"Aku, di jalan xx dengan orang tua ku, main lah ke sana Cit. Kapan-kapan," ujar Syila dengan ramahnya."Insya Allah, lain kali aku main ke sana." Balas Citra sambil tersenyum."Dia, paling kalau ke luar itu, ke pengajian, ke pasar. Selain itu tidak aku ijinkan." Timpal Yusuf sembari menatap Citra yang juga menatap dirinya."Kenapa? gak bosan Cit? secara kamu itu dulu orang pekerja keras, yang tidak biasa di rumah." Syila menatap Citra dan Yusuf bergantian."Nggak juga, sekarang sudah biasa banyak di rumah. Ngurus rumah atau kalau malas ngapa-ngapain? tiduran aja." Sahut Citra."Oh, rumah sebesar ini tidak ada asisten?" tanya lagi Syila.Citra menggeleng. "Tidak, nyapu, ngepel pake mesin, kalau malas sendiri."Syila mengangguk-anggukkan kepalanya sambil memperhatikan keadaan rumah ini dari depan."Ya, sudah aku pulang dulu ya? makasih sebelumnya, dan hari senin aku pasti datang ke kantor." Syila gegas berpamitan."Kok buru-buru? kenapa gak nanti saja pulangnya." Basa-basi Citra. Entah k
Citra bengong, mendengar obrolan mereka. Ia jadi ingat sama mertua dan tante nya, hatinya jadi teriris, pedih. Terluka, kenapa harus tante nya yang ada di posisi pelakor? dan kenapa juga harus ibu mertuanya yang menjadi korban?Helaan napas Citra begitu kasar. Begitupun Yusuf merasa tersindir, sementara Habibah melamun mendengarkan obrolan mereka. Seandainya dirinya ada di posisi itu, entah apa yang akan ia lakukan. Yang jelas hati ini penuh kehancuran.Acara makan-makan pun selesai. Tetangga Citra sudah pulang semua. Kini di rumah hanya ada Habibah dan Yusuf juga mantunya.Yusuf duduk di samping sang istri. Tangannya merangkul bahu Citra. "Besok, ada pengajian gak? ajak Ibu," ucap Yusuf menatap wajah Citra."Nggak ada besok tuh. Adanya hari senin, besok duduk di rumah saja." Kata Citra sambil membuka media sosial miliknya."Ibu, pengen ikutan dong, pengajian di sini. Tapi sayang agak jauh dari rumah sana." Timpal bu Habibah."Ibu harus nginap di sini, kalau mau ikutan. Berangkat dari
Orang yang di sayang, suami yang sangat ia percaya ternyata mendua. Menangkupkan kedua tangan di wajahnya, ia terus menangis.Kini Yusuf memeluk bahu sang bunda, tak ayal ia pun menangis kembali tak tega melihat sang bunda seperti ini. Tapi lebih cepat lebih baik, beliau tau sekarang dari pada nanti!"Ibu, harus kuat, sabar ... hadapi ini semua dan Ibu ada Abang yang akan mendukung langkah Ibu, yang akan mendampingi Ibu." ucap Yusuf sambil mengusap punggung sang bunda yang kini menangis dalam pelukannya."Iya, Bu. Benar kata Abang, kami akan mendukung apapun keputusan Ibu, dan kami harap Ibu kuat. Bisa tabah dalam menghadapi ini semua, aku yakin Ibu wanita yang hebat," ucap Citra lirih dan ikut memeluk sang mertua yang di rasa mama sendiri itu.Isak tangis dari Habibah masih belum reda, hingga akhirnya datanglah sebuah mobil yang di yakini itu mobil Ikbal. Habibah beranjak dari pelukan Yusuf, ia mengusap wajahnya yang sudah dibanjiri dengan air mata.Melirik jam sudah menunjukkan pukul
Tangan Yusuf menggenggam tangan sang bunda untuk sedikit menguatkan. "Kenapa Bu?"Habibah menggeleng, bibirnya terasa kelu untuk berbicara. Hanya mata yang berkaca-kaca sebagai ungkapan dari segala kekecewaan perasaannya. Yusuf memeluk bahu sang bunda."Abang yakin, Ibu pasti bisa melewati semuanya. Ibu wanita kuat dan hebat dan Ibu akan menjadi wanita tangguh.Habibah terdiam dan berderai air mata. Sebuah tangisan yang tak bersuara, menggambarkan betapa hatinya terluka. "Ibu, mau cerai saja, Bang."Yusuf merasa bagai tersambar petir. Mendengarnya ucapan dari sang bunda yang mengatakan ingin bercerai, hatinya menangis. "Apa, Ibu yakin?" tanya Yusuf dan merangkul bahu sang bunda.Habibah mengangguk, memastikan perasaan nya. "Ibu yakin, seyakin-yakinnya. Tolong dukung Ibu," ucap Habibah.Citra termangu sambil memasak. Ikut menangis, sesali kenapa semua ini terjadi? dan yang jadi penyebabnya adalah orang terdekatnya. Tubuh Citra lemas turun ke lantai, lutut bergetar. Hati merasakan sakit.
"Buat apa bu Risna telepon?" gumam Yusuf, ia tak segera mengangkatnya.Namun lama-lama Yusuf mengangkatnya juga. "Halo?""Nak Yusuf. Tolong tante, Nak? tolong." Suara bu Risna sambil menangis.Membuat Yusuf keheranan, tiba-tiba bu Risna telepon dan menangis. "Ada apa tante?"Bu Risna terus menangis tanpa mengatakan sesuatu. Yusuf matikan sambungan telepon itu dengan hati yang bergejolak dan bertanya ada apa? namun bagaimanapun itu bukan urusannya lagi, kalau urusan anaknya. Rani cuma masa lalu yang menyakitkan.Yusuf turun dan mendatangi kamar sang bunda. Tadi belum sarapan. "Bu, sudah sarapan belum?"Hening!Tidak ada suara sedikitpun. Yusuf penasaran dan khawatir akan bundanya. Dengan ragu Yusuf membuka pintu kamar sang bunda. Namun ternyata kamar itu kosong."Bu, dimana?" langkah Yusuf menuju kamar mandi, berdiri di depan pintu. Terdengar suara kucuran air dari keran, hati Yusuf agak lega, namun untuk memastikan. Ia kembali memanggil. "Bu ... di kamar mandi kah?""Iya, Bang. Ibu lag
"Sudah dong jangan marah, kalau kamu marah, aku tidak tahu harus pulang kemana?" ucap Ikbal dengan pelan."Pulang saja ke istri tua mu, bingung amat." Ketus Suly sambil menurunkan selimutnya sedikit.Hati Ikbal jadi mencelos mendengar ucapan Suly barusan. "Gimana aku mau pulang? kalau istriku sudah menolak ku dan sebentar lagi akan menggugat cerai." Pelan dan menghembuskan nafasnya kasar dari hidung.Suly terperangah, sangat terkejut mendengar kata-kata dari Ikbal. "Apa? apa yang kau bilang barusan." Suly mendudukkan dirinya.Wajah Ikbal nampak masih lesu. "Iya, dia sudah tahu kita menikah. Dia marah dan langsung ingin menggugat cerai."Suly termangu, dalam pikirannya berjubel kemarahan Habibah dan terbesit di pikirannya. Kalau dirinyalah yang jadi pemicu kehancuran rumah tangga Ikbal dan Habibah.Hening!Keduanya terdiam membisu seribu bahasa, namun tangan Suly mendekap tubuh Ikbal. Memeluknya sangat erat.Begitupun Ikbal membalas pelukan Suly sangat erat. Sementara waktu yang terdeng
Beberapa bulan kemudian, Habibah sudah resmi bercerai dengan Ikbal. Soal harta gono gini tentu Habibah menang banyak, pertama ... emang ada dari awal mulanya. Kedua Ikbal yang membuat kesalahan, menikah tanpa sepengatahuan istri tua.Citra yang merasa sepi, kini memilih mengajar anak-anak di TK yang letaknya tak jauh dari kompleks. Citra sangat menikmati perannya sebagai guru TK mengajar dan banyak bermain dengan anak-anak. Kadang juga Citra diajak Yusuf bila ada pertemuan urusan kerjaan di kantor sebagai istri CEO.Habibah pun sering berada di rumah sang putra, Yusuf, dan ikut ke TK bersama Citra. Bila mengajar, bermain dengan anak-anak. Dengan cepat Habibah bangkit dari keterpurukkan hati yang luka, kini dalam hidupnya hanya ada putra semata wayang dan mantu kesayangannya. Tanpa ada kata suami yang mendampingi hidupnya lagi.Setelah bercerai, Ikbal keluar dari kantor yang selama ini membesarkan namanya. Meskipun saham terbagi tiga, Habibah, darinya dan sang putra. Namun ia merasa mal
"Oh, iya Nek ... makasih ya Nek?" balas Citra dan menempelkan kepala di bahu sang nenek."Oya, Tante mau minum apa? Nenek juga, aku akan buatkan." Citra menoleh tante dan neneknya bergantian.Suly mendongak. "Nggak usah Citra, Tante gak haus. Lagian gak akan lama kok.""Ya, udah. Aku ambil buat Nenek saja." Citra ngeloyor ke belakang."Kenapa, buru-buru? ke sini juga jarang-jarang, oya berapa bulan kehamilannya? sepertinya gak lama juga lahiran deh," ujar Habibah dengan senyuman ramahnya."Menginjak 8 bulan." Suly makin tegang. Ia merasa gak nyaman di hadapan bekas madunya itu."Wah ... bentar lagi juga lahiran ya, apa jenis kelaminnya?" tanya lagi bu Habibah.Suly tidak merespon. Ia malah sibuk dengan ponselnya, sibuk membalas chat dari seseorang.Bu Fatma yang melihat itu langsung menjawab pertanyaan Habibah. "Kalau hasil USG sih perempuan, tapi gak tau kalau nanti lahirnya. Siapa tahu Allah kasih keajaiban, kan kita gak tau.""Oh, iya bener Bu ... benar sekali. wah ... Citra, benta