"Oh, yesss...! Kamu masih sama enaknya kayak dulu, Cintaaa...! Yes, Baby! Ughhh... Aku kangen banget sama kamu. Ahhh...!" Suara desahan keras Dewa Djatmiko terdengar seantero ruangan berdiameter 3x4, tempat di mana Cinta Andini menjajakan tubuhnya selama ini. Ia memang adalah seorang pelacur yang sudah lima tahun berada di bawah bayang-bayang Mami Chika, mucikari kejam tanpa belas kasihan.
"Dewaaa... Ohhh..."
"Iya, Sayang... Enak, hm? Ugh, fuck! Sudah berapa lama nggak aku entot, Baby? Jawab, Cinta Andini! Ough, yesss...! Kamu masih sempit aja! Ughhh... Enakkk...!"
"Oughhh...!" Dan erangan bukan hanya terdengar dari pita suara Dewa semata, namun Cinta juga turut mengambil bagian yang tersaji.
Dengan gaya bercinta missionary, keduanya saling mengejar gairah yang tercipta, diikuti serentetan kecup basah dan juga sentuhan milik Dewa.
Dewa tak henti-hentinya memuja tubuh molek Cinta yang kini jauh berbeda sedari awal keduanya saling berbagi pengalaman pertama, masih di bawah penjagaan ketat Mami Chika.
Sang mucikari menjual keperawanan Cinta Andini setelah dirinya melunasi utang piutang yang gadis itu lakukan untuk menebus kesalahan ayah kandungnya di dalam penjara, dan Dewa Djatmiko adalah pemenangnya, "Lebih cepat lagi, Dewaaa...! Oughhh... Ini enakkk...!"
"Cintaaa...! Ah, yeachhh...! Nakal kamu sekarang, hm? Aku tinggal kuliah ke New York udah berapa banyak yang ngentotin kamu, heh?! Ughhh... Jangan harap kamu bisa tidur sama laki-laki lain lagi, Sayanggg...! Aku nggak akan biarkan itu terjadi!" Dewa yang kala itu masih berstatus perjaka pula, menerima kekalahannya di arena balap motor dengan cara demikian, melepaskan keteguhannya menahan diri selama delapan belas tahun menjaga.
"Aku mau keluar, Dewaaa...! Aku... Ah ah ahhh... Dewaaa...!"
"Shit! Keluarin, Baby! Ughhh...!" Namun yang Dewa kehendaki saat itu adalah gadis perawan, sama sepertinya.
Kejadian panas yang mendapat posisi paling menakjubkan di dalam diri Dewa itu tak mudah terlupakan begitu saja sepanjang lima tahun dirinya mengambil gelar Strata Satu sekaligus Magister di Negeri Paman Sam, sebab selama ini ia acap kali menyambangi Cinta ketika pulang ke tanah air.
Cinta adalah tujuan kedua setelah rumah mewah milik orang tuanya, juga tekadnya yang tak kunjung padam untuk membawa gadis cantik itu keluar dari sangkar emas kepunyaan Mami Chika.
"Oh, enakkk... Punyamu enak banget, Dewaaa...!"
"Sialan! Ahhh...! Punyamu lebih enak lagi, Sayanggg...! Ughhh... Ayo teriak, Babyyy...! Ayo puasin Dewamu ini!"
"Dewaaa...! Ahhh...!" Setelah menyelesaikan kehendak ayahnya, Dewa tak mau lagi menunda-nunda keinginannya untuk mengeluarkan Cinta dari lumpur dosa, juga bersedia melakukan apapun kendati rintangan sudah menunggu mereka di depan mata.
Dewa memang tak pernah mencecar kalimat manis penuh mulut di hadapan Cinta untuk rasa yang selalu ia tata dalam hati, sebab sepanjang dirinya masih bergantung di kaki orang tua, kebebasan itu jelas hanya akan menimbulkan luka dan juga duka.
'Sebentar lagi kamu akan keluar dari tempat laknat ini, Cinta! Aku nggak akan ngebiarin kamu dimiliki orang lain yang belum tentu sayang sama kamu!' Susunan kata-kata itu, bergulir bebas di isi kepala Dewa sedari tadi.
Diselingi dengan sentuhan dan kecupan basah, pinggul liat Dewa terus memompa di bawah sana, mencari pelepasan yang belum ia dapatkan.
"Cintaaa...! Udah mau keluar, Sayanggg...! Oughhh... Naik ke atas badanku, Cin! Ohhh...!" Lelehan peluh yang membanjiri tubuh keduanya tak menjadi satu persoalan untuk mereka, sebab memang pada kenyataan bukan hanya rasa dari Dewa seorang, melainkan sudah sejak lama Cinta pun demikian.
Perasaan lancang tersebut dengan sendirinya tumbuh subur di hatinya atas segala tingkah laku Dewa padanya, namun masih tersembunyi karena pria itu tak pernah mengutarakan hal yang sama, termasuk berjanji apapun.
"Dewaaa...!"
"Cintaaa...! Ohhh...!" Terlepas dari hubungan intim di atas ranjang, harapan memang selalu Cinta inginkan dari Dewa, namun ia sadar betul dengan kasta dirinya di banyak pasang mata.
Cinta Andini hanyalah sampah masyarakat yang bertahun-tahun bahkan mampu menciptakan kehancuran biduk rumah tangga banyak pihak, padahal jauh sebelumnya Dewa sudah lebih dulu memikirkan semua itu dan anggapan wanita itu salah besar untuknya, sebab ia selalu memacu tekadnya menjadi anak manis agar dapat memperjuangkan kisah mereka.
"Terima kasih, Sayang. Uhhh... Enak banget." Deru nafas berpacu dengan debaran jantung kurang ajar, bertambah ketika bibirnya mendarat lembut di kening penuh peluh Cinta.
Cup
Seulas senyum teramat sangat manis dari Cinta, menular untuk Dewa di tengah pujian yang sama, "Aku yang harusnya bilang makasih ke kamu, Dewa. Punyamu juga enak banget dan—"
"—Mau nambah, hm?" Sampai-sampai ide untuk kembali berpacu dengan kobaran gejolak asmara hadir di bibir Dewa.
Ikut tertawa renyah, Cinta menolak ajakan panas itu dengan mengelus sejumlah rambut halus yang tumbuh di dada bidang Dewa, "Jangan sekarang, Sayang. Sewa kamarnya bakalan double sama Mami Chika nanti. Pas aku libur hari minggu aja baru kita long time di luar biar nggak mahal ya?"
Melakukan hal yang sama pada surai hitam legam di kepala Cinta, sejujurnya Dewa tak mempermasalahkannya, "Nggak masalah, Sayang. Aku kan udah nggak kuliah lagi. Udah diterima Papa di kantornya, jadi udah bisa bayar kamar double kok."
Toh, ia sudah tidak berstatus sebagai Mahasiswa, tetapi kini menjabat sebagai wakil direktur mengganti posisi sang ibu, "Tapi—"
"—Tapi apa, hm? Ada janji tidur sama cowok lain ya?" Sayangnya penolakan kecil itu berujung prasangka buruk dibungkus sedikit rasa kecemburuan.
Membuahkan sentuhan di dada, kini beralih menjadi elusan ke rahang tegas Dewa yang ditumbuhi bulu-bulu kasarnya, "Astaga. Aku nggak ada janjian sama siapa-siapa selain sama kamu hari ini, Dewa. Cuma nggak tahu aja nanti Mami Chika. Kenapa, sih, Sayang? Masih mau lagi memangnya?"
"Jangan tanya kayak gitu ke aku, Cinta. Mau belasan ronde pun aku jabanin asal itu sama kamu, Sayang," serak Dewa menahan gelombang panas yang bermunculan lagi.
Cinta yang dibalur rasa bangga merambah ke ranah inti milik Dewa, menyengajakan diri kian merapatkan kulit di tubuh mereka, namun candaan tak luput sedikit pun, "Alah, gombal. Emangnya di New York kamu nggak pernah gitu tidur sama cewek lain, maksudku pacarmu."
Setengah mati Dewa menahan dirinya untuk tidak menerkam Cinta saat itu juga, beralih pada berkata jujur demi bangunan kokoh yang digadang-gadang olehnya, "Ya itu, sih, pernah. Tapi kepepet pas aku diajak temen-temen mabok di kelab."
"Emmm..." Hasilnya? Hanya satu deheman saja yang keluar dari bibir Inna dan Dewa merasa kejujurannya adalah sebuah satu kesalahan.
Tiga detik Dewa mempergunakan waktu untuk mencari percakapan baru, tetapi masih saja kakinya belum ingin beranjak dari pembicaraan tadi, namun ia memilih terus bercerita jujur tentang isi hatinya, "Cuma anehnya kenapa yang aku bayangin itu lagi tidur sama kamu ya, Sayang? Jangan-jangan kita jodoh lagi."
Sebenarnya, umpan dari bibir Dewa sungguh sangat tepat sasaran, bahkan kini semburat merah di pipi Cinta kian memerah, namun kegugupan membuatnya salah berkata, "Jangan bercanda, Dewa. Aku ini lonte. Edan! Apa kata keluargamu nanti? Mana ada di dunia ini orang tua yang mau punya menantu perempuan jalang kayak ak—"
"—Ssttt... Jangan ngomongin itu lagi ya? Pokoknya punyamu enak banget dan bikin nagih, Sayang. Oh iya, aku punya surprise lho minggu depan buat kamu." Dewa yang tak suka, pun memotong ucapan Cinta dan kali ini ia benar-benar mengalihkan pembicaraan mereka.
Tanda tanya mulai membesar untuk hal baru yang penuh teka-teki, "Surprise? Apaan tuh?"
"Surprise itu kejutan, Sayang." Lalu bergulir dengan begitu baik oleh kemasan candaan manis Dewa.
Pukulan kecil di tubuh Dewa ada di sana, juga beragam reaksi lain, pun tak mau ketinggalan di antara diskusi kecil pelepas rindu, "Ih, Dewa! Aku juga tahu kali surprise itu artinya kejutan. Nggak bego-bego amat walaupun cuma tamatan SMA."
"Kamu tamat SMA, Yang?"
"Iya. Kenapa emang?"
"Nggak. Kan bisa kerja waktu itu, Sayang. Kenapa harus pinjem duit ke rentenir terus ujung-ujungnya malah berhamba ke Mami Chika gini, sih?"
"Karena aku masih bego, Dewa. Aku anak umur delapan belas tahun dari kampung di Cimahi sana yang nggak ngerti apa-apa. Jadi waktu bapak nyuruh aku minta tolong ke tetangga di dekat kontrakan waktu itu, ya aku kira emang nanti bakalan diganti utuh seperti yang kami pinjam. Ternyata berbunga banyak gitu."
"Terus."
"Terus nggak bisa bayar aku dibawa ke sinilah. Kan udah pernah aku ceritain. Kamu bikin aku jadi inget almarhum bapak aja. Capek-capek kerja biar bisa bebas dari sini, eh bapak malah pergi tinggalin aku."
"Ssttt... Sudah-sudah, Sayang. Aku minta maaf ya? Jangan nangis lagi oke? Aku janji nggak akan ngajak kamu ngobrol tentang itu lagi, tapi syaratnya sekarang harus senyum dulu. Bisa kan?" Namun ujung obrolan yang tidak Cinta harapkan lantas terjadi, ketika kisah masa lalu ikut menjadi pembahasan keduanya.
"Nggak bis— Ough, Dewa!"
Dewa memakai dua ruas jarinya untuk menebar umpan yang lebih jitu, "Kenapa, Sayang? Enak, hm? Mau aku kocokin sampai croot?"
"Dewaaa... Ahhh..." Dan hasilnya sudah dapat ditebak, bahwa Cinta akan dengan mudah luluh, juga menggema seperti beberapa saat lalu.
Hawa panas naik hingga ke ubun-ubun, memerahkan kulit di sekujur leher jenjang Cinta tentunya, "Terus, Sayang. Ayo teriak lagi, Baby..."
Aksi berjalan cepat dan tepat hingga menjadi hebat, nyaris tidak bisa menghasilkan satu penolakan dalam bentuk apapun juga untuk diri Cinta Andini, "Stop, Dewa! Ini-- Ough, fuck!"
Kalimat kotor juga menjadi mantra terbaik di sana, "Yes, Baby. I wanna fuck you again. Do you like it, hm? Enak, Sayang?"
"Enak, Dewaaa..." Menyerupai kutukan yang mau tak mau harus Cinta lalui.
Pergumulan memang wajib hukumnya untuk dilaksanakan tanpa bantahan, "Kurang keras, Baby girl!"
"Arghhh... DEWAAA...!"
"Good sound, Girl. Gimana kalo pakai bibir aja dulu?"
"Dewa, please! Cukup dong, Sayang. Aku— Ouhhh...! Sialan! Dewaaa...!" Lebih-lebih ketika lidah tak bertulang Dewa sudah sampai di lipatan Labia Mayor yang mulai menguar aroma khas itu.
Detik membawa menit untuk kian membara dan berkobar pula, lalu penyatuan di zona inti adalah bentuk betapa keduanya bukan hanya sekedar saling memuaskan hasrat, melainkan juga mengikat rasa untuk semakin erat.
Adalah janji ketika Dewa Djatmiko berulang kali meneriakkan nama Cinta di sana yang memiliki niat untuk dapat segera ditepati, tetapi tidak pada Cinta Andini. Ada butiran kecil air di kelopak mata yang diselimuti dengan lelehan peluh dan semua tentu saja masih tentang kasta serta derajat dirinya.
Cinta tidak ingin berharap lebih ketika di sepanjang lima tahun ke belakang Dewa tak pernah berkata jelas tentang isi hatinya, melainkan terus bersikukuh untuk menjadikan lelaki itu sebagai Raja yang membayar jasa. Mampukah ia terus bertahan? Entahlah. Semoga saja.
Bersama sejuta kegelisahannya, Cinta Andini memantapkan hati menemui Mami Chika membawa segepok uang untuk melunasi sisa utangnya.Ketika sampai dan mengutarakan niatnya di depan Mami Chika, sudah dapat Cinta tebak jika sikap mucikari tua itu akan berubah menjadi kurang bersahabat dengannya, "Kamu beneran mau keluar dari sini, Cin? Mami pikir sudah betah karena utang seratus juta aja sampai lima tahun lebih dua bulan ini baru kamu lunasin efek kebanyakan main free sama pacarmu si anak ingusan itu. Siapa namanya, sih? De de... Dewa ya? Duh, teriakin nama pacarnya keras banget deh kemarin itu. Mami jadi pengen ngerasain juga batangnya dia seenak apa, sih, sampai bikin primadona di tempat Mami ini jadi kelojotan par—""—Ini sisa sepuluh jutanya, Mi. Masih suka duit nggak, sih, sebenarnya?!" Bahkan cenderung mengejek dengan membawa serta nama Dewa di sana, nyaris membuat Cinta melemparkan segepok uang yang ada di tangannya ke wajah Mami Chika."Hahaha... Ja
"Sampai juga kamu akhirnya, Cin. Aku pikir nggak jadi tinggal bareng kita," ujar Nona, setelah pintu taksi terbuka dan menampakkan wajah cantik Cinta di sana.Selembar rupiah pecahan seratus ribu berwarna merah pun berpindah ke tangan sopir taksi, lalu memeluk dan bercanda Cinta lakukan atas sambutan yang Nona berikan padanya, "Terus aku bakalan tinggal di mana kalau nggak di sini, Beb? Kamu itu ada-ada aja mikirnya. Udah ah. Bantuin aku dong."Sedikit terseok akibat dua koper besar miliknya, Cinta meminta bantuan pada Nona untuk meringankan bebannya.Dengan senang hati Nona menyanggupi, namun kelakar masih mewarnai di awal pertemuan itu, "Aduh-aduhhh... Belum apa-apa aja udah manja gini yes, Cin? Kerjaan yang bisa aku tawarin ke kamu itu OG lho. Siap nggak nanti?""Ya ampun, Non. Becanda gue!" Membuat tawa lepas Cinta terjadi dan Nona pun demikian.Sifat humoris milik office girl yang sengaja hari ini sengaja tidak masuk k
Memutari ibu kota negara untuk mencari keberadaan Cinta ke beberapa tempat yang pernah mereka sambangi ketika hari minggu tiba, Dewa dipusingkan dengan itu semua. Hal tersebut tentu saja karena keduanya lebih banyak menghabiskan waktu untuk menyewa kamar hotel, bercinta bahkan makan pun dilakukan di dalamnya.Mengabaikan panggilan telepon yang sejak tadi berdering, sangat jelas Dewa telah lancang melanggar janjinya pada sang ayah mengenai rapat penting itu. Cinta berhasil mengacaukan segala sesuatu, membuatnya nyaris menelan seorang pengamen yang terus saja mengetuk kaca jendela mobil saat ia enggan membukanya.Di tengah rasa kesal yang menjalar menuju ke proses kegilaan tingkat nasional, tiba-tiba saja pikiran Dewa dilintasi kejadian saat mereka berdua berjumpa dengan sahabat Cinta, seorang wanita bernama Nona Marisa.Sayangnya Dewa tidak mengetahui nama lengkap wanita itu, tidak memiliki gambar wajahnya juga tak tahu di mana persisnya ia bertemp
Melewati banyak kendaraan hingga sampai di Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir - Jakarta Selatan, Dewa menghentikan laju mobilnya untuk turun dari sana. Dewan menghampiri pedagang bunga yang lapaknya banyak berseliweran di dekat pintu masuk pekuburan, namun dari arah berlawanan kedua matanya tak sengaja melihat sosok itu. Cinta Andini sang pujaan hati. Niat pun buyar seketika, berganti dengan mengejar punggung berbalut kemeja kotak-kotak di depannya."Akhirnya, Sayang. Kamu muncul juga," gumam Dewa masih setia mengikuti dari belakang. Sejujurnya ia ingin berteriak dan membawanya langsung ke dalam dekapan hangat, namun satu kejutan mungkin saja lebih baik terjadi, sebelum mengutarakan apa yang sejak tadi menumpuk di hatinya.Pelan tapi ia melangkah mengikuti jejak kaki Cinta dan tujuan wanita itu memang adalah makam mendiang ayah kandungnya, tempat di mana Dewa yang memilih dan mengurus semuanya sesaat sebelum ia kembali ke New York untuk kedua kalinya.Ada pera
Berdua di kamar kos berukuran kecil milik Nona, hasrat seksual Dewa naik beberapa level akibat ciuman mesra yang sempat ia lakukan dengan Cinta. Aliran darah bergemuruh hingga membuat pangkal pahanya mengeras dan permintaan Dewa keluar tanpa bisa ditunda lagi, "Aku menginginkanmu, Cintaaa..."Dewa meremas gundukan daging di kedua dada Cinta ketika mengutarakan niatnya, menciptakan sensasi nikmat yang tak bisa lagi terbantahkan.Ya, itu memang benar adanya. Cinta bahkan semakin mengangkat kepala setinggi mungkin saat lidah basah Dewa sudah mendarat pasti di atas leher jenjangnya, "Ough, Dewa... Berhenti duluuu... Kita nggak mungkin melakukannya di sini, Wa.""Kenapa, Sayang?" Namun terhenti sejenak, ketika satu penolakan ternyata hadir di sana.Dewa mengerjap, memperjelas pandangan matanya yang sedikit kabur, dan di detik selanjutnya ia mendapatkan elusan telapak tangan Cinta di wajahnya, "Ini di kosannya Nona, Wa. Bukan ruangan kedap suara j
"Wa, aku takut," ujar Cinta masih menarik lengan kemeja Dewa dan pria itu semakin mengeratkan tautan di tangannya, mencoba menenangkan dengan bahasa tubuhnya.Deg deg degSaat ini jantung Dewa pun sejujurnya sedang berdebar kencang, akibat keputusannya membawa Cinta di hadapan kedua orang tuanya. Dewa bahkan harus mengajak Cinta untuk berbohong, "Cin, nanti kalau aku bilang kamu sudah hamil anak—""—Apa?! Nggak mau ah!""Ssttt...! Ini demi kebaikan kita berdua juga, Sayang. Biar Papa sama Mama cepat kasih izin." Membuat Cinta tersentak, menolak mentah-mentah pendapat itu dan Dewa harus kembali merayunya.Dewa mengatakan tujuannya, namun Cinta merasa hal tersebut terlalu berlebihan, "Tapi nggak kayak gitu juga kali, Wa. Aku kan malu!"Usaha pun terus saja Dewa lakukan tanpa kenal lelah, "Nggak usah malu, Yang. Papa sama Mama baik kok. Nanti kalau ditanya berapa bulan, kamu bilang aja udah tiga minggu terus kalau di tany
"Gimana tadi? Bener kan yang aku bilang, Sayang? Papa dan Mama itu memang aslinya baik kok. Bukan karena aku ini anak kandungnya, tapi ya memang mereka dari dulu begitu. Baik sama semua orang, bahkan yang baru dikenal sekalipun," ujar Dewa mengeratkan pelukannya di tubuh Cinta yang memunggunginya. Surai hitam legam yang panjang itu pun menjadi sasaran Dewa, menikmati aroma Stroberi dari sana.Cinta belum menjawabnya hingga beberapa detik, namun setelah tangan Dewa semakin naik hingga ke atas perutnya, sejumlah kalimat yang sejak tadi ada di kepalanya pun menguap juga, "Kita berbohong dan mungkin aja kebaikan itu karena mereka pikir aku beneran hamil, Wa. Aku harus bagaimana sekarang?"Tentu saja rencana untuk memancing birahi Cinta, gagal Dewa lakukan seiring dengan gerakan tangannya yang terhenti. Ia lantas memaksa kekasihnya untuk berbalik dan saling berhadapan, lalu tanpa jawaban bibir merekah itu kembali dilumat habis olehnya.Tak ada perlawanan yan
"Saya terima nikah dan kawinnya Cinta Andini binti Muhammad Akbar dengan mas kawinnya yang tersebut tunai!""Bagaimana, Pak?""Sah?""SAHHH...!""Alhamdulillah..."Sah. Satu kata itu dengan cepat merasuk di dalam relung jiwa Cinta, juga merusak dandanan tukang rias pengantin akibat lelehan air matanya, namun tidak menjadi persoalan untuk Kemuning yang berada tepat di sebelahnya. Sangat lumrah hal itu di mata tuanya, sebab ia pun melakukannya saat Raja mengucapkan ijab qobul atas pernikahan mereka berdua.Kemuning sendiri juga sempat menitikkan air mata, tetapi tidak berlama-lama seperti yang dilakukan oleh menantunya. Ya, Cinta Andini sudah resmi menjadi bagian dari keluarga Djatmiko saat ini dan dia adalah menantu satu-satunya, karena memang Dewa adalah anak tunggal.Kebahagiaan terpancar jelas dari wajah Kemuning, dan untuk Raja sendiri, ia tetap saja sama seperti yang sudah-sudah, menyimpan kegembiraan itu da
"Kenapa kamu nggak jujur sama papa selama ini, Dewa? Mau tahu apa? Sekarang si Haris sialan itu minta supaya jabatannya dinaikkan jadi direktur personalia!""Apa?! Enak aja! Nggak bisa gitu dong, Pa! Dia itu kan--""--Dia itu apa, hah? Dia mengancam akan menyebarkan semua cerita dan bukti-bukti berupa foto kalau Cinta pernah bekerja di rumah pelacuran! Muka papa ini mau taruh di mana? Mau taruh di mana, Dewa? Mau taruh di manaaa...?" Amarah Raja tak terkendali lagi, ketika meminta sang putra datang menemuinya di kediamannya.Sungguh ini bukanlah bagian dari semua yang telah Dewa pikirkan beberapa saat lalu saat berada di atas mobilnya, karena ia sama sekali tidak mengira jika Haris Denandra akan melakukan hal tersebut.Rona merah padam yang tergambar jelas di wajah Raja merupakan penggambaran betapa Dewa sudah sangat bersalah atas semua kebohongan ciptaannya, "Kalau gitu biar aku mundur aja dari kantor, Pa
"Selamat ya, Mba Cinta. Kali ini memang perutnya sudah ada isinya," ujar Dokter Nurul dengan mata berbinar-binar."Alhamdulilah ... Serius ini, Dok?" Membuat Dewa menurunkan seluruh tubuhnya ke lantai dan segera bersujud disertai suara tanya yang menggelegar. Ia melakukan itu bukan tanpa alasan, sebab menurutnya ini adalah bukti bahwa sang penciptaasih berpihak padanya.'Terima kasih ya Robbb... Jadi kami nggak perlu berbohong lagi sama papa dan mama setelah ini.' Dan Cinta pun merasa demikian, karena memang selama ini hatinya selalu merasa tertekan tentang kebohongan yang telah mereka ciptakan.Membersihkan sisa ultrasonic gel di perut Cinta dengan menggunakan tisu, Dokter Nurul pun menjelaskan semuanya di sana.Sewa dan Cin
"Ini pasti Cinta ya? Apa kabarnya nih? Duh, cantik banget, sihhh... Pantesan si Dewa tergila-gila," ujar Padma ketika pertama kali berkenalan secara langsung dengan ipar cantinya itu."Ah, Mba Padma bisa aja. Jadi malu saya mah." Dan berhasil membuat kedua pipi putih Cinta merona merah, "Gimana kab-- Hoek hoekkk...!" Tetapi hal tersebut tak berlangsung lama, sebab rasa mual kembali muncul di sana seperti beberapa saat lalu.Tak urung Padma pun segera menuntun Cinta untuk keluar dari dapur menuju ke kamar mandi, membuat Dewa yang berada di ruang keluarga bersama Goris pun menjadi tersentak, "Ada apa, Pad?"Tanpa permisi Dewa meninggalkan Goris di sana sendirian, dan ia pun mendapatkan jawaban dari Padma, "Nggak kenapa-napa, Wa. Mual aja, biasa."Dewa pun berharap agar Padma segera menangani keluhannya tentang keanehan yang ada pada diri Cinta, dan kedunya obrolan kecil di depan pintu kamar mandi,"Habis ini tolong langsung diperiksa dulu dong, Pad. Aku kan
Selesai menikmati makan siang yang sengaja Dewa minta dari Cinta, ia tidak membiarkan istrinya itu pulang ke apartemen diantar oleh Pak Parjo, supir kantornya. Sejumlah rencana sudah bertengger cantik di isi kepalanya, dan kali ini harus terealisasi bagaimana pun caranya.Hal tersebut tentu saja menjadi satu tanda tanya besar untuk Cinta, "Lho, Yah! Ini kan bukan jalan menuju ke apartemen kita."Jadi mau tak mau Dewa harus menjelaskannya, daripada harus mendengarkan pertanyaan yang sama dari bibir Cinta terus menerus tanpa henti, "Iya, Bun. Kita ke dokter sebentar ya?""Ke dokter? Ngapain?" Namun, bukan kelegaan yang lantas diterima oleh Dewa setelah itu, melainkan pertanyaan lanjutan akibat rasa penasaran dalam diri Cinta.Dengan ent
Membawa pulang pizza tanpa toping yang menjadi pesanan Cinta, Dewa tampak begitu senang karena di isi kepalanya tercecar segala penjelasan dari manager wanita di outlet makanan cepat saji tadi, bahwa bisa jadi saat ini istrinya sedang mengandung.Naik ke dalam lift dan menekan dua buah angka pada panel tombol di dekat pintu, senyuman manis tak luntur dari wajah tampan Dewa.Doa dan sejumlah harapan juga ikut hadir di sepanjang naiknya lift ke atas, sebab dengan begitu Dewa tak perlu mengarang bebas tentang kehamilan cinta lagi.Namun, tetap saja, pikiran negatif itu ada dan bergumul seperti benang kusut di kepala Dewa, “Tapi gimana ya kalau ternyata nggak hamil kayak kemarin itu? Apa alat USG di tempat Dokter Nurul itu salah?”Satu demi satu rasa senang berganti di sana, tapi tidak hilang melainkan hanya berubah menjadi was-was
Pulang dari Rumah Sakit, Dewa ternyata tidak menepati janjinya untuk melanjutkan permainan panas mereka yang sempat tertunda. Semua bukan tanpa alasan, karena Cinta memilih masuk ke dalam kamar dan tidur dengan posisi membelakangi sang suami yang sedang berganti pakaian.Alih-alih bergelung, memeluk dan memberi umpan seperti biasanya, Dewa bahkan membiarkan Cinta di sana. Ia mengambil ponsel yang sempat diletakkan di atas meja nakas dan mencari nomor kontak sekretarisnya, dengan maksud untuk menghubunginya."Halo, Pak Dewa. Ada yang bisa saya bantu?""Tolong bawakan laptop kerja saya yang di atas meja itu ke apartemen, Mil. Masukin ke dalam tas kerja, terus anterin sekarang karena istri saya lagi nggak enak badan. Kamu suruh aja Pak Warjito di lobi yang anterin, biar nggak menunda kerjaan penting lainnya," sahut Dewa ketika sambungan telepon sudah dijawab.Sang sekretari
Dewa mengandeng mesra tangan Cinta memasuki koridor sebuah Rumah Sakit Ibu dan Anak di bilangan Jakarta Pusat. Cinta merasa ada yang aneh dengan perlakuan Dewa padanya hari itu, namun ia memilih untuk diam tanpa mau repot-repot bertanya satu pertanyaan pun.Di satu tangannya yang bebas pun terdapat satu cup Bubble Tea, hasil dari memaksa tanpa henti dari Cinta pada Dewa, jadi saat itu, menikmati jerih payah merengeknya adalah hal terbaik daripada harus repot-repot berbicara menurutnya.Dewa pun tak berniat untuk berkata-kata lagi setelah tenaganya habis berdebat dengan Cinta untuk segelas Bubble Tea yang di dalamnya terdapat banyak campura bola tapioka, karena ia begitu yakin jika keras kepala istrinya itu terjadi akibat sesuatu dari dalam perut datarnya.Nyaris tiga menit berjalan di koridor Rumah Sakit, pada akhirnya keduanya pun sampai di depan poli Ibu dan anak. Di sana Dewa mendaftar, lalu mengajak Cinta untuk duduk d
"Yah, gimana ini? Mama barusan telepon, katanya mau bikin acara pengajian empat bulanan kandungan Bunda gitu, Yah. Gimana ini?" ujar Cinta di ujung telepon, saat suara Dewa sudah terdengar menyapa istrinya itu.Suara Cinta terdengar menggebu, bahkan cenderung mengkhawatirkan di telinga Dewa.Alhasil setelah menarik napas sedalam mungkin, Dewa mencoba menangkan Cinta dengan berniat untuk menceritakan segalanya pada kedua orang tuanya, "Tenang dulu ya, Bunda. Nanti biar Ayah aja yang ngomong soal kebohongan kita selama ini."Sayangnya bahasa yang Dewa gunakan begitu sensitif di telinga Cinta, menyebabkan wanita itu bersuara tegas, "Enak aja kebohongan kita! Aku nggak pernah setuju sama ide ini kan waktu itu?"Dewa yang kikuk, tak urung sedikit menjauh ponsel genggamnya sembari menukar karbon dioksida dari dalam paru-paru. Dewa secepat kilat berpikir di sana, dan menenangkan adalah cara yang ia pilih, "Bunda sayang, sabar ya? Jangan marah-marah dulu
"Saya terima nikah dan kawinnya Cinta Andini binti Muhammad Akbar dengan mas kawinnya yang tersebut tunai!""Bagaimana, Pak?""Sah?""SAHHH...!""Alhamdulillah..."Sah. Satu kata itu dengan cepat merasuk di dalam relung jiwa Cinta, juga merusak dandanan tukang rias pengantin akibat lelehan air matanya, namun tidak menjadi persoalan untuk Kemuning yang berada tepat di sebelahnya. Sangat lumrah hal itu di mata tuanya, sebab ia pun melakukannya saat Raja mengucapkan ijab qobul atas pernikahan mereka berdua.Kemuning sendiri juga sempat menitikkan air mata, tetapi tidak berlama-lama seperti yang dilakukan oleh menantunya. Ya, Cinta Andini sudah resmi menjadi bagian dari keluarga Djatmiko saat ini dan dia adalah menantu satu-satunya, karena memang Dewa adalah anak tunggal.Kebahagiaan terpancar jelas dari wajah Kemuning, dan untuk Raja sendiri, ia tetap saja sama seperti yang sudah-sudah, menyimpan kegembiraan itu da