Kevin akan menjaga Jasmine jika perempuan itu sedang mengandung. Khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, Kevin berinisiatif untuk selalu ada di samping Jasmine. Tidak ingin baik calon buah hatinya, ataupun istrinya kenapa-kenapa.Sebisa mungkin Kevin akan menjaga mereka. Dalam genggaman dia, mereka pasti akan aman dan baik-baik saja. Desi tidak akan berani melakukan apa pun jika Jasmine berada di dalam genggamannya.Andrian manggut-manggut. Desi yang ingin tahu apa yang baru saja Kevin ucapkan ke Andrian lantas menguping. Dan itu terlihat oleh Andrian. Kemudian menahan tawanya kala melihat Desi yang masih saja ingin tahu urusan mantan suaminya itu."Baiklah kalau begitu, Pak. Sepertinya Jasmine memang butuh istirahat saja. Bukan karena lagi hamil. Baru sepuluh hari, belum bisa diprediksi. Kemungkinan bulan depan baru bisa diprediksi," kata Andrian kemudian.Kevin mengangguk. Setelahnya, ia menatap Arshi yang masih saja belum mau membuka matanya. Ia ingin tahu, dari mana saja A
Sementara Desi tengah memainkan jarinya. Jantungnya berdegup tak karuan. Ia juga tak bisa memberi tahu Arshi agar jangan berkata jujur kepada papanya. Tapi, Jasmine sedari tadi menatapnya seolah tengah mencurigainya.Tak lama setelahnya, dokter pun masuk ke dalam ruangan tersebut. Memeriksa suhu tubuh Arshi yang masih demam tinggi itu."Kita akan mengecek trombositnya lagi. Jika suhu demamnya sudah agak turun. Tidak separah saat masuk rumah sakit. Setelah hasilnya keluar, saya akan segera memberi tahu Anda," kata Dokter Firman kepada Kevin."Bintik merah di tangan anak saya, akan hilang 'kan, Dok?" tanya Kevin kemudian.Dokter Firman mengangguk. "Bintik merah inilah yang menyebabkan terjadinya demam berdarah pada anak Anda. Nyamuk aedes ini biasanya bersarang di genangan air atau barang-barang usang yang bertumpukan. Bisa diperhatikan lagi kondisi rumahnya, Pak."Karena Anda hampir kehilangan nyawa anak Anda karena demam tinggi itu hampir saja menyerang saraf otak anak Anda. DBD merup
Perempuan itu memukul paha suaminya lagi. "Makanya kerja! Biar punya kegiatan. Jangan di rumah terus. Kamu masih butuh uang dari Mas Kevin, kan? Kalau udah nggak butuh, ya udah. Pergi sana!" Gemma melirik dengan malas ke arah istrinya itu. "Mencari pekerjaan di jaman sekarang ini lagi sulit, Desi. Oke, aku minta maaf karena sudah mengurung Arshi. Aku tidak akan menghukumnya lagi. Apa pun yang dia lakukan." Desi menghela napasnya dengan pelan. "Kamu juga harus mencari cara agar Mas Kevin tidak bisa mengambil Arshi dariku!" Gemma menghela napas kasar. "Cari kelemahan Arshi. Jangan biarkan Kevin mengambil Arshi dari kamu." "Kelemahan?" Gemma mengangguk. "Ya. Kamu ibunya, harusnya kamu tahu apa kelemahan anakmu sendiri. Kalau tidak tahu, ibu macam apa kamu." Gemma memutar bola matanya dengan pelan. Desi melirik malas ke arah suaminya itu. "Seandainya kamu sekaya Mas Kevin, aku tidak perlu mati-matian mempertahankan Arshi. Biar saja Arshi tinggal dengan papanya. Hhh!" Gemma tertawa c
"Eeeuh ... sebelum ke sini, Mas Kevin pergi ke ruangan dokter dulu, Mbak." Jasmine kembali menjawab Desi. "Oh!" jawabnya singkat. Jasmine tak berkata lagi. Ia hanya menghela napasnya sambil melirik Kevin yang sedari tadi menatap Arshi penuh dengan sayang. "Arshi ... setelah pulang dari rumah sakit. Pulang ke rumah Papa aja, yaa?" Kevin sudah mulai mengajak Arshi untuk tinggal bersamanya. Karena Arshi yang lebih dulu diancam oleh Desi, lantas anak kecil itu menggelengkan kepalanya. "Arshi nggak mau tinggal sama Papa. Mau sama Mama aja," ucapnya dengan pelan. Kevin tersenyum pasi mendengar ucapan anaknya itu. "Kenapa begitu, Nak? Papa sudah tidak sendiri. Ada Mama Jasmine yang akan merawat kamu dengan baik." Kevin berusaha agar Arshi mau ikut dengannya. Arshi kembali geleng. "Arshi sudah nyaman tinggal sama Mama, Pa." "Arshi nggak mau tinggal sama Papa. Mau sama Mama aja," ucapnya dengan pelan. Kevin tersenyum pasi mendengar ucapan anaknya itu. "Kenapa begitu, Nak? Papa sudah ti
Jasmine menyunggingkan bibirnya. "Ya udah. Selesaikan aja dulu makannya."Kevin menundukkan kepalanya. Ia sudah terbiasa makan tanpa bersuara. Sedangkan Jasmine tukang bicara di mana pun dan kapan pun. Jasmine yang katanya kalem itu rupanya menyimpan keceriaan dan kepolosan yang jarang ditonjolkan.Jasmine hanya mengikuti sikap Kevin. Jika Kevin sedang banyak bicara, dia juga akan mengeluarkan semua ocehannya pada suaminya itu.Selesai makan. Kevin menatap Jasmine yang sedari tadi memainkan ponselnya."Lagi lihat apa?" tanya Kevin ingin tahu.Jasmine mengadahkan wajahnya. "Heeuh ... lagi lihat gaun. Bagus banget, Mas. Hehe." Jasmine menerbitkan cengiran pada suaminya itu.Kevin meraih ponsel tersebut. Kemudian meng-klik pesanan tersebut. Dia yang sudah tahu ukuran baju yang sering dipakai Jasmine pun tak banyak bertanya. Kemudian mengembalikan ponsel tersebut pada istrinya."Jika memang suka, langsung beli. Tidak perlu sungkan. Jangankan kamu, Desi saja yang sudah jadi mantan istri sa
Pria itu menganggukkan kepalanya. "Saya juga merasakan itu, Jasmine. Tapi, Desi tidak mau mengakui jika dia sudah mengancam Arshi." Jasmine menghela napas pelan. "Mungkin Mbak Desi masih butuh uang untuk kehidupan dia sehari-hari, Mas. Kasih aja sih. Terus, Arshi ambil deh. Saya kasihan sama Arshi. Takut nggak dirawat dengan baik. "Maaf ya, Mas. Bukannya saya menjelekkan Mbak Desi. Tapi, sepertinya dia nggak bisa merawat Arshi dengan baik. Tubuhnya aja kurus begitu. Kok Mas Kevin tega sih, sama sendiri." Kevin manggut-manggut. "Saya sedang mencari cara untuk mengambil Arshi dari tangan Desi. Pengadilan terus menangguhkan permintaan saya. Dengan alasan klasik. Masih kecil, harus dirawat oleh ibunya." "Alasan yang bener-bener klasik. Paling juga minta duit, biar mau menyetujui permintaan Mas Kevin." Kevin terkekeh mendengarnya. Kemudian menghela napas pelan. "Usianya memang baru enam tahun. Waktu itu saya berikan Arshi pada Desi karena memang tidak merawat dia sendirian. Sekarang ka
Perempuan itu lantas menoleh ke arah Kevin. "Maksudnya? Kenapa tanya seperti itu? Jelas saya sangat bahagia. Gimana sih!" Jasmine malah emosi ditanya seperti itu oleh suaminya sendiri. "Hanya memastikan saja. Jangan emosi terus, yaa. Mau datang tamu, yaa? Makanya sensi terus bawaannya." Jasmine mengendikan bahunya. "Memangnya, usia pernikahan kita sudah mau satu bulan, yaa?" Kevin mengangguk. "Sudah. Satu bulan lewat satu minggu." Jasmine terkekeh pelan. "Berarti, sudah lewat dong, kalau mau merayakan anniversary satu bulan?" Kevin tertawa dengan pelan mendengarnya. "Nanti saja, kalau sudah satu tahun. Kita rayakan anniversary." "Okey!" kata Jasmine dengan antusias. Setibanya di dalam mall. Kevin menggenggam tangan Jasmine, sambil menunjuk semua toko yang ada di sana. "Jam kamu sudah usang. Ganti dengan yang baru," kata Kevin sembari menarik tangan Jasmine menuju gerai jam tangan. "Ooh. Jadi, kalau suami udah usang juga, bisa diganti dengan yang baru, yaa," kata Jasmine sambil
Jasmine kembali dingin. Tangan itu membalas pelukan sang suami. “Saya juga minta maaf, Mas. Selalu overthinking sama Mas Kevin.” Kevin mengangguk pelan. “Ya. Saya paham, Jasmine. Kamu boleh berpikir apa pun tentang saya. Tapi, jangan sekali-kali kamu pendam pikiran itu. Jika memang terasa ganjal, tanyakan pada saya. “Tentang kebenarannya. Apakah benar, atau hanya kabar burung saja. Saya tidak mau kamu berpikir secara sepihak saja. Harus ditanyakan kebenarannya. Okay?” Jasmine mengangguk. Akan selalu ia turuti, semua ucapan Kevin padanya. Lalu, pria itu melepaskan pelukan Jasmine. Mengusap lembut wajah mulus itu, dan mengulas senyumnya. “Sebelum tamu itu datang, saya ingin kamu melayani saya malam ini,” ucapnya kemudian menautkan bibirnya, tanpa menunggu persetujuan dari sang empunya. Jasmine hanya diam. Membiarkan Kevin kembali menjelajahi tubuhnya di malam itu. Dengan tangan satunya sudah mulai memainkan kedua gundukan kenyal milik Jasmine. Merangsang bagian sensitive itu agar J
Justin mengangguk setuju. “Kamu bener, Jasmine. Si Kevin bakal rugi kalau nggak mau Gita dijodohin sama anakku. Orang ganteng-ganteng gini. Iya, nggak?”Jasmine terkekeh sembari menganggukkan kepalanya. “Yang ini namanya siapa, Pak? Kan, sudah ada di sini.”“Anak yang pertama yang mana, yaa?” tanya Justin. Ia pun bingung mana anak pertama dan anak kedua.“Yang pertama yang sedang diberi ASI, Pak. Yang ini anak kedua,” kata perawat memberi tahu Justin.“Awas! Jangan sampai keliru. Wajahnya nggak mirip banget kok, Mas. Yang pertama lebih mirip kamu.”Justin menggaruk rambutnya kembali. Ia masih belum bisa membedakan kedua anaknya itu. Kemudian memberikan cengiran kepada istrinya itu.“Nanti beli baju dikasih nama masing-masing. Pesan dua ratus jenis baju beda-beda. Terus border, biar nggak keliru. Aku belum bisa membedakan mana yang pertama dan mana yang kedua,” ucapnya jujur.Selena menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah kocak suaminya itu. “Terserah kamu aja!”Justin kembali m
Rosita menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Iya, Pa. Semoga nggak gila kayak papanya aja.”Kini, Antony tak bisa menahan tawanya. Mentertawakan Justin, kapan lagi. Sementara orang yang sedang mereka bicarakan tidak peduli bahkan tidak menyadari.“Justin!” panggil Antony kemudian.Justin menatap sang papa dengan malas. “Ada apa sih, Pa?” tanyanya dengan lemas.“Nama anak-anak kamu, sudah kamu siapkan?”Justin mengangguk pelan. “Udah. Kasih tau kalau Selena udah bangun.”“Dua jam lagi bangun, Justin. Kamu hitung saja. Tebakan Papa pasti bener.”Justin tak peduli. Yang ia pedulikan kini menatap Selena agar tidak tertinggal saat Selena membuka matanya.Kevin dan Jasmine baru saja tiba di rumah sakit setelah mendengar kabar dari orang tua Justin mengenai Selena yang sudah melahirkan kedua anaknya itu. Sementara orang tua Selena masih di jalan menuju rumah sakit."Belum sadar juga?" tanya Kevin kepada ada kedua orang tua Justin. Karena ia tahu Justin tidak akan menjawab pertanyaannya.Ros
Pria itu lantas mengecup kening sang istri. “Kita akan segera melihat bayi-bayi kita. Walaupun harus melakukan perawatan terlebih dahulu di ikubator. “Selena mengulas senyum tipis. “Jangan ke mana-mana, Mas. Temani aku saat operasi nanti.”“Of course, Sayang. Aku akan menemani kamu sampai si twins keluar. Kamu jangan khawatir. Sebelum kamu meminta, aku sudah berniat akan menemani kamu.”Hati Selena sangat tenang mendengarnya. Ia kemudian menjatuhkan kepalanya di bahu Justin. “Terima kasih untuk cinta dan sayang kamu, Mas Justin. Kamu adalah alasan aku untuk bertahan dan berjuang untuk bayi kembar kita.”Justin mengusapi perut buncit Selena dengan lembut. “Anak-anak, Papa. Kita akan segera bertemu. Jangan buat Mama sakit lagi ya, Sayang-sayangnya Papa.”Selena mengulas senyum tipis kala mendengar percakapan Justin dengan bayi-bayi di dalam perutnya.“Maaf ya, Mas. Aku hanya bisa memberi kamu dua anak. Nggak akan bisa lagi kasih kamu anak lagi,” ucap Selena dengan pelan.Justin terseny
Justin menutup wajahnya dengan kedua tangannya sembari menangis sesenggukan. Pun dengan Selena. Lebih berduka karena kehilangan Diandra yang belum sempat berbaikan itu.“Justin! Selena! Di mana Diandra?”Kevin dan Jasmine baru tiba di rumah sakit setelah mendengar kabar dari Selena.“Kenapa kalian menangis? Apa yang terjadi dengan Diandra?” tanya Kevin kembali. Kemudian menoleh ke arah Dokter Felix. “Ada apa dengan Diandra, Dok?”Dokter Felix menghela napas pelan. “Bu Diandra sudah pergi menyusul kakaknya, Pak Kevin.”Kevin menganga. Begitu juga dengan Jasmine. Kevin tersenyum pasi seolah tak percaya dengan ucapan Dokter Felix.“Anda sedang bercanda? Diandra baik-baik saja, Dok! Mana mungkin pergi!” ucap Kevin tak percaya.Dokter mengangguk-anggukan kepalanya. “Saya paham. Kalian semua pasti tidak akan percaya dengan ucapan saya jika tidak melihat langsung jasad Bu Diandra yang masih berada di dalam.”Kevin menoleh ke arah pintu ruang operasi. Kemudian masuk ke dalam dengan tergesa-ge
Justin mengendikan bahunya. "Hanya Giandra yang tahu. Walaupun aku bilang nggak siap, ternyata Giandra siap. Mungkin bisa kamu tanyakan saja pada Giandra langsung.""Nggak mau!""Ya udah kalau nggak mau. Aku gak maksa juga."Selena mengerucutkan bibirnya kemudian menoleh ke arah Diandra. Perempuan itu ternyata melihat kehadiran mereka. "Mas?" panggilnya kemudian."Heung? Kenapa, Sayang?"Selena menunjuk Diandra. "Dia sudah terlanjur melihat kita. Sebaiknya kita masuk ke dalam, Mas. Setidaknya memberi semangat untuk perjuangannya."Justin menoleh ke arah Diandra kemudian menatap Selena kembali. "Ayok!" Justin menggenggam tangan Selena lalu masuk ke dalam ruangan persalinan Diandra.Pria itu menepuk bahu Giandra yang tengah duduk di samping Diandra. "Udah bukaan berapa?" tanya Justin kemudian."Baru dua," ucapnya dengan pelan.Justin manggut-manggut. Sementara Selena menghampiri Diandra yang tengah menahan rasa sakit. Namun, tak bersuara sedikit pun. Hanya mengulas senyumnya kepada Sele
Giandra menghela napas pelan. "Dari mamanya. Amanda datang ke rumah gue sambil bawa Gino. Kasih tau ke Diandra kalau itu anak gue. Bahkan, dia berani tes DNA kalau gue gak mau mengakuinya."Justin menaikkan alisnya sebelah. "Apa maksudnya si Amanda datang ke rumah? Elo gak pernah nengokin anak elo sih! Jadi marah kan, si Amanda."Giandra menelan salivanya. "Gue gak pernah tengok Gino karena ada Fery. Dia yang bilang kalau gue udah gak punya urusan lagi sama Gino. Ya udah, gue menuruti perintah si Fery. Tapi, ternyata dia jebak gue."Justin manggut-manggut. Ia paham maksud arti dari kata menjebak. Karena pada akhirnya Amanda datang ke rumahnya, membawa Gino yang akhirnya membuat Diandra murka karena tidak tahu menau perihal Giandra memiliki anak dari perempuan lain."Terus, kondisi rumah tangga elo gimana sekarang?" tanya Justin kembali.Giandra mengendikan bahunya. "Dari awal Diandra memang gak pernah cinta sama gue. Gue yang udah jatuh cinta sama dia. Bisa dianggap kalau cinta itu be
Kevin memiringkan kepalanya menatap Justin. “Ketemu Diandra di toko donnut? Beliin Selena?”Justin mengangguk. “Iyalah. Buat siapa lagi!”Kevin tersenyum miring. “Ketemu Diandra, terus nyapa elo? Biasanya gak pernah nyapa sama sekali bahkan kata elo udah kayak warga negara asing? Cukup aneh. Mau minta maaf kali, ke elo.”“Minta maaf kok gak bilang waktu ketemu.”“Siapa tahu lupa.”“Mana mungkin lupa. Minta maaf itu harus pake niat. Otomatis pasti akan keinget terus.”“Ya udah. Gue juga gak tahu alasannya kenapa. Yang penting elo bersikap biasa aja sama Diandra.”Justin menghela napas pelan. “Kalau dia mau damai sama gue, semuanya selesai. Tapi, kalau damainya karena lagi berantem sama Giandra, patut dicurigai.”“Pinter! Jangan sampai elo tergoda oleh bujuk rayunya Diandra. Selena jauh lebih baik dari dia. Diandra juga baik. Tapi, istri elo saat ini Selena, bukan Diandra. Dia hanya masa lalu elo. Jangan goyah hanya karena tahu Diandra lagi marahan sama lakinya.”Justin menganggukkan ke
Kini, kondisi Selena sudah terlihat sedikit lebih baik. Hanya main sekali tidak masalah menurutnya.Selena menganggukkan kepalanya. “Silakan, Mas Justin!” ucapnya dengan lembut.Justin lantas mengecup kening Selena dan mengulas senyumnya. “Terima kasih, Sayang. Aku janji, hanya kelembutan yang akan aku lakukan padamu.”Selena mengangguk. “I trust you!”Justin pun memulainya. Membuka seluruh pakaian yang ia kenakan. Kemudian pakaian Selena. Penetrasi terlebih dahulu tentunya. Walau sinyal itu sudah terpancar begitu terang, Justin tidak akan selonong boy begitu saja.Memanjakan istri juga harus. Agar menggapai kenikmatan masing-masing. Tak ingin egois adalah salah satu sikap Justin yang paling baik jika dalam hal berhubungan intim.**Pagi hari telah tiba. Terik matahari mulai menyinari bumi. Mengintip di balik tirai jendela, mencoba masuk ke dalam tirai jendela kamar. Tidur terlelap setelah pergumulan semalam yang menurut Selena begitu indah.Penuh dengan kelembutan sesuai dengan janji
Justin menghela napasnya. “Surat ini … sengaja dia kasih ke kamu agar kamu membalas cinta dia? Selama ini kamu pura-pura cinta sama aku, padahal mencintai Andrian. Begitu?”Jelas perempuan itu menggelengkan kepalanya dengan cepat. Tangannya beradu karena harus mencari alasan yang logis agar Justin tidak marah padanya.“Lalu apa, Selena?” tanya Justin dengan suara menekan.Selena menghela napas pelan. “Maaf, Mas. Aku hanya ingin menyimpannya sebagai kenang-kenangan dari dia. Nggak ada lagi selain itu. Soal cinta, aku hanya mencintai kamu. Nggak ada lagi selain kamu.”Selena menatap Justin agar pria itu tahu, dia sedang berbicara dengan serius. Agar Justin paham dan mengurungkan niatnya untuk memarahinya.Justin memang tak berani memarahi Selena dalam keadaan hamil seperti ini. Yang dia lakukan hanya memutus kalung tersebut kemudian membuangnya dengan kasar ke lantai.Mata Selena hanya bisa menatap kalung yang kini sudah hancur itu. Sementara Justin pergi dari kamar tersebut. Namun, saa