Gurat lelah jelas tercetak di wajah Bahtiar Gema. Matanya yang sayu cukup menjelaskan seberapa banyak beban yang di tanggungnya. Alara diam. Tidak meluncurkan tanya dan hanya membiarkan gesekan wajah Gema di dadanya. Akhir-akhir ini sikap manjanya kentara di perlihatkan. Atau memang Alara baru tahu jika Bahtiar Gema punya tabiat begini?“Abang, kan bungsu.” Ucapan Gema menjawab pikiran Alara. “Manja sudah jadi makanan abang di rumah. Sehari-hari di perlakukan kayak bayi.”“Memang iya, kan.”“Sembarangan!”Helaan napas Alara terdengar. Terkekeh sebentar dan menjawab, “Abang memang bayi. Kalau bukan, nggak mungkin ndusel-ndusel di dada aku nyari sumber kehidupan.”“Empuk, sih.” Dan berlanjut saja aktivitas yang semestinya memang terjadi. Ini terbilang cukup lama dari keduanya tinggal bersama. Selama ini yang berlangsung hanyalah sentuhan kulit biasa semacam ciuman dan cumbuan. Baik Alara maupun Gema, sama-sama menikmati.“Yang datang ke kantor siang tadi …” Gema menjeda dan memasukkan
Alara selalu dianggap mampu oleh kedua orangtuanya. Sudah dewasa dan mampu mengatasi segala urusannya sendiri. Tidak kekurangan karena mampu memenuhi semua kebutuhannya sendiri. Tidak butuh sandaran karena mampu bangkit berdiri untuk tetap bertahan sejauh apa pun pijakannya.Yang tidak pernah di ketahui oleh orangtuanya hanyalah betapa rapuhnya Alara oleh timpaan kehidupan. Seberapa sulitnya bertahan meski sudah di jatuhkan berkali-kali. Susahnya untuk bangkit meski hati tak berbentuk lagi.Mereka lupa bahwa Alara Senja tetaplah seorang anak yang memiliki kelemahan dan butuh perlindungan. Alara Senja tetaplah manusia lemah yang butuh perlindungan di saat masalah datang menyapa. Dan Alara Senja lebih dari butuh di dengarkan bersama dengan pelukan. Mereka lupa akan peran yang sesungguhnya hanya dengan melihat ‘semampu’ itu Alara Senja dalam menerima kehidupan. Bukan ingin negatif tapi pemikiran ‘di bedakan’ sudah sangat kentara terlihat walau selalu di sangkalnya. Entah mengapa Alara b
Usai makan siang, di hari Jumat, Gema izin untuk tidak kembali ke kantor. Meninggalkan Lara dengan pekerjaan yang sudah longgar dan membuat perempuan itu leyeh-leyeh. Merdeka sekali rasanya sampai Alara gegulingan di sofa yang biasa Gema gunakan untuk menerima tamunya.Oke, skip soal Alara Senja yang menikmati waktunya. Fokus ke Gema yang sedang berdegup kencang detak jantungnya. Dalam hitungan menit, Gema tarik napas dan di embuskan dengan sangat pelan. Terus begitu sampai berulang-ulang. Sesekali matanya akan melihat spion tengah guna meyakinkan penampilannya jika wajahnya tidak norak-norak amat atau pun kucel. Ini siang hari, harap maklum.“Perasaan dulu mau ngelamar mantan istri nggak gini amat sensasinya?” Gumam Gema yang di jawab suara AC dalam mobilnya. “Gusti.” Sekali lagi berteriak pelan dan mesin mobilnya Gema matikan. Sudah sampai di tempat tujuan.Rumah tujuan yang menjadi sasarannya. Sudah pernah Bahtiar Gema sambangi rumah sederhana ini. Ini ketiga kalinya dan rasanya ma
TikTokMessage:Bapak Negara: Abang hari ini pergi ke luar kota ya, Ra.Luv: Kut.Luv: Kut.Luv: Kut.Luv: Ikut.Luv: Ikut.Luv: Ikut.Adalah balasan Alara yang entah dari mana asalnya membuat Bahtiar Gema tercengang di tempatnya. Maksudnya, Alara tidak pernah bersikap demikian. Yang artinya lagi, itu bukan Alara Senja sekali. Bukan sama sekali. Maka untuk memastikan mesti waktu sudah kian mengejar, Gema sempatkan untuk membalas.Bapak Negara: Kamu kenapa, deh.Luv: Ikut pokoknya. Jemput sekarang aku sudah siap.Ini tidak biasanya. Sungguh luar biasa. Gema sampai menggaruk pelipisnya. Atau bahkan jika bisa ingin menggaruk otaknya yang mendadak gatal.Eh tapi, ada kah yang sadar dengan kontak nama milik Alara di ponsel Gema?Asli, bikin gemas sekali Bund. Abang dudanya sudah dalam mode bucin alias budak cinta akut plus parah. Sejak kapan coba?Aih, ternyata duda pun bisa ya di bikin klepek-klepek. Bapak Negara: Iya oke, Abang jemput sekarang.Sedang Alara di tempatnya sudah bergerak
Alara Senja berada di sisi Bahtiar Gema. Bersama klien yang menceritakan seluruh rangkaian kalimatnya hingga berujung pada proses perceraian. Sulit, Bund. Cuma jadi asistennya saja Alara sudah menemukan banyak kesusahan. Bagaimana dengan Gema yang selalu ekspresif menunjukkan wajah cerahnya padahal lelah maksimal?“Soal gono-gini kemarin, 'kan sudah clear bu. Sudah kita kirimkan lewat email ke Ibu dan tertuang dengan jelas berapa persen jumlahnya dan besarannya untuk di bagi ke anak-anak. Ini agak melanggar aturan sebenarnya. Karena intinya mau di kasih ke anak atau di kelola Ibunya sendiri nantinya memang ada aturannya sendiri. Jadi nggak masalah.”Nyonya Kumala Wijaya namanya. Yang posisinya berada di Bekasi dan mengharuskan Gema serta Lara untuk sampai di sini. Di Bekasi Square sekalian makan siang. Oke, tidak masalah. Toh Alara bisa santai sejenak dan cuci mata meskipun tangan dan otaknya terus bekerja. Mencatat hal-hal penting apa saja untuk di lingkari agar tidak terlewati sebag
Asli Bund, salah. Salah banget.Ngarepin keromantisan kok sama Bahtiar Gema. Di bucinin kagak di bikin dongkol sampai ubun-ubun iya.Ini loh konteks ajakannya kencan. K-E-N-C-A-N. Di bacanya wajib pelan dan di resapi supaya merasuk ke dalam sanubari. Eja satu per satu, Hyung. Biar lidahnya syahdu.Hilih kintil! Praktiknya nggak sama. Nggak sesuai ekspektasi Alara Senja yang kayak contohnya makan di restoran dengan suasana romantis. Diiringi pemain biola dan temaram lampu berhiaskan bunga-bunga mawar merah. Begitu baru benar. Atau yang lebih spesifik adalah satu restoran di booking cuma buat makan salad sayur dan wine merah dengan harga selangit. Ya, gitu tuh bayangan Lara. “Bang … gendong.” Rengek Alara yang sudah engap dengan track jalur menuju ke puncak. Ini bukan jalur pendaki yang sebenar-benarnya kalau mau naik gunung. Murni memang ingin sampai ke puncak dengan rute yang Gema buat memutar.Sayangnya nggak gitu, Beb. Enggak! Sudah mundur saja. Timbang gelinding kayak terenggiling
Pada akhirnya, setiap manusia memiliki masa di mana untuknya berhenti. Berhenti untuk tidak lagi peduli pada apa yang orang lain katakan. Berhenti untuk tidak lagi mendengarkan bagaimana orang menilai tentang dirinya. Dan berhenti untuk tidak lagi tertarik meyakinkan orang lain tentang bagaimana dirinya. Manusia memiliki kadar jenuh dan muak di dalam dirinya yang tak bisa lagi mentolerir kala orang lain memberinya penilaian buruk.Itu juga yang sudah pernah Alara Senja hadapi.Orang-orang macam itu adalah toxic. Dan sebagai penganut ‘no ribet’ Alara tinggalkan komentar pedas yang mengecam kehidupannya menajdi sebuah angin lalu lekas bergabung dengan debu jalanan. Alara sudah ada di fase persetan dengan semuanya terutama yang terjadi di dalam hidupnya. Terserah pada orang yang ingin menilainya baik mau pun buruk. Itu pilihannya dan benar kata Bahtiar Gema; kita tidak mempunyai wewenang untuk memaksa. Kenyataan yang terjadi adalah mereka hanya menilai orang dari sisi lain cerita gosip.
Setelah semalam berdebat dengan akhir yang cukup menegangkan. Gema dan Lara ketika di sandingkan memang tiada duanya. Perdebatan yang mereka ciptakan menjadi hiburan tersendiri sebelum menu utamanya di buka.Dan paginya, menjadi waktu paling tepat untuk Gema beraksi. Melihat Lara yang masih anteng bergelung dengan selimut, mata Gema bahkan harus ternoda melihat punggung mulus Lara terekspos. Sayangnya, ada sayatan luka panjang yang terpampang. Tidak Gema masalahkan. Tapi kekepoannya merajai tanpa akhlak.Sudah beristigfar—suka bikin dosa begini—Gema bisa nyebut. Bergegas bagus dan mengenakan bajunya. Gema arahkan kedua tungkainya menuju dapur. Menilik bahan-bahan apa saja untuk dirinya olah. Biarkan hari ini menjadi milik Gema. Sebelum esok Lara yang beraksi.“Telur lagi.” Gema mendesah kesal. Kenapa menunya tidak jauh-jauh dari telur. Ya maksudnya—you know what I mean? Sampai gedek Gema di buatnya.Tapi alih-alih kesal, Gema tetap meraih telur dalam bungkusan mika dan memadu padankan
Bachtiar Gema nggak punya cara simpel buat mengalihkan kegalauannya. Ditinggal Alara seorang diri, Gema cuma geluntang-geluntung di dalam rumah. Gabut dan nggak tahu mau ngapain. Mana sekarang kantornya libur pula. Mau ngantor sendiri kelihatan banget kalau Gema ini mata duwitan. Tapi di rumah cuma rebahan, bangun, duduk, rebahan lagi, bangun lagi, duduk lagi dan main PS. Main PS sendiri nggak ada lawan juga persis orang gila. Kalah diam, menang diam, lagi nyerang apa lagi. Gema kangen Alara.Kira-kira salahnya Gema tuh apa? Kok bisa Alara pergi seorang diri tanpa dirinya atau mencari dirinya dan merasa kangen? Kenapa Gema kelihatannya murahan banget setelah menikahi Alara, ya? Kenapa? Apa semua cowok kayak gitu? Jadi goblok dan sedikit dungu? Ah mbohlah. Gema mumet sendiri.Sekarang Gema bangun dari rebahannya di sofa. Jam masih menunjukkan pukul 2 siang lebih dikit. Cuaca di luar juga panas enggak, mendung juga enggak tapi panas maksimal–semromong maksimal kayak di neraka. Gema hen
Cuma manusia bodoh yang selalu ikut-ikutan dan gampang kepengaruh omongan manusia lainnya dengan modal 'katanya'. Yang katanya begini, begitu mendengarnya akan langsung membenci. Yang katanya begitu, langsung memusuhi. Hanya dengan katanya semua masalah akan muncul dan menjadi serangan secara bertubi-tubi.Daniah Maheswari juga seperti itu. Modal katanya yang Mosa Hutama sampaikan mempengaruhi cara pikir otaknya yang waras mendadak jadi gila. Katanya Prabu Setiawan itu baik, perhatian dan penuh kasih sayang. Katanya yang pada faktanya tidak demikian. Bagaimana nggak baik, perhatian dan penuh kasih sayang kalau Mosa Hutama adalah istri kesayangannya? Siapa sih yang nggak waras di sini? Terus sekarang Daniah kudu gimana ngadepin Prabu yang cuma diam kayak patung pancoran disertai tatapan matanya yang nyalang–persis hendak menerkam Daniah? Ah entah, Daniah nggak tahu lagi mesti gimana?"Kenapa belum pesen?" Prabu berucap seraya mengambil buku menunya. Kedua bola matanya menyisir setiap k
Alara memang belum sepenuhnya merasakan pahit manisnya hidup. Tapi kalau dibenci hanya lewat 'katanya' oleh para penggosip, jangan ditanya sesering apa Gema menerima perlakuan kayak gitu. Memang dirinya ini bukan manusia ribet yang pilih-pilih temen. Tapi setidaknya butuh yang satu frekuensi dan nggak suka basa-basi ngomongin yang nggak jelas. Masa muda Alara juga habis di tempat kerja. Jadi buat kumpul sama nongkrong sana-sini mana sempat. Masih bisa napas dengan lancar saja sudah hamdalah banget. Kok ini dituntut buat ikut acara-acara nggak jelas. Buang-buang waktu dan tenaga.Kehidupan yang Alara jalani nggak sesempurna kelihatannya kok. Tapi sekali lagi, bersyukur adalah caranya. Ada yang bilang kalau omongan adalah doa. Maka Alara iyakan saja setiap orang yang berkata 'enak ya jadi kamu', 'senang ya jadi kamu', dan lain sebagainya. Alara iyakan saja.Sadar sih, mengikuti standar kehidupan manusia nggak ada habisnya. Kita yang menjalani eh orang lain yang mengatur. Kayak lalu lin
Puasa-puasa kok bohong itu, 'kan dosa ya? Kata Jayanti, Mama Alara gitu. Dulu sewaktu Alara kecil setiap puasa selalu di wangsit buat jangan berbohong. Kalau nggak kuat puasa dan pengen makan mending ngomong. Nanti lanjut lagi puasanya sampai adzan magrib berkumandang. Pokoknya sekuatnya aja, nggak perlu memaksa diri timbang nanti nggak berpahala puasanya.Nah sekarang juga sama. Alara merasakan momen puasa yang mana dirinya tidak sedang berpuasa. Alasannya hamil walaupun seandainya mampu buat berpuasa boleh saja melakukannya. Sekarang ini yang sedang Alara alami kasusnya sama: puasa dan nggak boleh bohong. Cuma beda konsepnya aja. Kalau yang dikatakan oleh Jayanti perihal jangan bohong misal nggak kuat berpuasa sedang yang Alara alami adalah bohong lantaran nggak mau mengakui kebohongannya. Ini konsepnya gimana sih Ra?Begini, ingat yang sering Alara katakan kepada Bachtiar Gema, suaminya? Kalau mau poligami, silakan. Daripada membohongi lebih baik mengatakan jujur saja. Menginginka
"Lo nikah tapi lo ngasih izin ke suami lo buat nikah lagi." Adalah teman Mosa yang sedang memasukkan bolu pisang ke dalam mulutnya. Tawa di bibirnya belum luntur dan matanya menyipit seiring tawa yang di keluarkan."Gue heran sama cara pikir lo. Dari dulu kayak gitu nggak pernah berubah. Kenapa gitu Sa, why?"Teman satunya lagi yang baru menyesap kopi panasnya. Kedua teman Mosa yang sejak dulu menjalin hubungan dengannya selalu penuh keheranan. Jawaban yang selalu Mosa berikan nggak pernah membuat keduanya puas. "Gue pemegang tahta poligami tertinggi." Tawa ketiganya renyah. Mengundang seluruh pengunjung kafe yang ada di dekat ketiganya menoleh. Tatapan matanya penasaran dan penuh tanya."Seolah-olah Prabu nggak pernah ada artinya di mata lo. Wah, lo hebat! Bikin kakak lo kena mental dan sekarang suami lo di bikin nggak bisa ngomong apa-apa lagi. Seyogyanya orang nikah karena butuh anak buat hadir di antara pernikahan mereka. Alih-alih penyaluran napsu ya, Sa. Tapi lo … bukan maen!
Alara ujug-ujug ngidam ke Yogyakarta. Jari-jarinya dari pagi yang cerah ini scroll internet tanpa henti. Sampai mengabaikan suaminya yang pengen dimanja. Lagian puasa-puasa ada-ada aja pengen dimanja. Sementang libur kerja jadi seenak jidat sendiri maunya. "Abang minggir dulu ih!"Alara dorong Gema yang sejak tadi ngerungkel di belakang tubuhnya. Rasanya gerah padahal AC udah dinyalakan. Asli, Alara butuh suasana gunung yang dingin dan sejuk kayak Dieng mungkin."Ini suami kamu loh Yang!"Bukan Bachtiar Gema namanya kalau nggak protes. Laki satu itu cerewetnya kayak perempuan misal lagi butuh dimanja. Alara geram jadinya."Yang bilang suami tetangga siapa?" Itu bukan hardikan, 'kan ya? Alara cuma ngomong senyatanya aja kalau emang Gema suaminya. Ah bodo amatlah! Alara butuh piknik tapi perutnya makin membuncit."Kamu asli deh Yang makin galak aja tiap harinya. Salah aku di mana sih?"Aduh Biyung! Kok bisa banget suaminya baper kayak gini? Lebih-lebih dari Alara pula tingkahnya. Ini
Alara udah nggak marah sama Gema. Cuma kalau kesal iya. Terutama pada omongan Gema yang mau ngatur kehidupan anak-anaknya nanti. Itu masih terngiang-ngiang hingga detik ini di kepala Alara. Rungunya jadi sensitif mengingat kalimat ini dan hatinya jadi kacau. Alara tuh paling nggak bisa kalau anaknya diatur-atur nyampe dikekang pula. Selama masih tahap wajar, Alara pribadi pengen anak-anaknya bebas kayak burung. Bisa terbang dan menjelajah alam raya. Gema kalau ngomong langsung nandes, membekas dan bikin dada Alara sesak. Kalau beneran iya kayak gitu, artinya Gema sedang menciptakan neraka baru buat anak-anaknya. Lebih dari apa pun, Gema nggak mau belajar soal sakit mental yang Alara alami selama ini. Cuma butuh ambisi buat tercapai. Huh, mulut Alara inginnya mengumpat sekotor-kotornya, sumpah! Kalau nggak sadar dosa, ini spatula nyampe ke kepala Bachtiar Gema, Alara jabanin deh.Saking sakit hatinya, Alara sampai nggak percaya sama apa pun yang dirinya lihat. Terutama jika bersumber
Radit Wicaksono mencintai Nora Bachtiar setengah mati, setengahnya lagi tentang napsu dan kebutuhan biologisnya. Radit nggak munafik hanya mencoba jujur jika sebagai lelaki memenuhi kebutuhannya memanglah wajib.Sebelum dipertemukan kembali dengan Nora di salah satu kelab malam, secara acak Radit akan membawa wanita sewaannya ke dalam apartemennya. Puas tidak puas, dipikiran Radit hanya tentang menyalurkan napsunya. Selebihnya hanya helaan napas yang Radit embuskan.Namun setelah malam itu, merasai kembali Nora dalam kondisi mabuk dan setelah bertahun-tahun berlalu. Radit makin menggila. Seolah hari esok akan kiamat, Radit hanya menginginkan tubuh Nora untuk dirinya lahap. Radit hanya butuh Nora untuk dirinya kendalikan seorang diri. Katakanlah Radit gagal move on. Pesona Nora tiada tandingan sehingga nggak gampang baginya yang bucin buat pindah ke lain hati. Berapa kali pun Radit dijodohkan oleh kedua orang tuanya, hasilnya akan selalu berakhir di ranjang untuk kemudian terjadi peno
Hidup itu pilihan.Yang Alara Senja tahu sejak dulu seperti itu. Tapi Bachtiar Gema memang nggak ada akhlak. Tengah malam begini saat Alara sudah dibuai oleh mimpi, dengan sopannya terus menggedor pintu kamar tamu di mana Alara tidur. Marah sih memang tapi setelah kalah dengan rasa kantuknya, Alara singkirkan egonya. Tidak lagi memikirkan perkara obrolan yang Gema dan Papanya bangun. Mungkin saja cara pendekatan Papanya ke Gema sebagai menantu memang begitu caranya."Yang."Alara berdecak sebal dalam tidurnya. Gema berisik sekali dibalik pintu sana dan Alara terganggu total. Tidurnya tidak lagi nyenyak dan Gema penyebabnya."Abang laper."Ya Tuhan! Kutuk saja Pangeran Kodok yang legendaris itu jadi tanaman hias mahal. Alara benci jika tidurnya terganggu.Melongok jam yang ada di nakas, kekesalan Alara berkali-kali lipat. Pukul 00.49 dini hari dan Gema kelaparan? Bukan maen."Yang."Sekali lagi dan Alara benar-benar terbangun. Terduduk dengan terpaksa, wajah masam lalu menghempaskan s