“APA?!” Pekik Radit dan Dita bersamaan. Sangking terkejutnya, Radit sampai mengempaskan begitu saja kaki Dita hingga wanita di sampingnya itu nyaris terjatuh.
“Kamu gak apa-apa, Ta?” tanya Radit.
Dita mencebik dan menatapnya jengkel.
“Kalian kenapa kaget gitu?” tanya Bu Meri yang heran melihat sikap anak dan menantunya saat ia bilang akan tidur di sini.
“E-eh, enggak, kok, Ma. Cuma … Mama kok gak bilang mau tidur di sini. Mama, Papa, dan Dito apa udah bawa pakaian?” tanya Dita.
“Udah. Tuh di mobil,” jawab Bu Meri.
Dita dan Radit saling berpandangan. Mereka panik. Takut ketahuan kalau Radit dan Dita tidak tidur satu kamar. Bahkan, bisa ketahuan sandiwara yang mereka lakoni. Sebab, semua barang-bara
Dita memperhatikan wajah Radit yang tampak sudah tertidur. Ada banyak tanya yang berkecamuk di dadanya. Perubahan sikap Radit yang signifikan sejak mereka menikah membuat Dita merasa serba salah. Ingin ia bertanya, ada apa dengan Radit sebenarnya. Namun, separuh hatinya menolak. Entah mengapa, Dita tak mengerti.‘Apa lo lagi ada masalah di kantor, Dit?’ pikirnya. Perkiraannya kini mengarah pada hasil audit Radit, yang mungkin saja ditemukan beberapa masalah dalam laporan keuangan perusahaan tempat mereka bekerja.‘Gue siap jadi tempat curhat lo, Dit,’ batinnya.Dita terus menatap Radit dan berusaha menerka apa yang sedang dialami lelaki yang berbaring di sampingnya itu. Namun, tiba-tiba Radit mengangkat kepalanya dan mendekat ke wajah Dita.“Gue gak bisa tidur kalau lo liatin terus.”
“Cinta itu selalu ingin menjaganya, melindunginya, membuatnya nyaman, dan merasa aman kala dia di dekat lo. Sekalipun dia sadar, hanya dia yang mencinta.”Angin membawa kalimat Radit memasuki gendang telinga Dita. Tatapan lelaki itu kala menatapnya menusuk dalam hingga membuat Dita merasakan sesuatu, yang berbeda di sorot matanya. Hening sesaat menyelimuti keduanya. Ada rasa canggung yang tercipta, membuat Dita memalingkan wajah, menatapi ombak-ombak yang tak pernah berhenti berkejaran.Sementara, Radit masih terus memandangnya meski hanya dari samping wajah Dita. Tangannya perlahan naik hingga sejajar dengan kepala wanita itu. Nyaris saja telapak tangan lebar Radit menyentuh rambut Dita. Dengan cepat ia turunkan lagi sebelum Dita menoleh.“Ada seseorang yang lo suka, Dit?” tanya Dita tiba-tiba sambil berjalan pelan.
Tepat pukul sepuluh malam, terdengar deru mobil Radit memasuki halaman rumah. Dita yang masih berbaring sambil menonton drama Korea di kamarnya segera mengintip dari jendela untuk memastikan bahwa itu benar-benar Radit. Radit pun keluar dari dalam mobil dengan wajah yang tampak lesu di bawah sinar rembulan dan terpaan cahaya lampu taman. Lelah terlihat jelas dari cara ia berjalan.Dita segera berbaring di kasurnya begitu Radit hendak membuka pintu. Ia berpura-pura tidur demi menghindari sahabatnya itu. Dita masih kesal akibat Radit meninggalkannya begitu saja di kantin.Radit masuk rumah dan mengunci pintu kembali. Ia lalu berjalan menuju kamarnya. Langkahnya terhenti saat berada tepat di depan kamar Dita. Ia memandangi pintu kamar bercat cokelat tua itu. Perlahan tangannya memutar handle pintu dan mendorongnya sedikit. Tampak Dita sedang tertidur.Radit menar
Dita kembali menerima pesan singkat dari Radit saat ia membereskan barang-barangnya sebelum pulang kerja. Lagi-lagi Radit lembur hari ini dan tak bisa pulang bersamanya. Dita menghela napas. Dilihatnya cincin di jari manis yang melingkar. Sebuah permata menghias indah lingkaran emas tersebut.‘Haruskah gue lepas cincin ini biar gak ada yang tahu kalau gue udah nikah?’ batinnya. ‘Tapi … gimana dengan Radit? Pasti dia marah kalau gue lepas nih cincin. Gue capek berdebat sama dia. Dia ngediemin gue dua hari ini aja gue rasanya sepi banget ….’ Dita terus bermonolog.‘Apa bener Radit suka sama gue? Gimana caranya gue cari tahu kalau dia emang beneran suka ke gue?’ tanyanya dalam hati.“Duuh …! Napa pikiran gue malah jadi ke situ, sih?” gerutunya. Ia pun berg
Dita bangun lebih awal dari biasanya. Selesai mandi di kamarnya, ia ke dapur untuk menyiapkan telur dadar, roti, dan susu untuk sarapannya bersama Radit sebelum ke kantor. Untuk saat ini, Dita memang belum bisa memasak seperti wanita bersuami kebanyakan. Sebab, selama gadis ia termasuk manja dan tak pernah ikut mamanya ke dapur.Saat menuangkan telur yang sudah dikocok ke teflon, ia terperanjat mendapati seseorang begitu dekat di belakangnya.“Bikin apa, Ta?” Bisikan Radit di telinganya menciptakan angin yang menjalar ke seluruh tubuh.Belum selesai keterkejutannya, ia kembali terlonjak saat membalikkan badan. Radit yang hanya mengenakan celana pendek bertelanjang dada, dengan santainya mengusap-usapkan rambutnya yang masih basah di dekat Dita.Spontan Dita menutup mata dengan tangannya.
“Kenapa gak kita tunaikan aja keinginan mereka, Ta?” Radit terus mendekat. Tatapan matanya tak seperti biasa. Rasa panas dan hasrat lelakinya terus membuncah akibat minuman yang sudah ditetesi sesuatu oleh mamanya Dita. Ia kini bagaikan macan yang siap menerkam Dita, mangsa empuk di depan mata.“Dit, sadar! Lo harus lawan!” Dita semakin panik. Ucapannya sama sekali tak digubris oleh Radit. Ia terus mundur, sedangkan Radit semakin maju mendekatinya.“Ayolah, Ta. Kita, ‘kan, udah nikah.” Radit semakin menggila. Ia menangkap Dita dalam sekali tarikan tangannya.“Radiiit …! Lepasin gue!”Radit terus memeluknya erat dan berusaha menciumnya.Tak habis akal, Dita menggigit tangan Radit hingga lelaki itu kesakitan. Kesempatan tak disia-siakan,
“Kak Danu?” Dita tampak salah tingkah. Radit menatap tajam pada sosok laki-laki di hadapannya.Danu pun mendekat pada dua orang yang sedang berselisih itu. “Tadi … saya keluar cari angin. Tak sengaja melihat kalian di sini,” alasan Danu. Ia tak ingin suasana di sana menegang karena kehadirannya. “Ayo, masuk!” ajak Danu, melihat Radit dan Dita bergantian.Dita bergeming.“Gue mau pulang!” tegas Radit pada Dita. “Lo ikut gue, atau ke dalam sama dia?” Ada kilat kemarahan dari sorot matanya.Dita masih bergeming. Ia merasa berada di persimpangan dan bingung harus memilih jalan yang mana.Radit menatap lekat-lekat pada Dita yang menoleh padanya dan Danu bergantian. Tak mendapat jawaban, Radit melangkah tanpa kata meninggalkan tempat i
Minggu pukul 06.00, keluarga Dita dan Radit sudah datang untuk mengantar pengantin baru itu ke bandara. Penerbangan mereka terjadwal pukul 09.15 dan akan mendarat di Lombok pukul 11.15. Dita dan Radit sudah membawa dua koper berukuran sedang.“Kenapa pakai dua koper? Gak pakai satu aja yang besar?” tanya Bu Meri.Radit dan Dita saling berpandangan. Mereka tidak memikirkan jika orang tuanya akan berkomentar terkait koper itu. Mereka sendiri tak mungkin mengemasi pakaiannya dalam satu koper yang sama.“Koper besar dipinjam teman, Ma. Belum dibalikin,” jawab Radit berbohong.Mamanya Dita pun mengangguk.“Ya, sudah. Ayo ke bandara. Nanti sekalian kita sarapan di sana,” sahut papanya Dita.“Tunggu, tunggu!” Mamanya
“Dita?” Radit bergegas keluar ruangan dan menghampiri istrinya yang tampak terkejut dengan kejadian barusan.“Aku udah taruh makan siang kamu di meja,” ucap Dita dengan mencoba untuk bersikap biasa. Namun, dari raut wajahnya masih tampak emosi yang sulit diartikan oleh Radit.“Kita makan bareng, ya?” ajak Radit. Ia yakin bahwa istrinya telah salah paham padanya.“Enggak. Aku mau langsung pulang aja.” Dita mencoba tersenyum meski hatinya ingin menangis melihat suaminya sangat dekat dengan wanita lain.“Mbak Dita.” Tiara yang mengerti bahwa telah terjadi kesalahpahaman pun akhirnya keluar ruangan dan menghampiri sepasang suami istri itu.“Maaf, Mbak. Jangan salah pah—““Enggak. Tena
“Sayang, kamu gak apa-apa?”Dita menggeleng lemah setelah membersihkan mulutnya. “Rada pusing aja.”Radit memapahnya keluar kamar mandi.“Aku mau istirahat di kamar.”“Ya udah. Nanti aku bawakan sarapan kamu ke kamar.” Radit pun menuntun Dita ke kamar mereka.“Mama, Papa, maaf. Gak bisa ikut sarapan bareng,” ucap Radit.Orang tuanya tersenyum dan mengangguk.Di kamar, Radit membantu Dita berbaring. Ia memberikan air minum yang tersedia di meja di dekat kasur untuk Dita.“Kamu mau sarapan, Sayang?” tanya Radit setelah menaruh kembali gelas ke tempatnya.Dita menggeleng. “Aku lagi gak nafsu
Dita berbaring di kamarnya, kamar yang selalu ia tempati sebelum menikah. Ruangan itu kini telah disulap menjadi kamar pengantin bernuansa putih, dengan bunga-bunga di setiap sudutnya. Hatinya berdebar-debar menanti esok tiba, juga luahan rindu yang tiada tara.Sudah dua hari ini ia tidak bisa bertemu dengan Radit, sang kekasih yang akan ia kenalkan pada dunia esok hari sebagai seorang suami. Keluarga mereka melarang keduanya bertemu dua hari sebelum resepsi. Bahkan, mamanya Dita menyita ponsel sang anak agar tidak bisa menghubungi Radit.“Biar seperti pengantin baru lagi, biar rindu,” ujar Bu Meri kala itu.Kini, Dita benar-benar dilanda perasaan tersebut. Demam rindu yang begitu besar terhadap sosok lelaki yang selama ini berada di sisinya. Sangat berbeda kala Radit meninggalkannya selama seminggu ke Semarang, saat lelaki itu baru sehari melakuka
“Habis ini kita langsung pulang, ya,” goda dengan mengedipkan sebelah matanya.“Bukannya mau ke rumah Mama?”Radit mendesah. “Yah, gagal deh.”“Kayak malam gak bisa aja!”“Kamu sih menggoda banget. Aku kan jadi gak sabar.” Radit mencubit gemas hidung Dita.“Luntur deh make up ku. Buruan ah kancingin. Tukang fotonya dah nunggu tuh!” protes Dita.Radit pun menaikkan ritsleting gaun Dita. Ia lalu memutar tubuh istrinya ke kanan dan kiri.“Kenapa, sih? Udah buruan.”Radit menahan Dita yang hendak keluar kamar ganti.“Tunggu! Ganti aja nih baju,” ucapnya.
Radit meringis saat Dita menyentuh luka di wajahnya.“Sakit?” tanya Dita lembut.Radit mengangguk.“Emangnya waktu pukul-pukulan tadi gak sakit?”Kali ini Radit menggeleng.Gemas, Dita menekan luka di pelipis lelaki itu.“Aw! Kenapa sih?”“Kenapa harus pukul-pukulan coba? Bonyok kan nih muka!” geram Dita.“Gak laki kalau gak mukul,” jawab Radit asal.“Kalimat apaan, tuh!”“Kamu gak suka aku kasar atau gak suka aku mukulin Danu?” Pelan, Radit mendekatkan wajahnya dan menatap intens kedua bola mata Dita.
“Kalian di sini juga?”“Kak Danu?” Dita tampak bingung dengan kehadiran sosok lelaki itu. Berbeda dengan Radit yang justru memperhatikan lelaki yang berdiri di samping mejanya dari ujung kepala hingga kaki.“Apa maksudnya ‘juga’?’ tanya Dita dalam hati.“Apa ... Arya yang meminta kalian ke sini?” tanya Danu kemudian.Dita mengangguk, tetapi raut tanya tak hilang dari wajah cantiknya.“Kalau begitu, boleh saya tunggu dia di sini sama kalian?”Dita memandang Radit. Ia takut Radit akan cemburu seperti sebelumnya.“Dita, sini.” Radit meminta Dita duduk di sampingnya. Lalu, dengan kode matanya, ia menyuruh Danu duduk di hadapan mereka.
Dita mendekatkan wajahnya hingga berjarak beberapa senti saja dengan wajah Radit.“Kamu beneran amnesia atau cuma ngerjain aku?” tanyanya curiga.Tiba-tiba Radit menarik kepalanya hingga wajah mereka bersentuhan. Dita yang terkejut berusaha mengangkat kepala, tetapi Radit justru menekannya lebih kuat dan terus menghujani bibirnya dengan ciuman.Radit akhirnya melepaskan Dita setelah wanita itu tampak sulit bernapas.“Kamu ngerjain aku lagi ya!” Dita mengusap kasar mulutnya. Napasnya masih terengah-engah.“Aku cuma mau buktiin kalau kamu emang beneran istriku,” jawab Radit dengan santainya.“Kamu nyebelin banget siiih! Gak usah pura-pura amnesia kalau cuma mau nyium aku!”“Kenap
“Maaf untuk semuanya. Semua kesalahan dan kebodohanku selama ini,” lirih Dita. Tangannya berhenti mengusap keringat di wajah Radit.“Maaf ya udah nyinggung kamu,” balas Radit.Keduanya kini saling melempar senyum. Dita kembali mengusap keringat yang terus bercucuran di kening Radit. Tanpa sadar, ia terpesona dengan sosok Radit yang tengah mengganti ban.“Suka ngeliat aku berkeringat?” tanya Radit tiba-tiba, membuat Dita tersadar dan malu karena ketahuan menatap lelaki itu tanpa berkedip.“Eh, a-anu, aku ke mobil dulu. Di sini panas,” ucap Dita gugup. Ia hendak berdiri, tetapi Radit menahan tangannya.“Sesekali, ikutlah olah raga denganku.”Dita mengangguk.Radit tersenyum
“Yaah, napa gak sepuluh menit lagi aja sih sampainya?” keluh Radit yang sudah bersiap menyelam di lautan cinta bersama sang istri. Ia yang masih mengenakan celana panjangnya sejak semalam, lantas memakai kaus dan menuju ke pintu depan.Dita tertawa geli melihat ekspresi Radit yang gagal ‘sarapan' di kasur pagi ini. Ia pun segera mengenakan pakaian dan mengambil lingerie untuk segera dimasukkan ke mesin cuci.Di depan, Radit tampak bingung setelah membuka pintu. Tak ada sesiapa pun di sana. Namun, ada sebuah kotak berukuran sebesar kotak sepatu yang tergeletak di teras rumahnya.“Siapa yang naruh ini di sini?” gumam Radit.“Mana buburnya?” tanya Dita yang menghampirinya di pintu depan.“Gak ada. Tapi ada ini.” Radit mengambil kotak tersebut.