Seember es krim dan tiga batang cokelat belum mampu mengubah suasana hati Clara. Ia tak tahu mengapa menjadi uring-uringan dan menginginkan banyak gula. Ia menginginkan semua makanan manis dan lelaki tampan yang tak pernah tersenyum bernama William Anderson.Ia bahkan berniat memasak semua jenis masakan manis namun sayang kendali pada dirinya menahannya. Sehingga mengurung diri di kamar dengan gorden yang tertutup dan lampu padam betul-betul menjadi paduan suasana hatinya.Tak seharusnya Clara merasakan perasaan seperti ini. Merasa marah dan terkhianati. Itu jelas-jelas hak William untuk lelaki itu berkencan dengan wanita mana pun termasuk Olivia.Meski William selalu pulang tepat waktu dan selalu menyempatkan diri makan malam bersama Clara, memangnya siapa yang ingin mengetahui apa-apa saja yang lelaki itu lakukan diluar sana. William bebas melakukan apa saja bahkan bebas memilih wanita mana saja yang berlipat-lipat kali lebih baik dari pada Clara. William bisa melakukan itu, meski d
Idiot!William mengutuk mulutnya yang dengan lancar mengatakan itu. Awalnya ia hanya berniat menyatakan perasaannya karena gagasan mentah yang Olivia siratkan. Dan William berharap—meski harapan itu amatlah kecil—namun memulai sebuah awal untuk kemudian menjadi langkah yang bagus perlu di cobanya.Mungkin inilah yang orang-orang sebut kepalang basah. Bibirnya dengan mudah mencurahkan apa yang ada dalam pikirannya tentang Clara. Ini tidak terencana, demi Tuhan William berserapah meski ungkapan itu yang selalu ada dalam khayalannya.William tidak berbohong soal keinginannya untuk berbagi hidup bersama Clara. Jelas-jelas dirinya tak bisa jauh dari Clara barang satu senti pun. Hingga dua hari bagaikan di neraka. William sepenuhnya sadar ingin menyentuh Clara hingga seluruh tubuhnya sakit, namun ia ingin memperlakukan Clara dengan benar."Akankah kau menjawabku?" tanya William. Dan ia ingin jawabannya adalah ya.Clara tergugu menatap William. Giginya mulai menggigit bibirnya dengan cara me
William mengerjapkan mata dan mendapati Clara yang sedang tertidur pulas dalam pelukannya.Mana yang lebih membahagiakan ketika pagimu di sambut dengan sebuah pelukan oleh orang terkasihmu?Ia melirik jam di dinding kamar Clara yang menunjukkan pukul enam namun ruangan masih temaram karena tirai yang belum terbuka. Kembali William mengeratkan pelukannya dan membuat Clara menggeliat sembari mencari posisi ternyaman.Ini sangat manis. William bisa melihat pola kehidupannya setelah menikah nanti. Ia akan hidup bahagia bersama gadis yang dicintainya. Dan menantikan hari itu sungguh membuat jantungnya berdebar kian menderu.Tetapi pagi ini posisinya sedikit menyiksanya. Ia bahagia—tentu saja. Hanya saja fakta belum memiliki Clara sepenuhnya membuat sesuatu yang berada di pangkal pahanya kian mengembung. Tubuh Clara indah dan hangat membuat William yang lelaki normal harus mati-matian menekan hasrat pagi harinya.Sebentar lagi, ucap William dalam hati.Lalu tiba-tiba Clara menggeliat lagi d
William masih saja membeku mendengar penuturan Clara. Bahkan setelah berpuluh-puluh menit berlalu, tetap saja kalimat itu berdengung di telinganya. Sejenak ia merasakan kelegaan akibat dukungan yang Clara berikan. Namun di sisi lain ia tak ingin egois dengan membawa serta Clara ke dalam lingkaran hidupnya yang rumit. Keluarga ini rumit—teramat rumit. Keluarga ini bermasalah dan itu kenyataan.Ia ingin sekali saja dalam tarikan napasnya untuk membangkang dari tanggung jawab. Ia ingin jarak yang terbentang luas ini segera berakhir. Tapi ia juga yakin, kerumitan ini tak akan pernah usai kecuali salah satu di antaranya mati. Dan dapat ia yakini hubungan generasi selanjutnya juga tak akan berlangsung baik.Meski Lucas, Jazzy, dan Mikaela selalu akur di satu ruangan, namun bukan tidak mungkin Bradley akan diam saja. Pasalnya, wanita itu terus saja memburu haknya yang jelas-jelas jatuh di tangan William.William menggeleng. Ia memejamkan mata menyerapi perkataan Clara. Hidupnya sudah rumit d
"Sepertinya, kau memang harus secepatnya menikah dengan William. Kita bisa menjadi tim yang bagus, kurasa." *** Konyol adalah satu kalimat yang Clara canangkan di otaknya saat ini. Dalam perjalanan hidupnya selama dua puluh tiga tahun, baru kali ini ia meneriaki seseorang. Tidak pernah sekali pun ia membalas berbagai cercaan yang orang lain tujukan untuknya. Namun terkecuali malam ini—tepatnya beberapa menit yang lalu—entah karena kesal lantaran William yang membentaknya dengan keras atau egonya yang terlukai. Clara benar-benar tak tahu cara kerja otaknya saat ini. Seyogyanya ia memiliki sikap tenang untuk menghadapi William bukan malah membalas teriakan lelaki itu. Sekarang duduk bersama dalam satu ruangan dengan atmosfer yang kentara berbeda membuat nyali Clara berlipat-lipat menciut. Tubuh mungilnya semakin terperosok dalam menghimpit kursi penumpang dengan mata fokus memperhatikan William. Lelaki itu sedang menyetir menuju rumah Austin, tapi aura horor dan kecanggungan yang te
"Persetan denganmu Luc!" teriak William. Suaranya meninggi dan juga mengerikan hingga langkah terburu Clara dan Alaina segera menjajaki lantai atas. "Tahu apa kau tentang kehidupan?!" hardiknya, "Delapan puluh lima persen kehidupanmu habis diluar rumah. Untuk apa? Bersenang-senang? Menghambur-hamburkan uang, cih!" William berdecih dan saat itu matanya menangkap kehadiran Clara yang berdiri tepat di ambang pintu."Aku bilang tunggu Clara bukan menyusulku!" Clara tersentak dan menundukkan kepalanya. Nyalinya menciut dengan kaki yang bergetar."Kenapa aku harus percaya memberimu kesempatan jika akhirnya akan seperti ini?! Aku sudah memberimu kepercayaan tapi pada akhirnya kau juga merusaknya.""Kau tidak mengerti William!" seru Lucas tak kalah nyaringnya.Keadaan semakin memanas dengan aksi tatap-menatap tajam yang William dan Lucas lemparkan. Belum lagi suara yang saling meneriaki satu sama lain membuat ruangan riuh.Austin sudah lebih sigap menghadapi luapan emosi yang akan William sem
(18+)Clara perlu beberapa detik untuk mencerna permintaan William. "A-apa?""Buka bajumu Clara. Telanjang untukku."Clara tersentak akan permintaan William. Sejauh hubungannya bersama William, lelaki itu tak pernah sekali pun memaksakan hasratnya. William yang Clara kenal—keras kepala, dan selalu memaksakan kehendak, memegang kendali—selalu teguh akan komitmennya untuk tidak menyentuh dirinya. William selalu menghormatinya. Sulit baginya untuk percaya ketika kata-kata itu keluar dari mulut William."Tunggu apalagi Clara? Kau bilang kau bersedia melakukan apapun untukku."Clara merasakan lehernya kram untuk menggeleng. Ia tak yakin apakah menginginkan ini untuk memuaskan William, atau ia harus melindungi dirinya—dari calon suaminya. Tangan Clara terkepal di samping tubuhnya. Ia tak percaya William melakukan ini padanya—menyuruhnya telanjang. Clara tak tahu apakah ini efek emosi yang William perlihatkan atau memang lelaki itu menginginkannya. Tapi nada perintah dalam suara William bena
Clara ingat terakhir kali ia tersentak adalah beberapa jam lalu ketika William membentaknya dengan suara yang lantang. Namun kali ini tidak sama seperti sebelumnya. Ia tersentak lantaran keinginan William yang lagi-lagi membuat napasnya megap-megap.Bulan depan?Yang benar saja.Clara sangat yakin jika keluarga Anderson memang seratus tiga puluh persen pelawak—bukan tapi pemain sirkus—ah entahlah apa pun itu dirinya tak peduli. Saat ini yang menjadi fokusnya ialah keterkejutan akan permintaan kekasihnya yang terdengar konyol.Bulan depan?Astaga, Clara tak bisa berhenti mengucapkan kalimat itu secara berulang.Posisinya juga terlihat menguntungkan meski tidak untuk William. Lelaki itu berulang kali menaik-turunkan jakunnya ketika mata karamelnya terlempar ke paha Clara."Bulan depan?" ulang Clara bersuara langsung."Minggu depan jika kau merasa itu terlalu lama.""Apa?" Clara semakin merapatkan posisinya di area paha William, "Minggu depan?! Kau bercanda?"William memegang pinggul Cla