Stella pernah berdoa dengan sederhana.Lebih tepatnya iseng dan pasrah. Jika Tuhan akan mengabulkan, maka Stella menganggapnya sebagai hidupnya yang beruntung. Pun jika meleset dari apa yang di jadikan doa, tak apa. Stella menerima dengan lapang.Dulu, pernah Stella mimpinya mempunyai pasangan yang sempurna. Yang bisa di perkenalkan kepada dunia dengan rasa bangga; inilah kekasih hatiku, inilah milikku, inilah dunia yang aku miliki. Sempurna dan luar biasa. Iya, itu dulu yang terwujud sekarang ini.Sewaktu Stella masih remaja yang memandang cinta belum seluas pemikiran orang dewasa. Sampai akhirnya Stella sadar bahwa selain cinta, ada kehidupan pahit yang menyejajari langkah kakinya. Bahwa tidak hanya cinta yang Stella butuhkan.Sampai akhirnya Stella terus bertumbuh dan bertemu dengan Lucas. Di mana Stella mulai tahu pasangan hidup seperti apa yang dirinya mau—dan lebih dari itu yang Stella butuhkan. Cinta memang penting. Karena … siapa yang tak ingin menikah dengan orang yang kita c
‘Sebuah pesan yang belum sempat tersampaikan. Untuk seseorang yang pernah menemani perjalanan. Terima kasih atas semua kebaikan yang pernah diberikan. Terima kasih untuk ego dan amarah yang diredam agar kebersamaan masih tentang kebahagiaan. Terima kasih untuk telinga yang sudi mendengarkan meski terkadang hal penting juga ikut aku ceritakan.Terima kasih karena pernah mencoba mempertahankan sesuatu yang kita coba bangun. Terima kasih untuk kasih sayang yang tulus, meski kita sama-sama sadar bahwa kita hidup di dunia nyata, bukan dunia khayalan. Jadi tidak ada yang namanya selamanya. Tidak juga tentang selalu tertawa atau pun bahagia.Namun yang terpenting semoga kita tetap melangkah dengan penuh penerimaan. Penuh pendewasaan dan penuh kesadaran, bahwa tak selamanya melepaskan adalah sebuah penyesalan. Yang paling akhir adalah semoga Tuhan memberikan takdir indah seperti doa dan keinginan, juga segala hal terbaik untuk ke depannya.’Setelah malamnya membaca semua kata-kata itu, pagi s
“Tidak masalah,” kata Austin dengan senyumnya yang merekah. “Ini bisa kita jadikan ikatan yang tak sekadar membicarakan bisnis namun juga penyatuan saham dua keluarga.”“Aku setuju.” Alfred takkan menyia-nyiakan kesempatan yang datang. Lagi pula, siapa yang akan menolak berbesan dengan keluarga Anderson yang kondang. “Aku suka dengan Jazzy. Dia cantik dan manis.”Orang-orang tak ada yang tahu bahwa Jazzy merasa bingung dengan semua acara ini. Tidak biasanya Austin membawanya untuk ikut makan siang bersama. Mungkin hanya sesekali. Namun kali ini cukup membuat Jazzy kaget.Diusianya yang baru beranjak dewasa, tak banyak yang Jazzy pahami tentang kehidupan selain aktivitasnya di sekolah yang menyita waktu. Jazzy benar-benar tidak mengerti dan hanya diam sembari melihat anak lelaki seumurannya.“Mereka serasi, ‘kan?” Jasmine—istri Alfred—melihat dengan kegirangan. “Jazzy sangat imut dan kalem. Dia juga cantik dan aku suka sekali dengan Jazzy.”Jazzy tidak memberikan respons apa-apa selain
Ada yang pergi karena tak sehati.Ada yang pergi karena takut patah hati.Tapi, ada juga yang pergi karena takut jatuh hati.Seperti aku yang memilih meninggalkanmu setelah aku tahu kau tak bisa kumiliki.Austin masih terduduk dalam diam. Di kursi restoran yang sudah ditinggalkan oleh keluarga Alfred. Pikirannya berkecamuk dan perasaan bersalah mulai menyusupi. Austin egois. Mengakuinya saja tak membuat banyak perubahan kalau dirinya memang bersalah. Padahal, seharusnya Austin sadar bahwa tindakannya walaupun membuatnya untung tapi belum tentu membuat Jazzy senang. Jazzy juga punya pilihan dan berhak memilih apa yang di sukainya.Tidak seharusnya urusan bisnis membawa Jazzy dan keluarganya. Bagaimana pun, Austin adalah yang tertua di keluarga Anderson. Dan sudah seharusnya bersikap melindungi bukan malah melakukan hal-hal yang seperti ini.“Kau menyesal?” tanya Alaina yang langsung datang setelah Austin meneleponnya. “Aku harap kau tak pergi terlalu jauh saat membicarakan bisnis.”“Ki
“Kau butuh sesuatu yang lain?” Clara bertanya, Jazzy menggeleng. “Kau harus fokus pada dirimu sendiri. Pada sekolah dan masa depanmu. Sudah memutuskan ingin ke Universitas mana?” Helaan napas Clara terdengar. Jazzy menunduk sedalam-dalamnya. “Jazzy, kau tak perlu memikirkan para orang dewasa—tidak, salah—para orangtua yang egois kepada anak-anaknya. Kau harus berhasil dan menentukan pilihanmu sendiri.”Mendengar itu, jiwa ketidakterimaan William meronta-ronta. Bibirnya mencebik dan raut wajahnya masam maksimal. Kenapa istrinya itu mempunyai mulut cabai berlevel neraka? Dari mana asalnya kira-kira?“Sayang …” Clara menoleh dengan wajah yang tak bersahabat. Hampir membuat William urung untuk mengatakannya. “Untuk ukuran seorang istri dengan tiga orang anak, kau cukup sadis mengataiku begitu.”“Kau merasa?” hardiknya sarkas. “Jika tidak, kau tak perlu protes.”“Sayang, aku tak melakukan apa yang seperti Austin lakukan. Aku—sekejam apa pun sikapku—““Bagus! Kau mengakui jika dirimu memang
Jodoh itu, bukan soal dia yang sempurna. Tetapi dia yang mau menerimamu apa adanya dan sanggup menerima kekuranganmu. Barangkali dia tidak sesempurna orang lain, tetapi pasti dia yang terbaik dari semuanya. Karena dia punya cinta dan sayang yang lebih untukmu, yang tak di miliki siapa pun.“Kau pasti tahu.” Clara memulai tanpa basa-basi. Memasuki rumah mewah Austin dan melihat sang kakak ipar duduk dengan koran di tangannya. Clara tak peduli jika itu mengganggu acara berita yang sedang di baca Austin. “Kau sudah menjalaninya lebih dulu dank au pernah punya cerita masa muda. Kau punya kisah, kau melewati setiap perjalanan dan apa pun itu yang akhirnya membawamu pada puncak sekarang ini.”“Tapi, apa kau lupa, siapa yang sedang kau ajak berbisnis? Adikmu sendiri. Meskipun akan kau sangkal mati-matian. Jazzy memiliki darah yang sama denganmu. Kau lupa?”Alaina juga terdiam pun dengan William. Menyerahkan segala urusan kepada Clara, William paham betul marahnya seorang Clara. Terlebih jika
Jazzy Anderson tumbuh menjadi seorang remaja yang pendiam. Tak banyak yang bisa Jazzy ungkapkan jika masalah datang menghampiri dirinya atau menceritakan beberapa perasaan yang membuatnya kacau. Katakanlah, Jazzy tak punya pegangan untuk dirinya bertumpu.Ingin berlari kepada Alaina, Jazzy merasa sungkan. Terlebih jika sudah melihat betapa kerepotannya Alaina mengurusi Kaela dan Michael. Ingin menghampiri Clara, kerepotan Clara jauh lebih dahsyat dari Alaina. Clara dan William punya tiga anak kembar, sekaligus.Jadi, Jazzy secara tanpa sadar membiasakan dirinya untuk terus memendam perasaa-perasaan kacau yang timbul.Yang biasa Jazzy lakukan hanyalah menulisnya lewat kata-kata di buku catatan hariannya. Seperti yang terjadi hari ini dan membuat seluruh keluarganya gempar.Seperti kejadian hari ini misalnya. Terkejut? Tentu. Jazzy sampai tak bisa berkata-kata dan bingung harus bersikap yang bagaimana. Meski tahu tindakan Austin demi kebaikan dirinya di kemudian hari, tetap saja, tanpa
Austin datang pagi harinya. Di saat keriuhan merambah di seluruh ruangan keluarga William. Dan sikap sinis Clara—meskipun menyediakan kopi serta roti untuknya sarapan. Austin tak masalah.“Jazzy,” panggil Austin begitu melihat Jazzy menuruni tangga. “Maaf,” katanya setelah Jazzy mendekat.“Aku tidak apa-apa. Kau mau ke kantor dengan William?” Jazzy sudah melupakan hari kemarin. “Belikan aku sekotak es krim dan cokelat.” Permintaan Jazzy random tapi Austin lega dan melebarkan senyumnya. “Aku kesulitan menghafal sesuatu jika tak ada cokelat di meha belajarku.”“Oh ya? Kau suka di sini atau mau pindah lagi—““Berani membawa Jazzy melangkah dari pintu itu—“ potong Clara cepat dan kencang. “Kau habis di tanganku.” Pisau daging yang sedang Clara pegang benar-benar membuat Austin yang melihatnya merinding.“Aku menawarinya. Kaela—““Alasanmu adalah Kaela dan Kaela selalu Kaela. Tapi kau membuat Jazzy harus hengkang dari sana. Kau benar-benar bosan hidup, ya?” William menyahuti. “Kau harus me