Memiliki seseorang yang mengirimimu pesan setiap hari, memberi motivasi setiap saatnya, setia dalam mendengarkan seluruh keluh kesah yang kamu punya, benar-benar peduli dalam segala hal, mengingatkan kamu untuk makan tepat waktu, dan mengonsumsi obat saat kamu sakit adalah berkah terbaik. Setiap orang membutuhkan orang semacam itu dalam hidupnya. Yang tidak semuanya bisa mendapatkan secara adil. Dan jika kamu memiliki satu di antara jajaran manusia itu, artinya kamu beruntung. Di kala orang di luar sana mengejar apa yang menjadi haknya, kamu mendapatkannya dengan mudah.
Meski demikian, ada satu waktu yang akan kita temui atas penantian panjang. Bukan saat menemukanmu melainkan saat di mana aku tahu; selama ini doa-doa terbaikku untuk menjemputmu akhirnya telah bersatu bersama doa-doa baik yang Tuhan ijabah. Dan yang tersisa dari kita hanyalah bahagia serta amin dari orang-orang yang turut mendoakan cinta kita.Sayang sekali itu hanya karya tulisan tangan di selembar kertas putih. Yang awalnya kosong kini telah bercampur dengan tinta hitam. Melukiskan suasana hati sang penulis; Alara Senja. Di mana netra hitamnya memandangi awan sore yang kelabu. Berarak mengikuti angin di sertai lukisan orange sebagai latar.Alara ingin merasa di miliki walau tidak sebenar-benarnya memiliki. Sekadar merasakan bagaimana cintanya di balas dengan orang yang dirinya suka. Rasanya akan sangat menakjubkan jika boleh Alara gambarkan. Tapi mustahil.Pernah di khianati, di sakiti sampai begitu dalamnya dan tidak bisa merasakan perasaan selain pasrah. Lara selalu menepis semua angan yang baru saja terlintas. Meski pada akhirnya ada getaran lain yang hadir pun itu sangat mustahil.Bahtiar Gema bukan pilihan yang tepat. Untuk Alara jatuhkan hatinya di genggaman lelaki duda itu. Namun karena perjanjian yang sudah Alara taburkan di atas egonya yang tinggi, perasaan itu lebih berperan ketimbang logikanya. Hendak menyesal pun sudah terlanjur basah. Tidak mungkin Alara tarik kembali ucapannya dan berjalan masing-masing. Anggap saja ini sebagai pilihan terakhir agar tidak ada desakan yang menyulitkan ruang gerak Alara. Rasanya muak saat kamu di paksa bersama tapi bukan dengan keinginan hatimu sendiri.Gema—dalam mata Alara—tidak bisa diabaikan begitu saja. Lelaki itu sangat berharga sehingga Alara begitu gila ingin memiliki. Dan hanya jalan ini yang bisa dirinya tempuh di atas pikiran frustasi yang menyapa kepenatan hidupnya.Penat. Itu benar. Alara merasakan lelah akhir-akhir ini. Entah kepada fisik maupun batinnya. Yang pasti, lari saja tidak cukup. Menghentikan tungkainya yang sudah semakin jauh juga bukan jalan yang bagus. Alara se-plin-plan itu. Kemarin mantap mengenai pilihannya. Lihatlah hari ini? Benar-benar meratapi nasibnya.“Kamu nyesal?” Gema perhatikan ekspresi Lara sejak tadi. Gusar dan gelisah. “Bisa bagi ke saya semisal memang ada masalah.” Siapa tahu aji mumpung dan Lara mau sedikit terbuka padanya. Tidak berharap lebih, sih. Gini-gini juga Gema pendengar yang baik.“Hm. Eh?” Mata Alara mengerjap. Mengangkat kepalanya yang lesu dan melotot mendapati wajah Gema begitu dekat dengan wajahnya. Seinci saja akan terjadi sulaman bibir bersambut saliva yang terajut. “Ini cuma kata-kata.”“Kamu gugup berarti ya.” Dan Gema orang yang suka menarik kesimpulan secepat kereta Jepang melaju dari satu stasiun ke stasiun tujuan selanjutnya. “Kamu juga ngejawab dengan persetujuan—”“Saya pikir mengenai hal ini—”“Aku!” Tekan Gema. Mata lelaki itu sinis dan tajam ketika mengoreksi perkataan Alara. “Kantor sepi dan jam kerja usai. Kamu nggak perlu seformal itu. Kita pasangan, remember?”Oh, diingatkan tentang itu Alara mendengus. Menunjukkan ketidaksukaannya secara terang-terangan. Yang jelas mengerutkan dahi milik Gema.“Kamu labil.”“Sa—aku pusing.” Alara kembali letakkan kepalanya di atas meja. Kali ini dengan tindakan mengetuk-etuk perlahan. Membuat Gema gemas dan menjatuhkan telapaknya yang besar ke meja.“Aku nggak mau pacaran sama orang penyakitan.”“Sialan!”“Jangan mengumpat! Aku lebih tua dari kamu.”“Oke om.”“Aku bukan om kamu.”“Terus apa? Sayang? Abang? Mas? Papa? Papi? Ayah?” Balas Alara tak kalah sarkas.“Kamu ada masalah?”“Menurut kamu?”“Ada jika begitu. Mau berbagi?” Sekali lagi Gema tawarkan.“Ranjang?”Ya Tuhan, kenapa otak Alara mulai menjurus ke ranah yang iya-iya. Lupa atau bagaimana jika track seorang Bahtiar Gema adalah pemain ulung? Lelaki itu menduda selama lima atau enam tahun. Wajar, penghangat ranjang selalu di butuhkan. Dan Alara the next generation.“Kamu pengen?” Ambigu tapi Gema ingin bermain kalem. Tidak mau grasak-grusuk seperti biasanya. Masih harus dirinya selami kenapa Alara Senja yang bernotabene sebagai asistennya datang meminta dirinya perihal perjanjian konyol untuk ikatan tidak jelas. Coba katakan, kalau bukan untuk ranjang, lantas apa?“Kadang. Suka horny kalau lihat om.”WOW. Kejujuran Alara patut di apresiasi. Tomat merah berpindah tempat di kedua pipi gembilnya. Membuat Gema refleks mencium sampai bunyi ‘plok’ terdengar dan menjauh setelahnya.“Kamu bisa pindah ke rumah aku mulai sekarang. Aku nggak suka suasana kost, berisik.”“Kostku aman. Kedap suara dan orangnya nggak resek.”“Siapa yang bilang?”Sudah Gema selidiki. Kondisi kost Alara memang tidak buruk seperti kebanyakan kost. Tapi sewaktu Gema sidak ke sana, tetangga kanan kirinya parah maksimal. Dengan sopan menyambut Gema. Tersenyum, menyapa dan bertanya basa-basi busuk. Selanjutnya menggerayangi Gema mulai dari lengan kokohnya sampai ke dada bidangnya. Perlakuan najis begitu mana bisa memancing Gema. Tidak semurah itu selera Gema bermain dengan wanita. Pelacur sewaan Gema selalu yang berkualitas tinggi dan terbaik di tempatnya. Memberikan servis oke luar dalam sebanding dengan nominal cek yang Gema tuliskan.“Aku jarang di sana. Pagi sampai sore kerja. Malamnya kuliah. Pulang-pulang tidur. Jadi aku anggap mereka normal.”“Normal matamu.” Gema misuh-misuh. “Aku ke sana—”“Abang ngapain ke sana?” Ganti lagi. Suka-suka Alara saja lah. “ Kepo banget kayaknya sama kehidupan aku.”“Bukan gitu. Aku mau kehidupan pacar—”“Sementara. Catat!”“Kamu dari tadi motong omongan aku terus!?” Oh ya? Alara tidak sadar. Dan tidak mau sadar. “Aku mau menjamin kehidupan kamu. Jadi selama kita bareng, nggak ada sesuatu yang buruk buat aku tinggalin nantinya.”Penjelasan Gema cukup masuk akal di pendengaran Alara. Ini Jakarta. Hidup di kota besar tidak semudah bayangan. Maka jangan sesekali mau berjuang di sini jika tidak punya effort dan mental yang kuat. Karena berani saja tidak cukup mengenyangkan perutmu. Nyali saja tidak cukup membasah dahagamu perihal kehidupan keras yang sesungguhnya. Alara sudah merasakan itu semua.“Bang.” Panggil Alara. Gema menoleh. Wajahnya sudah kembali seperti setelan awal; datar dan serius. “Abang punya pandangan apa soal perawan dan enggaknya seorang cewek?”Sejenak, netra beda warna itu saling bersinggungan. Dan lewat detik yang akan menuju menit, Alara lepas tautannya. Merapikan berkas-berkas di meja kerjanya dan bersiap untuk hengkang. Namun jawaban Gema atas pertanyaannya menahan pinggulnya yang sudah terangkat.“Nggak baik dan nggak buruk. Tapi seburuk-buruknya aku sebagai cowok apa lagi statusku duda, butuh pelepasan itu perlu. Aku normal. Dan hidup bebas menjadi motto yang selama ini aku langkahi. Tapi soal perawan dan enggaknya cewek. Jujur, sebejat-bejatnya aku, maunya kalau dapat istri lagi harus yang perawan.”“Abang kolot!” cibiran yang Alara sampaikan nyatanya tidak sama dengan kondisi hatinya yang berdenyut sakit. Tatanan yang sudah rapi terpaksa lebur. Porak-poranda di terjang gulungan badai. Dalam satu kali tarikan napas, Gema sudah menjabarkan arti kehidupan yang tak berguna untuk Alara jalani.Tidak hanya merayakan kebahagiaan atas ‘jadian’ bersama orang yang kita idam-idamkan. Patah hati pun wajib di rayakan bagi para perempuan barangkali—sebenarnya—hari sedang merasakan kehilangan. Teruntuk hari ini saja. Usai itu, kita harus bangkit menuju perubahan yang lebih baik dan nyata.Coba pahami sejenak. Mungkin kamu hanya kehilangan dia yang kamu sayangi. Tetapi dia kehilangan kamu seseorang yang mencintai dengan ketulusan. Dan cintamu terlalu baik untuk tidak dihargai. Jadi tidak apa-apa jika mengambil langkah ini dan mengklaim patah hati karena itu memang perlu. Seseorang sebelum menuju puncaknya, akan melakukan segala cara guna bisa mencapai tujuannya.Patah hati ini akan mengajarkan kamu bahwa jangan sampai kamu dan harga dirimu tidak dihargai hanya karena dia meninggalkanmu begitu saja. Terlebih sisa luka yang masih melekat. Memberikan bekas yang tak kunjung luntur meski waktu terus melaju. Tidak apa-apa—sekali lagi kuatkan hatimu. Semuanya akan baik-baik saja dan percaya
Ini sih namanya Alara mengumpankan dirinya sendiri untuk dijadikan tumbal. Sudah tahu Bahtiar Gema sangat tidak tahu diri. Tetap saja hatinya berpihak ke sana untuk menggapai lelaki duda itu. Padahal tidak mungkin. Tidak akan pernah. Jangan ngarep!Gaungan semacam itu juga tidak berguna. Tidak mempan bagi hatinya yang sudah bebal. Memang ya, sekali bodoh tetap bodoh. Dan ngomong sama orang bodoh, ya capek. Hanya di dengarkan tapi tidak di praktikkan.Begini penjelasan yang akan kita kupas di bab ini.Di luar sana, banyak wanita yang sanggup dan mampu menerima masa lalu prianya. Sedangkan pria menganggap mudah soal masa lalunya dan mengatakan seburuk apa pun mereka dulu, tidak akan ada pengurangan baginya. Sangat berbeda dengan wanita, kan? Mau protes kalau ini tidak adil juga rasanya percuma. Karena wanita … jika mahkotanya sudah jatuh, maka ia bukan ratu lagi. Wanita adalah insan yang sangat istimewa dan teramat indah dimata pria. Maka ketika ia ternoda, keindahannya sirna.Tidak he
Bahtiar Gema kembali ke keluarganya di hari sabtu dan minggu. Itu hari khusus untuk dirinya menikmati quality time. Yang tidak mau diganggu gugat apa lagi di riwehkan oleh tetek bengek pekerjaan. Maka seluruh aktivitas dan komunikasi yang bersangkutan dengan masalah para klien, akan langsung menghubungi asistennya—Alara Senja.Dan ngomong-ngomong perihal Alara, perempuan itu sangat eksotis di mata dan merasuk dalam pikiran Gema. Gila, sih. Gema bahkan tidak percaya sama sekali. Perempuan seperti Alara—“Om.” Panggilan dari arah sampingnya menyeret Gema dari lamunnya. “Di panggil nenek.”Kepala Gema terangguk dan lekas beranjak setelah mengelus puncak kepala sang ponakan. Langkah kakinya sedikit berat. Berurusan dengan mamanya bukan hal yang pelik—sebenarnya—jika bukan pertanyaan semacam: cucu mama mana?Aduh! Minta cucu seperti beli gula-gula di pasar malam sebelah lapangan komplek rumahnya sana. Tinggal bilang dan menagih. “Ma.” Gema mendekat. Duduk di samping sang mama. Gazebo bela
Mata Alara mengerjap. Ini sudah lewat dari beberapa hari usai ciuman itu terajut. Sayangnya, semua yang terjadi di hari itu masih sangat membekas di memori Alara. Terlebih ucapan Gema yang tak Alara pahami maksudnya. Sama sekali Alara bodoh. Mirip keledai dungu yang di cucuk induknya. “Baju Abang mana?”Tersentak kaget dari lamunannya. Segera Alara mendekat ke pintu kamar mandi di mana kepala Gema menyembul. Dapat di pastikan, di balik pintu putih itu, tubuh Gema polos total. Dan entah mengapa, otak Alara traveling ke berbagai tempat di neraka.“Aku sudah masakin pesanan abang.”“Oke. Bentar lagi turun. Sama sambalnya juga, kan?” Kepala Alara mengangguk dan bergegas lari. Matanya melihat sesuatu yang yahud. Yang sebenarnya sah-sah saja karena mereka punya perjanjian untuk ‘memegang satu sama lain’. Yang artinya, Alara milik Gema dan Gema milik Alara. Itu mutlak dan paten tak terbantahkan.Mendadak Alara ingin mengumpati dirinya sendiri. Bisa-bisanya punya perasaan lebih atas apa yan
Gema pelajari materi yang di kirimkan Alara lewat emailnya. Sesekali kedua matanya melirik ke arah sudut ruangan di mana eksistensi Alara sangat fokus membolak-balikkan kertas berkas yang bertumpuk. Segaris senyum Gema tunjukkan—samar. Belum pernah Gema rasakan bahagia sedamai hatinya saat ini. Jika harus meraba, ada titik perbedaan antara jatuh cintanya yang dulu atau yang sekarang dengan banyak wanita di luaran sana.Keluarganya begitu gigih mengharapkan Gema menikah lagi. Dengan alasan untuk jangan sendirian karena itu menyakitkan. Tapi sekeras kepala itu Gema menolak berdalih trauma yang terus mengitari. Hingga Gema manfaatkan banyak waktu untuk bersenang-senang sebagai alasan. Siapa yang ingin menyangka jika kehadiran Alara cukup menyita waktunya?Bahkan hatinya sudah tidak bisa Gema tanyakan kabarnya. Semuanya terasa benar dan memang ini yang harus Gema lalui. Tapi melihat Alara yang begitu gigih dengan perjanjian yang diajukan, Gema penasaran. Ada kisah apa di balik mata canti
Bahtiar Gema bukan ingin bersikap kepo. Tahu batasannya dan sadar ada sekat yang selalu Alara Senja ciptakan. Entah apa itu, tapi menemukan sebuah buku catatan yang tersembunyi, jiwa Gema menggelora. Meronta ingin tahu dan tangannya bergerak cepat membolak-balikkan halaman per halaman.Di awali dengan:‘Sejak kamu pergi, aku hampir lupa caranya untuk membuka hati kembali. Tanpamu, aku merasa sepi. Mungkin ini terlihat kekanak-kanakan. Tapi begitulah adanya. Kamu yang dulunya menjadi tujuanku untuk menggapai sesuatu. Sekarang, kamu sudah tak ada lagi. Sekarang, aku hanya berkawan dengan luka-luka dan kesunyian.’Baik. Gema menghela napas perlahan. Tahu bahwa isi dalam coretan tangan itu banyak dirinya temukan berlalu lalang di dunia maya. Tapi seakan-akan memang sangat pas di kehidupan yang saat ini Alara jalani. Sebenarnya, tujuan macam apa yang sedang diraihnya sehingga kehilangan mampu membuatnya terpuruk?Pergi yang dimaksud juga ke manakah itu?Kenapa hal sesederhana ini tidak bis
Alara Senja tidak punya jalan putar balik. Di saat Bahtiar Gema kian hari kian gencar menggempurnya dengan teror pernikahan. Untungnya nih untungnya. Belum Alara beri jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’. Tidak ada penolakan atau pun penerimaan. Untungnya lagi, Alara suka membaca quotes untuk bisa merasuk ke dalam pikirannya dan bisa mengambil tindakan tepat.Seperti ini kira-kira:Jangan buru-buru jatuh cinta. Dalam hati saja Alara berkata begitu.Apa Alara bilang. Jangan buru-buru makanya jangan memberi kendor untuk Gema terus mengejarnya. Sekarang saja, ada cek-cok yang terjadi di dalam sana. Alara sampai urung untuk masuk padahal ada berkas klien yang harus segera dirinya kirimkan untuk di entry ke Pengadilan.“Tapi hasilnya positif! Siapa yang harus aku mintai tanggungjawab?” Lengkingan seorang wanita yang tidak Alara ketahui berapa umurnya atau siapa namanya karena itu tidak penting baginya. Tapi bikin merinding disko.“Aku mainnya aman.” Yang ini suara Gema. Terdengar santai tanpa urat. T
Gurat lelah jelas tercetak di wajah Bahtiar Gema. Matanya yang sayu cukup menjelaskan seberapa banyak beban yang di tanggungnya. Alara diam. Tidak meluncurkan tanya dan hanya membiarkan gesekan wajah Gema di dadanya. Akhir-akhir ini sikap manjanya kentara di perlihatkan. Atau memang Alara baru tahu jika Bahtiar Gema punya tabiat begini?“Abang, kan bungsu.” Ucapan Gema menjawab pikiran Alara. “Manja sudah jadi makanan abang di rumah. Sehari-hari di perlakukan kayak bayi.”“Memang iya, kan.”“Sembarangan!”Helaan napas Alara terdengar. Terkekeh sebentar dan menjawab, “Abang memang bayi. Kalau bukan, nggak mungkin ndusel-ndusel di dada aku nyari sumber kehidupan.”“Empuk, sih.” Dan berlanjut saja aktivitas yang semestinya memang terjadi. Ini terbilang cukup lama dari keduanya tinggal bersama. Selama ini yang berlangsung hanyalah sentuhan kulit biasa semacam ciuman dan cumbuan. Baik Alara maupun Gema, sama-sama menikmati.“Yang datang ke kantor siang tadi …” Gema menjeda dan memasukkan
Bachtiar Gema nggak punya cara simpel buat mengalihkan kegalauannya. Ditinggal Alara seorang diri, Gema cuma geluntang-geluntung di dalam rumah. Gabut dan nggak tahu mau ngapain. Mana sekarang kantornya libur pula. Mau ngantor sendiri kelihatan banget kalau Gema ini mata duwitan. Tapi di rumah cuma rebahan, bangun, duduk, rebahan lagi, bangun lagi, duduk lagi dan main PS. Main PS sendiri nggak ada lawan juga persis orang gila. Kalah diam, menang diam, lagi nyerang apa lagi. Gema kangen Alara.Kira-kira salahnya Gema tuh apa? Kok bisa Alara pergi seorang diri tanpa dirinya atau mencari dirinya dan merasa kangen? Kenapa Gema kelihatannya murahan banget setelah menikahi Alara, ya? Kenapa? Apa semua cowok kayak gitu? Jadi goblok dan sedikit dungu? Ah mbohlah. Gema mumet sendiri.Sekarang Gema bangun dari rebahannya di sofa. Jam masih menunjukkan pukul 2 siang lebih dikit. Cuaca di luar juga panas enggak, mendung juga enggak tapi panas maksimal–semromong maksimal kayak di neraka. Gema hen
Cuma manusia bodoh yang selalu ikut-ikutan dan gampang kepengaruh omongan manusia lainnya dengan modal 'katanya'. Yang katanya begini, begitu mendengarnya akan langsung membenci. Yang katanya begitu, langsung memusuhi. Hanya dengan katanya semua masalah akan muncul dan menjadi serangan secara bertubi-tubi.Daniah Maheswari juga seperti itu. Modal katanya yang Mosa Hutama sampaikan mempengaruhi cara pikir otaknya yang waras mendadak jadi gila. Katanya Prabu Setiawan itu baik, perhatian dan penuh kasih sayang. Katanya yang pada faktanya tidak demikian. Bagaimana nggak baik, perhatian dan penuh kasih sayang kalau Mosa Hutama adalah istri kesayangannya? Siapa sih yang nggak waras di sini? Terus sekarang Daniah kudu gimana ngadepin Prabu yang cuma diam kayak patung pancoran disertai tatapan matanya yang nyalang–persis hendak menerkam Daniah? Ah entah, Daniah nggak tahu lagi mesti gimana?"Kenapa belum pesen?" Prabu berucap seraya mengambil buku menunya. Kedua bola matanya menyisir setiap k
Alara memang belum sepenuhnya merasakan pahit manisnya hidup. Tapi kalau dibenci hanya lewat 'katanya' oleh para penggosip, jangan ditanya sesering apa Gema menerima perlakuan kayak gitu. Memang dirinya ini bukan manusia ribet yang pilih-pilih temen. Tapi setidaknya butuh yang satu frekuensi dan nggak suka basa-basi ngomongin yang nggak jelas. Masa muda Alara juga habis di tempat kerja. Jadi buat kumpul sama nongkrong sana-sini mana sempat. Masih bisa napas dengan lancar saja sudah hamdalah banget. Kok ini dituntut buat ikut acara-acara nggak jelas. Buang-buang waktu dan tenaga.Kehidupan yang Alara jalani nggak sesempurna kelihatannya kok. Tapi sekali lagi, bersyukur adalah caranya. Ada yang bilang kalau omongan adalah doa. Maka Alara iyakan saja setiap orang yang berkata 'enak ya jadi kamu', 'senang ya jadi kamu', dan lain sebagainya. Alara iyakan saja.Sadar sih, mengikuti standar kehidupan manusia nggak ada habisnya. Kita yang menjalani eh orang lain yang mengatur. Kayak lalu lin
Puasa-puasa kok bohong itu, 'kan dosa ya? Kata Jayanti, Mama Alara gitu. Dulu sewaktu Alara kecil setiap puasa selalu di wangsit buat jangan berbohong. Kalau nggak kuat puasa dan pengen makan mending ngomong. Nanti lanjut lagi puasanya sampai adzan magrib berkumandang. Pokoknya sekuatnya aja, nggak perlu memaksa diri timbang nanti nggak berpahala puasanya.Nah sekarang juga sama. Alara merasakan momen puasa yang mana dirinya tidak sedang berpuasa. Alasannya hamil walaupun seandainya mampu buat berpuasa boleh saja melakukannya. Sekarang ini yang sedang Alara alami kasusnya sama: puasa dan nggak boleh bohong. Cuma beda konsepnya aja. Kalau yang dikatakan oleh Jayanti perihal jangan bohong misal nggak kuat berpuasa sedang yang Alara alami adalah bohong lantaran nggak mau mengakui kebohongannya. Ini konsepnya gimana sih Ra?Begini, ingat yang sering Alara katakan kepada Bachtiar Gema, suaminya? Kalau mau poligami, silakan. Daripada membohongi lebih baik mengatakan jujur saja. Menginginka
"Lo nikah tapi lo ngasih izin ke suami lo buat nikah lagi." Adalah teman Mosa yang sedang memasukkan bolu pisang ke dalam mulutnya. Tawa di bibirnya belum luntur dan matanya menyipit seiring tawa yang di keluarkan."Gue heran sama cara pikir lo. Dari dulu kayak gitu nggak pernah berubah. Kenapa gitu Sa, why?"Teman satunya lagi yang baru menyesap kopi panasnya. Kedua teman Mosa yang sejak dulu menjalin hubungan dengannya selalu penuh keheranan. Jawaban yang selalu Mosa berikan nggak pernah membuat keduanya puas. "Gue pemegang tahta poligami tertinggi." Tawa ketiganya renyah. Mengundang seluruh pengunjung kafe yang ada di dekat ketiganya menoleh. Tatapan matanya penasaran dan penuh tanya."Seolah-olah Prabu nggak pernah ada artinya di mata lo. Wah, lo hebat! Bikin kakak lo kena mental dan sekarang suami lo di bikin nggak bisa ngomong apa-apa lagi. Seyogyanya orang nikah karena butuh anak buat hadir di antara pernikahan mereka. Alih-alih penyaluran napsu ya, Sa. Tapi lo … bukan maen!
Alara ujug-ujug ngidam ke Yogyakarta. Jari-jarinya dari pagi yang cerah ini scroll internet tanpa henti. Sampai mengabaikan suaminya yang pengen dimanja. Lagian puasa-puasa ada-ada aja pengen dimanja. Sementang libur kerja jadi seenak jidat sendiri maunya. "Abang minggir dulu ih!"Alara dorong Gema yang sejak tadi ngerungkel di belakang tubuhnya. Rasanya gerah padahal AC udah dinyalakan. Asli, Alara butuh suasana gunung yang dingin dan sejuk kayak Dieng mungkin."Ini suami kamu loh Yang!"Bukan Bachtiar Gema namanya kalau nggak protes. Laki satu itu cerewetnya kayak perempuan misal lagi butuh dimanja. Alara geram jadinya."Yang bilang suami tetangga siapa?" Itu bukan hardikan, 'kan ya? Alara cuma ngomong senyatanya aja kalau emang Gema suaminya. Ah bodo amatlah! Alara butuh piknik tapi perutnya makin membuncit."Kamu asli deh Yang makin galak aja tiap harinya. Salah aku di mana sih?"Aduh Biyung! Kok bisa banget suaminya baper kayak gini? Lebih-lebih dari Alara pula tingkahnya. Ini
Alara udah nggak marah sama Gema. Cuma kalau kesal iya. Terutama pada omongan Gema yang mau ngatur kehidupan anak-anaknya nanti. Itu masih terngiang-ngiang hingga detik ini di kepala Alara. Rungunya jadi sensitif mengingat kalimat ini dan hatinya jadi kacau. Alara tuh paling nggak bisa kalau anaknya diatur-atur nyampe dikekang pula. Selama masih tahap wajar, Alara pribadi pengen anak-anaknya bebas kayak burung. Bisa terbang dan menjelajah alam raya. Gema kalau ngomong langsung nandes, membekas dan bikin dada Alara sesak. Kalau beneran iya kayak gitu, artinya Gema sedang menciptakan neraka baru buat anak-anaknya. Lebih dari apa pun, Gema nggak mau belajar soal sakit mental yang Alara alami selama ini. Cuma butuh ambisi buat tercapai. Huh, mulut Alara inginnya mengumpat sekotor-kotornya, sumpah! Kalau nggak sadar dosa, ini spatula nyampe ke kepala Bachtiar Gema, Alara jabanin deh.Saking sakit hatinya, Alara sampai nggak percaya sama apa pun yang dirinya lihat. Terutama jika bersumber
Radit Wicaksono mencintai Nora Bachtiar setengah mati, setengahnya lagi tentang napsu dan kebutuhan biologisnya. Radit nggak munafik hanya mencoba jujur jika sebagai lelaki memenuhi kebutuhannya memanglah wajib.Sebelum dipertemukan kembali dengan Nora di salah satu kelab malam, secara acak Radit akan membawa wanita sewaannya ke dalam apartemennya. Puas tidak puas, dipikiran Radit hanya tentang menyalurkan napsunya. Selebihnya hanya helaan napas yang Radit embuskan.Namun setelah malam itu, merasai kembali Nora dalam kondisi mabuk dan setelah bertahun-tahun berlalu. Radit makin menggila. Seolah hari esok akan kiamat, Radit hanya menginginkan tubuh Nora untuk dirinya lahap. Radit hanya butuh Nora untuk dirinya kendalikan seorang diri. Katakanlah Radit gagal move on. Pesona Nora tiada tandingan sehingga nggak gampang baginya yang bucin buat pindah ke lain hati. Berapa kali pun Radit dijodohkan oleh kedua orang tuanya, hasilnya akan selalu berakhir di ranjang untuk kemudian terjadi peno
Hidup itu pilihan.Yang Alara Senja tahu sejak dulu seperti itu. Tapi Bachtiar Gema memang nggak ada akhlak. Tengah malam begini saat Alara sudah dibuai oleh mimpi, dengan sopannya terus menggedor pintu kamar tamu di mana Alara tidur. Marah sih memang tapi setelah kalah dengan rasa kantuknya, Alara singkirkan egonya. Tidak lagi memikirkan perkara obrolan yang Gema dan Papanya bangun. Mungkin saja cara pendekatan Papanya ke Gema sebagai menantu memang begitu caranya."Yang."Alara berdecak sebal dalam tidurnya. Gema berisik sekali dibalik pintu sana dan Alara terganggu total. Tidurnya tidak lagi nyenyak dan Gema penyebabnya."Abang laper."Ya Tuhan! Kutuk saja Pangeran Kodok yang legendaris itu jadi tanaman hias mahal. Alara benci jika tidurnya terganggu.Melongok jam yang ada di nakas, kekesalan Alara berkali-kali lipat. Pukul 00.49 dini hari dan Gema kelaparan? Bukan maen."Yang."Sekali lagi dan Alara benar-benar terbangun. Terduduk dengan terpaksa, wajah masam lalu menghempaskan s