Udara pagi yang semula sejuk mulai dipenuhi oleh hiruk-pikuk kota. Deru kendaraan, klakson bersahutan, dan aroma khas jajanan kaki lima menyatu dalam alunan kehidupan yang terus bergerak. Lisa menyesuaikan langkahnya dengan Gandha, matanya sesekali melirik papan nama toko dan bangunan yang mereka lewati. Perasaan tak nyaman menyelusup, entah karena kepadatan kota atau kegelisahan yang diam-diam menyesakkan dadanya.“Mas, aku merasa kita sudah cukup dekat dengan tempatnya,” kata Lisa, suaranya lirih namun penuh harap.Gandha tak langsung menanggapi. Dia masih sibuk berbicara dengan seorang bapak tua di tepi jalan, menanyakan alamat yang mereka cari. Lisa menghembuskan napas perlahan, mencoba menenangkan pikirannya. Namun, pandangannya tiba-tiba tertuju pada sebuah warung kaki lima di seberang jalan. Dan di sanalah—seperti ilusi buruk yang menyeruak dari masa lalu—dia melihat Yasmin dan Andrian.Lisa menegang. Jantungnya seperti berhenti berdetak sejenak. Yasmin duduk santai, sesekali me
Mereka tiba di depan sebuah ruko servis komputer dan alat-alat elektronik. Meskipun bangunannya kecil dan sederhana, papan nama dengan tulisan "Linggo Teknologi" tampak bersih dan rapi, memberikan kesan profesional. Dari kaca jendela, terlihat beberapa rak yang penuh dengan komponen komputer, namun suasana di dalamnya sunyi, seolah-olah tempat itu menyimpan rahasia yang lebih besar dari sekadar reparasi alat elektronik.Saat mereka masuk ke tempat itu Gandha langsung bertanya pada pria paruh baya yang terlihat sibuk di depan laptopnya.“Permisi, apa saya bisa bertemu dengan Pak Linggo?” tanya Gandha padanya.Pria itu mendongak perlahan, tatapan matanya tajam seperti mata elang yang memindai mangsanya. Seketika udara di dalam ruangan terasa dingin dan tegang. Lisa yang berdiri di belakang Gandha merasakan bulu kuduknya meremang, langkah kecilnya tanpa sadar bergeser mundur, berusaha menjauh dari sorot intimidasi pria tersebut."Apa kau ingin mencari tahu sesuatu?" suara pria itu serak,
Linggo berjalan lebih dulu, disusul oleh Gandha dan Lisa mengikuti di belakang, melangkah perlahan, mata mereka berkeliling, menyerap setiap detail dari tempat itu. Aroma debu menguar dari sudut-sudut ruangan yang dipenuhi kabel berserakan, motherboard usang, dan layar komputer tua yang bertumpuk di meja-meja besi.“Maaf tempatnya sedikit kurang nyaman,” Linggo berkata, suaranya datar, seolah sudah terbiasa dengan kesan pertama yang diberikan tempat ini.Ruangan itu luas, tetapi jauh dari kata rapi. Komponen komputer berceceran di beberapa sudut, beberapa terbuka dengan kabel-kabel mencuat seperti akar yang menjalar. Di ujung ruangan, terdapat ruang khusus bersekat kaca, cukup besar untuk menampung beberapa rak server yang berdiri kokoh, lampu indikatornya berkedip pelan dalam ritme yang teratur. Sekilas, ruangan itu tampak seperti pusat kendali tersembunyi.Gandha berdiri mematung, matanya terpaku pada sekat kaca itu. Ada sesuatu yang akrab dalam setiap detailnya, sesuatu yang menari
Lisa menelan ludah. Napasnya tersendat saat matanya beralih pada Gandha, yang tetap berdiri tanpa ekspresi. Tidak ada keterkejutan di wajahnya, hanya kebimbangan yang dalam—seolah-olah kata-kata itu bukanlah kejutan melainkan sesuatu yang telah lama bersemayam di sudut pikirannya, menunggu untuk diungkapkan."Mas, apa kamu ingat?" suaranya nyaris berbisik, ragu-ragu.Lux Tech Group.Nama itu bukan sekadar nama. Itu adalah simbol kekuasaan. Perusahaan yang menguasai pasar elektronik di Indonesia selama beberapa dekade terakhir. L Tekno—merek dagang yang melekat erat dalam kehidupan masyarakat. Dan baru-baru ini, perusahaan itu meluncurkan layanan internet fiber optik yang hampir menjangkau seluruh pulau besar di Indonesia.Lisa merasa perutnya mengencang. Tidak mungkin ini hanya kebetulan. Tidak mungkin."Pak Linggo, apa Bapak tidak salah?" suaranya bergetar, matanya kembali menatap Gandha yang masih diam, seakan berada dalam dunia lain.Gandha menarik napas dalam, memejamkan mata. Rah
Setelah meneriakkan nama itu, tubuh Gandha seolah kehilangan tenaga. Ia terkulai lemas di atas tempat tidur, napasnya memburu seiring dengan derasnya keringat yang mengalir di dahinya. Matanya yang hitam pekat menatap langit-langit dengan kosong, seperti melihat sesuatu yang jauh di luar jangkauan.“Elvan ….,” gumamnya pelan, suaranya nyaris tak terdengar.Lisa yang duduk di sisi tempat tidur hanya diam. Ia tahu, ini bukan saat yang tepat untuk bertanya banyak hal. Matanya memperhatikan suaminya yang terlihat benar-benar terguncang, tapi ia tak ingin menambah beban Gandha. Perlahan, ia meraih botol air mineral dari nakas dan membukanya.“Diminum dulu, Mas,” ujarnya lembut, sambil menyodorkan botol itu. “Pelan-pelan saja.”Gandha mengambil botol itu dengan tangan gemetar, lalu meminumnya sedikit.Setelah itu, Lisa menyeka keringat di dahinya dengan tisu. Sentuhannya hati-hati, tapi penuh perhatian, seperti ingin menenangkan suaminya tanpa harus mengatakan apa-apa.Beberapa menit berlalu
Sore harinya, setelah Linggo pulang, Lisa memperhatikan suaminya yang sedang sibuk merapikan dokumen di meja. Rambut Gandha yang panjang dan berantakan kadang membuat pria itu terlihat seperti terganggu. Lisa lalu mendekati Gandha dengan hati-hati.“Mas,” panggil Lisa sambil mendekat.“Ada apa?” tanya Gandha tanpa melepaskan matanya dari pekerjaan yang dilakukannya.“Aku rasa … Mas perlu potong rambut,” ucap Lisa dengan hati-hati, dia hanya tidak ingin Gandha merasa kalau dia terkesan mengatur.Saran dari Lisa membuat Gandha menoleh padanya.“Potong rambut?” Gandha mengerutkan kening. Lisa lalu mengangguk. “Supaya lebih rapi,” jawab Lisa.Gandha diam sejenak, sudah lama dia tidak memperhatikan penampilannya lagi.“Rambut Mas sudah terlalu panjang. Kalau dipotong, Mas pasti kelihatan lebih segar.” Lisa kembali menambahkan.Tidak salah yang dikatakan oleh Lisa, memang saat ini sepertinya penampilan Gandha sangat kacau, bahkan terkesan urakan.Gandha menganggukkan kepalanya pelan. “Boleh
“Lisa?” Suara berat Gandha memecahkan lamunan Lisa. Lisa tersentak. Dengan cepat, wajahnya yang sudah memerah semakin tampak salah tingkah. Ia buru-buru memperlihatkan kantong makanan di tangannya.“Ini … makan malam kita,” katanya dengan suara sedikit tergagap, berusaha menyembunyikan keterkejutannya.Gandha memandangnya dengan tatapan bingung. Senyum tipis tersungging di bibirnya, namun matanya meneliti Lisa seperti hendak memahami sesuatu.“Kenapa wajahmu merah?” tanyanya, nadanya lebih penuh rasa ingin tahu dan menyelidik.Lisa menggeleng cepat, menghindari kontak mata. “Gak, Mas. Gak ada apa-apa,” jawabnya pelan, hampir berbisik.Namun, ia tahu betul suaminya tidak akan begitu mudah percaya. Pandangan Gandha yang tajam seolah dapat melihat apa yang tersembunyi di balik wajah gugupnya.Dalam diam, Lisa menunduk, berpura-pura sibuk merapikan kantong plastik di tangannya. Akan tetapi, di dalam hatinya, badai kecil telah pecah. Pandangannya tak sengaja kembali mencuri lihat ke arah
Pernyataan Gandha barusan membang sangat mengejutkan, tetapi walau demikian dia harus berpikir jernih, hingga akhirnya dia memejamkan mata dan menarik napas dalam. Mencoba memikirkan apa yang sebenarnya dia rasakan saat ini.Lisa kemudian membuka matanya, lalu menggelengkan kepalanya dan berkata, “Tidak, Mas, ini harusnya sudah takdir. Aku menerimamu siapa pun kamu, terlepas latar belakangmu saat itu.” Lisa berkata sungguh-sungguh.Mendengar hal itu, wajah Gandha mulai terbentang. Bibirnya mengulas senyum.“Tapi, Mas … apa aku boleh bertanya padamu tentang hal yang sedikit lebih ke arah personal?” tanya Lisa pelan, suaranya terdengar ragu.“Katakan saja, Lisa, jangan seperti orang lain, kamu adalah istriku.” Gandha menjawab cepat.“Setelah mengetahui siapa kamu sebenarnya, rencanamu ke depan seperti apa? Apa kamu akan … pergi?” Lisa bertanya dengan tangannya terkepal erat tanpa diketahui oleh Gandha.Jujur saja, setelah sebulan bersama Gandha yang berstatus suaminya ini dan juga beber
Yasmin segera menghampiri Andrian dan membantunya untuk berdiri, tetapi mereka sama-sama terpaku, tubuh mereka membeku saat mata mereka menangkap sosok pria yang berdiri dengan tatapan tajam dan postur tubuh penuh dominasi.“Jangan ikut campur kamu!” Teriak Yasmin pada Lisa dan Gandha. Hanya saja Andrian tidak banyak bicara, dia akhirnya mengenali dengan jelas siapa pria yang baru saja memukulnya ini. Ada rasa tidak percaya tapi tetap dia tahan.Lisa menyeringai, tatapannya menusuk, penuh perhitungan. “Ah, adikku sayang, apa kamu tidak mengenalinya?” katanya, nada suaranya menyentak Yasmin.Hal itu membuat Yasmin mengernyitkan keningnya."Apa sekarang suamiku sudah terlalu berbeda? Bukankah dia sudah mengatakan kalau aku ini istrinya?"Angin bertiup, membawa gelombang ketegangan yang menyesakkan. Yasmin merasakan jantungnya berdebar lebih cepat, 'Apa mungkin?! Bahkan pria ini sangat jauh berbeda!'"Apa kalian lupa aku ini istri siapa?" Lisa berkata dengan nada tenang, tatapan matanya
“Nyonya?" Yasmin berkata dengan nyaris berbisik."Mbak apa kamu sudah dijual sama pria gila itu dan menjadi simpanan pria kaya?!” tanya Yasmin dengan nada pilu. “Mbak sudah Mbak, ayo kita pulang saja, aku dan ibu masih mau menerima Mbak Lisa kok, ayo Mbak kita mulai lagi dari awal dan–”“Yasmin hentikan mulut kotormu itu!" Lisa membentak dengan suara yang cukup keras."Iyam ayo kita pergi, buang-buang waktu kalau harus meladeni orang seperti itu," tambah Lisa lagi."Dan kamu Mas Andrian ….” Lisa tidak melanjutkan kalimatnya, dia menggantungnya begitu saja, menggeleng-gelengkan kepalanya dan menatap Andrian dengan tatapan yang cukup rumit.“Mas, bantu aku untuk membuat Mbak Lisa pulang dong, Aku yakin sekali pasti dia saat ini sedang dikuasai oleh pikiran buruk karena pengaruh pria gila yang menjadi suaminya itu.” Suara Yasmin terdengar sayup-sayup di telinga Lisa.Hal ini jelas membuat Iyam menjadi heran apalagi saat ini Lisa mengatur ritme napasnya untuk mengolah emosinya agar tidak
Lisa terkejut lantaran bertemu dengan Andrian di tempat ini. Pria itu menatap Lisa dengan pandangan kecewa yang terasa sangat dalam. “Ternyata benar, kamu adalah orang yang sangat jahat dengan keluargamu sendiri. Aku Kecewa padamu, Lis” Lisa mengernyitkan keningnya heran. 'Kenapa pria ini tiba-tiba berkata seperti itu?' tanya Lisa dalam hati. Akan tetapi, detik berikutnya dia membalas ucapan Andrian barusan dengan tatapan tajam, menyadari pasti semua ini berkaitan dengan Ibu dan juga saudara tirinya. Siapa lagi yang bisa memutar balikkan fakta dalam waktu singkat! Apalagi saat ini dia melihat ke sekitar kalau Ibu Ida yang mengikutinya tadi sudah tidak terlihat. “Mas,” ucap Lisa dengan suara berat dan berjalan mendekati pria itu. “Kuberikan saran padamu untuk berhenti mendengarkan sebelah, cepat atau lambat semua akan terbuka." Lisa berkata dengan suara bergetar. "Dan ... Satu hal lagi, yang ingin aku beritahukan padamu, yang seharusnya kecewa itu adalah aku. Aku benar-benar kece
Pernyataan pria itu sontak membuat Lisa terkejut."Apa yang Mas bilang barusan?" tanyanya sekali lagi, seolah ingin memastikan bahwa ia tidak salah dengar.Gandha memintanya untuk belanja apapun yang ia mau. Bagi Lisa, itu terdengar seperti mimpi yang terlalu indah untuk jadi kenyataan. Bukankah hampir semua wanita menginginkan hal semacam ini?Dulu, ia pernah punya harapan yang sama. Tapi itu hanya sebatas angan yang akhirnya ia kubur dalam-dalam. Dan sekarang, Gandha—pria yang ia anggap jauh dari hal seperti ini—mengucapkannya padanya.Bagaimana mungkin ia tidak bahagia?“Lanjutkan saja, Sayang," ucap Gandha dengan santai."Kata orang-orang yang kudengar, belanjamu tidak menarik kalau kamu masih melirik tag price," lanjut Gandha lagi.Hal ini tentu membuat Lisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Pria ini benar-benar ...!"Dan jangan lupa tunggu aku di sana, aku sudah di jalan untuk menjemputmu.” Setelah Gandha mengatakan hal itu, pria itu memutuskan sambungan teleponnya. Wajah Lisa ber
Beberapa saat sebelumnya, di dalam mobil.[Mas aku bertemu dengan Ibu dan Yasmin dan sepertinya mereka sedang mengikuti mobil kami, aku sudah bilang dengan Tono untuk berputar-putar dulu tidak langsung pulang ke rumah.]Pesan itu dikirim Lisa untuk Gandha. Dia tahu, suaminya sedang tenggelam dalam urusan yang pasti tidak sepele. Karena itu, Lisa memilih menahan diri—tidak ingin mengganggu dengan hal-hal kecil. Tapi sampai akhirnya dia memutuskan melangkah ke mall mewah ini pun, belum ada kabar balik dari Gandha.Beruntungnya sesaat setelah dia masuk ke dalam mall ini, ponselnya berdering, nama “Suami Gila” terpampang di layarnya. Lisa mengulas senyum lebar.“Lisa! Kamu nggak apa-apa?" Jelas terdengar suara Gandha terdengar panik saat ini."Aku tidak apa-apa-""Apa yang mereka lakukan padamu? Apa kamu terluka?" potong Gandha cepat."Aku-""Sekarang kamu di mana? Apa masih sama Iyam dan Tono?” Suara Gandha di seberang telepon terdengar panik, bertubi-tubi melemparkan pertanyaan tanpa men
Walaupun wanita itu menggunakan pakaian yang sangat berbeda, tetap saja wajah itu tidak berubah.“Eh iya bener, Bu! Kok dia bisa keluar dari sana? Terus itu kayaknya penampilannya beda banget?” Yasmin mengerutkan keningnya."Kita harus menemuinya sekarang, kita harus tahu darimana dia punya kekuatan untuk melaporkan kita!" Ida berkata dengan nada keras.Ida lalu menarik Yasmin keluar dengan cepat dan meraih es kopi milik Yasmin yang belum sempat diminumnya. “Kita cegat dia sekarang!”Keduanya berjalan cepat hingga akhirnya Yasmin lebih dulu berdiri di depan Lisa. Seperti dugaan Yasmin dia pasti sangat terkejut melihat mereka berdua.“Y-Yasmin?!” Melihat Lisa yang seperti ini, jelas sekali Yasmin berpikir kalau Lisa akan sangat ketakutan, apalagi dia sudah berani-beraninya melaporkan mereka berdua ke polisi.Lalu Ida menyiram Lisa dengan es kopi itu, Yasmin menyeringai saat melihat Lisa sudah dalam keadaan kotor seperti saat ini, dan dia Seperti biasanya, mulai bicara untuk merendahka
Selesai menjalani pemeriksaan di kantor polisi, langkah Ida terasa limbung. Meski dia bersama dengan Yasmin dan juga pengacara, matanya terus menelisik sekeliling—seolah merasa ada yang mengikuti dari belakang. Yasmin, yang biasanya cerewet, hanya terdiam menunduk, wajahnya tegang, nyaris pucat."Bu, apa Ibu baik-baik saja?" tanya Yasmin saat mereka ada di dalam mobil setelah pulang dari pemeriksaan itu."Tentu saja Ibu harus bak-baik saja." Ida berkata dengan nada sedikit meninggi."Bu, apa yang dikatakan Pak Munir semalam benar?" tanya Yasmin lagi.Semalam, memang Ida menghubungi Munir di kampung. Pernyataan Munir sangat membuatnya terkejut, karena pria itu mengatakan kalau Gandha, pria gila yang menikahi Lisa itu, saat diusir dari kampung, caranya bicara sangat berbeda dari sebelumnya.Dia seperti orang yang normal dan terlihat sangat berwibawa, terlepas dari wajahnya yang masih berantakan dan tidak enak untuk dilihat."Apa jangan-jangan pria itu ...." Yasmin menggantung kalimatnya
Benar saja, keesokan harinya tanpa menunggu lama Andrian membawa keduanya pada seorang pengacara terkenal yang bisa membantu mereka, keduanya sangat senang dengan bantuan yang diberikan oleh Andrian. Ucapan manipulasi dari mulut keduanya memberikan keyakinan yang sangat dalam untuk Andrian. Mereka juga mengatakan kalau hal ini tidak terbukti mereka harus balik menuntut Lisa.“Benar, kami harus menuntut balik Lisa agar dia mendapatkan pelajaran dari perbuatannya ini.” Andrian berkata dengan geram.“Masalah itu, akan dilakukan bertahap, Pak Andrian, saat ini kita harus membuat rencana untuk menghadapi kasus ini terlebih dahulu.” Pengacara itu berkata dengan tenang.“Selama klien bisa memberikan keterangan yang jujur dan benar serta bisa menyangkal semuanya, saya akan pastikan kita memenangkan kasus ini. Lalu, selanjutnya baru kita ke tahap berikutnya.” Kembali pria itu menjelaskan, Andrian menganggukkan kepalanya.Sementara, Ida mengepalkan tangannya di bawah meja, karena tatapan pengac
Beberapa hari sebelumnya di kediaman Ida dan Yasmin.“Berani sekali Lisa melakukan hal ini pada kita!” Ida berkata dengan meremas surat panggilan dari kantor polisi untuk penyelidikan kasus kematian suaminya.“Apa Ibu tahu dia sekarang tinggal dimana? Kita datangi saja dia, seenaknya dia berbuat seperti ini.” Yasmin turut geram dengan hal ini, badannya yang masih pegal-pegal karena pulang dari jaga malam di rumah sakit terasa makin sakit saja.Ida meletakkan gelas dengan kasar di atas meja, nadanya penuh frustrasi. "Kita harus minta tolong sama Andrian."Ia melirik tajam ke arah Yasmin yang duduk di seberangnya. "Dia pasti punya kenalan… orang-orang yang bisa kita manfaatin buat nekan Lisa."Wajahnya mengeras, penuh amarah yang nyaris tak tertahan. "Dasar anak itu!. Dia pikir dia bisa menang lawan kita?!"Dengan kesal, Ida meneguk habis minumannya. Matanya masih menyala, seperti belum puas memuntahkan kekesalan yang sudah lama mendidih.“Aku akan hubungi Mas Adrian, Bu, tenang saja, L