Bus yang membawa Gandha dan juga Lisa sudah sampai di pemberhentian terakhir di kota besar tujuan mereka. “Lisa, bangun.” Gandha membangunkan Lisa yang tengah tertidur pulas di sebelahnya. “Mas, kita sudah sampai, ya?” tanya Lisa dengan setengah sadar. Rasanya pusing sekali kepalanya setelah perjalanan yang cukup jauh ini. Gandha mengangguk pelan, kemudian dia membantu Lisa untuk bangkit dari tempat duduknya. “Pelan-pelan,” ucap Gandha lagi. “Mas, kita mau kemana?” tanya Lisa saat mereka sudah turun dari bus. Suaranya terdengar putus asa. Jelas dia tidak ada tujuan yang pasti setibanya di tempat ini. Gandha diam sejenak lalu melihat catatan yang diberikan oleh Pak Bastari padanya. Lisa mengamati suaminya. "Apa kita mau menemui orang ini?” tanya Lisa lagi. Terlihat Gandha menghela napas berat. “Sudah malam, kita lebih baik cari penginapan dulu saja.” “Tapi Mas, uang kita–” “Tidak usah dikhawatirkan.” Gandha memotong ucapan Lisa dan menenangkannya. "Aku tidak akan membawamu ke
Pagi itu, udara masih terasa dingin ketika Lisa bangun dengan mata yang masih berat. Namun, pandangannya langsung terkejut ketika melihat Gandha sudah berdiri rapi, siap dengan pakaian peninggalan almarhum ayahnya. Meski agak longgar di beberapa bagian dan juga terlihat kependekan karena postur tubuhnya yang cukup tinggi dari orang kebanyakan, tapi itu tampak lumayan. “Mas, kamu sudah siap?” Lisa bertanya dengan suara pelan, masih setengah mengantuk. Gandha menoleh pada Lisa yang duduk baru saja bangun dari tidurnya. “Maaf kalau aku membangunkanmu.” Lisa cepat-cepat menggeleng, rasa kantuknya mendadak hilang. “Tidak-tidak, bukan begitu, aku yang harusnya minta maaf karena sepertinya aku tidur bangunnya kesiangan. Aku akan segera mandi dan bersiap!” ucapnya sambil buru-buru melangkah ke kamar mandi. Gandha hanya tersenyum tipis, memperhatikan langkahnya yang terburu-buru. Saat itu, tatapannya beralih ke luar jendela, pandangannya tampak jauh. Sementara Lisa sibuk di kamar mandi, k
Udara pagi yang semula sejuk mulai dipenuhi oleh hiruk-pikuk kota. Deru kendaraan, klakson bersahutan, dan aroma khas jajanan kaki lima menyatu dalam alunan kehidupan yang terus bergerak. Lisa menyesuaikan langkahnya dengan Gandha, matanya sesekali melirik papan nama toko dan bangunan yang mereka lewati. Perasaan tak nyaman menyelusup, entah karena kepadatan kota atau kegelisahan yang diam-diam menyesakkan dadanya.“Mas, aku merasa kita sudah cukup dekat dengan tempatnya,” kata Lisa, suaranya lirih namun penuh harap.Gandha tak langsung menanggapi. Dia masih sibuk berbicara dengan seorang bapak tua di tepi jalan, menanyakan alamat yang mereka cari. Lisa menghembuskan napas perlahan, mencoba menenangkan pikirannya. Namun, pandangannya tiba-tiba tertuju pada sebuah warung kaki lima di seberang jalan. Dan di sanalah—seperti ilusi buruk yang menyeruak dari masa lalu—dia melihat Yasmin dan Andrian.Lisa menegang. Jantungnya seperti berhenti berdetak sejenak. Yasmin duduk santai, sesekali me
Mereka tiba di depan sebuah ruko servis komputer dan alat-alat elektronik. Meskipun bangunannya kecil dan sederhana, papan nama dengan tulisan "Linggo Teknologi" tampak bersih dan rapi, memberikan kesan profesional. Dari kaca jendela, terlihat beberapa rak yang penuh dengan komponen komputer, namun suasana di dalamnya sunyi, seolah-olah tempat itu menyimpan rahasia yang lebih besar dari sekadar reparasi alat elektronik.Saat mereka masuk ke tempat itu Gandha langsung bertanya pada pria paruh baya yang terlihat sibuk di depan laptopnya.“Permisi, apa saya bisa bertemu dengan Pak Linggo?” tanya Gandha padanya.Pria itu mendongak perlahan, tatapan matanya tajam seperti mata elang yang memindai mangsanya. Seketika udara di dalam ruangan terasa dingin dan tegang. Lisa yang berdiri di belakang Gandha merasakan bulu kuduknya meremang, langkah kecilnya tanpa sadar bergeser mundur, berusaha menjauh dari sorot intimidasi pria tersebut."Apa kau ingin mencari tahu sesuatu?" suara pria itu serak,
Linggo berjalan lebih dulu, disusul oleh Gandha dan Lisa mengikuti di belakang, melangkah perlahan, mata mereka berkeliling, menyerap setiap detail dari tempat itu. Aroma debu menguar dari sudut-sudut ruangan yang dipenuhi kabel berserakan, motherboard usang, dan layar komputer tua yang bertumpuk di meja-meja besi.“Maaf tempatnya sedikit kurang nyaman,” Linggo berkata, suaranya datar, seolah sudah terbiasa dengan kesan pertama yang diberikan tempat ini.Ruangan itu luas, tetapi jauh dari kata rapi. Komponen komputer berceceran di beberapa sudut, beberapa terbuka dengan kabel-kabel mencuat seperti akar yang menjalar. Di ujung ruangan, terdapat ruang khusus bersekat kaca, cukup besar untuk menampung beberapa rak server yang berdiri kokoh, lampu indikatornya berkedip pelan dalam ritme yang teratur. Sekilas, ruangan itu tampak seperti pusat kendali tersembunyi.Gandha berdiri mematung, matanya terpaku pada sekat kaca itu. Ada sesuatu yang akrab dalam setiap detailnya, sesuatu yang menari
Lisa menelan ludah. Napasnya tersendat saat matanya beralih pada Gandha, yang tetap berdiri tanpa ekspresi. Tidak ada keterkejutan di wajahnya, hanya kebimbangan yang dalam—seolah-olah kata-kata itu bukanlah kejutan melainkan sesuatu yang telah lama bersemayam di sudut pikirannya, menunggu untuk diungkapkan."Mas, apa kamu ingat?" suaranya nyaris berbisik, ragu-ragu.Lux Tech Group.Nama itu bukan sekadar nama. Itu adalah simbol kekuasaan. Perusahaan yang menguasai pasar elektronik di Indonesia selama beberapa dekade terakhir. L Tekno—merek dagang yang melekat erat dalam kehidupan masyarakat. Dan baru-baru ini, perusahaan itu meluncurkan layanan internet fiber optik yang hampir menjangkau seluruh pulau besar di Indonesia.Lisa merasa perutnya mengencang. Tidak mungkin ini hanya kebetulan. Tidak mungkin."Pak Linggo, apa Bapak tidak salah?" suaranya bergetar, matanya kembali menatap Gandha yang masih diam, seakan berada dalam dunia lain.Gandha menarik napas dalam, memejamkan mata. Rah
Setelah meneriakkan nama itu, tubuh Gandha seolah kehilangan tenaga. Ia terkulai lemas di atas tempat tidur, napasnya memburu seiring dengan derasnya keringat yang mengalir di dahinya. Matanya yang hitam pekat menatap langit-langit dengan kosong, seperti melihat sesuatu yang jauh di luar jangkauan.“Elvan ….,” gumamnya pelan, suaranya nyaris tak terdengar.Lisa yang duduk di sisi tempat tidur hanya diam. Ia tahu, ini bukan saat yang tepat untuk bertanya banyak hal. Matanya memperhatikan suaminya yang terlihat benar-benar terguncang, tapi ia tak ingin menambah beban Gandha. Perlahan, ia meraih botol air mineral dari nakas dan membukanya.“Diminum dulu, Mas,” ujarnya lembut, sambil menyodorkan botol itu. “Pelan-pelan saja.”Gandha mengambil botol itu dengan tangan gemetar, lalu meminumnya sedikit.Setelah itu, Lisa menyeka keringat di dahinya dengan tisu. Sentuhannya hati-hati, tapi penuh perhatian, seperti ingin menenangkan suaminya tanpa harus mengatakan apa-apa.Beberapa menit berlalu
Sore harinya, setelah Linggo pulang, Lisa memperhatikan suaminya yang sedang sibuk merapikan dokumen di meja. Rambut Gandha yang panjang dan berantakan kadang membuat pria itu terlihat seperti terganggu. Lisa lalu mendekati Gandha dengan hati-hati.“Mas,” panggil Lisa sambil mendekat.“Ada apa?” tanya Gandha tanpa melepaskan matanya dari pekerjaan yang dilakukannya.“Aku rasa … Mas perlu potong rambut,” ucap Lisa dengan hati-hati, dia hanya tidak ingin Gandha merasa kalau dia terkesan mengatur.Saran dari Lisa membuat Gandha menoleh padanya.“Potong rambut?” Gandha mengerutkan kening. Lisa lalu mengangguk. “Supaya lebih rapi,” jawab Lisa.Gandha diam sejenak, sudah lama dia tidak memperhatikan penampilannya lagi.“Rambut Mas sudah terlalu panjang. Kalau dipotong, Mas pasti kelihatan lebih segar.” Lisa kembali menambahkan.Tidak salah yang dikatakan oleh Lisa, memang saat ini sepertinya penampilan Gandha sangat kacau, bahkan terkesan urakan.Gandha menganggukkan kepalanya pelan. “Boleh
Beberapa hari berlalu, hubungan keduanya makin dekat, dan yang cukup berbeda saat ini adalah bahwa mereka sudah tidur dalam kamar yang sama. Ya, tentu saja selama ini, Gandha menghormati Lisa untuk tidak menyentuhnya sampai istrinya itu benar-benar siap, tetapi setelah kejadian waktu itu, mereka benar-benar sudah bercampur satu sama lain.“Selamat pagi, Cantik!” sapa Gandha saat melihat istrinya yang baru saja keluar dari kamar mandi.Lisa hanya tersenyum mendengarnya, Gandha selalu saja bisa membuatnya jatuh cinta setiap hari. Namun, pagi ini Gandha sudah sangat rapi dengan pakaian formalnya, hal ini membuat Lisa terkejut. Pasalnya, selama ini Gandha tidak pernah berpakaian formal seperti sekarang ini.“Mas … mau kemana?” tanya Lisa.“Ah, iya, semalam aku dihubungi oleh calon klien dari luar negeri untuk membicarakan masalah kerjasama terkait produk yang mereka sukai gagasan Pak Bastari itu. Aku mau bilang dari semalam cuma kamu sudah tidur lebih dulu." Gandha berkata santai."Oh," j
Ida terdiam saat Yasmin berteriak dengan keras.“Bu, Mas Andrian itu bilangnya ada urusan penting jadi dia cepet-cepet pergi, jadi Ibu jangan salah sangka dulu.” Yasmin membela Andrian.“Kamu yakin? Setelah semuaya tadi terjadi, kamu yakin si Andrian bicara begitu artinya dia benar-benar ada urusan?" Ida berkata dengan pelan kali ini, membuat Yasmin kembali berpikir ulang."Bisa jadi dia berusaha untuk menyelidiki semuanya. Bisa gawat kita kalo semuanya terbongkar! Apalagi uang kita akan tergerus kalau kita harus bayar pengacara.” Ida memperingatkan Yasmin/Yasmin memegang kepalanya merasa sangat frustrasi. “Ah!!!” teriaknya kesal. “Jadi, kita harus bagaimana, Bu?”“Kamu harus terus buat Andrian jangan sampai menyelidiki semuanya sendiri,” ucap Ida, suaranya kali ini jauh lebih tenang dibanding beberapa menit yang lalu. “Kamu harus tetap
Ida yang mengawasi dari jauh kejadian tadi sangat tercengang dengan apa yang dilihatnya. Dia tidak menyangka pria yang bersama dengan Lisa saat ini adalah pria gila yang dijuliki olehnya saat di kampung!"Ini tidak mungkin!" dia berdesis pelan."Bagaimana pria itu bisa menjadi seperti itu?" Ida berkata pada dirinya sendiri. Entah kenapa tiba-tiba tubuhnya mendadak bergetar.Beberapa kali dia melihat pria itu dari balik tembok dan memastikan, kalau dilihat lagi itu memang benar pria gila itu, tapi … kenapa bisa sampai seperti itu. Pun dari kejauhan dia melihat anaknya dan Andrian terlihat terlibat percakapan yang cukup serius.Lalu, detik berikutnya Gandha membawa Lisa pergi dari tempat itu ke arah mobil mewah lainnya."Apa dia benar-benar kaya?" Ida kembali tercengang dan menebak-nebak sendiri.Namun tidak ingin berlarut-larut dalam keterkejutannya ini, dia lalu melihat wanita yang bersama dengan Lisa tadi menuju ke mobil mewah tempat dimana
Di dalam mobil itu, terlihat Lisa sedang mengatur ritme napasnya, lalu setelah lebih tenang Lisa melihat ke arah Gandha yang sejak tadi pandangannya tak lepas dari istrinya sambil menopang dagu di tangannya.“Mas, kenapa Mas memukul Mas Andrian?” Pertanyaan Lisa barusan langsung membuat wajah Gandha tidak suka.“Kenapa, kamu bilang?” jelas terlihat rautan di kening pria itu.“B-bukan begitu, maksudku bagaimana kalau misalnya mereka melaporkan Mas Gandha karena kekerasan seperti yang dikatakan Yasmin tadi?" Lisa berkata dengan nada yang cukup khawatir."Di sana itu banyak kamera pengawas dan juga bisa membuat bukti untuk melaporkan hal ini. Bukankah ini akan sangat merepotkan?” Lisa menambahkan lagi karena tidak ingin Gandha salah paham
Yasmin segera menghampiri Andrian dan membantunya untuk berdiri, tetapi mereka sama-sama terpaku, tubuh mereka membeku saat mata mereka menangkap sosok pria yang berdiri dengan tatapan tajam dan postur tubuh penuh dominasi.“Jangan ikut campur kamu!” Teriak Yasmin pada Lisa dan Gandha. Hanya saja Andrian tidak banyak bicara, dia akhirnya mengenali dengan jelas siapa pria yang baru saja memukulnya ini. Ada rasa tidak percaya tapi tetap dia tahan.Lisa menyeringai, tatapannya menusuk, penuh perhitungan. “Ah, adikku sayang, apa kamu tidak mengenalinya?” katanya, nada suaranya menyentak Yasmin.Hal itu membuat Yasmin mengernyitkan keningnya."Apa sekarang suamiku sudah terlalu berbeda? Bukankah dia sudah mengatakan kalau aku ini istrinya?"Angin bertiup, membawa gelombang ketegangan yang menyesakkan. Yasmin merasakan jantungnya berdebar lebih cepat, 'Apa mungkin?! Bahkan pria ini sangat jauh berbeda!'"Apa kalian lupa aku ini istri siapa?" Lisa berkata dengan nada tenang, tatapan matanya
“Nyonya?" Yasmin berkata dengan nyaris berbisik."Mbak apa kamu sudah dijual sama pria gila itu dan menjadi simpanan pria kaya?!” tanya Yasmin dengan nada pilu. “Mbak sudah Mbak, ayo kita pulang saja, aku dan ibu masih mau menerima Mbak Lisa kok, ayo Mbak kita mulai lagi dari awal dan–”“Yasmin hentikan mulut kotormu itu!" Lisa membentak dengan suara yang cukup keras."Iyam ayo kita pergi, buang-buang waktu kalau harus meladeni orang seperti itu," tambah Lisa lagi."Dan kamu Mas Andrian ….” Lisa tidak melanjutkan kalimatnya, dia menggantungnya begitu saja, menggeleng-gelengkan kepalanya dan menatap Andrian dengan tatapan yang cukup rumit.“Mas, bantu aku untuk membuat Mbak Lisa pulang dong, Aku yakin sekali pasti dia saat ini sedang dikuasai oleh pikiran buruk karena pengaruh pria gila yang menjadi suaminya itu.” Suara Yasmin terdengar sayup-sayup di telinga Lisa.Hal ini jelas membuat Iyam menjadi heran apalagi saat ini Lisa mengatur ritme napasnya untuk mengolah emosinya agar tidak
Lisa terkejut lantaran bertemu dengan Andrian di tempat ini. Pria itu menatap Lisa dengan pandangan kecewa yang terasa sangat dalam. “Ternyata benar, kamu adalah orang yang sangat jahat dengan keluargamu sendiri. Aku Kecewa padamu, Lis” Lisa mengernyitkan keningnya heran. 'Kenapa pria ini tiba-tiba berkata seperti itu?' tanya Lisa dalam hati. Akan tetapi, detik berikutnya dia membalas ucapan Andrian barusan dengan tatapan tajam, menyadari pasti semua ini berkaitan dengan Ibu dan juga saudara tirinya. Siapa lagi yang bisa memutar balikkan fakta dalam waktu singkat! Apalagi saat ini dia melihat ke sekitar kalau Ibu Ida yang mengikutinya tadi sudah tidak terlihat. “Mas,” ucap Lisa dengan suara berat dan berjalan mendekati pria itu. “Kuberikan saran padamu untuk berhenti mendengarkan sebelah, cepat atau lambat semua akan terbuka." Lisa berkata dengan suara bergetar. "Dan ... Satu hal lagi, yang ingin aku beritahukan padamu, yang seharusnya kecewa itu adalah aku. Aku benar-benar kece
Pernyataan pria itu sontak membuat Lisa terkejut."Apa yang Mas bilang barusan?" tanyanya sekali lagi, seolah ingin memastikan bahwa ia tidak salah dengar.Gandha memintanya untuk belanja apapun yang ia mau. Bagi Lisa, itu terdengar seperti mimpi yang terlalu indah untuk jadi kenyataan. Bukankah hampir semua wanita menginginkan hal semacam ini?Dulu, ia pernah punya harapan yang sama. Tapi itu hanya sebatas angan yang akhirnya ia kubur dalam-dalam. Dan sekarang, Gandha—pria yang ia anggap jauh dari hal seperti ini—mengucapkannya padanya.Bagaimana mungkin ia tidak bahagia?“Lanjutkan saja, Sayang," ucap Gandha dengan santai."Kata orang-orang yang kudengar, belanjamu tidak menarik kalau kamu masih melirik tag price," lanjut Gandha lagi.Hal ini tentu membuat Lisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Pria ini benar-benar ...!"Dan jangan lupa tunggu aku di sana, aku sudah di jalan untuk menjemputmu.” Setelah Gandha mengatakan hal itu, pria itu memutuskan sambungan teleponnya. Wajah Lisa ber
Beberapa saat sebelumnya, di dalam mobil.[Mas aku bertemu dengan Ibu dan Yasmin dan sepertinya mereka sedang mengikuti mobil kami, aku sudah bilang dengan Tono untuk berputar-putar dulu tidak langsung pulang ke rumah.]Pesan itu dikirim Lisa untuk Gandha. Dia tahu, suaminya sedang tenggelam dalam urusan yang pasti tidak sepele. Karena itu, Lisa memilih menahan diri—tidak ingin mengganggu dengan hal-hal kecil. Tapi sampai akhirnya dia memutuskan melangkah ke mall mewah ini pun, belum ada kabar balik dari Gandha.Beruntungnya sesaat setelah dia masuk ke dalam mall ini, ponselnya berdering, nama “Suami Gila” terpampang di layarnya. Lisa mengulas senyum lebar.“Lisa! Kamu nggak apa-apa?" Jelas terdengar suara Gandha terdengar panik saat ini."Aku tidak apa-apa-""Apa yang mereka lakukan padamu? Apa kamu terluka?" potong Gandha cepat."Aku-""Sekarang kamu di mana? Apa masih sama Iyam dan Tono?” Suara Gandha di seberang telepon terdengar panik, bertubi-tubi melemparkan pertanyaan tanpa men