Berdua di kamar kos berukuran kecil milik Nona, hasrat seksual Dewa naik beberapa level akibat ciuman mesra yang sempat ia lakukan dengan Cinta. Aliran darah bergemuruh hingga membuat pangkal pahanya mengeras dan permintaan Dewa keluar tanpa bisa ditunda lagi, "Aku menginginkanmu, Cintaaa..."
Dewa meremas gundukan daging di kedua dada Cinta ketika mengutarakan niatnya, menciptakan sensasi nikmat yang tak bisa lagi terbantahkan.
Ya, itu memang benar adanya. Cinta bahkan semakin mengangkat kepala setinggi mungkin saat lidah basah Dewa sudah mendarat pasti di atas leher jenjangnya, "Ough, Dewa... Berhenti duluuu... Kita nggak mungkin melakukannya di sini, Wa."
"Kenapa, Sayang?" Namun terhenti sejenak, ketika satu penolakan ternyata hadir di sana.
Dewa mengerjap, memperjelas pandangan matanya yang sedikit kabur, dan di detik selanjutnya ia mendapatkan elusan telapak tangan Cinta di wajahnya, "Ini di kosannya Nona, Wa. Bukan ruangan kedap suara jadi—"
"—Kalau begitu dengerin apa yang aku bilang tadi kenapa, sih, Yang. Kamu tinggal di apartemen aku aja ya? Bawa si Nona juga deh kalau dia mau. Kamarnya ada dua jadi kita berdua satu kamar terus dia juga gitu deh sama pacarnya nanti. gimana?" Itulah alasan mengapa Cinta menolak untuk melanjutkan permainan panas mereka, membuat Dewa kembali berargumen.
Dewa berkeinginan agar Cinta menetap di tempat yang layak, di sebuah apartemen sederhana berkamar dua miliknya.
Dulu apartemen itu Dewa beli dari hasil balapan motor liar yang ia menangkan, namun Cinta enggan menerimanya, "Jangan gila ya, Sayang. Pacarnya Nona itu bukan orang kere kayak kami berdua, tapi orang kaya juga seperti kamu."
Cinta menerangkan tentang kasta dan derajat di antara keduanya dengan membawa serta hubungan Nona bersama kekasihnya, menambah rasa geram untuk Dewa, "Idih, bahasanya. Berasa horor aku, Yang. Harta itu punya orang tua aku, Sayang. Kalau mereka nggak berniat untuk mewariskannya ke aku juga nggak mungkin hidupku akan sama seperti sekarang lagi ya kan?"
Percakapan yang selalu Dewa Djatmiko hindari sejak mengenal Cinta Andini, ternyata saat itu tak bisa ia elakkan lagi, "Dodol! Kamu memangnya bukan anak kandung gitu makanya nggak bakal diwariskan gitu?"
Dewa membiarkan dirinya masuk dan duduk di bangku penumpang, mengikuti kemudi yang Cinta ciptakan, "Enak aja. Aku anak kandung dong, Yang. Mukaku aja mirip sama Papa."
"Nah itu. Kenapa jadi mikir bakalan ngegembel juga kayak kami berdua?"
"Sayang, siapa yang tahu soal rincian harta tersebut berserta sumbernya ya kan? Kalau semisalnya Papa punya tunggakan di Bank atau di mana gitu yang jumlahnya fantastis sampai bermilyar-milyar, ya bisa aja rumah sama semua isinya itu buat bayaran utang. Betul kan?"
"Ck! Kamu kebanyakan nonton drama Korea deh, Sayang. Korban sinetron!"
"Asemmm...! Cium lagi baru tahu rasa nih ya?"
"Hahaha... Berhenti, Dewa! Geliii...!" Lalu mengambil kesempatan ketika terdapat celah. Ia menggelitik pinggang kekasihnya, membiarkan wanita itu tertawa selepas mungkin di sana.
Ketika kesempatan semakin membesar, Dewa bukan hanya menggelitik, melainkan kembali membasahi leher jenjang Cinta dengan lidah basahnya, "Dewaaa... Achhh..."
Hasilnya? Tentu saja desahan keras Cinta, berhasil membuat miliknya menggeliat lagi di bawah sana. Dewa tak ingin mendapat penolakan lagi. Jadi setelah puas bermain di leher, wajahnya pun merambat naik ke atas, mencari letak bibir kenyal kesukaannya.
Bersama dengan itu, sentuhan pun menjalari setiap sisi di tubuh Cinta yang dapat dijangkau telapak tangan Dewa. Terkutuklah Cinta atas kesalahannya dalam berpakaian, sebab baju terusan di tubuhnya dengan sangat mudah dijangkau.
Sentuhan yang sudah mencapai paha mulus Cinta, membuat rambut halus di sekujur tubuhnya meremang tak tahu diri, bahkan kini ia nyaris dibuat meledak oleh Dewa, mana kala sentuhan itu telah menggapai gundukan di pangkal pahanya.
"Hemphhh..." Suara yang sedari tadi coba ditahan, akhirnya pecah, namun tak berupa satu kata apapun.
Dewa masih setia memagut bibir Cinta, tetapi tidak dengan gerakan tangannya. Jari-jari itu lincah merenda birahi untuk kian bergejolak, ketika dua ruasnya sudah berada di dalam kewanitaan Cinta.
"Dewaaa....!" Gelora asmara naik sedikit demi sedikit menuju ke puncak, ditandai dengan kerasnya desahan Cinta, saat keduanya mulai kehabisan napas.
Tak jauh berbeda, sejujurnya Dewa pun ingin dengan bebas menyebut nama Cinta sekeras-kerasnya, namun ia masih menyempatkan diri untuk memikirkan keberadaan Nona di mata tetangga kosan atau pun sang pemilik.
"Bukain celanaku, Sayang... Help me, please..." Dewa memilih untuk mendesah pelan sembari menjilati daun telinga Cinta, sekaligus menuntun.
"Oh, Dewaaa...! Enakkk...!" Namun Cinta mengabaikan keinginan Dewa, ketika laju kedua ruas jari semakin cepat tak terkendali.
Dunia Cinta tiba-tiba saja mengerucut ke satu titik inti di pangkal pahanya saja, bahkan kini kedua kaki jenjang itu bergetar hebat tak tahu malu.
Dewa yang paham akan kejadian tersebut, mengesampingkan keinginan untuk segera membebaskan adik kecilnya di bawah sana. Laju gerakan jari pun menjadi lebih cepat tak terkendali, beriringan dengan kecupan basah di daun telinga yang tak kunjung berhenti.
"Ough, Dewaaa...! Aku mau keluar, Waaa...!" Teriak Cinta di tengah badai gairah.
"Keluarin, Sayang. Keluarin semuanya!" Menghasilkan geraman tak terkendali untuk diri Dewa pula. Ia berniat untuk menempelkan bibirnya di antara lipatan Labia Mayor.
"Dewaaa..." Namun tak sampai tiga detik kemudian, pelepasan itu pun didapatkan oleh Cinta, mengurungkan apa yang akan hendak Dewa lakukan.
Kedua kaki Cinta yang masih bergetar hebat menciptakan sensasi tersendiri untuk Dewa, lalu tanpa mau menunggu lagi, ia pun dengan cepat bergerak, melepaskan satu demi satu kain yang melekat di tubuhnya. Ketika kain pembungkus terakhir di pangkal paha Dewa sudah terlepas, maka di saat itu pula Cinta dapat melihat betapa perkasanya pria di depannya itu.
Cinta masih terengah-engah dengan pencapaian pertamanya tadi, namun tampaknya Dewa tak mau memedulikan hal tersebut. Ia menurunkan tubuhnya untuk mendekat ke arah Cinta, lalu tanpa tedeng aling-aling, senjata tersebut pun menembus masuk ke dalamnya.
Suara teriakan Cinta untuk kesekian kalinya, teredam dengan gejolak birahi Dewa yang sudah tak bisa lagi ditolerir. Napas memburu seringan bunga kapas di antara keduanya, menghasilkan gerakan yang kian melaju di bawah sana. Bibir cantik Cinta yang masih dibungkam oleh Dewa, terus saja menghadirkan suara erangan nikmat terdengar, dan itu juga menjadi bagian tak terbantahkan oleh Dewa, jika perasaannya kian bertambah besar.
Di sela pencarian orgasme pertamanya, hari itu ada janji di dalam hati yang terpatri untuk tetap berjuang mempertahankan, kendati sulit dan penuh dengan halang rintang. Cinta adalah kisah yang tak akan pernah mati dalam sekejap di hidup Dewa, kendati esok lusa raga itu menjadi kian menua dan menyisakan tulang belulang di antara bungkusan kain kafan.
Pun sejujurnya Cinta tidak jauh berbeda dengan apa yang Dewa inginkan. Impiannya terus berada dalam dekapan pria itu, namun selalu saja suara di dalam hatinya memperingati tentang jati dirinya. Cinta tak ingin berjuang di antara paksaan yang berujung dengan kesedihan, sebab baginya rasa cinta adalah tidak menyakiti, juga tidak menyebabkan perpecahan. Baginya, cinta mungkin saja bisa untuk tak harus saling memiliki, daripada menyusahkan dan berakhir dengan perpisahan yang mungkin saja lebih menyakitkan lagi.
Hemmm... Di manakah letak muara yang akan dituju jika demikian adanya? Dewa Djatmiko dan Cinta Andini adalah penentunya.
"Wa, aku takut," ujar Cinta masih menarik lengan kemeja Dewa dan pria itu semakin mengeratkan tautan di tangannya, mencoba menenangkan dengan bahasa tubuhnya.Deg deg degSaat ini jantung Dewa pun sejujurnya sedang berdebar kencang, akibat keputusannya membawa Cinta di hadapan kedua orang tuanya. Dewa bahkan harus mengajak Cinta untuk berbohong, "Cin, nanti kalau aku bilang kamu sudah hamil anak—""—Apa?! Nggak mau ah!""Ssttt...! Ini demi kebaikan kita berdua juga, Sayang. Biar Papa sama Mama cepat kasih izin." Membuat Cinta tersentak, menolak mentah-mentah pendapat itu dan Dewa harus kembali merayunya.Dewa mengatakan tujuannya, namun Cinta merasa hal tersebut terlalu berlebihan, "Tapi nggak kayak gitu juga kali, Wa. Aku kan malu!"Usaha pun terus saja Dewa lakukan tanpa kenal lelah, "Nggak usah malu, Yang. Papa sama Mama baik kok. Nanti kalau ditanya berapa bulan, kamu bilang aja udah tiga minggu terus kalau di tany
"Gimana tadi? Bener kan yang aku bilang, Sayang? Papa dan Mama itu memang aslinya baik kok. Bukan karena aku ini anak kandungnya, tapi ya memang mereka dari dulu begitu. Baik sama semua orang, bahkan yang baru dikenal sekalipun," ujar Dewa mengeratkan pelukannya di tubuh Cinta yang memunggunginya. Surai hitam legam yang panjang itu pun menjadi sasaran Dewa, menikmati aroma Stroberi dari sana.Cinta belum menjawabnya hingga beberapa detik, namun setelah tangan Dewa semakin naik hingga ke atas perutnya, sejumlah kalimat yang sejak tadi ada di kepalanya pun menguap juga, "Kita berbohong dan mungkin aja kebaikan itu karena mereka pikir aku beneran hamil, Wa. Aku harus bagaimana sekarang?"Tentu saja rencana untuk memancing birahi Cinta, gagal Dewa lakukan seiring dengan gerakan tangannya yang terhenti. Ia lantas memaksa kekasihnya untuk berbalik dan saling berhadapan, lalu tanpa jawaban bibir merekah itu kembali dilumat habis olehnya.Tak ada perlawanan yan
"Saya terima nikah dan kawinnya Cinta Andini binti Muhammad Akbar dengan mas kawinnya yang tersebut tunai!""Bagaimana, Pak?""Sah?""SAHHH...!""Alhamdulillah..."Sah. Satu kata itu dengan cepat merasuk di dalam relung jiwa Cinta, juga merusak dandanan tukang rias pengantin akibat lelehan air matanya, namun tidak menjadi persoalan untuk Kemuning yang berada tepat di sebelahnya. Sangat lumrah hal itu di mata tuanya, sebab ia pun melakukannya saat Raja mengucapkan ijab qobul atas pernikahan mereka berdua.Kemuning sendiri juga sempat menitikkan air mata, tetapi tidak berlama-lama seperti yang dilakukan oleh menantunya. Ya, Cinta Andini sudah resmi menjadi bagian dari keluarga Djatmiko saat ini dan dia adalah menantu satu-satunya, karena memang Dewa adalah anak tunggal.Kebahagiaan terpancar jelas dari wajah Kemuning, dan untuk Raja sendiri, ia tetap saja sama seperti yang sudah-sudah, menyimpan kegembiraan itu da
"Yah, gimana ini? Mama barusan telepon, katanya mau bikin acara pengajian empat bulanan kandungan Bunda gitu, Yah. Gimana ini?" ujar Cinta di ujung telepon, saat suara Dewa sudah terdengar menyapa istrinya itu.Suara Cinta terdengar menggebu, bahkan cenderung mengkhawatirkan di telinga Dewa.Alhasil setelah menarik napas sedalam mungkin, Dewa mencoba menangkan Cinta dengan berniat untuk menceritakan segalanya pada kedua orang tuanya, "Tenang dulu ya, Bunda. Nanti biar Ayah aja yang ngomong soal kebohongan kita selama ini."Sayangnya bahasa yang Dewa gunakan begitu sensitif di telinga Cinta, menyebabkan wanita itu bersuara tegas, "Enak aja kebohongan kita! Aku nggak pernah setuju sama ide ini kan waktu itu?"Dewa yang kikuk, tak urung sedikit menjauh ponsel genggamnya sembari menukar karbon dioksida dari dalam paru-paru. Dewa secepat kilat berpikir di sana, dan menenangkan adalah cara yang ia pilih, "Bunda sayang, sabar ya? Jangan marah-marah dulu
Dewa mengandeng mesra tangan Cinta memasuki koridor sebuah Rumah Sakit Ibu dan Anak di bilangan Jakarta Pusat. Cinta merasa ada yang aneh dengan perlakuan Dewa padanya hari itu, namun ia memilih untuk diam tanpa mau repot-repot bertanya satu pertanyaan pun.Di satu tangannya yang bebas pun terdapat satu cup Bubble Tea, hasil dari memaksa tanpa henti dari Cinta pada Dewa, jadi saat itu, menikmati jerih payah merengeknya adalah hal terbaik daripada harus repot-repot berbicara menurutnya.Dewa pun tak berniat untuk berkata-kata lagi setelah tenaganya habis berdebat dengan Cinta untuk segelas Bubble Tea yang di dalamnya terdapat banyak campura bola tapioka, karena ia begitu yakin jika keras kepala istrinya itu terjadi akibat sesuatu dari dalam perut datarnya.Nyaris tiga menit berjalan di koridor Rumah Sakit, pada akhirnya keduanya pun sampai di depan poli Ibu dan anak. Di sana Dewa mendaftar, lalu mengajak Cinta untuk duduk d
Pulang dari Rumah Sakit, Dewa ternyata tidak menepati janjinya untuk melanjutkan permainan panas mereka yang sempat tertunda. Semua bukan tanpa alasan, karena Cinta memilih masuk ke dalam kamar dan tidur dengan posisi membelakangi sang suami yang sedang berganti pakaian.Alih-alih bergelung, memeluk dan memberi umpan seperti biasanya, Dewa bahkan membiarkan Cinta di sana. Ia mengambil ponsel yang sempat diletakkan di atas meja nakas dan mencari nomor kontak sekretarisnya, dengan maksud untuk menghubunginya."Halo, Pak Dewa. Ada yang bisa saya bantu?""Tolong bawakan laptop kerja saya yang di atas meja itu ke apartemen, Mil. Masukin ke dalam tas kerja, terus anterin sekarang karena istri saya lagi nggak enak badan. Kamu suruh aja Pak Warjito di lobi yang anterin, biar nggak menunda kerjaan penting lainnya," sahut Dewa ketika sambungan telepon sudah dijawab.Sang sekretari
Membawa pulang pizza tanpa toping yang menjadi pesanan Cinta, Dewa tampak begitu senang karena di isi kepalanya tercecar segala penjelasan dari manager wanita di outlet makanan cepat saji tadi, bahwa bisa jadi saat ini istrinya sedang mengandung.Naik ke dalam lift dan menekan dua buah angka pada panel tombol di dekat pintu, senyuman manis tak luntur dari wajah tampan Dewa.Doa dan sejumlah harapan juga ikut hadir di sepanjang naiknya lift ke atas, sebab dengan begitu Dewa tak perlu mengarang bebas tentang kehamilan cinta lagi.Namun, tetap saja, pikiran negatif itu ada dan bergumul seperti benang kusut di kepala Dewa, “Tapi gimana ya kalau ternyata nggak hamil kayak kemarin itu? Apa alat USG di tempat Dokter Nurul itu salah?”Satu demi satu rasa senang berganti di sana, tapi tidak hilang melainkan hanya berubah menjadi was-was
Selesai menikmati makan siang yang sengaja Dewa minta dari Cinta, ia tidak membiarkan istrinya itu pulang ke apartemen diantar oleh Pak Parjo, supir kantornya. Sejumlah rencana sudah bertengger cantik di isi kepalanya, dan kali ini harus terealisasi bagaimana pun caranya.Hal tersebut tentu saja menjadi satu tanda tanya besar untuk Cinta, "Lho, Yah! Ini kan bukan jalan menuju ke apartemen kita."Jadi mau tak mau Dewa harus menjelaskannya, daripada harus mendengarkan pertanyaan yang sama dari bibir Cinta terus menerus tanpa henti, "Iya, Bun. Kita ke dokter sebentar ya?""Ke dokter? Ngapain?" Namun, bukan kelegaan yang lantas diterima oleh Dewa setelah itu, melainkan pertanyaan lanjutan akibat rasa penasaran dalam diri Cinta.Dengan ent
"Kenapa kamu nggak jujur sama papa selama ini, Dewa? Mau tahu apa? Sekarang si Haris sialan itu minta supaya jabatannya dinaikkan jadi direktur personalia!""Apa?! Enak aja! Nggak bisa gitu dong, Pa! Dia itu kan--""--Dia itu apa, hah? Dia mengancam akan menyebarkan semua cerita dan bukti-bukti berupa foto kalau Cinta pernah bekerja di rumah pelacuran! Muka papa ini mau taruh di mana? Mau taruh di mana, Dewa? Mau taruh di manaaa...?" Amarah Raja tak terkendali lagi, ketika meminta sang putra datang menemuinya di kediamannya.Sungguh ini bukanlah bagian dari semua yang telah Dewa pikirkan beberapa saat lalu saat berada di atas mobilnya, karena ia sama sekali tidak mengira jika Haris Denandra akan melakukan hal tersebut.Rona merah padam yang tergambar jelas di wajah Raja merupakan penggambaran betapa Dewa sudah sangat bersalah atas semua kebohongan ciptaannya, "Kalau gitu biar aku mundur aja dari kantor, Pa
"Selamat ya, Mba Cinta. Kali ini memang perutnya sudah ada isinya," ujar Dokter Nurul dengan mata berbinar-binar."Alhamdulilah ... Serius ini, Dok?" Membuat Dewa menurunkan seluruh tubuhnya ke lantai dan segera bersujud disertai suara tanya yang menggelegar. Ia melakukan itu bukan tanpa alasan, sebab menurutnya ini adalah bukti bahwa sang penciptaasih berpihak padanya.'Terima kasih ya Robbb... Jadi kami nggak perlu berbohong lagi sama papa dan mama setelah ini.' Dan Cinta pun merasa demikian, karena memang selama ini hatinya selalu merasa tertekan tentang kebohongan yang telah mereka ciptakan.Membersihkan sisa ultrasonic gel di perut Cinta dengan menggunakan tisu, Dokter Nurul pun menjelaskan semuanya di sana.Sewa dan Cin
"Ini pasti Cinta ya? Apa kabarnya nih? Duh, cantik banget, sihhh... Pantesan si Dewa tergila-gila," ujar Padma ketika pertama kali berkenalan secara langsung dengan ipar cantinya itu."Ah, Mba Padma bisa aja. Jadi malu saya mah." Dan berhasil membuat kedua pipi putih Cinta merona merah, "Gimana kab-- Hoek hoekkk...!" Tetapi hal tersebut tak berlangsung lama, sebab rasa mual kembali muncul di sana seperti beberapa saat lalu.Tak urung Padma pun segera menuntun Cinta untuk keluar dari dapur menuju ke kamar mandi, membuat Dewa yang berada di ruang keluarga bersama Goris pun menjadi tersentak, "Ada apa, Pad?"Tanpa permisi Dewa meninggalkan Goris di sana sendirian, dan ia pun mendapatkan jawaban dari Padma, "Nggak kenapa-napa, Wa. Mual aja, biasa."Dewa pun berharap agar Padma segera menangani keluhannya tentang keanehan yang ada pada diri Cinta, dan kedunya obrolan kecil di depan pintu kamar mandi,"Habis ini tolong langsung diperiksa dulu dong, Pad. Aku kan
Selesai menikmati makan siang yang sengaja Dewa minta dari Cinta, ia tidak membiarkan istrinya itu pulang ke apartemen diantar oleh Pak Parjo, supir kantornya. Sejumlah rencana sudah bertengger cantik di isi kepalanya, dan kali ini harus terealisasi bagaimana pun caranya.Hal tersebut tentu saja menjadi satu tanda tanya besar untuk Cinta, "Lho, Yah! Ini kan bukan jalan menuju ke apartemen kita."Jadi mau tak mau Dewa harus menjelaskannya, daripada harus mendengarkan pertanyaan yang sama dari bibir Cinta terus menerus tanpa henti, "Iya, Bun. Kita ke dokter sebentar ya?""Ke dokter? Ngapain?" Namun, bukan kelegaan yang lantas diterima oleh Dewa setelah itu, melainkan pertanyaan lanjutan akibat rasa penasaran dalam diri Cinta.Dengan ent
Membawa pulang pizza tanpa toping yang menjadi pesanan Cinta, Dewa tampak begitu senang karena di isi kepalanya tercecar segala penjelasan dari manager wanita di outlet makanan cepat saji tadi, bahwa bisa jadi saat ini istrinya sedang mengandung.Naik ke dalam lift dan menekan dua buah angka pada panel tombol di dekat pintu, senyuman manis tak luntur dari wajah tampan Dewa.Doa dan sejumlah harapan juga ikut hadir di sepanjang naiknya lift ke atas, sebab dengan begitu Dewa tak perlu mengarang bebas tentang kehamilan cinta lagi.Namun, tetap saja, pikiran negatif itu ada dan bergumul seperti benang kusut di kepala Dewa, “Tapi gimana ya kalau ternyata nggak hamil kayak kemarin itu? Apa alat USG di tempat Dokter Nurul itu salah?”Satu demi satu rasa senang berganti di sana, tapi tidak hilang melainkan hanya berubah menjadi was-was
Pulang dari Rumah Sakit, Dewa ternyata tidak menepati janjinya untuk melanjutkan permainan panas mereka yang sempat tertunda. Semua bukan tanpa alasan, karena Cinta memilih masuk ke dalam kamar dan tidur dengan posisi membelakangi sang suami yang sedang berganti pakaian.Alih-alih bergelung, memeluk dan memberi umpan seperti biasanya, Dewa bahkan membiarkan Cinta di sana. Ia mengambil ponsel yang sempat diletakkan di atas meja nakas dan mencari nomor kontak sekretarisnya, dengan maksud untuk menghubunginya."Halo, Pak Dewa. Ada yang bisa saya bantu?""Tolong bawakan laptop kerja saya yang di atas meja itu ke apartemen, Mil. Masukin ke dalam tas kerja, terus anterin sekarang karena istri saya lagi nggak enak badan. Kamu suruh aja Pak Warjito di lobi yang anterin, biar nggak menunda kerjaan penting lainnya," sahut Dewa ketika sambungan telepon sudah dijawab.Sang sekretari
Dewa mengandeng mesra tangan Cinta memasuki koridor sebuah Rumah Sakit Ibu dan Anak di bilangan Jakarta Pusat. Cinta merasa ada yang aneh dengan perlakuan Dewa padanya hari itu, namun ia memilih untuk diam tanpa mau repot-repot bertanya satu pertanyaan pun.Di satu tangannya yang bebas pun terdapat satu cup Bubble Tea, hasil dari memaksa tanpa henti dari Cinta pada Dewa, jadi saat itu, menikmati jerih payah merengeknya adalah hal terbaik daripada harus repot-repot berbicara menurutnya.Dewa pun tak berniat untuk berkata-kata lagi setelah tenaganya habis berdebat dengan Cinta untuk segelas Bubble Tea yang di dalamnya terdapat banyak campura bola tapioka, karena ia begitu yakin jika keras kepala istrinya itu terjadi akibat sesuatu dari dalam perut datarnya.Nyaris tiga menit berjalan di koridor Rumah Sakit, pada akhirnya keduanya pun sampai di depan poli Ibu dan anak. Di sana Dewa mendaftar, lalu mengajak Cinta untuk duduk d
"Yah, gimana ini? Mama barusan telepon, katanya mau bikin acara pengajian empat bulanan kandungan Bunda gitu, Yah. Gimana ini?" ujar Cinta di ujung telepon, saat suara Dewa sudah terdengar menyapa istrinya itu.Suara Cinta terdengar menggebu, bahkan cenderung mengkhawatirkan di telinga Dewa.Alhasil setelah menarik napas sedalam mungkin, Dewa mencoba menangkan Cinta dengan berniat untuk menceritakan segalanya pada kedua orang tuanya, "Tenang dulu ya, Bunda. Nanti biar Ayah aja yang ngomong soal kebohongan kita selama ini."Sayangnya bahasa yang Dewa gunakan begitu sensitif di telinga Cinta, menyebabkan wanita itu bersuara tegas, "Enak aja kebohongan kita! Aku nggak pernah setuju sama ide ini kan waktu itu?"Dewa yang kikuk, tak urung sedikit menjauh ponsel genggamnya sembari menukar karbon dioksida dari dalam paru-paru. Dewa secepat kilat berpikir di sana, dan menenangkan adalah cara yang ia pilih, "Bunda sayang, sabar ya? Jangan marah-marah dulu
"Saya terima nikah dan kawinnya Cinta Andini binti Muhammad Akbar dengan mas kawinnya yang tersebut tunai!""Bagaimana, Pak?""Sah?""SAHHH...!""Alhamdulillah..."Sah. Satu kata itu dengan cepat merasuk di dalam relung jiwa Cinta, juga merusak dandanan tukang rias pengantin akibat lelehan air matanya, namun tidak menjadi persoalan untuk Kemuning yang berada tepat di sebelahnya. Sangat lumrah hal itu di mata tuanya, sebab ia pun melakukannya saat Raja mengucapkan ijab qobul atas pernikahan mereka berdua.Kemuning sendiri juga sempat menitikkan air mata, tetapi tidak berlama-lama seperti yang dilakukan oleh menantunya. Ya, Cinta Andini sudah resmi menjadi bagian dari keluarga Djatmiko saat ini dan dia adalah menantu satu-satunya, karena memang Dewa adalah anak tunggal.Kebahagiaan terpancar jelas dari wajah Kemuning, dan untuk Raja sendiri, ia tetap saja sama seperti yang sudah-sudah, menyimpan kegembiraan itu da