"Wa, aku takut," ujar Cinta masih menarik lengan kemeja Dewa dan pria itu semakin mengeratkan tautan di tangannya, mencoba menenangkan dengan bahasa tubuhnya.
Deg deg deg
Saat ini jantung Dewa pun sejujurnya sedang berdebar kencang, akibat keputusannya membawa Cinta di hadapan kedua orang tuanya. Dewa bahkan harus mengajak Cinta untuk berbohong, "Cin, nanti kalau aku bilang kamu sudah hamil anak—"
"—Apa?! Nggak mau ah!"
"Ssttt...! Ini demi kebaikan kita berdua juga, Sayang. Biar Papa sama Mama cepat kasih izin." Membuat Cinta tersentak, menolak mentah-mentah pendapat itu dan Dewa harus kembali merayunya.
Dewa mengatakan tujuannya, namun Cinta merasa hal tersebut terlalu berlebihan, "Tapi nggak kayak gitu juga kali, Wa. Aku kan malu!"
Usaha pun terus saja Dewa lakukan tanpa kenal lelah, "Nggak usah malu, Yang. Papa sama Mama baik kok. Nanti kalau ditanya berapa bulan, kamu bilang aja udah tiga minggu terus kalau di tanya kerja di mana, bilang juga kalau kamu Mahasiswi gitu. Kalau Papa tanya kampusnya di mana, kamu—"
"—Di kampus biasa aja. Jangan ngarang di kampus elite atau di kampus negeri karena belum tentu nanti aku bisa masuk ke sana."
"Lha, pesimis amat."
"Aku udah lima tahun di luar, Dewa. Beda sama kamu yang otaknya masih panas gitu efek sering dipakai."
"Panas? Dipakai? Yang bawah ini juga suka panas lho, Yang. Malah aku pakai terus kalau pas ketemu sama kamu."
"Dasar mesum! Gituan melulu yang ada di otaknya!"
"Haha... I love you, Cinta Andini. You're my one and only. Forever, Baby."
"Alah, gombal!"
"Aduh, makin ngegemesin deh. Pengen aku terkam aja seka—"
"—Ehem!" Sampai akhirnya kedua orang tua Dewa muncul dari balik sekat tembok dan keduanya pun berhenti berbincang.
Deg deg deg
Dewa kembali merasakan debar-debar yang tadi sempat menderanya, bahkan membuat telapak tangannya menjadi basah kini. Ia berusaha untuk berbasa basi busuk seperti biasanya ketika ia melakukan kesalahan, "Eh, ada Papa sama Mama. Maaf ya, Pa? Tadi Dewa—"
"—Kamu masih niat kerja atau enggak, hm? Kan tadi Papa udah bilang rapat itu penting sekali untuk perusahaan kita, Dewa! Kenapa kamu nggak datang, heh? Kelayapan sampai malam gini baru pulang lagi! Dari mana aja kamu?!" Tetapi Raja lebih dulu memotong ucapannya, mencecar dengan sejumlah kalimat pedas.
Sampai-sampai Kemuning yang melahirkan pun angkat bicara sembari menatap ke arah Cinta, "Udah, Pa. Biar anaknya istirahat sebentar kenapa, sih? Baru juga datang dia."
"Jangan dibela terus, Ma! Dia sudah bukan anak kecil lagi kan?" Namun lagi-lagi suara tegas Raja kembali terdengar dan pemandangan di depannya terasa menyiksa bagi Dewa.
Dewa terbata, meninggalkan dua kata saja di sana, "An..nu, Pa."
"Anu apa?! Kenapa kamu diam aja? Cepat bicara!" Menyebabkan amarah Raja kian menjalar hingga ke ubun-ubun.
Dewa menyempatkan diri untuk menatap sekilas wajah cantik Cinta, lalu dengan terbata dirinya mengutarakan kebohongan tersebut, "Pacar Dewa hamil, Pa. Jadi—"
"—APA?!" Membuahkan keterkejutan yang sama dari bibir kedua orang tuanya. Raja bahkan nyaris menggerakkan tangan, tapi dengan cekatan Kemuning mencengkeramnya.
Pria paruh baya itu menoleh ke arah sang istri, dan dari arah samping, tampak jelas bagaimana rahangnya mengeras menahan amarah yang siap terlontar.
"Maaf, Pa. Makanya tadi Dewa nggak bisa ikutan rapat di kantor Papa itu. Soalnya Cinta pingsan dan Dewa bawa ke klinik gitu," dusta Dewa mengambil telapak tangan Cinta untuk ia genggam. Tubuh wanita di sampingnya itu juga ikut menegang, untuk hal yang sama sekali belum pernah dirasakannya.
"Te..terus?" Pertanyaan tersebut, lahir dari bibir Kemuning yang begitu kecewa, namun harus berpura-pura kuat di depan dua lelaki kesayangannya.
Benar saja. Raja pada akhirnya bersuara keras, namun tidak disertai gerakannya yang mulai mengendur akibat bahasa tubuh kemuning, "Terus ya apalagi, Ma? Sudah berapa bulan, hm? Astaga, Dewa! Kamu baru satu bulan lebih pulang ke Jakarta udah bikin perkara kayak begini! Memangnya hubungan kalian sudah berapa lama, sih?"
Kata-kata Raja yang sudah terbiasa hidup dengan mencecar para bawahannya di kantor, sebetulnya tidak berlaku malam itu, namun entah mengapa ia berhasil membuat Cinta menjadi tertunduk dalam.
Sembari tetap menautkan jemarinya, Dewa terus saja menyalurkan kekuatan untuk Cinta, terlebih ketika sedikit kejujuran ikut mengambil bagian, "Kami sudah sama-sama lima tahun lebih, Pa. Dari Dewa lulus SMA pacarannya."
Ada rasa lega untuk Cinta walaupun hanya sedikit, tetapi degupan jantungnya belum kembali normal seperti sedia kala.
Kemuning yang sadar atas kecanggungan, berusaha untuk menebar vaksin cair berisi lelehan rasa sabar, "Kok Mama nggak tahu, Mas?"
"Anu, Ma. Dewa takut dimarahin soalnya belum lulus kuliah." Dan lahirlah keberanian Dewa untuk bersuara sekali lagi.
"Oh jadi kalau udah lulus, baru boleh dibawa ke sini sekaligus dihamili begitu?! Anak kurang ajar kamu! Apa kata orang tuanya nanti, Dewa!"
Kendati Raja tampaknya belum ingin menurunkan volume suara, Dewa masih saja mencari celah terbaik untuk kelanjutan hubungannya dengan Cinta, "Dia udah nggak punya orang tua, Pa. Ibu Bapaknya—"
"—Maaf. Ibu pergi ninggalin Bapak sama saya waktu masih bayi, Om. Sudah dua puluh empat tahun saya nggak pernah ketemu sama Ibu. Kalau Bapak, sudah meninggal dari empat tahun lalu. Kena penyakit gula, Om. Maaf sudah nyusahin Om dan Tante." Dewa mencoba kembali mengarang bebas tentang Cinta, namun wanita di sampingnya memilih untuk berkata jujur, mengenai bagaimana silsilah di keluarganya yang memalukan.
Wajah Cinta pun bersirobok dengan kecantikan Kemuning yang tetap terlihat segar meski sudah tak muda lagi, membuat wanita paruh baya itu menaruh iba berukuran besar untuknya.
Kemuning lebih dulu mengesampingkan ego, menegur Cinta dengan sejumlah pertanyaan, "Siapa namamu, Nduk? Tadi si Mas udah ngajak makan belum? Ayo ikut Mama yuk. Tadi Mama sama Mbok Rin bikin kue sus. Itu kesukaannya Masmu ini. Ayo cepat. Biar sekalian Mama buatin susu coklat ya? Jalannya lewat sini."
Hanya Dewa sendirilah keturunan yang bisa ia hadirkan ke dunia ini setelah berulang kali mengalami keguguran, menjadikan rasa sakit menjalar pelan di dalam hati Raja untuk istrinya, "Hemmm... Sudah puas?"
Dewa bukan tak mengerti akan hal itu, tetapi menurutnya memang sudah tidak ada cara lain yang bisa ia gunakan ketika berbicara tentang masa lalu Cinta, "Maaf, Pa. Dewa—"
"—Cepat nikahi dia! Jangan kamu tunggangi terus dan bikin Papa sama Mama lebih malu lagi! Urus semuanya sesuai dengan keinginan Mamamu, tapi jangan bikin dia termasuk pacarmu itu kecapean!" Alhasil, satu keputusan yang diidam-idamkan, kini sudah berada dalam genggaman tangan Dewa, setelah rasa emosional coba Raja keluarkan.
Gegap gempita menyeruak, mengubah awan kelabu yang sempat mengepul gelap di permukaan, "Makasih, Pa! Siap-siap."
"Sudah selesai kan? Sana samperin. Suruh Mama anterin kopi ke ruangan kerja Papa!" Menghadirkan seulas senyum samar tanpa rasa yang terus disembunyikan oleh Raja. Ia tak ingin mempertahankan ego untuk Kemuning dan hati lembutnya.
Dewa bersyukur bahwa segala perkara semakin menemukan muaranya, "Iya, Pa. Sekali lagi makasih banyak. Maaf Dewa belum bisa ngasih yang terbaik untuk Papa. Dewa—"
"—Jadilah ayah yang baik untuk anakmu. Cuma itu yang Papa harapkan dari kamu. Dengar?" Namun tidak untuk Raja yang masih menyimpan prasangka.
Begitu banyak tanda tanya yang belum mendapat penjelasan cukup versi dirinya pribadi, tetapi tidak jika harus menghasilkan kekecewaan untuk Dewa, terlebih lagi Kemuning, "Iya, Pa. Dengar."
Tak ingin menjadi-jadi, kaki tua Raja pun berlalu menuju ke ruangan kerjanya di sayap kanan rumah, "Ya sudah sana."
Dewa mengabaikan punggung sang ayah yang masih terlihat dari tempatnya berdiri tadi, sebab mencari di mana keberadaan dua wanita kesayangannya akan lebih baik daripada harus berkutat dengan rasa bersalah.
"Maaf ya, Ma? Pa? Dewa nggak bermaksud untuk ngebohongin kalian berdua, karena Dewa yakin habis ini Cinta pasti bakalan secepatnya hamil dan ngasih cucu yang banyak." Melupakan kebiasaan lama yang sudah membumi, bahwa berjuta kepalsuan akan tercipta, untuk menutupi kebohongan diri sebelumnya.
"Gimana tadi? Bener kan yang aku bilang, Sayang? Papa dan Mama itu memang aslinya baik kok. Bukan karena aku ini anak kandungnya, tapi ya memang mereka dari dulu begitu. Baik sama semua orang, bahkan yang baru dikenal sekalipun," ujar Dewa mengeratkan pelukannya di tubuh Cinta yang memunggunginya. Surai hitam legam yang panjang itu pun menjadi sasaran Dewa, menikmati aroma Stroberi dari sana.Cinta belum menjawabnya hingga beberapa detik, namun setelah tangan Dewa semakin naik hingga ke atas perutnya, sejumlah kalimat yang sejak tadi ada di kepalanya pun menguap juga, "Kita berbohong dan mungkin aja kebaikan itu karena mereka pikir aku beneran hamil, Wa. Aku harus bagaimana sekarang?"Tentu saja rencana untuk memancing birahi Cinta, gagal Dewa lakukan seiring dengan gerakan tangannya yang terhenti. Ia lantas memaksa kekasihnya untuk berbalik dan saling berhadapan, lalu tanpa jawaban bibir merekah itu kembali dilumat habis olehnya.Tak ada perlawanan yan
"Saya terima nikah dan kawinnya Cinta Andini binti Muhammad Akbar dengan mas kawinnya yang tersebut tunai!""Bagaimana, Pak?""Sah?""SAHHH...!""Alhamdulillah..."Sah. Satu kata itu dengan cepat merasuk di dalam relung jiwa Cinta, juga merusak dandanan tukang rias pengantin akibat lelehan air matanya, namun tidak menjadi persoalan untuk Kemuning yang berada tepat di sebelahnya. Sangat lumrah hal itu di mata tuanya, sebab ia pun melakukannya saat Raja mengucapkan ijab qobul atas pernikahan mereka berdua.Kemuning sendiri juga sempat menitikkan air mata, tetapi tidak berlama-lama seperti yang dilakukan oleh menantunya. Ya, Cinta Andini sudah resmi menjadi bagian dari keluarga Djatmiko saat ini dan dia adalah menantu satu-satunya, karena memang Dewa adalah anak tunggal.Kebahagiaan terpancar jelas dari wajah Kemuning, dan untuk Raja sendiri, ia tetap saja sama seperti yang sudah-sudah, menyimpan kegembiraan itu da
"Yah, gimana ini? Mama barusan telepon, katanya mau bikin acara pengajian empat bulanan kandungan Bunda gitu, Yah. Gimana ini?" ujar Cinta di ujung telepon, saat suara Dewa sudah terdengar menyapa istrinya itu.Suara Cinta terdengar menggebu, bahkan cenderung mengkhawatirkan di telinga Dewa.Alhasil setelah menarik napas sedalam mungkin, Dewa mencoba menangkan Cinta dengan berniat untuk menceritakan segalanya pada kedua orang tuanya, "Tenang dulu ya, Bunda. Nanti biar Ayah aja yang ngomong soal kebohongan kita selama ini."Sayangnya bahasa yang Dewa gunakan begitu sensitif di telinga Cinta, menyebabkan wanita itu bersuara tegas, "Enak aja kebohongan kita! Aku nggak pernah setuju sama ide ini kan waktu itu?"Dewa yang kikuk, tak urung sedikit menjauh ponsel genggamnya sembari menukar karbon dioksida dari dalam paru-paru. Dewa secepat kilat berpikir di sana, dan menenangkan adalah cara yang ia pilih, "Bunda sayang, sabar ya? Jangan marah-marah dulu
Dewa mengandeng mesra tangan Cinta memasuki koridor sebuah Rumah Sakit Ibu dan Anak di bilangan Jakarta Pusat. Cinta merasa ada yang aneh dengan perlakuan Dewa padanya hari itu, namun ia memilih untuk diam tanpa mau repot-repot bertanya satu pertanyaan pun.Di satu tangannya yang bebas pun terdapat satu cup Bubble Tea, hasil dari memaksa tanpa henti dari Cinta pada Dewa, jadi saat itu, menikmati jerih payah merengeknya adalah hal terbaik daripada harus repot-repot berbicara menurutnya.Dewa pun tak berniat untuk berkata-kata lagi setelah tenaganya habis berdebat dengan Cinta untuk segelas Bubble Tea yang di dalamnya terdapat banyak campura bola tapioka, karena ia begitu yakin jika keras kepala istrinya itu terjadi akibat sesuatu dari dalam perut datarnya.Nyaris tiga menit berjalan di koridor Rumah Sakit, pada akhirnya keduanya pun sampai di depan poli Ibu dan anak. Di sana Dewa mendaftar, lalu mengajak Cinta untuk duduk d
Pulang dari Rumah Sakit, Dewa ternyata tidak menepati janjinya untuk melanjutkan permainan panas mereka yang sempat tertunda. Semua bukan tanpa alasan, karena Cinta memilih masuk ke dalam kamar dan tidur dengan posisi membelakangi sang suami yang sedang berganti pakaian.Alih-alih bergelung, memeluk dan memberi umpan seperti biasanya, Dewa bahkan membiarkan Cinta di sana. Ia mengambil ponsel yang sempat diletakkan di atas meja nakas dan mencari nomor kontak sekretarisnya, dengan maksud untuk menghubunginya."Halo, Pak Dewa. Ada yang bisa saya bantu?""Tolong bawakan laptop kerja saya yang di atas meja itu ke apartemen, Mil. Masukin ke dalam tas kerja, terus anterin sekarang karena istri saya lagi nggak enak badan. Kamu suruh aja Pak Warjito di lobi yang anterin, biar nggak menunda kerjaan penting lainnya," sahut Dewa ketika sambungan telepon sudah dijawab.Sang sekretari
Membawa pulang pizza tanpa toping yang menjadi pesanan Cinta, Dewa tampak begitu senang karena di isi kepalanya tercecar segala penjelasan dari manager wanita di outlet makanan cepat saji tadi, bahwa bisa jadi saat ini istrinya sedang mengandung.Naik ke dalam lift dan menekan dua buah angka pada panel tombol di dekat pintu, senyuman manis tak luntur dari wajah tampan Dewa.Doa dan sejumlah harapan juga ikut hadir di sepanjang naiknya lift ke atas, sebab dengan begitu Dewa tak perlu mengarang bebas tentang kehamilan cinta lagi.Namun, tetap saja, pikiran negatif itu ada dan bergumul seperti benang kusut di kepala Dewa, “Tapi gimana ya kalau ternyata nggak hamil kayak kemarin itu? Apa alat USG di tempat Dokter Nurul itu salah?”Satu demi satu rasa senang berganti di sana, tapi tidak hilang melainkan hanya berubah menjadi was-was
Selesai menikmati makan siang yang sengaja Dewa minta dari Cinta, ia tidak membiarkan istrinya itu pulang ke apartemen diantar oleh Pak Parjo, supir kantornya. Sejumlah rencana sudah bertengger cantik di isi kepalanya, dan kali ini harus terealisasi bagaimana pun caranya.Hal tersebut tentu saja menjadi satu tanda tanya besar untuk Cinta, "Lho, Yah! Ini kan bukan jalan menuju ke apartemen kita."Jadi mau tak mau Dewa harus menjelaskannya, daripada harus mendengarkan pertanyaan yang sama dari bibir Cinta terus menerus tanpa henti, "Iya, Bun. Kita ke dokter sebentar ya?""Ke dokter? Ngapain?" Namun, bukan kelegaan yang lantas diterima oleh Dewa setelah itu, melainkan pertanyaan lanjutan akibat rasa penasaran dalam diri Cinta.Dengan ent
"Ini pasti Cinta ya? Apa kabarnya nih? Duh, cantik banget, sihhh... Pantesan si Dewa tergila-gila," ujar Padma ketika pertama kali berkenalan secara langsung dengan ipar cantinya itu."Ah, Mba Padma bisa aja. Jadi malu saya mah." Dan berhasil membuat kedua pipi putih Cinta merona merah, "Gimana kab-- Hoek hoekkk...!" Tetapi hal tersebut tak berlangsung lama, sebab rasa mual kembali muncul di sana seperti beberapa saat lalu.Tak urung Padma pun segera menuntun Cinta untuk keluar dari dapur menuju ke kamar mandi, membuat Dewa yang berada di ruang keluarga bersama Goris pun menjadi tersentak, "Ada apa, Pad?"Tanpa permisi Dewa meninggalkan Goris di sana sendirian, dan ia pun mendapatkan jawaban dari Padma, "Nggak kenapa-napa, Wa. Mual aja, biasa."Dewa pun berharap agar Padma segera menangani keluhannya tentang keanehan yang ada pada diri Cinta, dan kedunya obrolan kecil di depan pintu kamar mandi,"Habis ini tolong langsung diperiksa dulu dong, Pad. Aku kan
"Kenapa kamu nggak jujur sama papa selama ini, Dewa? Mau tahu apa? Sekarang si Haris sialan itu minta supaya jabatannya dinaikkan jadi direktur personalia!""Apa?! Enak aja! Nggak bisa gitu dong, Pa! Dia itu kan--""--Dia itu apa, hah? Dia mengancam akan menyebarkan semua cerita dan bukti-bukti berupa foto kalau Cinta pernah bekerja di rumah pelacuran! Muka papa ini mau taruh di mana? Mau taruh di mana, Dewa? Mau taruh di manaaa...?" Amarah Raja tak terkendali lagi, ketika meminta sang putra datang menemuinya di kediamannya.Sungguh ini bukanlah bagian dari semua yang telah Dewa pikirkan beberapa saat lalu saat berada di atas mobilnya, karena ia sama sekali tidak mengira jika Haris Denandra akan melakukan hal tersebut.Rona merah padam yang tergambar jelas di wajah Raja merupakan penggambaran betapa Dewa sudah sangat bersalah atas semua kebohongan ciptaannya, "Kalau gitu biar aku mundur aja dari kantor, Pa
"Selamat ya, Mba Cinta. Kali ini memang perutnya sudah ada isinya," ujar Dokter Nurul dengan mata berbinar-binar."Alhamdulilah ... Serius ini, Dok?" Membuat Dewa menurunkan seluruh tubuhnya ke lantai dan segera bersujud disertai suara tanya yang menggelegar. Ia melakukan itu bukan tanpa alasan, sebab menurutnya ini adalah bukti bahwa sang penciptaasih berpihak padanya.'Terima kasih ya Robbb... Jadi kami nggak perlu berbohong lagi sama papa dan mama setelah ini.' Dan Cinta pun merasa demikian, karena memang selama ini hatinya selalu merasa tertekan tentang kebohongan yang telah mereka ciptakan.Membersihkan sisa ultrasonic gel di perut Cinta dengan menggunakan tisu, Dokter Nurul pun menjelaskan semuanya di sana.Sewa dan Cin
"Ini pasti Cinta ya? Apa kabarnya nih? Duh, cantik banget, sihhh... Pantesan si Dewa tergila-gila," ujar Padma ketika pertama kali berkenalan secara langsung dengan ipar cantinya itu."Ah, Mba Padma bisa aja. Jadi malu saya mah." Dan berhasil membuat kedua pipi putih Cinta merona merah, "Gimana kab-- Hoek hoekkk...!" Tetapi hal tersebut tak berlangsung lama, sebab rasa mual kembali muncul di sana seperti beberapa saat lalu.Tak urung Padma pun segera menuntun Cinta untuk keluar dari dapur menuju ke kamar mandi, membuat Dewa yang berada di ruang keluarga bersama Goris pun menjadi tersentak, "Ada apa, Pad?"Tanpa permisi Dewa meninggalkan Goris di sana sendirian, dan ia pun mendapatkan jawaban dari Padma, "Nggak kenapa-napa, Wa. Mual aja, biasa."Dewa pun berharap agar Padma segera menangani keluhannya tentang keanehan yang ada pada diri Cinta, dan kedunya obrolan kecil di depan pintu kamar mandi,"Habis ini tolong langsung diperiksa dulu dong, Pad. Aku kan
Selesai menikmati makan siang yang sengaja Dewa minta dari Cinta, ia tidak membiarkan istrinya itu pulang ke apartemen diantar oleh Pak Parjo, supir kantornya. Sejumlah rencana sudah bertengger cantik di isi kepalanya, dan kali ini harus terealisasi bagaimana pun caranya.Hal tersebut tentu saja menjadi satu tanda tanya besar untuk Cinta, "Lho, Yah! Ini kan bukan jalan menuju ke apartemen kita."Jadi mau tak mau Dewa harus menjelaskannya, daripada harus mendengarkan pertanyaan yang sama dari bibir Cinta terus menerus tanpa henti, "Iya, Bun. Kita ke dokter sebentar ya?""Ke dokter? Ngapain?" Namun, bukan kelegaan yang lantas diterima oleh Dewa setelah itu, melainkan pertanyaan lanjutan akibat rasa penasaran dalam diri Cinta.Dengan ent
Membawa pulang pizza tanpa toping yang menjadi pesanan Cinta, Dewa tampak begitu senang karena di isi kepalanya tercecar segala penjelasan dari manager wanita di outlet makanan cepat saji tadi, bahwa bisa jadi saat ini istrinya sedang mengandung.Naik ke dalam lift dan menekan dua buah angka pada panel tombol di dekat pintu, senyuman manis tak luntur dari wajah tampan Dewa.Doa dan sejumlah harapan juga ikut hadir di sepanjang naiknya lift ke atas, sebab dengan begitu Dewa tak perlu mengarang bebas tentang kehamilan cinta lagi.Namun, tetap saja, pikiran negatif itu ada dan bergumul seperti benang kusut di kepala Dewa, “Tapi gimana ya kalau ternyata nggak hamil kayak kemarin itu? Apa alat USG di tempat Dokter Nurul itu salah?”Satu demi satu rasa senang berganti di sana, tapi tidak hilang melainkan hanya berubah menjadi was-was
Pulang dari Rumah Sakit, Dewa ternyata tidak menepati janjinya untuk melanjutkan permainan panas mereka yang sempat tertunda. Semua bukan tanpa alasan, karena Cinta memilih masuk ke dalam kamar dan tidur dengan posisi membelakangi sang suami yang sedang berganti pakaian.Alih-alih bergelung, memeluk dan memberi umpan seperti biasanya, Dewa bahkan membiarkan Cinta di sana. Ia mengambil ponsel yang sempat diletakkan di atas meja nakas dan mencari nomor kontak sekretarisnya, dengan maksud untuk menghubunginya."Halo, Pak Dewa. Ada yang bisa saya bantu?""Tolong bawakan laptop kerja saya yang di atas meja itu ke apartemen, Mil. Masukin ke dalam tas kerja, terus anterin sekarang karena istri saya lagi nggak enak badan. Kamu suruh aja Pak Warjito di lobi yang anterin, biar nggak menunda kerjaan penting lainnya," sahut Dewa ketika sambungan telepon sudah dijawab.Sang sekretari
Dewa mengandeng mesra tangan Cinta memasuki koridor sebuah Rumah Sakit Ibu dan Anak di bilangan Jakarta Pusat. Cinta merasa ada yang aneh dengan perlakuan Dewa padanya hari itu, namun ia memilih untuk diam tanpa mau repot-repot bertanya satu pertanyaan pun.Di satu tangannya yang bebas pun terdapat satu cup Bubble Tea, hasil dari memaksa tanpa henti dari Cinta pada Dewa, jadi saat itu, menikmati jerih payah merengeknya adalah hal terbaik daripada harus repot-repot berbicara menurutnya.Dewa pun tak berniat untuk berkata-kata lagi setelah tenaganya habis berdebat dengan Cinta untuk segelas Bubble Tea yang di dalamnya terdapat banyak campura bola tapioka, karena ia begitu yakin jika keras kepala istrinya itu terjadi akibat sesuatu dari dalam perut datarnya.Nyaris tiga menit berjalan di koridor Rumah Sakit, pada akhirnya keduanya pun sampai di depan poli Ibu dan anak. Di sana Dewa mendaftar, lalu mengajak Cinta untuk duduk d
"Yah, gimana ini? Mama barusan telepon, katanya mau bikin acara pengajian empat bulanan kandungan Bunda gitu, Yah. Gimana ini?" ujar Cinta di ujung telepon, saat suara Dewa sudah terdengar menyapa istrinya itu.Suara Cinta terdengar menggebu, bahkan cenderung mengkhawatirkan di telinga Dewa.Alhasil setelah menarik napas sedalam mungkin, Dewa mencoba menangkan Cinta dengan berniat untuk menceritakan segalanya pada kedua orang tuanya, "Tenang dulu ya, Bunda. Nanti biar Ayah aja yang ngomong soal kebohongan kita selama ini."Sayangnya bahasa yang Dewa gunakan begitu sensitif di telinga Cinta, menyebabkan wanita itu bersuara tegas, "Enak aja kebohongan kita! Aku nggak pernah setuju sama ide ini kan waktu itu?"Dewa yang kikuk, tak urung sedikit menjauh ponsel genggamnya sembari menukar karbon dioksida dari dalam paru-paru. Dewa secepat kilat berpikir di sana, dan menenangkan adalah cara yang ia pilih, "Bunda sayang, sabar ya? Jangan marah-marah dulu
"Saya terima nikah dan kawinnya Cinta Andini binti Muhammad Akbar dengan mas kawinnya yang tersebut tunai!""Bagaimana, Pak?""Sah?""SAHHH...!""Alhamdulillah..."Sah. Satu kata itu dengan cepat merasuk di dalam relung jiwa Cinta, juga merusak dandanan tukang rias pengantin akibat lelehan air matanya, namun tidak menjadi persoalan untuk Kemuning yang berada tepat di sebelahnya. Sangat lumrah hal itu di mata tuanya, sebab ia pun melakukannya saat Raja mengucapkan ijab qobul atas pernikahan mereka berdua.Kemuning sendiri juga sempat menitikkan air mata, tetapi tidak berlama-lama seperti yang dilakukan oleh menantunya. Ya, Cinta Andini sudah resmi menjadi bagian dari keluarga Djatmiko saat ini dan dia adalah menantu satu-satunya, karena memang Dewa adalah anak tunggal.Kebahagiaan terpancar jelas dari wajah Kemuning, dan untuk Raja sendiri, ia tetap saja sama seperti yang sudah-sudah, menyimpan kegembiraan itu da