Bab 64"Apa kamu tidak tahu ada orang lain di rumahmu saat itu selain kita?" tanya Artha. Mitha mencoba mengingat kembali, karena kejadian itu sudah lama tepatnya delapan tahun yang lalu. Ia memejamkan mata kebiasaan dia jika ingin mengingat sesuatu, keningnya mengkerut tanda ia sedang berpikir keras. "Seingatku tidak ada. Karena saat itu bapak dan ibu sedang ada urusan. Itu sebabnya aku meminta kalian untuk datang ke rumah saja membahas pembangunan restoran," jawab Mitha. "Atau mungkin ibumu tidak jadi ikut pergi dan kembali ke rumah. Ia tak sengaja mendengar percakapan kita. Atau bisa saja ibumu sudah merencanakan semuanya dari awal." "Maaf, bukan maksud menfitnah ibumu," lanjut Artha dengan nada rendah. Mitha menarik napas kemudian mengeluarkan secara perlahan, "aku juga berpikir demikian." "Bagaimana ibumu bisa mengambil uang yang telah ditransfer ke rekeningmu?" tanya Artha. Seseorang tidak akan bisa mengambil uang dari rekening begitu saja. Kecuali ia mengetahui pin si p
Bab 65 Artha meletakkan kembali ponselnya ke atas nakas dan berbaring di atas kasur. Ia telah berulang kali mengurungkan niatnya untuk mengirim pesan pada Agha. Untuk menemani ke salon. Ketik ~ hapus. Ketik ~ hapus. Begitulah yang ia lakukan berulang kali. Setelah pertemuannya dengan Mitha kemarin sore, rasanya tubuh dan pikirannya terasa lelah luar bisa. Ia perlu merilekskan diri. Salah satunya ia ingin melakukan creambath dan body massage sekalian. Pada akhirnya, ia memilih pergi sendiri ke salon. Bukan bersikap manja karena biasanya ia memang selalu sendiri pergi ke salon, jika saat di Dubai ia dan Aylin selalu pergi bersama. Hanya saja, ia ingin melihat bagaimana kekasih cool nya itu jika mereka ke salon bersama. Apakah betah atau justru bosan sampai tertidur saat di salon. Ngomong-ngomong soal Aylin, apa kabar dia sekarang. Terakhir, Artha menghubunginya seminggu lalu, itupun hanya sebentar. Mereka sering berkirim pesan, saling menanyakan kabar. Wanita karier itu sangat sib
Bab 66 Agha mendorong pintu ruangannya dan langsung masuk, melemparkan begitu saja berkas yang ada di tangan ke meja dekat sofa di ruangan itu. Ia melonggarkan dasi dan membuka salah satu kancing kemejanya. Meeting hari ini membuat tubuhnya sedikit berkeringat. Ia juga membuka kedua kancing lengan kemeja yang ia kenakan. Ia belum menyadari ada seseorang yang tengah duduk di kursi kebesarannya. Karena kursi itu menghadap ke arah jendela. Ia menghampiri mejanya dan bermaksud untuk duduk, ketika ia memutar kursi sontak matanya membola. "Ti-ka?" Lantangnya suara Agha hampir memenuhi ruangan itu. "Kamu, kok bisa ada di sini?" tanya Agha heran. Karena tak ada satupun teman sepergaulannya yang tau di mana ia berada. Kepergiannya ke Medan begitu mendadak dan kakek juga melarang untuk memberi tahu. "Salah kalau aku di sini, Gha?" tanya balik Tika, ia berdiri mendekati Agha dan berniat untuk memeluk. Namun, Agha langsung mundur begitu tahu Tika akan memeluknya. "Enggak, tapi kamu ta
Bab 67"Lepas?!" bentak Agha pada Tika. Tika masih memeluknya dengan erat. Ia terpaksa mendorong tubuh mungil Tika hingga wanita itu terjungkal, tak peduli jika wanita itu kesakitan. "Auw." Tika meringis, punggungnya membentur sisi meja dan ia terduduk di lantai. Kemudian ia bangkit dan merapikan penampilannya. "Ternyata begitu seleramu?" ucap Tika dengan nada mengejek tanpa peduli rasa sakit di punggung. Ia tersenyum puas bisa membuat pacar Agha marah. Ia sengaja memeluk Agha karena tahu bahwa gadis itu telah berada dibalik pintu. Saat, Tika mengajak duduk, tanpa sengaja netranya beradu dengan netra seorang gadis. Yang ia yakini kekasih Agha, karena detektif yang ia sewa juga mengirim foto-foto Agha dan sang kekasih. Ia semakin mempererat pelukannya dan membuat posisi mereka seperti sedang berciuman. Sampai gadis itu masuk dan melihat mereka, ia masih tetap memeluk Agha hingga gadis itu benar-benar marah dan pergi dari ruangan Agha. Napas Agha memburu, netranya menatap dalam ba
Bab 68Agha mondar mandir di ruang kerja sembari memegangi kertas yang ia corat coret. Sudah lama ia merencanakan untuk melamar Artha pada bapaknya. Ia menunggu waktu dan hari yang tepat dan hari inilah ia akan melamar Artha pada bapak. Kemarin, ketika Artha bertanya kapan akan melamarnya pada bapak, Agha langsung menjawab besok. Meski sudah ia rencanakan jauh-jauh hari, tapi kenapa ketika tiba di hari H, ia malah gugup dan sulit berkonsentrasi. Isi kertas yang ia tulis sendiri pun sangat sulit ia hapal. Kertas itu sudah menjadi usang dan keriting karena bolak balik ia buka dan remas. Ia mengusap wajah secara kasar dan mengambil kembali kertas yang sempat ia lempar. Pintu ruangannya dibuka oleh Ucok dan menepuk pundak Agha. Pria itu terlojak kaget padahal Ucok menepuk pundaknya dengan pelan. "Kenapa lo gak ketuk pintu?" Bentak Agha pada Ucok.o"Lo yang gak dengar! gue udah ketuk pintu ruangan lo berulang kali," jawab Ucok sembari meletakkan sebuah map ke meja Agha. "Lagian lo kena
Bab 69Agha menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat. Teringat dengan janji akan melamar sang kekasih pada bapak. Ia harus mempersiapkan penampilan sebaik mungkin dan satu hal lagi mempersiapkan hati. Jikalau calon mertuanya tidak menerimanya, jangan langsung menyerah dan putus asa. Karena ia sudah berjanji akan memperjuangkan cintanya pada Artha. Sesampainya di rumah Ucok, ia langsung masuk ke kamar dan mengambil handuk. Ia masih tinggal di rumah Ucok, di rumah ini kamar mandi terpisah dari kamar tidur. Meski mereka satu atap, mereka hanya berangkat kerja bersama dan sesekali pulang bersama. Seperti hari ini, Agha pulang sendiri ke rumah, Ucok ntah pergi kemana selalu saja ada hal penting yang lelaki itu kerjakan. Setelah selesai mandi, ia membuka lemari pakaian dan melihat kemeja mana yang akan ia gunakan. Pilihan tangannya jatuh pada kemeja lengan panjang berwarna grey dan ia menggunakan celana bahan berwarna grey juga. Setelah memakai jam tangan, ia memakai pomade dan menata ramb
Bab 70"Cieee ada yang dilamar," ucap Rendra dengan nada bercanda pada Artha dan mendapat tepukan di pahanya.Wajah Artha merah merona dan menunduk, ia malu menatap netra Agha. Ia bergegas ke dapur untuk menyediakan minuman. Sepertinya bapak dan calon menantu itu perlu diberi minum agar pikiran mereka segar dan ketegangan di antara mereka mereda."Sepertinya kalian berjodoh, Kak," ucap Rendra yang mengikuti langkah Artha ke dapur.Artha bergeming tak menghiraukan ucapan sang adik. Ia mengambil teko dan mengisinya dengan gula dan memasukkan beberapa kantong teh s***wa**i. Lalu mengambil termos dan menuangkan isinya ke dalam teko. Mengaduk isi dalam teko agar gula larut bersama air dan kantong teh mengeluarkan sarinya."Kalian janjian ya, Kak?" Artha menoleh pada Rendra yang duduk dikursi meja makan."Warna baju kalian sama!" seru Rendra.Ia melihat baju yang ia pakai dan menilik ke ruang tamu, karena ruang tamu dan dapur hanya dibatasi lemari sebagi sekat. Ia tersenyum karena baru meny
Bab 71Sudah seminggu berlalu sejak kejadian bapak menolak lamaran Agha. Artha setiap hari selalu berusaha untuk bertemu dengan bapak. Namun, pria paruh baya itu sengaja berusaha menghindar. Tiap malam selalu ke kedai dan pulang setelah jam 10 malam. Jika Artha menemui bapak di pajak, akan selalu ada alasan yang dibuat. Seperti pagi ini, Artha sudah bangun lebih awal dan telah duduk di meja makan sembari menunggu bapak. Sarapan yang tersedia di meja ia hiraukan asal bisa bertemu bapak. Bapak berjalan ke arah meja makan dan duduk tanpa mempedulikan Artha yang tengah menatap bapak. Berharap bapak mau mengalihkan pandangan padanya. Lagi-lagi pensiunan polisi itu tetap fokus pada kopi dan sarapannya. Meski ia tahu Artha ingin mengucapkan sesuatu, ia tetap tak mau tahu. "Pak," ucap Artha memberanikan diri dan menatap langsung wajah sang bapak. Bapak bergeming. Artha sudah mulai putus asa dan tak tahu harus meminta bantuan siapa lagi. Mamak juga sudah bicara dengan bapak, tapi hasilnya
"Capek, Bang?" Rajata menyandarkan punggungnya pada kursi sofa, "iya," jawab Rajata dengan mata terpejam. "Sebentar, biar aku ambilkan minum." Artha bangkit, tapi dengan cepat Rajata mencegahnya, "tidak usah, Dek. Nanti, abang saja yang ambil." "Akhirnya kasusnya selesai. Setelah memakan waktu hampir 2 bulan. Tika dipenjara selama 3 tahun," guman Rajata masih dengan mata terpejam. Akibat kasus penculikan yang dilakukan Tika, gadis berambut gelombang itu mendekam di penjara. Karena setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76F dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Menurut Rajata itu terlalu ringan, seharusnya Tika mendekam selamanya di penjara. Mengingat bagaimana ia merencanakan penculikan pada Artha, sedangkan untuk Tina, kembaran Tika memilih kabur begitu tau Ti
"Menikahlah denganku!"Suara bariton mengejutkan Aisyah. Semua kunci yang dipegang olehnya terjatuh. Saat ini ia sedang ingin menutup pintu ruko tempat butiknya berada. Namun, karena suara bariton mengagetkannya, pintu tak bisa ia tutup.Aisyah semakin terlonjak kaget ketika membalikkan badan. Di hadapannya berdiri seorang pria yang masih lengkap mengenakan seragam berwarna coklat.Pria itu melangkah mendekat untuk membantu menutup pintu butik milik Aisyah."Mau apa kamu?" tanya Aisyah dengan gugup."Aku hanya ingin membantu menutup butikmu."Pria itu memunguti kunci yang berserakan di lantai. "Yan
"Kamu yakin akan melanjutkan pernikahan ini?"Saat ini Agha sedang berada dalam sebuah kamar hotel bersama Artha. Beberapa jam lagi adalah pemberkatan pernikahan mereka. Masih ada waktu untuk menunda pernikahan sebelum pemberkatan dimulai.Para MUA pilihan mamak sudah selesai merias dan membantu Artha memakai gaun. Agha meminta mereka semua meninggalkan dirinya dan Artha. Kini, tinggal ia dan Artha yang tinggal di kamar hotel itu. Agha ingin membujuk Artha sekali lagi untuk menunda pernikahan mereka. Namun, Artha tetap pada pendiriannya untuk melanjutkan pernikahan.Kondisi Artha belum sepenuhnya pulih. Fisik Artha masih lemah dan ia sedikit mengalami trauma akibat penculikan yang dialaminya. Luka dibagian kaki akibat ikatan yang terlalu kuat belum sepenuhnya p
Bab 87"Mamak di rumah aja, gak usah ikut!" Rendra melarang mamak untuk ikut pergi bersama mereka ketika mengekori langkahnya."Kenapa?" Mamak ingin ikut, ia yakin Artha berada di rumah kosong itu."Aku sama Bang Agha saja yang ke rumah itu. Bapak juga gak usah ikut, siapa tahu ada kabar terbaru dari bang Rajata tentang kak Artha," ucap Rendra dengan lembut."Tulang dan Nantulang sebaiknya istirahat saja di rumah. Kalau ada kabar terbaru kabari kami secepatnya. Setelah menemukan jam itu, kami akan pulang."Agha ikut membujuk kedua orang tua Artha agar tak ikut bersama mereka.Akhirnya kedua orang t
Bab 86."Siapa kira-kira?" tatapan mata bapak sangat tajam seolah ingin menghunus jantung Agha."Mak!"Seruan Rendra membuat Agha urung menjawab pertanyaan bapak."Ada apa?" tanya bapak dengan heran pada Rendra.Rendra mengabaikan bapak dan menghampiri mamak yang baru saja meletakkan minuman, "Mamak ada lihat jam aku?""Jam yang mana?""Jam yang seperti itu."Saat menunjuk, mata Rendra tertuju pada pergelangan tangan Agha yang kebetulan sedang memakai jam tangan yang s
Terdengar bunyi dering ponsel yang begitu nyaring, tanpa melihat siapa yang memanggil, Tika langsung menempelkan ponsel ke telinga begitu ia menggeser ikon telepon berwarna hijau. "Gue masih di rumah kosong ini. Kenapa suara lo kedengaran khawatir gitu?" Kemudian Tika melihat ponselnya dan menekan ikon loudspeaker. "Gimana gue gak khawatir, hampir aja gue ketahuan." Suara lawan bicaranya terdengar menghela nafas. "Ketahuan bagaimana? Bukannya semua udah gue kasih tau dan lo udah paham?" "Satu hal yang lo lupa, lo gak kasih tahu parfum yang lo pakai!" Suara diseberang terdengar sangat kesal, "sorry, gue gak berpikir sampai kesitu. Apa itu jadi masalah? Gue yakin lo bisa mengatas
Bab 84"Ternyata lo masih ingat wangi parfum Tika," ejek Riko. "Padahal sudah hampir enam bulan kita semua tidak pernah ketemu sama lo," imbuhnya lagi menatap tak percaya pada pria pirang itu."Lo salah, gue dan Tika dua bulan lalu baru bertemu. Kalo gak percaya tanya aja langsung pada orangnya."Agha melirik tajam pada Tika yang duduk dengan meremas kedua tangannya. Sontak semua mata tertuju pada Tika, dengan cepat Tika mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Agha yang semakin curiga melihatnya."Kalian tahu sendiri 'kan. Parfum yang digunakan Tika sangat menyengat dan bahkan bukan hanya gue yang menyadari jika Tika tidak pernah berganti parfum."Pandangan Agha masih tetap pada Tika yang duduk gelisah dengan kedua tangan masih saling meremas"Gu-e, hanya mencoba parfum Rani. I-ya 'kan Ran?" Tika menjawab dengan gugup sembari menyikut pergelangan tangan Rani meminta pembelaan pada gadis berambut sebahu itu."Santai aja kali Gha. Gue baru beli parfum baru dan meminta Tika untuk m
Bab 83Mentari merangkak menuju barat, tanda sore semakin merayap. Senja menyapa dengan lambaian warna jingganya. Keluarga Artha terlihat panik karena tidak menemukan Artha di kamar ataupun di halaman belakang. "Lapor polisi, Pah!" seru mamak wajahnya terlihat panik dan kelihatan sedikit pucat. Meskipun melapor kepada pihak yang berwajib belum bisa dilakukan, dengan spontan mamak tetap mengatakannya. Karena wanita paruh baya itu begitu panik dan cemas akan anak gadisnya yang tiba-tiba saja tidak berada di rumah. Artha memang selalu keluar, tapi ia selalu pamit sebelum hendak pergi kemanapun.Jika esok ia akan keluar, maka malam sebelum kedua orangtuanya tidur ia akan pamit dan mengatakan kemana tujuannya atau paling tidak ia akan menelepon atau mengirim pesan. Kali ini, Artha tidak pamit meski baru beberapa jam Artha tidak berada di rumah, tapi naluri keibuannya berkata Artha sedang tidak baik-baik saja. "Belum 1x24 jam Artha menghilang," jawab bapak dengan datar, terlihat santai.
Bab 82Entah kenapa selepas makan siang Agha tampak gusar. Sebentar duduk sebentar lagi berdiri. Begitu terus sampai berulang-ulang. Apa mungkin karena akan menghadapi hari pernikahan, tapi itu akan berlangsung 2 minggu lagi. Ia menyambar kunci mobil dan dompet yang berada di atas meja dengan cepat. Satu-satunya yang ada dipikirannya adalah Artha. Keluarga melarang mereka untuk bertemu sementara sampai pada hari H. Namun, saat ini pikirannya tertuju pada Artha, ada rasa yang tak biasa yang mengganjal. Ia pun sulit mengartikannya, padalah saat istirahat sembari makan siang ia sempatkan untuk video call dengan Artha. Ia pun melajukan mobilnya ke kediaman Artha dengan kecepatan rata-rata, beruntung jalanan tidak begitu macet. Mungkin belum jam kantor pulang. Setelah memarkirkan mobil tepat di depan rumah Artha, ia pun turun dan kedua orangtua Artha juga baru turun dari becak. Mereka berpapasan di depan rumah. "Bere, sudah kami bilang jangan d