"Sepertinya, kau memang harus secepatnya menikah dengan William. Kita bisa menjadi tim yang bagus, kurasa." *** Konyol adalah satu kalimat yang Clara canangkan di otaknya saat ini. Dalam perjalanan hidupnya selama dua puluh tiga tahun, baru kali ini ia meneriaki seseorang. Tidak pernah sekali pun ia membalas berbagai cercaan yang orang lain tujukan untuknya. Namun terkecuali malam ini—tepatnya beberapa menit yang lalu—entah karena kesal lantaran William yang membentaknya dengan keras atau egonya yang terlukai. Clara benar-benar tak tahu cara kerja otaknya saat ini. Seyogyanya ia memiliki sikap tenang untuk menghadapi William bukan malah membalas teriakan lelaki itu. Sekarang duduk bersama dalam satu ruangan dengan atmosfer yang kentara berbeda membuat nyali Clara berlipat-lipat menciut. Tubuh mungilnya semakin terperosok dalam menghimpit kursi penumpang dengan mata fokus memperhatikan William. Lelaki itu sedang menyetir menuju rumah Austin, tapi aura horor dan kecanggungan yang te
"Persetan denganmu Luc!" teriak William. Suaranya meninggi dan juga mengerikan hingga langkah terburu Clara dan Alaina segera menjajaki lantai atas. "Tahu apa kau tentang kehidupan?!" hardiknya, "Delapan puluh lima persen kehidupanmu habis diluar rumah. Untuk apa? Bersenang-senang? Menghambur-hamburkan uang, cih!" William berdecih dan saat itu matanya menangkap kehadiran Clara yang berdiri tepat di ambang pintu."Aku bilang tunggu Clara bukan menyusulku!" Clara tersentak dan menundukkan kepalanya. Nyalinya menciut dengan kaki yang bergetar."Kenapa aku harus percaya memberimu kesempatan jika akhirnya akan seperti ini?! Aku sudah memberimu kepercayaan tapi pada akhirnya kau juga merusaknya.""Kau tidak mengerti William!" seru Lucas tak kalah nyaringnya.Keadaan semakin memanas dengan aksi tatap-menatap tajam yang William dan Lucas lemparkan. Belum lagi suara yang saling meneriaki satu sama lain membuat ruangan riuh.Austin sudah lebih sigap menghadapi luapan emosi yang akan William sem
(18+)Clara perlu beberapa detik untuk mencerna permintaan William. "A-apa?""Buka bajumu Clara. Telanjang untukku."Clara tersentak akan permintaan William. Sejauh hubungannya bersama William, lelaki itu tak pernah sekali pun memaksakan hasratnya. William yang Clara kenal—keras kepala, dan selalu memaksakan kehendak, memegang kendali—selalu teguh akan komitmennya untuk tidak menyentuh dirinya. William selalu menghormatinya. Sulit baginya untuk percaya ketika kata-kata itu keluar dari mulut William."Tunggu apalagi Clara? Kau bilang kau bersedia melakukan apapun untukku."Clara merasakan lehernya kram untuk menggeleng. Ia tak yakin apakah menginginkan ini untuk memuaskan William, atau ia harus melindungi dirinya—dari calon suaminya. Tangan Clara terkepal di samping tubuhnya. Ia tak percaya William melakukan ini padanya—menyuruhnya telanjang. Clara tak tahu apakah ini efek emosi yang William perlihatkan atau memang lelaki itu menginginkannya. Tapi nada perintah dalam suara William bena
Clara ingat terakhir kali ia tersentak adalah beberapa jam lalu ketika William membentaknya dengan suara yang lantang. Namun kali ini tidak sama seperti sebelumnya. Ia tersentak lantaran keinginan William yang lagi-lagi membuat napasnya megap-megap.Bulan depan?Yang benar saja.Clara sangat yakin jika keluarga Anderson memang seratus tiga puluh persen pelawak—bukan tapi pemain sirkus—ah entahlah apa pun itu dirinya tak peduli. Saat ini yang menjadi fokusnya ialah keterkejutan akan permintaan kekasihnya yang terdengar konyol.Bulan depan?Astaga, Clara tak bisa berhenti mengucapkan kalimat itu secara berulang.Posisinya juga terlihat menguntungkan meski tidak untuk William. Lelaki itu berulang kali menaik-turunkan jakunnya ketika mata karamelnya terlempar ke paha Clara."Bulan depan?" ulang Clara bersuara langsung."Minggu depan jika kau merasa itu terlalu lama.""Apa?" Clara semakin merapatkan posisinya di area paha William, "Minggu depan?! Kau bercanda?"William memegang pinggul Cla
Sisa malam itu di habiskan William dan Clara dengan berbagi. Hembusan angin yang menerpa kulit masing-masing seolah tak di rasakannya lantaran sentuhan hangat yang bersarang. Clara dengan jari lentiknya menggoda dada bidang William hingga geraman tertahan terdengar dari tenggorokan lelaki itu. Saraf sensitifnya merespon dengan baik guna menggugah gairahnya."Awalnya," jeda William mencoba menemukan suaranya. "Aku tak pernah punya sosok seorang ayah untuk aku tiru. Jadi aku meniru apa pun yang Austin lakukan. Lucu, kan?" Clara ikut terkekeh menyumbang suara William yang mencicit. "Aku melakukan semua hal yang Austin lakukan. Mulai dari membantu mama mengaduk adonan roti, mengangkat roti dan melayani pelanggan. Aku benar-benar mencontoh apa yang Austin lakukan. Kita kembar tapi aku lebih bebal darinya.""Dan aku begitu senang ketika Austin tertarik pada Alaina. Aku takut jika Austin mengabaikanku. Tapi ternyata tidak. Alaina bukan wanita yang mempengaruhi orang lain. Dia tahu aku kaku n
Sepanjang perjalanan menuju rumah Austin, William hanya terdiam dengan jari yang terkait di jari lentik Clara. Satu tangannya memegang kendali setir. Matanya terfokus menatap ke arah depan. Tapi kegugupan dan kegusaran jelas terlihat di wajahnya yang tampan.Sesekali jari itu meremas jari lentik milik Clara yang hanya di balas ringisan tertahan oleh gadis itu. Ingin ia melemparkan semburan amarah yang di tahannya, namun melihat raut gelisah yang tercetak jelas di sana buru-buru Clara mengurungkan niatnya. Ia lebih memilih diam dan menikmati rasa sakit akibat remasan itu yang membuat tangannya memerah seketika.Sedang William, meski diam, pikirannya melayang bersama kenangan lalu yang membuatnya kian meremas hatinya. Dulu, ia selalu bersemangat setiap kali pulang ke rumah Austin. Meski ia tidak tinggal bersama di rumah itu, menginap di akhir pekan atau berkunjung di jam-jam tertentu di antara kesibukan jam kerjanya, menghabiskan waktu bersama Mikaela, mengajari bocah kecil itu belajar,
"Halo Tuan Anderson," sapa Stella. "Maaf, semalam belum bisa menyapamu."William mengangguk samar dan berjalan melewati Stella begitu saja. Ia merasa harus mendengus sekeras-kerasnya lantaran ancaman yang Alaina lontarkan membuat dirinya berada di ruangan ini. Berada di antara ketiga orang yang sedang menunggunya bicara. Gerakan tangan William meraih gelas dan menuang air untuk dirinya sendiri. Beberapa saat ia merasakan tenggorokannya kering hingga sulit mengeluarkan suaranya."Jadi apa alasannya?" tanyanya tanpa berbasa-basi. Sekedar sapaan pun tidak.Dan Austin yang paling tahu akan itu. Ia tahu bagaimana William bertindak dan seperti apa caranya menyikapi. Hanya saja konyol jika kekakuan itu di terapkan di tengah-tengah keluarganya sendiri. Ini tampak seperti sesi introgasi."Tidak ada. Aku serius mencintai Stella. Ini hanya tidak sengaja dan aku tidak ingin lari dari tanggung jawab." Lucas menjawab mantap dengan sorot mata yang sama seperti miliknya dengan kebahagiaan yang mengge
Ketika pagi menyapa dan sebuah kecupan yang tersemat di tengkuknya membuat Clara mengernyit dalam tidurnya. Ia mengerjapkan mata guna memproses sekitar. Kemudian menyipitkan mata ketika mendapati cahaya yang berhamburan memasuki kamarnya.Suara lenguhan terdengar di belakang Clara mengalihkan pandangan ke balik punggungnya di mana seseorang sedang sibuk menggerayangi tubuhnya. Siapa lagi jika bukan William?Clara menggeliat pelan dan membalik badannya. Melihat lelaki itu yang memejamkan matanya—namun Clara tidak yakin jika kekasihnya itu sedang tidur. Tidur macam apa yang masih menyematkan ciuman-ciuman ke sekujur tubuhnya dengan tangan yang berkeliaran kemana-mana.Tetapi demikian, Clara tak mengeluh sama sekali. Ia justru tersenyum seraya menikmati ciuman-ciuman mesra yang membuat pagi harinya terasa semakin baik. Ia membiarkan dirinya kian merapat dan hanyut ke dalam pelukan William."Apa yang kau lakukan di sini?" bisik Clara, "Kamarmu di sebelah."William tertawa pelan dan membuk