"Radit?" teriak kedua orang tua Dita serta Dito bersamaan. Tak menyangka lelaki yang setiap hari keluar masuk rumah mereka.
"Gak usah kaget gitu napa!" Dita menyandarkan punggung di sofa, melipat kedua tangan di dada.
"Mau-maunya Bang Radit nikah sama lo, Kak," ucap Dito, adik Dita satu-satunya.
"Emang kenapa? Sirik aja, lo!" Dita melotot.
"Ngapain gue sirik. Kasian ja sama Bang Radit. Entar punya bini yang suka kentut sembarangan, hobi makan, tukang ngambek. Hiii …," ejek Dito, membuat kedua orang tua mereka tertawa.
"Biarin! Bagus malah. Dia dah tahu kebiasaan gue, jadi gue gak perlu jaim," balas Dita.
"Mama gak nyangka aja kalau kalian punya rencana nikah. Selama ini, Mama pikir cuma temen. Tahunya, temen tapi demen," kelakar Bu Meri.
"Terserah Mama, deh mau ngomong apa." Dita mengambil gelas berisi jus jeruk di meja dan meneguk isinya.
"Ya udah kalau kalian memang serius. Papa sama Mama jadi gak perlu ngejodoh-jodohin kamu lagi. Nanti Papa yang bicara sama keluarga Arya," kata Pak Indra, Papa Dita.
"Beneran, Pa? Makasih, Papa," ucap Dita riang. Mencium tangan Pak Indra.
Sebuah batu besar yang menghimpit dada akhirnya mulai terangkat. Rona bahagia tampak jelas di wajah putih gadis itu. Dita tak perlu lagi memusingkan masalah perjodohannya dengan Arya. Namun, ada satu hal yang menantinya di depan.
Bagaimana kehidupan selanjutnya dengan Radit? Pertanyaan itu melintas di benaknya. Ia menggeleng dengan cepat. Mengusir pikiran yang dapat merusak suasana hati. Baginya saat ini, yang terpenting adalah lepas dari jeratan seorang buaya bernama Arya.
***
Tak mudah bagi Dita meminta orang tuanya agar melangsungkan pernikahan tanpa pesta. Hanya dihadiri keluarga dekat. Tak lupa mengundang serta keluarga Arya. Ia terus memberikan alasan tanpa lelah.
Bu Meri menginginkan sebuah pesta pernikahan yang megah untuk anak perempuan satu-satunya. Namun, Dita berusaha keras menolak. Gadis keras kepala itu berdalih tak ingin merepotkan keluarga.
Dita duduk di antara Bu Meri dan Dito, mengedarkan pandangan ke ruang tamu. Dekorasi sederhana tampak menghiasi rumahnya. Beberapa orang keluarga telah hadir untuk menyaksikan acara sakral itu.
Gadis itu menghela napas. Naluri sebagai wanita tentu menginginkan sebuah pernikahan yang meriah, dengan lelaki yang dicinta. Pernikahan sekali seumur hidap yang berkesan dalam relung. Namun, semua keinginan itu harus ia kubur dalam-dalam. Kini, ia akan segera menjadi istri sahabat yang menemani sedari kecil. Pernikahan yang didasari dengan sandiwara. Tanpa ada cinta di dalamnya.
Dita teringat syarat yang diberikan Radit. 'Jangan ada perceraian.' Kalimat itu terngiang di telinga. Lalu menari-nari di kepala. Ia memejamkan kedua mata dan menarik napas dengan berat.
'Apa bener seumur hidup gue akan jadi istrinya Radit? Menjalani pernikahan yang hanya sandiwara?' batin Dita. Ingin rasanya ia lari dari pernikahan itu. Namun, pilihan telah diambil, ia harus menjalaninya.
"Ehem!" Suara berat seorang pria di hadapan membuatnya tersadar dari lamunan.
Dita mendongak. Menatap lelaki yang tengah berdiri menghadapnya. Mengenakan pakaian akad nikah khas Betawi, lengkap dengan topinya. Sejenak ia terperangah melihat penampilan Radit yang jauh berbeda dari biasa.
Radit tersenyum ke arahnya. Menatap gadis cantik dengan balutan kebaya putih. Untaian melati yang menutup sanggul buatan serta Siangko Cadar menambah pesona anggun dalam diri Dita.
Tatapan Radit tepat di kedua manik hitamnya tanpa berkedip membuat Dita salah tingkah. Ia menunduk malu, menyembunyikan rona merah di kedua pipi. Tatapan Radit kali ini terasa berbeda. Membuatnya merasakan desiran halus di seluruh nadi. Seolah ada cinta dan kekaguman dari sorot mata lelaki yang selama ini menemani ke mana pun ia melangkah.
"Radit, duduk di sini." Ucapan Pak Indra menyadarkan lelaki itu. Ia segera duduk di hadapan calon mertua dan penghulu. Meraih jabatan tangan Pak Indra untuk segera mengikrarkan janji suci. Ia menarik napas untuk menetralisir detak jantung yang terus berdegup kencang. Radit tersenyum, menampakkan wajah ketenangan yang menyiratkan kesungguhan.
Dita menunggu detik-detik ijab kabul dengan deguban di dada yang semakin cepat. Sesaat lagi, kehidupan baru dalam rumah tangga yang penuh sandiwara akan segera ia jalani. Entah bagaimana nantinya, gadis itu tak mau memikirikan lebih jauh.
"Raditia Syafriza, saya nikahkan anak saya, Dita Arianata kepadamu, dengan mas kawin kalung emas seberat 25 gram. Tunai!" ucap Pak Indra dengan satu tarikan napas.
"Saya terima nikahnya Dita Arianata, dengan mas kawin tersebut. Tunai!" jawab Radit, lugas. Tanpa kendala.
"Bagaimana saksi?" tanya penghulu.
"Sah!"
"Alhamdulillah …," ucap semua yang hadir di sana. Terkecuali Arya. Ia menatap sinis pada kedua mempelai yang kini telah duduk berhadapan. Lelaki itu bangkit memilih pergi meninggalkan acara.
Dita duduk menghadap Radit. Menunduk, menyembunyikan pipinya yang merona alami di padu dengan riasan.
Radit mengangkat lembut dagu Dita dengan telunjuk dan jempolnya. Menatap lekat pada manik hitam sang istri. Tersenyum hangat penuh perasaan.
"Jangan ngeliatin terus!" ucap Dita pelan. Tatapan Radit yang berbeda membuatnya salah tingkah.
"Kamu cantik banget, Ta," ucap Radit.
"Gombal, lo! Buruan pakein!" pinta Dita agar Radit segera memakaikan kalung di lehernya. Tak sabar untuk segera mengakhiri acara yang tak pernah ia inginkan.
Radit tertawa kecil melihat tingkah wanita di hadapannya. Ia mencubit pelan dagu Dita. Lalu mendekatkan wajah. Mengaitkan kalung di belakang leher sang istri.
Jarak yang begitu dekat membuat Dita menahan napas. Ada desiran halus menjalar ke aliran darah. Belum pernah ia sedekat itu dengan lelaki. Wajahnya dengan Radit nyaris bersentuhan.
"Jangan tegang gitu. Santai aja," bisik Radit di telinga Dita usai ia mengaitkan kalung.
"Lama amat, sih?" gerutu Dita.
"Susah, tahu!" keluh Radit.
Dita mencebik mendengar alasan Radit.
"Cium, donk. Kok gitu doang?" celetuk Dito.
"Dita, kamu cium tuh tangan suami kamu!" perintah Bu Meri dengan suara pelan.
Dita melongo. Haruskah ia melakukan itu pada Radit? Di depan orang banyak? Ia tersenyum kecil, meringis lebih tepatnya.
Belum selesai otaknya berpikir, kini sepasang tangan menangkup kedua pipinya. Bibir lelaki yang kini menjadi suami itu mendarat lembut di kening. Dita menegang, merasakan sensasi yang belum pernah ia bayangkan. Sepasang kelopak matanya membulat, detak jantung seolah berhenti beberapa detik.
"Rileks, Ta. Rileks …," bisik Radit. Melihat kegugupan dalam diri Dita.
Dengan tangan gemetar, Dita meraih tangan lelaki itu. Menempelkan punggung tangan Radit ke bibirnya yang ranum. Kedua mata tak berani menatap sang suami. Ia terus menunduk.
Radit tersenyum melihat Dita. Kepolosannya membuat lelaki itu gemas. Ingin meraih sang istri dalam pelukan. Namun, ia teringat akan janji mereka. Senyum di bibirnya memudar. Ia tarik napas panjang untuk meredam gejolak dalam dada.
***
"Aa!" Dita yang tengah membersihkan riasan di wajah terkejut karena tiba-tiba pintu kamar dibuka dari luar.
Radit melangkah masuk. Rasa lelah terpancar jelas di wajah tampan dengan tahi lalat di dagunya. Melangkah berat menuju ranjang.
"Ngapain lo ke sini?" tanya Dita.
"Ya mau tidur," jawab Radit seraya merebahkan tubuh di kasur.
Dita yang melihatnya segera bangkit dari kursi rias dan menarik tangan Radit. "Lo gak boleh tidur di kamar gue!"
"Terus gue mau tidur di mana, istriku …?" ucap Radit lembut di kata terakhir. Duduk di tepi ranjang.
Sebutan 'istriku' membuat Dita merinding. Ia membayangkan sesuatu yang akan dilakukan Radit jika mereka tidur di kamar yang sama.
"Pokoknya lo jangan tidur di sini. Di sofa, kek. Atau depan tivi."
"Tega banget lo, Ta. Entar gue mesti jawab apa kalau mereka nanya kenapa gue gak tidur di kamar?"
"Ya bilang aja lo lagi cari angin atau apa," jawab Dita asal.
"Terus, berharap mereka percaya, gitu?"
Dita mengangguk.
"Udah, jangan bertingkah macem-macem. Gue cuma mau tidur," ucap Radit, lalu kembali membaringkan tubuh.
Kalau lo tidur di kasur, gue tidur di lantai!" ancam Dita.
"Ck!" Radit mencebik. "Iya, gue ngalah!" Lelaki itu meninggalkan Dita dalam kamar menuju ruang keluarga. Menyalakan televisi untuk menemani malam pertamanya sebagai seorang suami.
"Radit marah sama gue? Ah, bodo amat! Mending gue tidur." Dita Segera menyelesaikan kegiatan yang tertunda, lalu berbaring di kasur.
***
Lelaki itu berbaring di karpet ruang keluarga. Melipat kedua tangan di bawah kepala. Kedua manik hitamnya menatap layar televisi yang menampilkan sebuah liga pertandingan.
'Gini amat jadi suami pura-pura,' keluhnya dalam hati.
"Radit, kenapa di sini?"
Sebuah pertanyaan mengejutkannya dari lamunan. Dua orang lelaki paruh bayah menghampiri. Papanya dan papa mertua, Pak Indra.
"Eh, mau nonton bola, Pa." Radit sedikit gugup karena terkejut.
"Kamu tuh malam ini harusnya main bola, nyetak gol. Bukan malah nonton bola," kata Pak Indra diselingi tawa.
Radit menggaruk kepalanya yang tak gatal. "I-iya, Pa. Bentar lagi," jawabnya sembari meringis. Ia paham ke mana arah pembicaraan mertuanya.
Liga pertandingan sepak bola menyelamatkannya malam itu dari pertanyaan orang tua dan mertua. Sudah satu jam ia duduk di depan televisi. Radit melirik jam di tangan. 'Jam sebelas. Mungkin Dita dah tidur,' pikirnya.
"Udah sana, masuk. Ngapain pengantin baru sampai jam segini masih di luar?" kata Papa Radit.
"Iya, sana. Dita nungguin tuh, pasti." Pak Indra menimpali.
Radit merasa serba salah. Di luar, diusir orang tua, di kamar ia diusir istri.
"Mikir apalagi? Sana masuk!" perintah sang ayah.
"Iya, Pa," jawabnya seraya bangkit.
Radit beranjak menuju kamar dengan langkah gontai. Berharap Dita sudah tidur agar ia tidak perlu mencari alasan untuk tidur di luar.
Radit mengetuk pelan pintu kamar Dita. "Ta, kamu dah tidur?" tanyanya dari luar.
Tak ada jawaban dari dalam, Radit membuka pintu kamar yang tak dikunci. Tampak Dita telah berbaring pulas. Mengenakan piyama berwarna biru muda.
Radit mendekati ranjang. Perlahan naik ke atas agar tidak membuat Dita terbangun. Ia rebahkan tubuh di sisi Dita. Menopang kepala dengan tangan kiri. Memandangi tiap lekuk ciptaan Tuhan di wajah sang istri.
Tangannya hendak mengelus kepala Dita. Nyaris menyentuh, tetapi menggantung di udara. Ia terdiam. Lalu menarik kembali tangannya. Tak ingin wanita itu terbangun dan marah.
Mendadak hawa panas menjalar ke seluruh tubuh. Ia merasa ada sesuatu yang mendorong naluri kelelakiannya. Hasrat seorang suami yang tengah memandang wajah polos sang istri yang sedang tertidur, menuntut untuk ditunaikan.
Radit bangkit dari tempat tidur. Membuka kaus bagian luar. Menurunkan suhu pendingin ruangan.
"Sampai kapan gue mau kayak gini terus?" gumam Radit.
"Ma, masak apa?" tanya Dita yang baru saja melarikan diri dari godaan Radit di depan kamar."Loh, kamu ngapain ke sini?" tanya Bu Meri."Dita laper.""Mandi dulu sana. Nanti kalau sarapannya udah siap Mama panggil. Sekalian Radit juga.""Dita mau bantuin Mama masak aja, biar cepat," kilah Dita. Alasan utamanya adalah ingin menghindari Radit."Mandi sana! Pengantin baru kok jam segini belum mandi?" kata Mama Radit yang bergabung dengan Bu Meri di dapur."Jangan lupa keramas ya, kak!" goda Dito seraya duduk santai di kursi sambil meneguk susu."Apaan, lo? Anak kecil!" Dita melempar sebutir bawang merah ke arah adiknya. Beruntung, remaja itu berhasil menghindar."Cie, pipinya merah …," goda Dit
Perut Dita terasa keroncongan. Setelah lelah membereskan pakaiannya ke dalam lemari sore tadi, ia tertidur hingga pukul tujuh malam. Segera mandi dan menemui Radit yang sedang menonton televisi."Dit, keluar, yuk. Gue laper," ajak Dita."Sama, gue juga laper. Nungguin lo dari tadi molor mulu," jawab Radit."Ya udah, ayo!"Bukannya keluar rumah, Radit malah berjalan ke arah dapur"Ngapain ke dapur? Kita kan gak ada bahan makanan buat dimasak.""Emang lo bisa masak?" tanya Radit."Masak nasi. Hehe," jawab Dita cengengesan.Radit mengacak rambut sang istri dan tersenyum. Lalu kembali melangkah ke dapur."Taraaa!" ucap Radit seraya menunjukkan makanan yang sudah t
Dita mengempaskan tubuhnya yang lelah di kasur setelah berbelanja berbagai macam sayur dan ikan juga memasak bersama kedua wanita yang ia panggil Mama. Ia tak menyangka kedua mamanya akan datang. Niatnya yang tadi ingin membeli pakaian dan sepatunya, malah jadi aneka bahan masakan yang memenuhi lemari esnya. Ia tak tahu akan jadi apa bahan makanan tersebut, sementara ia hanya seorang diri di rumah itu.Memikirkan itu, Dita jadi teringat akan hadiah bulan madu yang akan diberikan oleh orang tua mereka. Pikirannya mulai berkelana, membayangkan Radit dengan genit menggodanya. Dita pun menggeleng-geleng cepat untuk menghalau pikiran tersebut.“Honeymoon? Oh My God! Bikin gue merinding aja!” Dita menepuk-nepuk pipinya, lalu menutup matanya untuk menjemput mimpi siang ini.Tak lama, sebuah notifikasi di ponselnya muncul. Dengan mata berat menahan kantuk, Dita membuka pesan di sebuah
Ponsel Dita kembali berdering untuk kedua kalinya. Kali ini, Dita menolak panggilan tersebut dan mengaktifkan mode pesawat di ponselnya. Ia sedang tak ingin berdebat atau pun mendengar candaan dari sahabat sekaligus suaminya itu.Hatinya dirundung duka melihat lelaki yang dicinta sedang ditimpa musibah. Ingin sekali ia mengusap air mata di pipi lelaki itu, tetapi Dita masih sadar bahwa itu tak mungkin di lakukannya. Ia pun menghapus air matanya sendiri hingga merasa benar-benar tak meninggalkan bekas di pipi. Ketika berbalik dan hendak melangkah ke dalam rumah Danu, Dita dikejutkan dengan satu sosok lelaki yang selama ini ia benci.“Arya?” ucap Dita spontan kala lelaki itu berdiri tepat di hadapannya.“Lo kaget banget ngeliat gue. Kayak ngeliat hantu,” kata Arya yang tak beranjak dari tempatnya berdiri.
Seminggu sudah Dita menjalani hari sebagai istri pura-pura. Selama itu pula ia menghabiskan waktunya yang membosankan di rumah Radit sendirian. Membosankan kala Radit sedang bekerja, tetapi menjengkelkan saat Radit meneleponnya. Dita tak punya tujuan untuk keluar rumah dan enggan pergi sendirian. Seperti orang bodoh, batinnya jika tak ada teman untuk sekadar berkeliling mal. Sedang ia tak mungkin mengajak rekan kerja karena sudah izin cuti dengan alasan keluar kota.Sedangkan Radit tak pernah absen menghabiskan waktu istirahat kerja dan sebelum tidur dengan menggoda Dita, baik lewat panggilan suara maupun panggilan video. Hari ini hari terakhir ia di Semarang. Rencananya Radit akan kembali ke Jakarta esok pagi.Sore ini pun, ketika Dita sedang mandi, Radit kembali meneleponnya. Ponselnya berdering berkali-kali sampai ia selesai mandi dan mengangkatnya."Lagi ngapain, Ta?""Baru siap mandi. Tumben lo nelepon sore-sore?"&nb
"Ngapain nyuri-nyuri kalau bisa terang-terangan? Yuuk? Gue udah gak sabar." Radit tersenyum manis dan mengerling. Ia lantas membuka jaketnya yang sedari tadi masih melekat di badan.Dita melotot. Apa yang Radit ucapkan dan lakukan benar-benar horor, membuatnya merinding. Ia lantas mengambil bantal dan mmemukukannya berkali-kali ke tubuh Radit."Ampun, Ta. Ampun!" teriak Radit diiringi tawa sambil tetap menangkis pukulan bantal Dita.Dita yang kesal terus saja memukul hingga Radit berada di depan kamarnya.Napas Dita memburu dengan mimik wajah yang sangat kesal. Sementara, Radit masih saja tertawa.Dita menutup pintu dan segera menguncinya. "Nyebeliiin!" pekiknya.Radit yang mendengar dari depan kamar semakin tertawa tanpa beranjak dari tempatnya.Dita mengambil jaket radit di ranjang dan membuka pintu. Radit yang masih berdiri di depan kamar lantas tersenyum.
"Gak cukup cuma ucapan terima kasih. Gue mau ...." Wajah Radit semakin mendekat. Bibirnya nyaris menyentuh bibir Dita. Semakin dekat dan ....‘Bugh!’ Dita menghantamkan keningnya ke kening Radit.“Aak!” Radit meringis. Dita segera bangkit dari pangkuannya.“Sukurin!” Dita langsung berlari ke depan kompor dan mengaduk supnya yang nyaris saja ia lupakan.“Gagal maning ... gagal maning, Son!”Dita pura-pura tak mendengar dan terus mengaduk sup. Ia merasakan ada sesuatu yang berdesir di dadanya. Belum sempat Dita menguasai gejolak yang tak ia pahami, tiba-tiba Radit menariknya pelan hingga mereka berhadapan.Tanpa kata, Radit memakaikan celemek dari kepala Dita, lalu mengikatkan tali di belakang pinggangnya hingga posis
“APA?!” Pekik Radit dan Dita bersamaan. Sangking terkejutnya, Radit sampai mengempaskan begitu saja kaki Dita hingga wanita di sampingnya itu nyaris terjatuh.“Kamu gak apa-apa, Ta?” tanya Radit.Dita mencebik dan menatapnya jengkel.“Kalian kenapa kaget gitu?” tanya Bu Meri yang heran melihat sikap anak dan menantunya saat ia bilang akan tidur di sini.“E-eh, enggak, kok, Ma. Cuma … Mama kok gak bilang mau tidur di sini. Mama, Papa, dan Dito apa udah bawa pakaian?” tanya Dita.“Udah. Tuh di mobil,” jawab Bu Meri.Dita dan Radit saling berpandangan. Mereka panik. Takut ketahuan kalau Radit dan Dita tidak tidur satu kamar. Bahkan, bisa ketahuan sandiwara yang mereka lakoni. Sebab, semua barang-bara
“Dita?” Radit bergegas keluar ruangan dan menghampiri istrinya yang tampak terkejut dengan kejadian barusan.“Aku udah taruh makan siang kamu di meja,” ucap Dita dengan mencoba untuk bersikap biasa. Namun, dari raut wajahnya masih tampak emosi yang sulit diartikan oleh Radit.“Kita makan bareng, ya?” ajak Radit. Ia yakin bahwa istrinya telah salah paham padanya.“Enggak. Aku mau langsung pulang aja.” Dita mencoba tersenyum meski hatinya ingin menangis melihat suaminya sangat dekat dengan wanita lain.“Mbak Dita.” Tiara yang mengerti bahwa telah terjadi kesalahpahaman pun akhirnya keluar ruangan dan menghampiri sepasang suami istri itu.“Maaf, Mbak. Jangan salah pah—““Enggak. Tena
“Sayang, kamu gak apa-apa?”Dita menggeleng lemah setelah membersihkan mulutnya. “Rada pusing aja.”Radit memapahnya keluar kamar mandi.“Aku mau istirahat di kamar.”“Ya udah. Nanti aku bawakan sarapan kamu ke kamar.” Radit pun menuntun Dita ke kamar mereka.“Mama, Papa, maaf. Gak bisa ikut sarapan bareng,” ucap Radit.Orang tuanya tersenyum dan mengangguk.Di kamar, Radit membantu Dita berbaring. Ia memberikan air minum yang tersedia di meja di dekat kasur untuk Dita.“Kamu mau sarapan, Sayang?” tanya Radit setelah menaruh kembali gelas ke tempatnya.Dita menggeleng. “Aku lagi gak nafsu
Dita berbaring di kamarnya, kamar yang selalu ia tempati sebelum menikah. Ruangan itu kini telah disulap menjadi kamar pengantin bernuansa putih, dengan bunga-bunga di setiap sudutnya. Hatinya berdebar-debar menanti esok tiba, juga luahan rindu yang tiada tara.Sudah dua hari ini ia tidak bisa bertemu dengan Radit, sang kekasih yang akan ia kenalkan pada dunia esok hari sebagai seorang suami. Keluarga mereka melarang keduanya bertemu dua hari sebelum resepsi. Bahkan, mamanya Dita menyita ponsel sang anak agar tidak bisa menghubungi Radit.“Biar seperti pengantin baru lagi, biar rindu,” ujar Bu Meri kala itu.Kini, Dita benar-benar dilanda perasaan tersebut. Demam rindu yang begitu besar terhadap sosok lelaki yang selama ini berada di sisinya. Sangat berbeda kala Radit meninggalkannya selama seminggu ke Semarang, saat lelaki itu baru sehari melakuka
“Habis ini kita langsung pulang, ya,” goda dengan mengedipkan sebelah matanya.“Bukannya mau ke rumah Mama?”Radit mendesah. “Yah, gagal deh.”“Kayak malam gak bisa aja!”“Kamu sih menggoda banget. Aku kan jadi gak sabar.” Radit mencubit gemas hidung Dita.“Luntur deh make up ku. Buruan ah kancingin. Tukang fotonya dah nunggu tuh!” protes Dita.Radit pun menaikkan ritsleting gaun Dita. Ia lalu memutar tubuh istrinya ke kanan dan kiri.“Kenapa, sih? Udah buruan.”Radit menahan Dita yang hendak keluar kamar ganti.“Tunggu! Ganti aja nih baju,” ucapnya.
Radit meringis saat Dita menyentuh luka di wajahnya.“Sakit?” tanya Dita lembut.Radit mengangguk.“Emangnya waktu pukul-pukulan tadi gak sakit?”Kali ini Radit menggeleng.Gemas, Dita menekan luka di pelipis lelaki itu.“Aw! Kenapa sih?”“Kenapa harus pukul-pukulan coba? Bonyok kan nih muka!” geram Dita.“Gak laki kalau gak mukul,” jawab Radit asal.“Kalimat apaan, tuh!”“Kamu gak suka aku kasar atau gak suka aku mukulin Danu?” Pelan, Radit mendekatkan wajahnya dan menatap intens kedua bola mata Dita.
“Kalian di sini juga?”“Kak Danu?” Dita tampak bingung dengan kehadiran sosok lelaki itu. Berbeda dengan Radit yang justru memperhatikan lelaki yang berdiri di samping mejanya dari ujung kepala hingga kaki.“Apa maksudnya ‘juga’?’ tanya Dita dalam hati.“Apa ... Arya yang meminta kalian ke sini?” tanya Danu kemudian.Dita mengangguk, tetapi raut tanya tak hilang dari wajah cantiknya.“Kalau begitu, boleh saya tunggu dia di sini sama kalian?”Dita memandang Radit. Ia takut Radit akan cemburu seperti sebelumnya.“Dita, sini.” Radit meminta Dita duduk di sampingnya. Lalu, dengan kode matanya, ia menyuruh Danu duduk di hadapan mereka.
Dita mendekatkan wajahnya hingga berjarak beberapa senti saja dengan wajah Radit.“Kamu beneran amnesia atau cuma ngerjain aku?” tanyanya curiga.Tiba-tiba Radit menarik kepalanya hingga wajah mereka bersentuhan. Dita yang terkejut berusaha mengangkat kepala, tetapi Radit justru menekannya lebih kuat dan terus menghujani bibirnya dengan ciuman.Radit akhirnya melepaskan Dita setelah wanita itu tampak sulit bernapas.“Kamu ngerjain aku lagi ya!” Dita mengusap kasar mulutnya. Napasnya masih terengah-engah.“Aku cuma mau buktiin kalau kamu emang beneran istriku,” jawab Radit dengan santainya.“Kamu nyebelin banget siiih! Gak usah pura-pura amnesia kalau cuma mau nyium aku!”“Kenap
“Maaf untuk semuanya. Semua kesalahan dan kebodohanku selama ini,” lirih Dita. Tangannya berhenti mengusap keringat di wajah Radit.“Maaf ya udah nyinggung kamu,” balas Radit.Keduanya kini saling melempar senyum. Dita kembali mengusap keringat yang terus bercucuran di kening Radit. Tanpa sadar, ia terpesona dengan sosok Radit yang tengah mengganti ban.“Suka ngeliat aku berkeringat?” tanya Radit tiba-tiba, membuat Dita tersadar dan malu karena ketahuan menatap lelaki itu tanpa berkedip.“Eh, a-anu, aku ke mobil dulu. Di sini panas,” ucap Dita gugup. Ia hendak berdiri, tetapi Radit menahan tangannya.“Sesekali, ikutlah olah raga denganku.”Dita mengangguk.Radit tersenyum
“Yaah, napa gak sepuluh menit lagi aja sih sampainya?” keluh Radit yang sudah bersiap menyelam di lautan cinta bersama sang istri. Ia yang masih mengenakan celana panjangnya sejak semalam, lantas memakai kaus dan menuju ke pintu depan.Dita tertawa geli melihat ekspresi Radit yang gagal ‘sarapan' di kasur pagi ini. Ia pun segera mengenakan pakaian dan mengambil lingerie untuk segera dimasukkan ke mesin cuci.Di depan, Radit tampak bingung setelah membuka pintu. Tak ada sesiapa pun di sana. Namun, ada sebuah kotak berukuran sebesar kotak sepatu yang tergeletak di teras rumahnya.“Siapa yang naruh ini di sini?” gumam Radit.“Mana buburnya?” tanya Dita yang menghampirinya di pintu depan.“Gak ada. Tapi ada ini.” Radit mengambil kotak tersebut.