuanya, " tanya mamanya Dita.
"Siapin apa, Ma?" tanya Dita heran.
"Ya siapin keperluan honeymoon kalian. Tiketnya, juga hotel buat kalian berdua. Hitung-hitung hadiah pernikahan dari para orang tua," jawab Bu Meri.
“Iya, nanti Mama juga ikut nyiapin. Jadi kalian tinggal pergi aja nikmati bulan madu,” sambung mamanya Radit.
'What? Honeymoon sama Radit?' pekik Dita dalam hati.
Dita membayangkan kejadian pagi hari di kamarnya pasca pernikahan. Wajah Radit yang nakal, senyumannya, otak mesumnya, membuat Dita bergidik. Menggigit jari.
“Udah jangan bengong. Nanti pikirkan aja mau honeymoon ke mana, terus kasih tahu Mama. Sekarang kita belanja dulu terus masak buat suami kamu. Seorang istri harus bisa masak,” ucap mamanya Dita.
Dita hanya meringis mendengar penuturan mamanya.
‘Duh, napa jadi gini, sih?’ keluhnya dalam hati.
***
Dita mengempaskan tubuhnya yang lelah di kasur setelah berbelanja berbagai macam sayur dan ikan juga memasak bersama kedua wanita yang ia panggil Mama. Ia tak menyangka kedua mamanya akan datang. Niatnya yang tadi ingin membeli pakaian dan sepatunya, malah jadi aneka bahan masakan yang memenuhi lemari esnya. Ia tak tahu akan jadi apa bahan makanan tersebut, sementara ia hanya seorang diri di rumah itu.Memikirkan itu, Dita jadi teringat akan hadiah bulan madu yang akan diberikan oleh orang tua mereka. Pikirannya mulai berkelana, membayangkan Radit dengan genit menggodanya. Dita pun menggeleng-geleng cepat untuk menghalau pikiran tersebut.“Honeymoon? Oh My God! Bikin gue merinding aja!” Dita menepuk-nepuk pipinya, lalu menutup matanya untuk menjemput mimpi siang ini.Tak lama, sebuah notifikasi di ponselnya muncul. Dengan mata berat menahan kantuk, Dita membuka pesan di sebuah
Ponsel Dita kembali berdering untuk kedua kalinya. Kali ini, Dita menolak panggilan tersebut dan mengaktifkan mode pesawat di ponselnya. Ia sedang tak ingin berdebat atau pun mendengar candaan dari sahabat sekaligus suaminya itu.Hatinya dirundung duka melihat lelaki yang dicinta sedang ditimpa musibah. Ingin sekali ia mengusap air mata di pipi lelaki itu, tetapi Dita masih sadar bahwa itu tak mungkin di lakukannya. Ia pun menghapus air matanya sendiri hingga merasa benar-benar tak meninggalkan bekas di pipi. Ketika berbalik dan hendak melangkah ke dalam rumah Danu, Dita dikejutkan dengan satu sosok lelaki yang selama ini ia benci.“Arya?” ucap Dita spontan kala lelaki itu berdiri tepat di hadapannya.“Lo kaget banget ngeliat gue. Kayak ngeliat hantu,” kata Arya yang tak beranjak dari tempatnya berdiri.
Seminggu sudah Dita menjalani hari sebagai istri pura-pura. Selama itu pula ia menghabiskan waktunya yang membosankan di rumah Radit sendirian. Membosankan kala Radit sedang bekerja, tetapi menjengkelkan saat Radit meneleponnya. Dita tak punya tujuan untuk keluar rumah dan enggan pergi sendirian. Seperti orang bodoh, batinnya jika tak ada teman untuk sekadar berkeliling mal. Sedang ia tak mungkin mengajak rekan kerja karena sudah izin cuti dengan alasan keluar kota.Sedangkan Radit tak pernah absen menghabiskan waktu istirahat kerja dan sebelum tidur dengan menggoda Dita, baik lewat panggilan suara maupun panggilan video. Hari ini hari terakhir ia di Semarang. Rencananya Radit akan kembali ke Jakarta esok pagi.Sore ini pun, ketika Dita sedang mandi, Radit kembali meneleponnya. Ponselnya berdering berkali-kali sampai ia selesai mandi dan mengangkatnya."Lagi ngapain, Ta?""Baru siap mandi. Tumben lo nelepon sore-sore?"&nb
"Ngapain nyuri-nyuri kalau bisa terang-terangan? Yuuk? Gue udah gak sabar." Radit tersenyum manis dan mengerling. Ia lantas membuka jaketnya yang sedari tadi masih melekat di badan.Dita melotot. Apa yang Radit ucapkan dan lakukan benar-benar horor, membuatnya merinding. Ia lantas mengambil bantal dan mmemukukannya berkali-kali ke tubuh Radit."Ampun, Ta. Ampun!" teriak Radit diiringi tawa sambil tetap menangkis pukulan bantal Dita.Dita yang kesal terus saja memukul hingga Radit berada di depan kamarnya.Napas Dita memburu dengan mimik wajah yang sangat kesal. Sementara, Radit masih saja tertawa.Dita menutup pintu dan segera menguncinya. "Nyebeliiin!" pekiknya.Radit yang mendengar dari depan kamar semakin tertawa tanpa beranjak dari tempatnya.Dita mengambil jaket radit di ranjang dan membuka pintu. Radit yang masih berdiri di depan kamar lantas tersenyum.
"Gak cukup cuma ucapan terima kasih. Gue mau ...." Wajah Radit semakin mendekat. Bibirnya nyaris menyentuh bibir Dita. Semakin dekat dan ....‘Bugh!’ Dita menghantamkan keningnya ke kening Radit.“Aak!” Radit meringis. Dita segera bangkit dari pangkuannya.“Sukurin!” Dita langsung berlari ke depan kompor dan mengaduk supnya yang nyaris saja ia lupakan.“Gagal maning ... gagal maning, Son!”Dita pura-pura tak mendengar dan terus mengaduk sup. Ia merasakan ada sesuatu yang berdesir di dadanya. Belum sempat Dita menguasai gejolak yang tak ia pahami, tiba-tiba Radit menariknya pelan hingga mereka berhadapan.Tanpa kata, Radit memakaikan celemek dari kepala Dita, lalu mengikatkan tali di belakang pinggangnya hingga posis
“APA?!” Pekik Radit dan Dita bersamaan. Sangking terkejutnya, Radit sampai mengempaskan begitu saja kaki Dita hingga wanita di sampingnya itu nyaris terjatuh.“Kamu gak apa-apa, Ta?” tanya Radit.Dita mencebik dan menatapnya jengkel.“Kalian kenapa kaget gitu?” tanya Bu Meri yang heran melihat sikap anak dan menantunya saat ia bilang akan tidur di sini.“E-eh, enggak, kok, Ma. Cuma … Mama kok gak bilang mau tidur di sini. Mama, Papa, dan Dito apa udah bawa pakaian?” tanya Dita.“Udah. Tuh di mobil,” jawab Bu Meri.Dita dan Radit saling berpandangan. Mereka panik. Takut ketahuan kalau Radit dan Dita tidak tidur satu kamar. Bahkan, bisa ketahuan sandiwara yang mereka lakoni. Sebab, semua barang-bara
Dita memperhatikan wajah Radit yang tampak sudah tertidur. Ada banyak tanya yang berkecamuk di dadanya. Perubahan sikap Radit yang signifikan sejak mereka menikah membuat Dita merasa serba salah. Ingin ia bertanya, ada apa dengan Radit sebenarnya. Namun, separuh hatinya menolak. Entah mengapa, Dita tak mengerti.‘Apa lo lagi ada masalah di kantor, Dit?’ pikirnya. Perkiraannya kini mengarah pada hasil audit Radit, yang mungkin saja ditemukan beberapa masalah dalam laporan keuangan perusahaan tempat mereka bekerja.‘Gue siap jadi tempat curhat lo, Dit,’ batinnya.Dita terus menatap Radit dan berusaha menerka apa yang sedang dialami lelaki yang berbaring di sampingnya itu. Namun, tiba-tiba Radit mengangkat kepalanya dan mendekat ke wajah Dita.“Gue gak bisa tidur kalau lo liatin terus.”
“Cinta itu selalu ingin menjaganya, melindunginya, membuatnya nyaman, dan merasa aman kala dia di dekat lo. Sekalipun dia sadar, hanya dia yang mencinta.”Angin membawa kalimat Radit memasuki gendang telinga Dita. Tatapan lelaki itu kala menatapnya menusuk dalam hingga membuat Dita merasakan sesuatu, yang berbeda di sorot matanya. Hening sesaat menyelimuti keduanya. Ada rasa canggung yang tercipta, membuat Dita memalingkan wajah, menatapi ombak-ombak yang tak pernah berhenti berkejaran.Sementara, Radit masih terus memandangnya meski hanya dari samping wajah Dita. Tangannya perlahan naik hingga sejajar dengan kepala wanita itu. Nyaris saja telapak tangan lebar Radit menyentuh rambut Dita. Dengan cepat ia turunkan lagi sebelum Dita menoleh.“Ada seseorang yang lo suka, Dit?” tanya Dita tiba-tiba sambil berjalan pelan.
“Dita?” Radit bergegas keluar ruangan dan menghampiri istrinya yang tampak terkejut dengan kejadian barusan.“Aku udah taruh makan siang kamu di meja,” ucap Dita dengan mencoba untuk bersikap biasa. Namun, dari raut wajahnya masih tampak emosi yang sulit diartikan oleh Radit.“Kita makan bareng, ya?” ajak Radit. Ia yakin bahwa istrinya telah salah paham padanya.“Enggak. Aku mau langsung pulang aja.” Dita mencoba tersenyum meski hatinya ingin menangis melihat suaminya sangat dekat dengan wanita lain.“Mbak Dita.” Tiara yang mengerti bahwa telah terjadi kesalahpahaman pun akhirnya keluar ruangan dan menghampiri sepasang suami istri itu.“Maaf, Mbak. Jangan salah pah—““Enggak. Tena
“Sayang, kamu gak apa-apa?”Dita menggeleng lemah setelah membersihkan mulutnya. “Rada pusing aja.”Radit memapahnya keluar kamar mandi.“Aku mau istirahat di kamar.”“Ya udah. Nanti aku bawakan sarapan kamu ke kamar.” Radit pun menuntun Dita ke kamar mereka.“Mama, Papa, maaf. Gak bisa ikut sarapan bareng,” ucap Radit.Orang tuanya tersenyum dan mengangguk.Di kamar, Radit membantu Dita berbaring. Ia memberikan air minum yang tersedia di meja di dekat kasur untuk Dita.“Kamu mau sarapan, Sayang?” tanya Radit setelah menaruh kembali gelas ke tempatnya.Dita menggeleng. “Aku lagi gak nafsu
Dita berbaring di kamarnya, kamar yang selalu ia tempati sebelum menikah. Ruangan itu kini telah disulap menjadi kamar pengantin bernuansa putih, dengan bunga-bunga di setiap sudutnya. Hatinya berdebar-debar menanti esok tiba, juga luahan rindu yang tiada tara.Sudah dua hari ini ia tidak bisa bertemu dengan Radit, sang kekasih yang akan ia kenalkan pada dunia esok hari sebagai seorang suami. Keluarga mereka melarang keduanya bertemu dua hari sebelum resepsi. Bahkan, mamanya Dita menyita ponsel sang anak agar tidak bisa menghubungi Radit.“Biar seperti pengantin baru lagi, biar rindu,” ujar Bu Meri kala itu.Kini, Dita benar-benar dilanda perasaan tersebut. Demam rindu yang begitu besar terhadap sosok lelaki yang selama ini berada di sisinya. Sangat berbeda kala Radit meninggalkannya selama seminggu ke Semarang, saat lelaki itu baru sehari melakuka
“Habis ini kita langsung pulang, ya,” goda dengan mengedipkan sebelah matanya.“Bukannya mau ke rumah Mama?”Radit mendesah. “Yah, gagal deh.”“Kayak malam gak bisa aja!”“Kamu sih menggoda banget. Aku kan jadi gak sabar.” Radit mencubit gemas hidung Dita.“Luntur deh make up ku. Buruan ah kancingin. Tukang fotonya dah nunggu tuh!” protes Dita.Radit pun menaikkan ritsleting gaun Dita. Ia lalu memutar tubuh istrinya ke kanan dan kiri.“Kenapa, sih? Udah buruan.”Radit menahan Dita yang hendak keluar kamar ganti.“Tunggu! Ganti aja nih baju,” ucapnya.
Radit meringis saat Dita menyentuh luka di wajahnya.“Sakit?” tanya Dita lembut.Radit mengangguk.“Emangnya waktu pukul-pukulan tadi gak sakit?”Kali ini Radit menggeleng.Gemas, Dita menekan luka di pelipis lelaki itu.“Aw! Kenapa sih?”“Kenapa harus pukul-pukulan coba? Bonyok kan nih muka!” geram Dita.“Gak laki kalau gak mukul,” jawab Radit asal.“Kalimat apaan, tuh!”“Kamu gak suka aku kasar atau gak suka aku mukulin Danu?” Pelan, Radit mendekatkan wajahnya dan menatap intens kedua bola mata Dita.
“Kalian di sini juga?”“Kak Danu?” Dita tampak bingung dengan kehadiran sosok lelaki itu. Berbeda dengan Radit yang justru memperhatikan lelaki yang berdiri di samping mejanya dari ujung kepala hingga kaki.“Apa maksudnya ‘juga’?’ tanya Dita dalam hati.“Apa ... Arya yang meminta kalian ke sini?” tanya Danu kemudian.Dita mengangguk, tetapi raut tanya tak hilang dari wajah cantiknya.“Kalau begitu, boleh saya tunggu dia di sini sama kalian?”Dita memandang Radit. Ia takut Radit akan cemburu seperti sebelumnya.“Dita, sini.” Radit meminta Dita duduk di sampingnya. Lalu, dengan kode matanya, ia menyuruh Danu duduk di hadapan mereka.
Dita mendekatkan wajahnya hingga berjarak beberapa senti saja dengan wajah Radit.“Kamu beneran amnesia atau cuma ngerjain aku?” tanyanya curiga.Tiba-tiba Radit menarik kepalanya hingga wajah mereka bersentuhan. Dita yang terkejut berusaha mengangkat kepala, tetapi Radit justru menekannya lebih kuat dan terus menghujani bibirnya dengan ciuman.Radit akhirnya melepaskan Dita setelah wanita itu tampak sulit bernapas.“Kamu ngerjain aku lagi ya!” Dita mengusap kasar mulutnya. Napasnya masih terengah-engah.“Aku cuma mau buktiin kalau kamu emang beneran istriku,” jawab Radit dengan santainya.“Kamu nyebelin banget siiih! Gak usah pura-pura amnesia kalau cuma mau nyium aku!”“Kenap
“Maaf untuk semuanya. Semua kesalahan dan kebodohanku selama ini,” lirih Dita. Tangannya berhenti mengusap keringat di wajah Radit.“Maaf ya udah nyinggung kamu,” balas Radit.Keduanya kini saling melempar senyum. Dita kembali mengusap keringat yang terus bercucuran di kening Radit. Tanpa sadar, ia terpesona dengan sosok Radit yang tengah mengganti ban.“Suka ngeliat aku berkeringat?” tanya Radit tiba-tiba, membuat Dita tersadar dan malu karena ketahuan menatap lelaki itu tanpa berkedip.“Eh, a-anu, aku ke mobil dulu. Di sini panas,” ucap Dita gugup. Ia hendak berdiri, tetapi Radit menahan tangannya.“Sesekali, ikutlah olah raga denganku.”Dita mengangguk.Radit tersenyum
“Yaah, napa gak sepuluh menit lagi aja sih sampainya?” keluh Radit yang sudah bersiap menyelam di lautan cinta bersama sang istri. Ia yang masih mengenakan celana panjangnya sejak semalam, lantas memakai kaus dan menuju ke pintu depan.Dita tertawa geli melihat ekspresi Radit yang gagal ‘sarapan' di kasur pagi ini. Ia pun segera mengenakan pakaian dan mengambil lingerie untuk segera dimasukkan ke mesin cuci.Di depan, Radit tampak bingung setelah membuka pintu. Tak ada sesiapa pun di sana. Namun, ada sebuah kotak berukuran sebesar kotak sepatu yang tergeletak di teras rumahnya.“Siapa yang naruh ini di sini?” gumam Radit.“Mana buburnya?” tanya Dita yang menghampirinya di pintu depan.“Gak ada. Tapi ada ini.” Radit mengambil kotak tersebut.