Desi menoleh dengan malas pada Justin. “Saat itu Mas Kevin lagi di luar negeri, Justin. Mana gue tahu, kalau dia balik di hari itu.”“Udah takdirnya elo ketahuan. Kebusukan elo diketahui oleh Kevin. Sampai sekarang pun elo masih disebut murahan karena udah jebak dia, tidur dengan dia.”Desi mengembuskan napas dengan pelan. “Elo yang udah nyuruh gue tidur sama dia, Justin! Pake nyalahin gue, lagi.”“Memang itu maunya elo. Bahkan, rela nggak pakai pil kontrasepsi hanya karena ingin hamil anaknya si Kevin. Belum tentu si Kevin mau tanggung jawab.”Desi menatap tajam ke arah Justin. “Kenapa elo ngomong kayak gitu? Udah nggak sanggup, misahin Jasmine sama Mas Kevin?”Justin mengendikan bahunya. “Gue lagi mikirin supaya Diandra batal resign. Jasmine juga lagi hamil. Mungkin, udah sulit buat ambil dia dari Kevin.”Justin angkat bendera putih. Menyerah untuk merebut Jasmine dari Kevin. Karena keduanya memang sama-sama saling mencintai. Tidak akan pernah bisa dipisahkan oleh hal apa pun.“Sia-
Kevin mengangguk sembari mengulas senyumnya. "Janji, tidak akan menyentuh minuman apa pun di sana. Nanti saya beli air mineral di minimarket saja."Jasmine memberikan jempolnya kepada Kevin. "Good. The best husband. Kenapa nggak dari dulu bawa minum sendiri? Udah kejadian aja, baru inget.""Namanya juga selalu ada pelajaran berharga di balik masalah yang pernah singgah dalam hidup kita.""Bisa aja ngelesnya. Kayak bajaj."Kevin lantas terkekeh pelan. "Sudah selesai sarapannya, Nak?" tanyanya kepada sang anak.Arshi mengangguk. "Udah, Pa. Yuk! Berangkat sekarang. Nanti Arshi telat.""Kamu sudah kenyang, heum?" Kevin bertanya kepada Jasmine."Nanti makan lagi di sekolah. Mau eksplor makanan di sana. Sambil nunggu Arshi pulang.""Ya sudah kalau begitu. Saya juga harus berangkat sekarang. Kalau ada apa-apa, segera hubungi. Jangan diam saja.""Memangnya saya pernah diam, kalau ada apa-apa?"Kevin menggelengkan kepalanya. "Ya sudah. Saya berangkat duluan. Andrian sudah menunggu di luar." Ke
Desi lantas bangun dari duduknya. "Eh, Justin! Gimana ada perempuan yang mau sama elo, kalau permainannya kayak gitu. Harus banget, gue ajarin cara menyentuh wanita yang benar?"Justin menahan tawanya dengan mengulum bibir bawahnya. "Gue gak punya pengalaman, Desi. Bener-bener cuma sama elo doang yang gue pake."Desi menatap Justin dengan lekat. Mencari kebohongan yang Justin sembunyikan. Namun, tak ada yang satu pun yang Justin sembunyikan darinya."Elo masih ingat kan, semalam gue ngomong apa?" tanya Desi kembali.Justin mengangguk pelan. "Ya. Elo nggak hamil anak gue, kan?""Nggak. Gue lagi dalam masa nggak subur waktu itu. Tapi, kesucian gue hilang gitu aja. Mau minta tanggung jawab elo juga nggak ada bukti. Habis perkosa gue, elo kabur gitu aja."Justin menggigit bibir bawahnya kemudian melirik Desi yang tengah menyandarkan punggungnya di sandaran tempat tidur. "Sorry. Gue udah renggut kesucian elo."Desi mengulas senyum tipis. "Udah berlalu. Nggak perlu minta maaf. Lagi pula, gu
“Gemma lagi piket. Dan menemukan celah untuk keluar dari lapas itu. Kebetulan listrik yang diberikan di pagar itu sedang mati total karena badai.“Akhirnya dia keluar dengan mulus dari celah itu. Saya sudah mengerahkan semua bodyguard dan juga pihak kepolisian agar segera menemukan Gemma.”Jasmine manggut-manggut. “Bisa aja cara licik yang Pak Gemma dapati. Padahal hanya sepuluh tahun, masa nggak bisa tahan.”“Dia memiliki kelainan juga dalam otaknya, Jasmine.”“Kelainan? Kelainan apa itu?”“Seperti sebuah anugerah, tapi tidak bisa digunakan dengan baik olehnya. Seperti meretas identitas kamu, kabur dari lapas dan yang lainnya.“Semua itu dia pakai untuk hal negatif. Bahkan, dia bisa menjinakkan bom dan merakit bom. Itulah yang ditakuti oleh pihak kepolisian.“Saya juga mengkhawatirkan suatu saat nanti dia merakit bom dan dilemparkan ke rumah kita. Itulah yang sedari tadi saya pikirkan, Jasmine.”Jasmine lantas terkejut mendengarnya. “Pindah rumah aja yuk, Mas! Jangan di sini. Bahaya
Diandra mengangguk dan mengulas senyumnya. “Sebulan lagi saya sudah bukan lagi jadi sekretarisnya. Saya ingin melupakannya. Melupakan semua perasaan yang pernah hadir dalam hati saya.”Jasmine lantas mengusapi bahu Diandra dan tersenyum padanya. “Semua akan indah pada waktunya. Mbak Diandra pasti akan menemukan pria yang lebih baik dari Pak Justin.”Diandra mengangguk kembali. “Aamiin.”Tak lama setelahnya, dering ponsel Diandra berbunyi. Perempuan itu segera mengambil ponselnya yang ada di dalam tas.“Dari Pak Justin.”“Angkat aja, Mbak. Mungkin orangnya lagi di kantor.”“Paling juga begitu. Saya angkat telepon dulu.”Diandra lantas menerima panggilan tersebut. “Selamat pagi, Pak Justin.”“Diandra! Kamu di mana? Dan ini, dokumen pemutusan kerja sama dengan perusahaan Kevin kapan dibuatnya?”Di seberang sana, Justin tampak panik setelah melihat dokumen yang dikirim dari perusahaan Kevin.“Pemutusan kerja sama dengan perusahaan Pak Kevin sudah ada sejak dua hari yang lalu, Pak Justin.
Sudah satu bulan Gemma masih dalam pencarian polisi. Melacaknya dengan berbagai alat hingga mengerahkan anjing pelacak. Tidak ada kabar yang bisa diterima oleh Kevin."Selama satu bulan ini juga, nggak ada hal yang mencurigakan 'kan, Mas? Mungkin orangnya kabur ke luar negeri menggunkan identitas palsunya itu." Jasmine berasumsi mengenai hilangnya Gemma.Karena hingga kini, pria itu belum juga ditemukan oleh orang-orang yang mencarinya. Di mana kini dia berada, hanya Tuhan yang tahu.Kevin manggut-manggut. "Iya. Kamu ada benarnya juga, Jasmine. Tapi, waspada tetap harus.""Iya, Mas Kevin. Kita juga sudah pindah rumah. Rumah yang dulu juga sebenarnya aman-aman aja kan, yaa?""Memang aman. Karena dia tahu kalau kita sudah pindah. Pengamanan di kantor juga sudah ditambah. Semoga tidak ada hal yang tidak diinginkan terjadi.""Aamiin. Sekarang, habiskan dulu sarapannya. Hari ini, Arshi ada ujian. Bulan depan Arshi sudah naik ke kelas dua. Senang nggak, Nak?"Arshi mengangguk dengan antusia
Setibanya di rumah.Kevin menghampiri Arshi yang sedang bermain futsal bersama para bodyguard dan juga security di halaman depan. Sementara Jasmine masuk ke dalam karena ingin beristirahat.“Papa mau ikutan main futsal?” tanya sang anak menghampiri Kevin.Pria itu menggeleng pelan. “Nggak, Nak. Papa banyak kerjaan. Arshi main sama yang lain aja, yaa.”“Oke, Papa.” Arshi kembali ke lapangan dan melemparkan bola tersebut kepada para bodyguard dan security.Sementara Kevin mengayunkan langkahnya menuju rumah.“Tuan Kevin mah mau cetak gol di gawangnya Non Jasmine,” kata salah satu bodyguard di sana.Lantas semua orang yang mendengarnya tertawa. “Bisa aja kamu. Tapi kan, waktu itu kita pernah mendengar obrolan dari Bu Desi kalau Tuan Kevin jarang sekali meminta haknya.”“Oh iya. Benar juga, yaa. Hanya sesekali saja, bahkan sebulan sekali.”“Pada ngomongin apaan sih?” Arshi menyambar dan ikut nimbrung dengan para pria yang tengah membicarakan papanya itu.“Nggak, Den. Cuma lagi mengatur st
Desi tersenyum miris. “Semoga anak gue nggak nyesel dilahirkan dari rahim ibu yang nggak punya harga diri ini.”Justin menarik tangan Desi, hingga perempuan itu duduk di sampingnya. “Gue hanya bercanda. Jangan dibawa perasaan. Masih ada waktu buat tobat.”Desi mengangguk pelan. “Iya, Justin. Tapi, gimana nasib gue sekarang? Gue beneran udah telat datang tamu ini.”Justin menghela napas panjang. “Udah, di sini aja. Di sini sampai ada cowok yang mau sama elo. Udah dites belum?”Desi menggeleng pelan. “Tespack-nya belum beli.”“Ya udah, besok aja belinya. Gue anter. Lagi males ke kantor, gue. Bayang-bayang si Diandra belum hilang dari sana. Kayaknya roh si Diandra masih ada di sana.”Plak!Desi memukul kepala Justin. “Lo pikir si Diandra udah mati!”“Bukan gitu maksud gue, setan! Aarggh! Sakit, begok!”Desi pun beranjak dari duduknya dan meninggalkan Justin sendirian di ruang tengah. Karena waktu sudah menunjuk angka dua pagi.**Pagi hari. Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Di kedia
Justin mengangguk setuju. “Kamu bener, Jasmine. Si Kevin bakal rugi kalau nggak mau Gita dijodohin sama anakku. Orang ganteng-ganteng gini. Iya, nggak?”Jasmine terkekeh sembari menganggukkan kepalanya. “Yang ini namanya siapa, Pak? Kan, sudah ada di sini.”“Anak yang pertama yang mana, yaa?” tanya Justin. Ia pun bingung mana anak pertama dan anak kedua.“Yang pertama yang sedang diberi ASI, Pak. Yang ini anak kedua,” kata perawat memberi tahu Justin.“Awas! Jangan sampai keliru. Wajahnya nggak mirip banget kok, Mas. Yang pertama lebih mirip kamu.”Justin menggaruk rambutnya kembali. Ia masih belum bisa membedakan kedua anaknya itu. Kemudian memberikan cengiran kepada istrinya itu.“Nanti beli baju dikasih nama masing-masing. Pesan dua ratus jenis baju beda-beda. Terus border, biar nggak keliru. Aku belum bisa membedakan mana yang pertama dan mana yang kedua,” ucapnya jujur.Selena menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah kocak suaminya itu. “Terserah kamu aja!”Justin kembali m
Rosita menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Iya, Pa. Semoga nggak gila kayak papanya aja.”Kini, Antony tak bisa menahan tawanya. Mentertawakan Justin, kapan lagi. Sementara orang yang sedang mereka bicarakan tidak peduli bahkan tidak menyadari.“Justin!” panggil Antony kemudian.Justin menatap sang papa dengan malas. “Ada apa sih, Pa?” tanyanya dengan lemas.“Nama anak-anak kamu, sudah kamu siapkan?”Justin mengangguk pelan. “Udah. Kasih tau kalau Selena udah bangun.”“Dua jam lagi bangun, Justin. Kamu hitung saja. Tebakan Papa pasti bener.”Justin tak peduli. Yang ia pedulikan kini menatap Selena agar tidak tertinggal saat Selena membuka matanya.Kevin dan Jasmine baru saja tiba di rumah sakit setelah mendengar kabar dari orang tua Justin mengenai Selena yang sudah melahirkan kedua anaknya itu. Sementara orang tua Selena masih di jalan menuju rumah sakit."Belum sadar juga?" tanya Kevin kepada ada kedua orang tua Justin. Karena ia tahu Justin tidak akan menjawab pertanyaannya.Ros
Pria itu lantas mengecup kening sang istri. “Kita akan segera melihat bayi-bayi kita. Walaupun harus melakukan perawatan terlebih dahulu di ikubator. “Selena mengulas senyum tipis. “Jangan ke mana-mana, Mas. Temani aku saat operasi nanti.”“Of course, Sayang. Aku akan menemani kamu sampai si twins keluar. Kamu jangan khawatir. Sebelum kamu meminta, aku sudah berniat akan menemani kamu.”Hati Selena sangat tenang mendengarnya. Ia kemudian menjatuhkan kepalanya di bahu Justin. “Terima kasih untuk cinta dan sayang kamu, Mas Justin. Kamu adalah alasan aku untuk bertahan dan berjuang untuk bayi kembar kita.”Justin mengusapi perut buncit Selena dengan lembut. “Anak-anak, Papa. Kita akan segera bertemu. Jangan buat Mama sakit lagi ya, Sayang-sayangnya Papa.”Selena mengulas senyum tipis kala mendengar percakapan Justin dengan bayi-bayi di dalam perutnya.“Maaf ya, Mas. Aku hanya bisa memberi kamu dua anak. Nggak akan bisa lagi kasih kamu anak lagi,” ucap Selena dengan pelan.Justin terseny
Justin menutup wajahnya dengan kedua tangannya sembari menangis sesenggukan. Pun dengan Selena. Lebih berduka karena kehilangan Diandra yang belum sempat berbaikan itu.“Justin! Selena! Di mana Diandra?”Kevin dan Jasmine baru tiba di rumah sakit setelah mendengar kabar dari Selena.“Kenapa kalian menangis? Apa yang terjadi dengan Diandra?” tanya Kevin kembali. Kemudian menoleh ke arah Dokter Felix. “Ada apa dengan Diandra, Dok?”Dokter Felix menghela napas pelan. “Bu Diandra sudah pergi menyusul kakaknya, Pak Kevin.”Kevin menganga. Begitu juga dengan Jasmine. Kevin tersenyum pasi seolah tak percaya dengan ucapan Dokter Felix.“Anda sedang bercanda? Diandra baik-baik saja, Dok! Mana mungkin pergi!” ucap Kevin tak percaya.Dokter mengangguk-anggukan kepalanya. “Saya paham. Kalian semua pasti tidak akan percaya dengan ucapan saya jika tidak melihat langsung jasad Bu Diandra yang masih berada di dalam.”Kevin menoleh ke arah pintu ruang operasi. Kemudian masuk ke dalam dengan tergesa-ge
Justin mengendikan bahunya. "Hanya Giandra yang tahu. Walaupun aku bilang nggak siap, ternyata Giandra siap. Mungkin bisa kamu tanyakan saja pada Giandra langsung.""Nggak mau!""Ya udah kalau nggak mau. Aku gak maksa juga."Selena mengerucutkan bibirnya kemudian menoleh ke arah Diandra. Perempuan itu ternyata melihat kehadiran mereka. "Mas?" panggilnya kemudian."Heung? Kenapa, Sayang?"Selena menunjuk Diandra. "Dia sudah terlanjur melihat kita. Sebaiknya kita masuk ke dalam, Mas. Setidaknya memberi semangat untuk perjuangannya."Justin menoleh ke arah Diandra kemudian menatap Selena kembali. "Ayok!" Justin menggenggam tangan Selena lalu masuk ke dalam ruangan persalinan Diandra.Pria itu menepuk bahu Giandra yang tengah duduk di samping Diandra. "Udah bukaan berapa?" tanya Justin kemudian."Baru dua," ucapnya dengan pelan.Justin manggut-manggut. Sementara Selena menghampiri Diandra yang tengah menahan rasa sakit. Namun, tak bersuara sedikit pun. Hanya mengulas senyumnya kepada Sele
Giandra menghela napas pelan. "Dari mamanya. Amanda datang ke rumah gue sambil bawa Gino. Kasih tau ke Diandra kalau itu anak gue. Bahkan, dia berani tes DNA kalau gue gak mau mengakuinya."Justin menaikkan alisnya sebelah. "Apa maksudnya si Amanda datang ke rumah? Elo gak pernah nengokin anak elo sih! Jadi marah kan, si Amanda."Giandra menelan salivanya. "Gue gak pernah tengok Gino karena ada Fery. Dia yang bilang kalau gue udah gak punya urusan lagi sama Gino. Ya udah, gue menuruti perintah si Fery. Tapi, ternyata dia jebak gue."Justin manggut-manggut. Ia paham maksud arti dari kata menjebak. Karena pada akhirnya Amanda datang ke rumahnya, membawa Gino yang akhirnya membuat Diandra murka karena tidak tahu menau perihal Giandra memiliki anak dari perempuan lain."Terus, kondisi rumah tangga elo gimana sekarang?" tanya Justin kembali.Giandra mengendikan bahunya. "Dari awal Diandra memang gak pernah cinta sama gue. Gue yang udah jatuh cinta sama dia. Bisa dianggap kalau cinta itu be
Kevin memiringkan kepalanya menatap Justin. “Ketemu Diandra di toko donnut? Beliin Selena?”Justin mengangguk. “Iyalah. Buat siapa lagi!”Kevin tersenyum miring. “Ketemu Diandra, terus nyapa elo? Biasanya gak pernah nyapa sama sekali bahkan kata elo udah kayak warga negara asing? Cukup aneh. Mau minta maaf kali, ke elo.”“Minta maaf kok gak bilang waktu ketemu.”“Siapa tahu lupa.”“Mana mungkin lupa. Minta maaf itu harus pake niat. Otomatis pasti akan keinget terus.”“Ya udah. Gue juga gak tahu alasannya kenapa. Yang penting elo bersikap biasa aja sama Diandra.”Justin menghela napas pelan. “Kalau dia mau damai sama gue, semuanya selesai. Tapi, kalau damainya karena lagi berantem sama Giandra, patut dicurigai.”“Pinter! Jangan sampai elo tergoda oleh bujuk rayunya Diandra. Selena jauh lebih baik dari dia. Diandra juga baik. Tapi, istri elo saat ini Selena, bukan Diandra. Dia hanya masa lalu elo. Jangan goyah hanya karena tahu Diandra lagi marahan sama lakinya.”Justin menganggukkan ke
Kini, kondisi Selena sudah terlihat sedikit lebih baik. Hanya main sekali tidak masalah menurutnya.Selena menganggukkan kepalanya. “Silakan, Mas Justin!” ucapnya dengan lembut.Justin lantas mengecup kening Selena dan mengulas senyumnya. “Terima kasih, Sayang. Aku janji, hanya kelembutan yang akan aku lakukan padamu.”Selena mengangguk. “I trust you!”Justin pun memulainya. Membuka seluruh pakaian yang ia kenakan. Kemudian pakaian Selena. Penetrasi terlebih dahulu tentunya. Walau sinyal itu sudah terpancar begitu terang, Justin tidak akan selonong boy begitu saja.Memanjakan istri juga harus. Agar menggapai kenikmatan masing-masing. Tak ingin egois adalah salah satu sikap Justin yang paling baik jika dalam hal berhubungan intim.**Pagi hari telah tiba. Terik matahari mulai menyinari bumi. Mengintip di balik tirai jendela, mencoba masuk ke dalam tirai jendela kamar. Tidur terlelap setelah pergumulan semalam yang menurut Selena begitu indah.Penuh dengan kelembutan sesuai dengan janji
Justin menghela napasnya. “Surat ini … sengaja dia kasih ke kamu agar kamu membalas cinta dia? Selama ini kamu pura-pura cinta sama aku, padahal mencintai Andrian. Begitu?”Jelas perempuan itu menggelengkan kepalanya dengan cepat. Tangannya beradu karena harus mencari alasan yang logis agar Justin tidak marah padanya.“Lalu apa, Selena?” tanya Justin dengan suara menekan.Selena menghela napas pelan. “Maaf, Mas. Aku hanya ingin menyimpannya sebagai kenang-kenangan dari dia. Nggak ada lagi selain itu. Soal cinta, aku hanya mencintai kamu. Nggak ada lagi selain kamu.”Selena menatap Justin agar pria itu tahu, dia sedang berbicara dengan serius. Agar Justin paham dan mengurungkan niatnya untuk memarahinya.Justin memang tak berani memarahi Selena dalam keadaan hamil seperti ini. Yang dia lakukan hanya memutus kalung tersebut kemudian membuangnya dengan kasar ke lantai.Mata Selena hanya bisa menatap kalung yang kini sudah hancur itu. Sementara Justin pergi dari kamar tersebut. Namun, saa