Bab 44
Artha menduga Bang Gomgom hanya mengantarkan ke loby rumah sakit. Ternyata ia salah, Bang Gomgom mengantarnya sampai ke restoran tempat dimana Agha sedang menunggu. Agha mengajaknya makan malam. Saat Agha menawarkan diri untuk menjemput, Artha menolak dan akan langsung menuju ke lokasi karena sedang berada di luar.
Artha sudah menolak karena tak ingin membuat sang kekasih curiga. Namun, Bang Gomgom tetap ingin mengantar Artha.
"Abang gak usah repot-repot buat antarin aku. Ada banyak taksi online yang bisa antarin aku, Bang," ucap Artha berusaha membujuk Bang Gomgom.
Namun, Bang Gomgom tak mengindahkan ucapan Artha dan malah membukakan pintu mobilnya. Dengan berat hati, akhirnya Artha melangkah masuk dan duduk di kursi samp
Bab 45Happy Reading Dear⭐⭐⭐⭐⭐"Kamu tadi dari mana? Tumben kamu keluar?" tanya Agha pada Artha.Mereka saat ini sedang berada di mobil menuju rumah Artha. Agha mengendarai mobil dengan kecepatan sedang membelah jalanan kota yang mulai sepi pengendara."Kamu kok diam? Apa gak dengar aku lagi ngomong?" tanya Agha lagi.Ia sekilas melirik Artha yang duduk disampingnya kemudian fokus mengemudi. Jalanan memang tidak terlalu ramai, tapi ia harus tetap fokus, agar bisa memperhatikan samping kiri maupun kanan. Mana tau ada yang tiba-tiba menyalip mobil dari samping ia langsung bisa mengelak jadi kecelakaan bisa terhindar.Sepertinya Artha tidak mendengar dengan jelas pertanyaan Agha."Kamu ngomong apa barusan?" tanya balik Artha sembari mengerjapkan mata."Kamu lagi mikirin apa sih? Sudah dua kali aku tanya, tapi kamu gak dengar? Lagi ada masalah, cerita dong sama aku," jawab Agha."Gak lagi mikirin apa-apa," ucap Artha dengan nada lirih, tapi masih bisa di dengar Agha."Ya udah kalau kamu
Bab 46Pagi ini tidak banyak kegiatan yang dilakukan Artha, setelah sarapan ia merebahkan diri di kasur empuknya. Ia masih memakai piyama tidurnya rambut diikat ekor kuda. Sejak berada di kediaman bapaknya ia memang jarang mandi pagi hanya mencuci muka dan gosok gigi saja setelah ia bangun pagi dan langsung sarapan. Makan pagi mereka yang memasak adalah Ibu Martha, mamaknya tidak pernah memaksa untuk ikut membantu di dapur.Di kediaman bapaknya memang ada seorang pekerja untuk membersihkan rumah, mencuci dan menyetrika pakaian. Namun, pekerja itu tidak tinggal di rumah setelah pekerjaan selesai barulah pekerja itu pulang. Karena Artha berada di rumah jadi rumah tak perlu dikunci, tapi jika semua orang sedang di luar pekerja itu akan meletakkan kunci di bawah pot dekat pintu rumah. Pagar rumah akan digembok tapi gembok tidak dikunci.
Bab 47Mitha akhirnya pulang dengan naik mobil Agha. Pria yang masuk ke ruang rawat Mitha adalah Agha dan Dean suami Mitha. Ntah bagaimana ceritanya mereka bisa berbarengan masuk ke kamar rawat Mitha.Ada untungnya juga Agha datang jadi mereka tidak perlu memesan taksi online karena Agha memang membawa mobil. Tumben pria itu akhir-akhir ini sering bawa mobil, biasanya ia akan naik becak jika akan pergi kemana pun.Artha memang mengirim pesan bahwa ia akan ke rumah sakit tempat Mitha di rawat. Namun, ia tidak memberi tahu di rumah sakit mana dan tiba-tiba saja pria bule itu bisa nongol. Artha tidak tahu bagaimana caranya, apakah Agha memasang chip di tubuh Artha atau membuat GPS di ponsel Artha. Nanti saja ditanyakan setelah mereka berdua.Mobil dikemudikan Agha dengan kecepatan sedang dan disampingnya duduk Dean sebagai pemandu menuju kediaman Dean dan Mitha. Meskipun ada google maps terkadang informasi yang diberikan melenceng dari alamat yang kita ketikkan. Bisa lewat atau bisa juga
Bab 48“Holong, cok kau bangunkan kakak kau itu. Udah siang bilang,” ucap Lisa pada anak sulungnya.“Tadi udah aku bangunin, Ma. Kakak tetap gak mau bangun malah makin narik selimut dan meringkuk tidurnya. Coba Mama yang bangunin,” jawab Holong.“Kau sarapan saja dulu dan ajak adik-adik kau buat sarapan. Ini kopi Bapak udah Mama buat, jangan lupa kasih sama Bapak,” titah Lisa pada Holong. Ia bergegas menuju kamar yang menjadi tempat tidur seorang gadis.Saat tiba di kamar Lisa ingin berteriak untuk membangunkan gadis itu. Namun, niatnya terhenti kala melihat gadis itu tidur meringkuk seperti janin dalam kandungan dengan badan bergetar. Ia mendekat ke kasur dan setengah membungkuk untuk meraba dahi
Bab 49Akhirnya pria paruh baya itu mempersilahkan Agha masuk ke rumah. Ia ingat seminggu lalu pemuda itu pernah singgah dan mengobrol dengannya walau hanya sebentar.“Sejak kapan kamu mengenal putri saya? Kenapa kamu mencari putri saya?” tanya Pak Torang ̶ bapak Artha.Sebelum Pak Torang mempersilahkan Agha masuk, ia telah memperkenalkan dirinya dan memberi tahu tujuannya datang ke rumah ini. Padahal seminggu lalu ia sudah memperkenalkan diri, tapi faktor U mempengaruhi ingatan Pak Torang.“Sudah hampir dua bulan kami saling mengenal, Tulang. Saya sudah mencoba menghubungi Artha dan bahkan mengirim banyak pesan. Namun, tak satu pun pesan saya mendapat balasan. Saya takut terjadi sesuatu pada Artha sehingga saya datang ke sini, Tulang,” jawab Agha dengan penjelasan sedetail mungkin.“Kamu bilang dekat sama Artha bukan?” Agha mengangguk. “Lantas kenapa kamu tak tahu Artha di mana saat ini? Sebagai teman apa kalian tidak saling memberi kabar?”Pertanyaan menohok membuat Agha tertegun
Bab 50Artha menatap banyangan dirinya di dalam air. Ia duduk disebuah batu besar yang dekat dengan air danau sesekali ia mengoyangkan kaki yang menjuntai. Menikmati hembusan angin sepoi yang juga menerbangkan rambut yang sengaja ia gerai. Dari kejauhan ia bisa melihat ombat kecil yang bergelung yang akan menyentuh kakinya. Tidak jauh dari tempat ia duduk ada sekelompok pemancing yang baru saja tiba. Mereka sedang bersiap untuk melemparkan kail ke dalam danau. Di kejauhan ia juga melihat sampan di mana seorang nelayan yang sedang menarik jaring ikan, tidak banyak ia dapat. Mungkin hanya sekedar untuk lauk makan keluarga tidak untuk dijual. Ia melihat anak-anak yang sedang berenang masih menggunakan seragam sekolah. Anak kelas 1 SD di desa ini pulang lebih awal karena belum banyak pelajaran yang akan mereka pelajari. Hanya belajar menulis, membaca dan berhitung. Mungkin mereka kepanasan atau hanya ingin bermain dalam air. Mereka terlihat tertawa bahagia seperti mendapat mainan baru u
Bab 51 “Nanguda ada lihat ponselku?” tanya Artha begitu ia sampai di rumah. Lisa mengedarkan pandangan sembari mengingat di mana ia letak ponsel Artha. Kemarin siang ia membongkar isi tas ransel Artha dan menemukan ponselnya diantara susunan pakaian. Mungkin Artha sengaja meletakkan di tengah agar tak kena air mengingat mereka saat perjalanan ke desa diterpa hujan. “Nanguda lihat tidak?” tanyanya lagi karena tak mendapat jawaban dari Lisa. “Coba kamu lihat di meja dekat TV, sepertinya aku letakkan di sana saat selesai membongkar isi tasmu.” Artha melangkah menuju meja yang Lisa sebutkan dan benar ponselnya ada di sana, tapi dalam keadaan mati. Ia menekan tombol power yang ada di sisi kanan ponsel menunggu beberapa detik agar ponsel itu menyala. “Sebaiknya kau bersihkan badanmu dulu, nanti kau masuk angin. Kamu baru sembuh.” Saran Lisa pada Artha yang melihat pakaian Artha sudah hampir mengering. “Bagaimana kalau kamu sakit lagi?” tanyanya. “Sebentar Nanguda, Agha masih mandi,”
Bab 52 “Kenapa kamu tidak bisa berenang?” tanya Agha. Artha tidak langsung menjawab pertanyaan Agha, ia malah asyik minum air kelapa yang tinggal seperempat di gelas bertangkai. Pandangannya tertuju pada para pembajak sawah dan burung jalak yang bertengger di punggung kerbau yang sedang merumput di pematang sawah. “Kok malah diam? Kamu gak dengar pertanyaan aku, hmmm.” Agha menjawil pipi Artha. Setahu Agha anak-anak di desa ini rata-rata pandai berenang atau mereka tidak takut berenang meski di tepi danau yang airnya sebatas lutut orang dewasa. Artha sendiri sudah sejak umur 5 tahun tinggal di sini dan kesehariannya selalu bermain di danau. Namun, kenapa ia malah takut saat Agha membawanya ke dalam danau? Ia penasaran dan sangat ingin tahu apa penyebabnya. Artha menarik napas dan membuangnya secara perlahan kemudian ia menghabiskan air kelapa muda dalam gelas. Barulah ia memulai cerita kenapa ia tak bisa berenang lebih tepatnya tak mau berenang. “Aku pernah hampir tenggelam kare