Setengah jam kemudian Justin tiba di kantor Kevin. Menghampiri Kevin dan duduk di sofa. Menundukkan kepalanya sembari menjambak rambutnya."Kenapa, lo? Jangan bilang habis berantem lagi sama Selena." Kevin menebak raut wajah Justin yang sangat kusut itu.Justin menggeleng pelan. "Karma masih berlaku ke gue, Kevin. Elo nggak tulus ya, maafin gue?"Kevin lantas mengerutkan keningnya. "Ngomong apaan sih, lo? Kalau gue nggak tulus maafin elo, ngapain gue nolongin elo ini dan itu. Aneh! Napa sih, lo?" Kevin terlihat kesal pada Justin yang sudah menuduhnya belum memaafkannya.Justin menghela napas pelan. "Jasmine, waktu hamil sering sakit apa nggak?"Kevin menggeleng. "Ngebatin doang, gara-gara elo juga."Justin memutar bola matanya dengan pelan. "Nggak pernah sakit sama sekali?""Nggak, Justin. Mual dan muntah yaa memang hal biasa ibu hamil rasakan. Selena hamil? Udah berapa bulan? Nyoblos duluan ya, lo?""Nggak, Justin! Baru dua minggu. Tapi, mual dan muntahnya kebangetan. Lemes, sakit ke
Hampir lima belas menit lamanya Dokter Felix memeriksa kesehatan Justin. Ia pun memberikan hasilnya kemudian dibaca oleh Justin."Negatif ini apaan, Dok?" tanyanya sembari menunjuk hasil pemeriksaan tersebut.Dokter Felix menghela napasnya. "Anda memang tidak memiliki penyakit tersebut. Tapi, jangan juga diulangi lagi. Kehidupan Anda benar-benar buruk. Jangan merokok, jangan mabuk, dan jangan jajan di luar. Hanya itu nasihat dari saya."Justin menelengkan kepalanya sembari menatap Dokter Felix dengan bingung. "Maksud Dokter, kondisi saya baik-baik aja? Gitu 'kan, Dok?""Ya. Kondisi Anda baik-baik saja. Memangnya siapa yang bilang Anda sakit? Atau, Anda mengalami gejala-gejala aneh?"Justin menggeleng pelan. "Nggak ada sih, Dok.""Atau ... istri Anda bukan seorang gadis?""Masih kok. Baru dibuka segelnya, sama saya."Dokter Felix mengulas senyumnya. "Betapa beruntungnya Anda karena memiliki jodoh yang masih original sementara Anda sedikit berantakan. Jangan disia-siakan karena kesempat
Selena menghela napas kasar. Kali ini, dia memang yang salah. Sudah merahasiakan penyakitnya dari suaminya sendiri. Kemudian menelan saliva dengan pelan dan merebahkan tubuhnya kembali."Selena, jawab! Kenapa malah tiduran lagi?" Justin kembali naik pitam atas ulah Selena sendiri karena memilih rebahan daripada menjelaskan alasannya.Selena melirik Justin kemudian menatap ke arah depan lagi. "Aku gak pernah berniat untuk menyalahkan kamu terus menerus. Aku tidak pernah menyangka kalau aku bisa langsung hamil padahal memiliki penyakit Miom."Aku gak akan salahkan kamu kalau terjadi sesuatu padaku. Itu semua salahku. Maaf, karena udah nggak jujur dari awal sebelum kita menikah."Aku rasa sudah saatnya kamu tahu tentang penyakit aku, kekurangan aku. Silakan pergi kalau kamu tidak bisa menerima kondisi aku. Ini semua memang salah aku. Wajar kalau kamu marah atau membentak aku seperti tadi."Selena menghela napasnya sembari menahan nyeri di bagian perutnya itu. Meringis dengan pelan kemudi
Selena lantas terisak kala mendengar ucapan tulus Justin. Ia mau menemaninya dalam kondisi seperti itu. Selena pikir, Justin akan menyerah kemudian meninggalkannya. Rupanya Selena salah. Justin mencintainya.Justin tahu ini berat. Namun, buka berarti ia harus meninggalkan Selena begitu saja. Tentu saja tidak akan pernah hal itu terjadi padanya.Waktu sudah menunjuk angka dua pagi. Selena masih terjaga sementara Justin sudah terlelap dalam tidurnya. Kini, keduanya sudah kembali ke rumah karena permintaan Selena.‘Apa ini, Tuhan? Kenapa aku diberi cobaan yang begitu berat. Kenapa hidupku tak pernah mendapat kebahagiaan. Atau memang aku yang tak pernah bersyukur.’Selena berucap dalam hati. Kemudian menghela napas dengan pelan. Hidup seperti ini tak pernah ia inginkan. Karena semua manusia di muka bumi tak pernah mau memilih hidup seperti itu,Selena menatap Justin yang begitu lelapnya. ‘Sedang mimpi apa kamu di alam bawah sadar itu, Mas? Sementara aku masih memikirkan kondisiku yang seh
Isakan tangis itu semakin menjadi. Tak sanggup lagi untuk berucap. Justin lantas mengambil ponsel tersebut.“Jadi benar, Mama meninggal karena tumor itu?” tanya Justin dengan tangan mengepal.“Iya. Mama Selena memilih untuk menyelamatkan Selena.”Tubuh Justin seketika lemas. Memejamkan matanya dengan erat hingga butiran air mata menetes.“Apakah nasib Selena akan seperti mamanya? Aku lebih memilih Selena tetap hidup walau tidak ada buah hati dalam keluargaku, Pa.“Anak bisa adopsi. Aku punya segalanya. Tapi, kalau Selena nggak ada, semuanya gak ada artinya. Aku gak mau Selena pergi, Pa.”“Iya, Justin. Papa mengerti perasaan kamu. Sama seperti saat Papa tahu ada Miom di dalam rahim Indah dulu. Begitu hancur hati Papa. Tapi, apa yang bisa Papa lakukan sementara Indah tidak mau mengeluarkan janinnya. Memilih membesarkannya hingga akhirnya mengancam nyawanya.”Justin semakin mengepalkan tangannya. Kemudian menutup panggilan tersebut. Duduk bersimpuh memegang kedua kaki Selena.“Selena. Ka
Perempuan tak peduli. Kemudian bangun dari duduknya, mengambil beberapa apel untuk mengganjal perutnya yang masih keroncongan itu.Justin lantas mengikuti sang istri dan masuk ke dalam kamar. Duduk kembali di samping Selena yang mengunyah apel.“Kamu pasti tahu bagaimana perasaan aku. Aku gak bisa kehilangan kamu, Selena,” ucap Justin dengan lembut.Selena melirik malas kemudian menatap ke arah depan lagi. “Kamu bilang ke Pak Kevin gak akan pulang sebelum aku mau mengeluarkan janin ini. Aku gak akan pernah keluarin dia sampai nanti waktunya dia lahir.”Justin mengangguk. “Maaf! Aku gak akan meminta kamu untuk mengeluarkannya. Aku gak mau egois. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan agar kamu dan anak kita bisa selamat dua-duanya.”Selena menghentikan kunyahannya kemudian menolehkan wajahnya dengan pelan pada suaminya itu.“Seyakin itu … aku akan selamat?”Justin mengangguk. “Ya. Seyakin-yakinnya kalau kamu akan selamat bersama dengan calon bayi kita,” ucapnya kemudian menerbitkan seny
Justin tersenyum lirih. “Silakan saja. Itu hak kamu mau percaya atau nggak ke aku. Yang jelas, di lubuk hati aku yang paling dalam, hanya ada nama kamu.”Selena menatap dalam wajah suaminya itu kemudian mengangguk. “Ya. Semoga selamanya.”“Of course! Aku mau mandi dulu.”“Jangan membiasakan mandi malam, Mas Justin! Tidur! Ini waktunya untuk tidur, bukan untuk mandi.” Selena melarang suaminya membersihkan diri di malam hari.“Tapi, aku belum mandi dari sore, Sayang.”“Bisa besok lagi. Gosok gigi, cuci muka, tangan dan kaki saja. Setelah itu tidur!”Justin menggaruk rambut yang tak gatal itu dengan pelan. “Ya udah. Aku gak akan mandi.”Selena mengangguk. “Ya! Harus nurut.”“Iya, Sayang.” Justin lantas membuka seluruh pakaiannya sembari melangkahkan kakinya dengan lemas ke kamar mandi.Selena pun merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur sembari menatap langit-langit berwarna putih itu. Mengulas senyum dengan tipis kala melihat raut wajah Justin yang separuh senang, separuh tegang.‘Kekha
Justin lantas mengatup bibirnya. Ingin terbang, itulah yang sedang Justin rasakan. ‘Tumben ini bini pandai ngegombal. Biasanya marah-marah mulu. Lagi angot apa emang karena lagi pengen sesuatu.’Sampai tak sadar kalau Selena sudah mematikan ponselnya. “Yeeuuuu! Kebiasaan banget gak pernah bilang lagi kalau mau nutup telepon.” Justin memutar bola matanya dengan pelan.Setibanya di toko khusus menjual donnut, Justin langsung masuk ke dalam dan memilih pilihan yang dipesan oleh sang istri.“Eh! Tadi minta yang rasa apa aja, yaa. Kok gue lupa!” Justin menggaruk rambutnya sembari melihat etalase yang menyediakan berbagai macam donnut.“Halo, Sayang. Tadi kamu pesan rasa apa aja, yaa? Aku lupa soalnya. Hehe.” Justin menghubungi Selena.“Hhh! Kebiasaan banget kamu tuh. Cokelat, almond, alpukat, sama tiramisu. Udah!”“Bentar, bentar. Mbak! Pesen donnut yang nggak bolong tengahnya. Rasa cokelat, almond, alpukat, sama tiramisu. Jangan ada yang bolong tengahnya, yaa.”Justin memberi tahu dengan