Bab 68Agha mondar mandir di ruang kerja sembari memegangi kertas yang ia corat coret. Sudah lama ia merencanakan untuk melamar Artha pada bapaknya. Ia menunggu waktu dan hari yang tepat dan hari inilah ia akan melamar Artha pada bapak. Kemarin, ketika Artha bertanya kapan akan melamarnya pada bapak, Agha langsung menjawab besok. Meski sudah ia rencanakan jauh-jauh hari, tapi kenapa ketika tiba di hari H, ia malah gugup dan sulit berkonsentrasi. Isi kertas yang ia tulis sendiri pun sangat sulit ia hapal. Kertas itu sudah menjadi usang dan keriting karena bolak balik ia buka dan remas. Ia mengusap wajah secara kasar dan mengambil kembali kertas yang sempat ia lempar. Pintu ruangannya dibuka oleh Ucok dan menepuk pundak Agha. Pria itu terlojak kaget padahal Ucok menepuk pundaknya dengan pelan. "Kenapa lo gak ketuk pintu?" Bentak Agha pada Ucok.o"Lo yang gak dengar! gue udah ketuk pintu ruangan lo berulang kali," jawab Ucok sembari meletakkan sebuah map ke meja Agha. "Lagian lo kena
Bab 69Agha menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat. Teringat dengan janji akan melamar sang kekasih pada bapak. Ia harus mempersiapkan penampilan sebaik mungkin dan satu hal lagi mempersiapkan hati. Jikalau calon mertuanya tidak menerimanya, jangan langsung menyerah dan putus asa. Karena ia sudah berjanji akan memperjuangkan cintanya pada Artha. Sesampainya di rumah Ucok, ia langsung masuk ke kamar dan mengambil handuk. Ia masih tinggal di rumah Ucok, di rumah ini kamar mandi terpisah dari kamar tidur. Meski mereka satu atap, mereka hanya berangkat kerja bersama dan sesekali pulang bersama. Seperti hari ini, Agha pulang sendiri ke rumah, Ucok ntah pergi kemana selalu saja ada hal penting yang lelaki itu kerjakan. Setelah selesai mandi, ia membuka lemari pakaian dan melihat kemeja mana yang akan ia gunakan. Pilihan tangannya jatuh pada kemeja lengan panjang berwarna grey dan ia menggunakan celana bahan berwarna grey juga. Setelah memakai jam tangan, ia memakai pomade dan menata ramb
Bab 70"Cieee ada yang dilamar," ucap Rendra dengan nada bercanda pada Artha dan mendapat tepukan di pahanya.Wajah Artha merah merona dan menunduk, ia malu menatap netra Agha. Ia bergegas ke dapur untuk menyediakan minuman. Sepertinya bapak dan calon menantu itu perlu diberi minum agar pikiran mereka segar dan ketegangan di antara mereka mereda."Sepertinya kalian berjodoh, Kak," ucap Rendra yang mengikuti langkah Artha ke dapur.Artha bergeming tak menghiraukan ucapan sang adik. Ia mengambil teko dan mengisinya dengan gula dan memasukkan beberapa kantong teh s***wa**i. Lalu mengambil termos dan menuangkan isinya ke dalam teko. Mengaduk isi dalam teko agar gula larut bersama air dan kantong teh mengeluarkan sarinya."Kalian janjian ya, Kak?" Artha menoleh pada Rendra yang duduk dikursi meja makan."Warna baju kalian sama!" seru Rendra.Ia melihat baju yang ia pakai dan menilik ke ruang tamu, karena ruang tamu dan dapur hanya dibatasi lemari sebagi sekat. Ia tersenyum karena baru meny
Bab 71Sudah seminggu berlalu sejak kejadian bapak menolak lamaran Agha. Artha setiap hari selalu berusaha untuk bertemu dengan bapak. Namun, pria paruh baya itu sengaja berusaha menghindar. Tiap malam selalu ke kedai dan pulang setelah jam 10 malam. Jika Artha menemui bapak di pajak, akan selalu ada alasan yang dibuat. Seperti pagi ini, Artha sudah bangun lebih awal dan telah duduk di meja makan sembari menunggu bapak. Sarapan yang tersedia di meja ia hiraukan asal bisa bertemu bapak. Bapak berjalan ke arah meja makan dan duduk tanpa mempedulikan Artha yang tengah menatap bapak. Berharap bapak mau mengalihkan pandangan padanya. Lagi-lagi pensiunan polisi itu tetap fokus pada kopi dan sarapannya. Meski ia tahu Artha ingin mengucapkan sesuatu, ia tetap tak mau tahu. "Pak," ucap Artha memberanikan diri dan menatap langsung wajah sang bapak. Bapak bergeming. Artha sudah mulai putus asa dan tak tahu harus meminta bantuan siapa lagi. Mamak juga sudah bicara dengan bapak, tapi hasilnya
Bab 72Agha kembali meletakkan ponsel di meja kerjanya. Setelah berulang kali menelepon ternyata Artha tidak mengangkat panggilannya. Pikirannya berkecamuk memikirkan berbagai cara untuk meluluhkan hati tulangnya.Informasi yang ia dapat tadi pagi dari Rendra bahwa bapak Artha masih tetap tidak mau memberi restu. Padahal mamak sudah ikut membujuk, tapi hati tulangnya tetap keras, sekeras batu karang.Rendra menjadi informan baginya dan remaja berperawakan tinggi besar itu juga bersedia melaporkan setiap hal yang terjadi di rumah itu. Seluruh keluarga Artha telah setuju dengan hubungan mereka, kecuali tulang.Ia teringat kembali dengan percakapannya dengan Rajata sebelum meninggalkan kediaman Artha seminggu yang lalu. Saat ia melangkah ingi
Bab 73"Astaga, kaget Bapak!" seru bapak sembari mengelus dada.Saat berbalik badan, Artha telah menghadang bapak dengan berdiri tepat di belakang tubuh bapak."Kau ngapain di sini? Masuk kamar, sana!" titah bapak.Namun, Artha bergeming masih berdiri kokoh di hadapan bapak dengan seulas senyuman. "Jadi, Bapak akan merestui kami?""Kamu mendengar semuanya?" tanya balik bapak. Artha mengangguk.Artha memang mendengar percakapan antara bapak dan Agha. Ia sudah menghafal kebiasaan Agha karena selama seminggu ini, setiap pagi dan sore Agha selalu menyambangi rumah mereka. Ia hanya bisa mengintip dari balik tirai jendela tanpa berani membuka
Bab 74Agha mengamati kakek dan bapak Artha yang sedang mengobrol. Terlihat sangat akrab, bukan seperti orang asing yang ia lihat. Sangat janggal, seperti seorang teman lama yang baru bertemu. Ada kecurigaan dalam hatinya melihat keakraban dua orang yang berbeda generasi itu.Ia menjadi seperti musuh dihadapan kedua orang tua itu. Karena ia diabaikan dan tidak bisa ikut berbaur dengan obrolan mereka. Ia hanya sedikit mengerti dengan percakapan mereka karena sempat belajar bersama Holong. Kedua orangtua itu berbicara menggunakan bahasa batak, bahasa ibu Agha. Entah sejak kapan kakeknya bisa berbahasa batak sangat lancar dan fasih sekali. Ia merasa ada kejanggalan dalam hal ini. Apakah sejak awal kakeknya sudah merencanakan semua ini? Dan bekerja sama dengan bapak Artha? "Apakah kamu sudah siap?" Pertanyaan kakek membuyarkan Agha dari lamunannya. Ia terkesiap dan mencoba mencerna kembali tentang pertanyaan kakek. Siap seperti apa yang dimaksud kakek. Kalau siap untuk menikah dengan
Flashback on Tidak dapa dipungkiri, Agha memang telah jatuh cinta sejak ia melihat Artha untuk pertama kali, tepatnya di bandara Halim Perdana Kusuma. Saat itu Artha tengah berjalan dengan menyeret koper kecil menggunakan tangan kiri. Sedang tangan kanan memegang minuman. Agha menebak itu adalah jus jeruk, terlihat dari warnanya yang berwarna orange. Karena ia juga menyukai minuman itu, sehingg ia tahu betul bagaimana warna dari minuman kesukaannya. Di bahunya tersampir tas, meski bukan tas dengan merek terkenal. Pakaian Artha kala itu sangat sederhana mirip seperti anak ABG, menggunakan kaos oblong berwarna putih dan celana jeans pensil berwarna biru langit dan sepatu sneaker melengkapi penampilannya yang bahkan lebih muda dari seorang ABG. Rambutnya saat itu diikat tinggi asal dan menyerupai ekor kuda. Pandangannya mengitari ruang tunggu bandara. Sepertinya sedang mencari bangku kosong. Bandara ini selalu oleh orang-orang, ntah dari mana mereka berasal. Mungkin karena bandara ini