"Apa yang ingin kamu bicarakan, Ga?" Pria yang duduk di depanku menghela napas, lalu mengembuskannya perlahan. Matanya lekat melihatku yang juga tengah menatapnya. Arga tidak langsung bicara. Ia melemparkan pandangan pada beberapa orang yang berada di kantin rumah sakit ini. Aku bersedia ikut dengannya, karena penasaran dengan apa yang akan dia sampaikan padaku."Maafkan aku, Ra." "Untuk?" tanyaku tidak mengerti."Kejadian dulu yang membuatmu sakit.""Sudah aku maafkan, aku harus kembali ke kamar Citra," ucapku berdiri. Sungguh, aku tidak ingin mendengar apa pun tentang itu. Aku sudah mengubur dalam-dalam rasa sakitku yang dulu hampir membuatku enggan untuk mengenal seorang pria lagi. "Ra, tunggu! Duduklah, aku butuh waktumu sebentar. Tidak usah bicara, cukup dengarkan apa yang ingin aku katakan."Aku duduk kembali. Melipat tangan di atas meja, dengan pandangan fokus pada gelas berisikan kopi."Jujur, aku sangat kaget saat mendengar kabar jika kamu menikah. Aku tidak menyangka ka
Lima hari sudah berlalu, katanya Citra sudah bisa dibawa pulang. Aku tidak sempat menjenguknya lagi karena Mas Raffi yang sibuk. Akhir-akhir ini Mas Raffi sering pulang telat karena bengkel dan rental mobil miliknya diserbu pelanggan. Aku sering kasihan melihat suamiku yang pulang dengan wajah lelah. Hanya pijatan di pundak yang aku suguhkan setiap hari saat ia kembali ke rumah. Aku belum bisa melakukan lebih, atau menyuguhkan sesuatu yang berharga yang kupunya. Karena kemarin, aku masih datang bulan.Namun, tidak untuk hari. Sepertinya malam ini akan jadi malam bersejarah untukku. Pagi ini, aku sudah bersuci. Tamu bulananku sudah pergi dengan sendirinya."Mbak Raya! Kemon!" Suara cempreng Bi Marni terdengar nyaring. Aku buru-buru turun menemui wanita itu."Berangkat sekarang, Bi?" "Ya, sekarang. Masa, tahun depan?" Aku nyengir memperlihatkan deretan gigiku pada Bi Marni. Satu minggu di sini, aku banyak tahu tentang wanita itu. Kehidupan keluarganya, juga masalah rumah tangganya ya
Kututup wajahku dengan selimut saat Mas Raffi menyalakan lampu yang tadi ia matikan. Sungguh, aku malu jika Mas Raffi melihat wajah ini. Kejadian tadi membuatku kehilangan muka di depan suamiku sendiri. Aku akan malu seumur hidup, dan tidak akan pernah melupakan kejadian tadi. Entah karena gugup atau takut, tiba-tiba saja aku kelepasan dan kentut di depan suamiku. Sungguh memalukan!"Kenapa ditutup wajahnya?" tanya Mas Raffi. Ia kembali naik ke ranjang, dan membaringkan tubuhnya di sampingku. Aku tidak menjawab pertanyaan Mas Raffi, memilih diam di balik selimut yang membungkus tubuh polosku. "Aku tahu, kalau kamu belum tidur, Ra. Kalau masih bersembunyi, aku matikan lagi lampunya," ujar Mas Raffi lagi, mengancamku.Perlahan, aku menurunkan selimut dari wajahku. Melihat ke arah Mas Raffi seraya menggigit bibir. Kedua sudut bibir Mas Raffi terangkat dengan mata yang tak lepas dariku.'Ah, aku malu!'Tangan Mas Raffi melingkar di pinggangku, menarik dengan lembut tubuhku, hingga kit
Mama dan Papa saling pandang lagi. Kemudian, Papa tertawa terbahak saat menyadari sesuatu. Mama pun ikut tertawa saat tangannya menyentuh kepala putranya yang masih basah."Tahu, kan sekarang, gimana rasanya menikah itu? Sudah merasakan, dia Mah." Papa kembali terbahak."Pantesan senyum-senyum terus dari tadi. Udah gitu pake peluk-peluk Mama segala, lagi. Eh, tahunya beneran lagi seneng. Selamat, sudah bongkaran!" kelakar Mama membuat kedua telinga Mas Raffi semakin memerah.Pria itu melepaskan pelukannya dari Mama, kemudian menarik kursi dan duduk di depan Papa. Aku semakin enggan untuk menghampiri mereka. Wajahku sudah memanas duluan akibat ulah Mas Raffi. "Sekarang, Raya di mana? Kamu gak bikin dia jadi susah jalan, kan?" tanya Mama langsung membuatku menutup wajah.'Mas Raffi memang benar-benar, ya. Bikin malu aja.' Aku menggerutu dalam hati.Untuk menenangkan hatiku yang terus berlari maraton, aku memilih tidak dulu menghampiri mereka di ruang makan. Dan akhirnya memilih duduk d
"Hai, Jeng Rianti, apa kabar? Aduh, makin segar saja!" "Kabar baik, sangat baik malah."Kedua wanita itu tertawa dengan saling berpelukan. Saat ini, aku sudah berada di acara arisan Mama. Ini tidak seperti arisan ibu-ibu PKK yang ada di kampungku. Semuanya terlihat mewah dengan hidangan seperti di restoran. Orang-orang yang datang pun rata-rata orang berada. Terlihat dari penampilan mereka yang semuanya serba mahal.Mama membawaku duduk di sofa yang sudah ada beberapa orang tengah berkumpul dan berbincang. Mama bercipika-cipiki dengan teman-teman seusianya. "Jeng, ini menantunya yang dari kampung itu, ya?" tanya seorang wanita yang baru saja menghampiri kami.Aku menundukkan kepala semakin dalam, setelah tersenyum ramah pada wanita yang seperti toko emas berjalan itu. 'Menantu dari kampung? Ya, memang itu kenyataannya.'"Namanya Raihana Kamaya. Dia menantu dari syurga. Kalian tidak lihat, dia begitu cantik? Kesayanganku, ini!" ujar Mama seraya tertawa. Teman-teman Mama yang lain p
Aku menajamkan penglihatanku saat seorang wanita keluar dari mobil suamiku. Kemudian ia masuk ke dalam minimarket seorang diri. Lalu, di mana suamiku?"Lihat apa, Ra?" tanya Mama saat mobil yang kami tumpangi mulai melaju kembali."Eh, itu, Ma. Tadi Raya seperti melihat mobil Mas Raffi di depan minimarket.""Mana?" ujar Mama melihat ke belakang."Gak ada, ah. Mungkin kamu salah lihat, Ra," ucap Mama lagi."Iya, mungkin aku salah lihat."Aku tidak ingin berdebat dengan Mama cuma karena mobil yang mungkin bukan mobil milik suamiku. Namun, perasaanku mengatakan, yang tadi aku lihat memang mobil Mas Raffi. Dari warna serta platnya pun sama percis dengan kendaraan suamiku.Sampai di rumah Mbak Syahida, kami disambut hangat oleh tuan rumah. Benar saja, jika Syakila tengah sakit. Remaja itu tengah berbaring di sofa ruang tengah."Kenapa tidak dibawa ke rumah sakit, Mbak?" tanyaku kepada Mbak Syahida.Ah, aku lupa jika Mbak Ida tidak bisa bicara. Aku mengalihkan pandangan pada televisi yang s
Awan putih mulai menghitam, langit berwarna biru, mulai menggelap. Angin sejuk mulai terasa membelai wajahku. Kuhirup udara dalam-dalam hingga akhirnya satu demi satu tetes air mulai jatuh membasahi bumi. Kuulurkan tangan membiarkan air hujan jatuh mengenai telapak tanganku. Rasa dingin dan geli membuatku ingin tertawa sendiri. Ponselku berdering, aku yang sedang berdiri di balkon seraya bermain air hujan, harus mengakhirinya untuk bisa masuk ke kamar dan melihat siapa seseorang yang menghubungiku."Hai!" seruku riang.Wajah di balik layar pun sama senangnya denganku."Apa kabar, Ra?" "Baik. Baik banget. Eh, Ibu? Kamu di rumah Ibu, Mi?" Mimi mengarahkan kamera ponselnya pada wanita yang tengah duduk di kursi seraya melipat pakaian. Ia tersenyum padaku, seraya melambaikan tangan.Rasa rindu tiba-tiba hadir. Ingin sekali aku lari ke sana untuk menikmati belaian tangan Ibu, di pucuk kepalaku. "Iya, sengaja maen ke sini. Soalnya kan ... makanan yang kamu kirim masih banyak," ujar Mim
"Ada yang mau diceritakan tentang hari ini?" Aku yang tengah mengunyah kacang almond, mengalihkan pandanganku pada Mas Raffi.Tiba-tiba saja pikiranku teringat pada sesuatu di jalan tadi. Tentang mobil Mas Raffi, yang terparkir di depan minimarket.'Apa aku tanyakan saja, ya?'"Hey, kok malah diam saja. Kenapa? Aku lagi punya banyak waktu, nih. Ayo, cerita. Katanya tadi pergi sama Mama, gimana seru, gak?" Mas Raffi mencolek pipiku."Kecilin dulu volume tivinya," ujarku.Mas Raffi mengambil remot, ia mengecilkan volume tivi menjadi seperti berbisik. Aku membenarkan letak dudukku semakin tegak."Mas.""Hm.""Jangan ada rahasia di antara kita, ya?""Heem." Mas Raffi mengangguk seraya bergumam. Ia yang tadi duduk di karpet, kini duduk di sofa, di sampingku. Aku meneguk ludah sebelum memulai mengeluarkan kata. Jujur, aku gugup dan ragu untuk bertanya. Aku takut jika Mas Raffi tidak mau mengaku, dan akhirnya aku jadi memiliki sifat curiga kepada suami. "Yang pertama, tadi aku bertemu den