Bab 71Sudah seminggu berlalu sejak kejadian bapak menolak lamaran Agha. Artha setiap hari selalu berusaha untuk bertemu dengan bapak. Namun, pria paruh baya itu sengaja berusaha menghindar. Tiap malam selalu ke kedai dan pulang setelah jam 10 malam. Jika Artha menemui bapak di pajak, akan selalu ada alasan yang dibuat. Seperti pagi ini, Artha sudah bangun lebih awal dan telah duduk di meja makan sembari menunggu bapak. Sarapan yang tersedia di meja ia hiraukan asal bisa bertemu bapak. Bapak berjalan ke arah meja makan dan duduk tanpa mempedulikan Artha yang tengah menatap bapak. Berharap bapak mau mengalihkan pandangan padanya. Lagi-lagi pensiunan polisi itu tetap fokus pada kopi dan sarapannya. Meski ia tahu Artha ingin mengucapkan sesuatu, ia tetap tak mau tahu. "Pak," ucap Artha memberanikan diri dan menatap langsung wajah sang bapak. Bapak bergeming. Artha sudah mulai putus asa dan tak tahu harus meminta bantuan siapa lagi. Mamak juga sudah bicara dengan bapak, tapi hasilnya
Bab 72Agha kembali meletakkan ponsel di meja kerjanya. Setelah berulang kali menelepon ternyata Artha tidak mengangkat panggilannya. Pikirannya berkecamuk memikirkan berbagai cara untuk meluluhkan hati tulangnya.Informasi yang ia dapat tadi pagi dari Rendra bahwa bapak Artha masih tetap tidak mau memberi restu. Padahal mamak sudah ikut membujuk, tapi hati tulangnya tetap keras, sekeras batu karang.Rendra menjadi informan baginya dan remaja berperawakan tinggi besar itu juga bersedia melaporkan setiap hal yang terjadi di rumah itu. Seluruh keluarga Artha telah setuju dengan hubungan mereka, kecuali tulang.Ia teringat kembali dengan percakapannya dengan Rajata sebelum meninggalkan kediaman Artha seminggu yang lalu. Saat ia melangkah ingi
Bab 73"Astaga, kaget Bapak!" seru bapak sembari mengelus dada.Saat berbalik badan, Artha telah menghadang bapak dengan berdiri tepat di belakang tubuh bapak."Kau ngapain di sini? Masuk kamar, sana!" titah bapak.Namun, Artha bergeming masih berdiri kokoh di hadapan bapak dengan seulas senyuman. "Jadi, Bapak akan merestui kami?""Kamu mendengar semuanya?" tanya balik bapak. Artha mengangguk.Artha memang mendengar percakapan antara bapak dan Agha. Ia sudah menghafal kebiasaan Agha karena selama seminggu ini, setiap pagi dan sore Agha selalu menyambangi rumah mereka. Ia hanya bisa mengintip dari balik tirai jendela tanpa berani membuka
Bab 74Agha mengamati kakek dan bapak Artha yang sedang mengobrol. Terlihat sangat akrab, bukan seperti orang asing yang ia lihat. Sangat janggal, seperti seorang teman lama yang baru bertemu. Ada kecurigaan dalam hatinya melihat keakraban dua orang yang berbeda generasi itu.Ia menjadi seperti musuh dihadapan kedua orang tua itu. Karena ia diabaikan dan tidak bisa ikut berbaur dengan obrolan mereka. Ia hanya sedikit mengerti dengan percakapan mereka karena sempat belajar bersama Holong. Kedua orangtua itu berbicara menggunakan bahasa batak, bahasa ibu Agha. Entah sejak kapan kakeknya bisa berbahasa batak sangat lancar dan fasih sekali. Ia merasa ada kejanggalan dalam hal ini. Apakah sejak awal kakeknya sudah merencanakan semua ini? Dan bekerja sama dengan bapak Artha? "Apakah kamu sudah siap?" Pertanyaan kakek membuyarkan Agha dari lamunannya. Ia terkesiap dan mencoba mencerna kembali tentang pertanyaan kakek. Siap seperti apa yang dimaksud kakek. Kalau siap untuk menikah dengan
Flashback on Tidak dapa dipungkiri, Agha memang telah jatuh cinta sejak ia melihat Artha untuk pertama kali, tepatnya di bandara Halim Perdana Kusuma. Saat itu Artha tengah berjalan dengan menyeret koper kecil menggunakan tangan kiri. Sedang tangan kanan memegang minuman. Agha menebak itu adalah jus jeruk, terlihat dari warnanya yang berwarna orange. Karena ia juga menyukai minuman itu, sehingg ia tahu betul bagaimana warna dari minuman kesukaannya. Di bahunya tersampir tas, meski bukan tas dengan merek terkenal. Pakaian Artha kala itu sangat sederhana mirip seperti anak ABG, menggunakan kaos oblong berwarna putih dan celana jeans pensil berwarna biru langit dan sepatu sneaker melengkapi penampilannya yang bahkan lebih muda dari seorang ABG. Rambutnya saat itu diikat tinggi asal dan menyerupai ekor kuda. Pandangannya mengitari ruang tunggu bandara. Sepertinya sedang mencari bangku kosong. Bandara ini selalu oleh orang-orang, ntah dari mana mereka berasal. Mungkin karena bandara ini
Bab 76"Siapa yang bertamu?" tanya Artha pada bapak yang sedang menonton berita di televisi.Apakah Agha?Menilik dari gelas kopi yang ada di meja, kemungkinan besar itu adalah Agha dan Kakeknya. Artha yakin pasti Agha yang berkunjung ke rumahnya. Karena ia tahu kebiasaan Agha yang tidak bisa menghabiskan segelas kopi.Kekasihnya itu tidak terlalu menyukai kopi, berbeda dengan dirinya. Satu hari tanpa minuman berkafein itu rasanya ada yang kurang dan ia tidak bisa berkonsentrasi atau mendapat ide dalam melakukan suatu pekerjaan.Berbeda jika disajikan jus, Agha akan langsung meneguknya dengan cepat apalagi dengan jus jeruk. Minuman yang kaya akan vitamin C itu akan langsung cepat diminum.
Bab 77Dua minggu telah berlalu dan hari ini adalah hari penentu apakah bapak Artha akan memberi restu atau malah memberi syarat lain. Kalaupun ada syarat lain semoga Agha bisa memenuhinya. Misal, masalah sinamot atau mahar yang begitu besar, itu perkara mudah.Karena harta kakeknya tidak akan habis sampai tujuh turunan. Apalagi dia pewaris tunggal yang akan mewarisi seluruh harta kekayaan kakek. Rencananya, ia juga akan membagi sebagian pada kakaknya ~Aylin~ dia bukan pria yang serakah yang tega menguasai harta kekayaan kakek untuknya sendiri."Kau juga sudah mempelajari adat istiadat atau budaya batak bukan?" tanya kakek yang sedang mengancingkan lengan jasnya."Tenang saja, Kek. Semuanya aman dan sudah saya pelajari," jawab Agha s
Bab 78Mereka disambut oleh bapak dan mamak Artha dan telah berdiri di samping pintu. Kini bapak berpakaian rapi dengan baju batik lengan panjang yang sama dengan yang dipakai oleh bapak, tapi lengan baju mamak 3/4."Horas Tulang!" ucap Agha memberi salam pada kedua calon mertuanya."Horas bere!" seru bapak dan mamak secara bersamaan.Terdengar janggal kala Agha mengucapkannya, tapi bapak memakluminya dan mengulurkan tangan. Agha menjabat tangan tulangnya dengan sedikit penekanan, kemudian tulang menepuk pundaknya. Tak lupa Agha juga menjabat tangan nantulangnya dengan lembut dan sopan.Kali ini tidak ada tatapan sinis dari netra tulang seperti saat ia datang melamar tempo lalu. Wajah tul