"Nikah, yuk?" ajak Radit yang sudah berada di kamar Dita.Ucapan Radit yang tiba-tiba itu bagai petir di tengah gelapnya hari yang dirundung hujan deras. Membuat Dita semakin dalam bersembunyi dari kenyataan hidup di hadapannya.Ia terbaring sakit karena asam lambungnya naik, terlalu memikirkan perjodohan yang direncanakan orang tua. Kini, harus pula menghadapi sosok lelaki yang terus muncul ke mana pun mata memandang. Menawarkan kandang harimau untuk terlepas dari sarang buaya.Alih-alih menjawab ucapan Radit, Dita justru memiringkan tubuh. Menutupi dari ujung rambut hingga kaki dengan selimut. Membelakangi sosok lelaki yang duduk di tepi ranjangnya."Ta …," panggil Radit."Sakit, lo, ya!" ketus Dita."Gue sehat, ni
"Radit?" teriak kedua orang tua Dita serta Dito bersamaan. Tak menyangka lelaki yang setiap hari keluar masuk rumah mereka."Gak usah kaget gitu napa!" Dita menyandarkan punggung di sofa, melipat kedua tangan di dada."Mau-maunya Bang Radit nikah sama lo, Kak," ucap Dito, adik Dita satu-satunya."Emang kenapa? Sirik aja, lo!" Dita melotot."Ngapain gue sirik. Kasian ja sama Bang Radit. Entar punya bini yang suka kentut sembarangan, hobi makan, tukang ngambek. Hiii …," ejek Dito, membuat kedua orang tua mereka tertawa."Biarin! Bagus malah. Dia dah tahu kebiasaan gue, jadi gue gak perlu jaim,"
"Ma, masak apa?" tanya Dita yang baru saja melarikan diri dari godaan Radit di depan kamar."Loh, kamu ngapain ke sini?" tanya Bu Meri."Dita laper.""Mandi dulu sana. Nanti kalau sarapannya udah siap Mama panggil. Sekalian Radit juga.""Dita mau bantuin Mama masak aja, biar cepat," kilah Dita. Alasan utamanya adalah ingin menghindari Radit."Mandi sana! Pengantin baru kok jam segini belum mandi?" kata Mama Radit yang bergabung dengan Bu Meri di dapur."Jangan lupa keramas ya, kak!" goda Dito seraya duduk santai di kursi sambil meneguk susu."Apaan, lo? Anak kecil!" Dita melempar sebutir bawang merah ke arah adiknya. Beruntung, remaja itu berhasil menghindar."Cie, pipinya merah …," goda Dit
Perut Dita terasa keroncongan. Setelah lelah membereskan pakaiannya ke dalam lemari sore tadi, ia tertidur hingga pukul tujuh malam. Segera mandi dan menemui Radit yang sedang menonton televisi."Dit, keluar, yuk. Gue laper," ajak Dita."Sama, gue juga laper. Nungguin lo dari tadi molor mulu," jawab Radit."Ya udah, ayo!"Bukannya keluar rumah, Radit malah berjalan ke arah dapur"Ngapain ke dapur? Kita kan gak ada bahan makanan buat dimasak.""Emang lo bisa masak?" tanya Radit."Masak nasi. Hehe," jawab Dita cengengesan.Radit mengacak rambut sang istri dan tersenyum. Lalu kembali melangkah ke dapur."Taraaa!" ucap Radit seraya menunjukkan makanan yang sudah t
Dita mengempaskan tubuhnya yang lelah di kasur setelah berbelanja berbagai macam sayur dan ikan juga memasak bersama kedua wanita yang ia panggil Mama. Ia tak menyangka kedua mamanya akan datang. Niatnya yang tadi ingin membeli pakaian dan sepatunya, malah jadi aneka bahan masakan yang memenuhi lemari esnya. Ia tak tahu akan jadi apa bahan makanan tersebut, sementara ia hanya seorang diri di rumah itu.Memikirkan itu, Dita jadi teringat akan hadiah bulan madu yang akan diberikan oleh orang tua mereka. Pikirannya mulai berkelana, membayangkan Radit dengan genit menggodanya. Dita pun menggeleng-geleng cepat untuk menghalau pikiran tersebut.“Honeymoon? Oh My God! Bikin gue merinding aja!” Dita menepuk-nepuk pipinya, lalu menutup matanya untuk menjemput mimpi siang ini.Tak lama, sebuah notifikasi di ponselnya muncul. Dengan mata berat menahan kantuk, Dita membuka pesan di sebuah
Ponsel Dita kembali berdering untuk kedua kalinya. Kali ini, Dita menolak panggilan tersebut dan mengaktifkan mode pesawat di ponselnya. Ia sedang tak ingin berdebat atau pun mendengar candaan dari sahabat sekaligus suaminya itu.Hatinya dirundung duka melihat lelaki yang dicinta sedang ditimpa musibah. Ingin sekali ia mengusap air mata di pipi lelaki itu, tetapi Dita masih sadar bahwa itu tak mungkin di lakukannya. Ia pun menghapus air matanya sendiri hingga merasa benar-benar tak meninggalkan bekas di pipi. Ketika berbalik dan hendak melangkah ke dalam rumah Danu, Dita dikejutkan dengan satu sosok lelaki yang selama ini ia benci.“Arya?” ucap Dita spontan kala lelaki itu berdiri tepat di hadapannya.“Lo kaget banget ngeliat gue. Kayak ngeliat hantu,” kata Arya yang tak beranjak dari tempatnya berdiri.
Seminggu sudah Dita menjalani hari sebagai istri pura-pura. Selama itu pula ia menghabiskan waktunya yang membosankan di rumah Radit sendirian. Membosankan kala Radit sedang bekerja, tetapi menjengkelkan saat Radit meneleponnya. Dita tak punya tujuan untuk keluar rumah dan enggan pergi sendirian. Seperti orang bodoh, batinnya jika tak ada teman untuk sekadar berkeliling mal. Sedang ia tak mungkin mengajak rekan kerja karena sudah izin cuti dengan alasan keluar kota.Sedangkan Radit tak pernah absen menghabiskan waktu istirahat kerja dan sebelum tidur dengan menggoda Dita, baik lewat panggilan suara maupun panggilan video. Hari ini hari terakhir ia di Semarang. Rencananya Radit akan kembali ke Jakarta esok pagi.Sore ini pun, ketika Dita sedang mandi, Radit kembali meneleponnya. Ponselnya berdering berkali-kali sampai ia selesai mandi dan mengangkatnya."Lagi ngapain, Ta?""Baru siap mandi. Tumben lo nelepon sore-sore?"&nb
"Ngapain nyuri-nyuri kalau bisa terang-terangan? Yuuk? Gue udah gak sabar." Radit tersenyum manis dan mengerling. Ia lantas membuka jaketnya yang sedari tadi masih melekat di badan.Dita melotot. Apa yang Radit ucapkan dan lakukan benar-benar horor, membuatnya merinding. Ia lantas mengambil bantal dan mmemukukannya berkali-kali ke tubuh Radit."Ampun, Ta. Ampun!" teriak Radit diiringi tawa sambil tetap menangkis pukulan bantal Dita.Dita yang kesal terus saja memukul hingga Radit berada di depan kamarnya.Napas Dita memburu dengan mimik wajah yang sangat kesal. Sementara, Radit masih saja tertawa.Dita menutup pintu dan segera menguncinya. "Nyebeliiin!" pekiknya.Radit yang mendengar dari depan kamar semakin tertawa tanpa beranjak dari tempatnya.Dita mengambil jaket radit di ranjang dan membuka pintu. Radit yang masih berdiri di depan kamar lantas tersenyum.
“Dita?” Radit bergegas keluar ruangan dan menghampiri istrinya yang tampak terkejut dengan kejadian barusan.“Aku udah taruh makan siang kamu di meja,” ucap Dita dengan mencoba untuk bersikap biasa. Namun, dari raut wajahnya masih tampak emosi yang sulit diartikan oleh Radit.“Kita makan bareng, ya?” ajak Radit. Ia yakin bahwa istrinya telah salah paham padanya.“Enggak. Aku mau langsung pulang aja.” Dita mencoba tersenyum meski hatinya ingin menangis melihat suaminya sangat dekat dengan wanita lain.“Mbak Dita.” Tiara yang mengerti bahwa telah terjadi kesalahpahaman pun akhirnya keluar ruangan dan menghampiri sepasang suami istri itu.“Maaf, Mbak. Jangan salah pah—““Enggak. Tena
“Sayang, kamu gak apa-apa?”Dita menggeleng lemah setelah membersihkan mulutnya. “Rada pusing aja.”Radit memapahnya keluar kamar mandi.“Aku mau istirahat di kamar.”“Ya udah. Nanti aku bawakan sarapan kamu ke kamar.” Radit pun menuntun Dita ke kamar mereka.“Mama, Papa, maaf. Gak bisa ikut sarapan bareng,” ucap Radit.Orang tuanya tersenyum dan mengangguk.Di kamar, Radit membantu Dita berbaring. Ia memberikan air minum yang tersedia di meja di dekat kasur untuk Dita.“Kamu mau sarapan, Sayang?” tanya Radit setelah menaruh kembali gelas ke tempatnya.Dita menggeleng. “Aku lagi gak nafsu
Dita berbaring di kamarnya, kamar yang selalu ia tempati sebelum menikah. Ruangan itu kini telah disulap menjadi kamar pengantin bernuansa putih, dengan bunga-bunga di setiap sudutnya. Hatinya berdebar-debar menanti esok tiba, juga luahan rindu yang tiada tara.Sudah dua hari ini ia tidak bisa bertemu dengan Radit, sang kekasih yang akan ia kenalkan pada dunia esok hari sebagai seorang suami. Keluarga mereka melarang keduanya bertemu dua hari sebelum resepsi. Bahkan, mamanya Dita menyita ponsel sang anak agar tidak bisa menghubungi Radit.“Biar seperti pengantin baru lagi, biar rindu,” ujar Bu Meri kala itu.Kini, Dita benar-benar dilanda perasaan tersebut. Demam rindu yang begitu besar terhadap sosok lelaki yang selama ini berada di sisinya. Sangat berbeda kala Radit meninggalkannya selama seminggu ke Semarang, saat lelaki itu baru sehari melakuka
“Habis ini kita langsung pulang, ya,” goda dengan mengedipkan sebelah matanya.“Bukannya mau ke rumah Mama?”Radit mendesah. “Yah, gagal deh.”“Kayak malam gak bisa aja!”“Kamu sih menggoda banget. Aku kan jadi gak sabar.” Radit mencubit gemas hidung Dita.“Luntur deh make up ku. Buruan ah kancingin. Tukang fotonya dah nunggu tuh!” protes Dita.Radit pun menaikkan ritsleting gaun Dita. Ia lalu memutar tubuh istrinya ke kanan dan kiri.“Kenapa, sih? Udah buruan.”Radit menahan Dita yang hendak keluar kamar ganti.“Tunggu! Ganti aja nih baju,” ucapnya.
Radit meringis saat Dita menyentuh luka di wajahnya.“Sakit?” tanya Dita lembut.Radit mengangguk.“Emangnya waktu pukul-pukulan tadi gak sakit?”Kali ini Radit menggeleng.Gemas, Dita menekan luka di pelipis lelaki itu.“Aw! Kenapa sih?”“Kenapa harus pukul-pukulan coba? Bonyok kan nih muka!” geram Dita.“Gak laki kalau gak mukul,” jawab Radit asal.“Kalimat apaan, tuh!”“Kamu gak suka aku kasar atau gak suka aku mukulin Danu?” Pelan, Radit mendekatkan wajahnya dan menatap intens kedua bola mata Dita.
“Kalian di sini juga?”“Kak Danu?” Dita tampak bingung dengan kehadiran sosok lelaki itu. Berbeda dengan Radit yang justru memperhatikan lelaki yang berdiri di samping mejanya dari ujung kepala hingga kaki.“Apa maksudnya ‘juga’?’ tanya Dita dalam hati.“Apa ... Arya yang meminta kalian ke sini?” tanya Danu kemudian.Dita mengangguk, tetapi raut tanya tak hilang dari wajah cantiknya.“Kalau begitu, boleh saya tunggu dia di sini sama kalian?”Dita memandang Radit. Ia takut Radit akan cemburu seperti sebelumnya.“Dita, sini.” Radit meminta Dita duduk di sampingnya. Lalu, dengan kode matanya, ia menyuruh Danu duduk di hadapan mereka.
Dita mendekatkan wajahnya hingga berjarak beberapa senti saja dengan wajah Radit.“Kamu beneran amnesia atau cuma ngerjain aku?” tanyanya curiga.Tiba-tiba Radit menarik kepalanya hingga wajah mereka bersentuhan. Dita yang terkejut berusaha mengangkat kepala, tetapi Radit justru menekannya lebih kuat dan terus menghujani bibirnya dengan ciuman.Radit akhirnya melepaskan Dita setelah wanita itu tampak sulit bernapas.“Kamu ngerjain aku lagi ya!” Dita mengusap kasar mulutnya. Napasnya masih terengah-engah.“Aku cuma mau buktiin kalau kamu emang beneran istriku,” jawab Radit dengan santainya.“Kamu nyebelin banget siiih! Gak usah pura-pura amnesia kalau cuma mau nyium aku!”“Kenap
“Maaf untuk semuanya. Semua kesalahan dan kebodohanku selama ini,” lirih Dita. Tangannya berhenti mengusap keringat di wajah Radit.“Maaf ya udah nyinggung kamu,” balas Radit.Keduanya kini saling melempar senyum. Dita kembali mengusap keringat yang terus bercucuran di kening Radit. Tanpa sadar, ia terpesona dengan sosok Radit yang tengah mengganti ban.“Suka ngeliat aku berkeringat?” tanya Radit tiba-tiba, membuat Dita tersadar dan malu karena ketahuan menatap lelaki itu tanpa berkedip.“Eh, a-anu, aku ke mobil dulu. Di sini panas,” ucap Dita gugup. Ia hendak berdiri, tetapi Radit menahan tangannya.“Sesekali, ikutlah olah raga denganku.”Dita mengangguk.Radit tersenyum
“Yaah, napa gak sepuluh menit lagi aja sih sampainya?” keluh Radit yang sudah bersiap menyelam di lautan cinta bersama sang istri. Ia yang masih mengenakan celana panjangnya sejak semalam, lantas memakai kaus dan menuju ke pintu depan.Dita tertawa geli melihat ekspresi Radit yang gagal ‘sarapan' di kasur pagi ini. Ia pun segera mengenakan pakaian dan mengambil lingerie untuk segera dimasukkan ke mesin cuci.Di depan, Radit tampak bingung setelah membuka pintu. Tak ada sesiapa pun di sana. Namun, ada sebuah kotak berukuran sebesar kotak sepatu yang tergeletak di teras rumahnya.“Siapa yang naruh ini di sini?” gumam Radit.“Mana buburnya?” tanya Dita yang menghampirinya di pintu depan.“Gak ada. Tapi ada ini.” Radit mengambil kotak tersebut.