Pada akhirnya, setiap manusia memiliki masa di mana untuknya berhenti. Berhenti untuk tidak lagi peduli pada apa yang orang lain katakan. Berhenti untuk tidak lagi mendengarkan bagaimana orang menilai tentang dirinya. Dan berhenti untuk tidak lagi tertarik meyakinkan orang lain tentang bagaimana dirinya. Manusia memiliki kadar jenuh dan muak di dalam dirinya yang tak bisa lagi mentolerir kala orang lain memberinya penilaian buruk.Itu juga yang sudah pernah Alara Senja hadapi.Orang-orang macam itu adalah toxic. Dan sebagai penganut ‘no ribet’ Alara tinggalkan komentar pedas yang mengecam kehidupannya menajdi sebuah angin lalu lekas bergabung dengan debu jalanan. Alara sudah ada di fase persetan dengan semuanya terutama yang terjadi di dalam hidupnya. Terserah pada orang yang ingin menilainya baik mau pun buruk. Itu pilihannya dan benar kata Bahtiar Gema; kita tidak mempunyai wewenang untuk memaksa. Kenyataan yang terjadi adalah mereka hanya menilai orang dari sisi lain cerita gosip.
Setelah semalam berdebat dengan akhir yang cukup menegangkan. Gema dan Lara ketika di sandingkan memang tiada duanya. Perdebatan yang mereka ciptakan menjadi hiburan tersendiri sebelum menu utamanya di buka.Dan paginya, menjadi waktu paling tepat untuk Gema beraksi. Melihat Lara yang masih anteng bergelung dengan selimut, mata Gema bahkan harus ternoda melihat punggung mulus Lara terekspos. Sayangnya, ada sayatan luka panjang yang terpampang. Tidak Gema masalahkan. Tapi kekepoannya merajai tanpa akhlak.Sudah beristigfar—suka bikin dosa begini—Gema bisa nyebut. Bergegas bagus dan mengenakan bajunya. Gema arahkan kedua tungkainya menuju dapur. Menilik bahan-bahan apa saja untuk dirinya olah. Biarkan hari ini menjadi milik Gema. Sebelum esok Lara yang beraksi.“Telur lagi.” Gema mendesah kesal. Kenapa menunya tidak jauh-jauh dari telur. Ya maksudnya—you know what I mean? Sampai gedek Gema di buatnya.Tapi alih-alih kesal, Gema tetap meraih telur dalam bungkusan mika dan memadu padankan
Jam makan siang belum usai. Tapi Lara harus melihat drama yang tersaji secara epic di ruangan atasannya. Bukan bermaksud cemburu. Cukup sederhana saja bagi Lara untuk memisahkan mana pekerjaan dan mana yang pribadi. Namun mendengar bisikan Leha perihal wanita yang ada di dalam ruangan Gema, ada percikan api yang tersulut. Ingin mengakui bahwa itu cemburu, takut kekanakan. Tapi memendam sendiri apa yang dirasakan, juga bukan solusi yang tepat.“Serius lo ini mantan istrinya?” Leha mengangguk. Bukan Lara yang kepo. Adalah Saras. Datang-datang menyedot es teh susu bobanya.m. “Gila gengs. Oke bohaylah untuk seumuran 30 tahun.” Oh, masih muda. “Tapi ngapain coba dia datang ke sini?”“Rujuk kali. Kan pak Gema juga masih melajang. Biasa, duda-janda demen gitu; kawin cerai.”“Apa bagusnya, sih, ya kayak gitu tuh. Di sangka nyari duwit segampang balikin telapak tangan saja.”“Orang kaya suka bebas. Nggak ada pandang bulu soal gampang susahnya.”Benar juga. Lara jadi diam. Mendadak otak Lara b
Beberapa orang memiliki prinsipnya masing-masing. Soal cinta, jika ternyata orang yang saat ini berdiri di sampingnya ternyata bukanlah pilihan yang Tuhan cantumkan, takkan ada sesal yang di rasai. Namun bersamaan dengan itu, belum tentu orang lain punya cara pikir yang sama. Jika gagal, mereka akan menyebutnya dengan trauma dan butuh waktu cukup lama untuk sembuh. Ada juga yang bahagia telah menyediakan cinta sebaik dan setulus ini. Intinya, semuanya tergantung dari mana ingin kita melihat sisinya. Ada yang ketika sudah mencintai tidak mengharapkan balasan apa pun. Ada yang banyak menuntut. Ada yang ingin memiliki seutuhnya. Dan semua kembali pada diri manusianya. Ingin seperti apa caranya dalam mencintai.Marini—Mama Gema—sangat girang saat berkunjung ke kantor putra bungsunya. Tidak tahu hal apa yang membuat wanita cantik di usia senja itu ke mari. Namun dampak kegirangannya adalah melihat Alara Senja yang masih bertahan di bawah naungan Bahtiar Gema padahal sudah tahu sekaku apa
Ah, pagi-pagi sekali di hari minggu, Lara kedatangan tamu. Yang tak lain adalah kakak dari si calon suami. Datang dengan senyum menawan yang mana cantiknya paripurna di umur yang mendekati kepala empat. Aih, Lara cemburu sekali alih-alih untuk insecure.“Kalau Mbak nggak ke sini, nggak bakalan ada niatan si duda itu bawa kamu balik ke rumah.”Lara tersenyum. Menerima sekantong oleh-oleh yang di bawa wanita—seingat Lara bernama Ama.“Mbak nggak bawa banyak. Cuma bisa masakin itu doang. Tadi sebelum ke sini, anak-anak minta di antar renang ke rumah om-nya. Jadi mbak buru-buru banget.”Oke, first impression yang ingin Alara Senja sematkan adalah: baik dan ramah. Bahkan mbak Ama tipikal yang suka membangun obrolan kalau Lara boleh mengatakan demikian. Itu terlihat dari caranya yang nggak bosan mencari topik padahal Lara menanggapi dengan senyuman doang.“Mbak mau minum apa?” tawar Lara. Bukan untuk basa basi. Tapi memang demikian aturannya. “Kebetulan aku baru selesai masak. Mbak mau gabu
Weekend kali ini berbeda. Banyak nasihat yang khususnya untuk Alara Senja kantongi. Ceritanya nanti saja, ya. Tanggung. Jangan mikir yang iya iya woi. Ini nggak kayak yang di pikirkan para penghuni jahanam Jadi, Bahtiar Gema tetap berkutat dengan segudang pekerjaannya. Yang belum usai dan Lara menjadi terkena imbasnya. Cemburu sekali rasanya sampai ingin mencabik-cabik wajah Gema yang anteng maksimal di sofanya.Tapi Lara memilih acuh. Jadinya gegoleran secara estetik dengan paha Gema sebagai bantalan. Protesan?Jangan tanya. Gema itu bucin makanya pasrah saja melihat kelakuan Lara yang males-malesan seperti sekarang ini. Malahan Gema menunjukkan kasih sayangnya sebagai cowok ke ceweknya dengan bersikap lembut. Tangan kanannya menggulir tablet guna memeriksa setiap data. Sedang tangan kirinya mengusapi kepala Lara. “Kok berhenti!?” Begitu kiranya jika tangan Gema tak lagi terasa di kepala Lara. “Abang egois banget leboh cinta ke dokumen ketimbang aku.”Lara akan misuh-misuh yang me
“Rencananya mau langsung hamil apa mau pacaran dulu?”Alara Senja cengengesan. Di tanya begitu oleh sang calon Ibu mertua rasanya, ugh, sesuatu sekali ceunah. Masalahnya ini masih di lingkungan kantor. Dan kabar hubungan Lara bersama Gema sejauh ini tidak terendus oleh publik.“Terserah Abangnya nanti tan—”“Mama. Kan sudah dibilang dari kemarin. Manggilnya Mama. Kamu jangan mau di paksa-paksa Gema semisal ada nunda, ya. Mama tuh pengen nimang cucu dari dia.”“Oke Ma.”Sejak tahu Gema bertindak gesit melamar Alara Senja, sejak hari itu juga Marini getol menyambangi kantor. Alasannya berbagai macam. Mulai dari membawakan makan siang yang aslinya berkedok untuk mengobrol dengan Lara. Seperti saat ini.“Gema tuh suka bikin keputusan yang kadang-kadang di satu pihak nggak bisa nerimanya.” Marini mulai bercerita. “Sudah umur mah tua tapi kelakuan kayak bocah.”“Jatuhin saja terus Ma,” sahut Gema.“Mama pikir kamu ke luar kantor loh.”Eksistensinya sudah jelas terlihat sejak Marini menapaki
Diam bukan artinya tidak mendengar apa-apa. Diam bukan artinya tidak tahu apa-apa.Mosa tahu dan membuat dendamnya berkali lipat lebih menyebalkan. Rasanya … mengesalkan ketika Alara Senja mendapatkan apa yang lebih dari dirinya. Pikir Mosa, merebut Prabu dari tangan Lara adalah sebuah keputusan yang paling tepat. Nyatanya tidak demikian kala Lara membawa lelaki yang jauh lebih baik dari Prabu. Ingin sekali Arini hancurkan Alara Senja sekali lagi. Namun …“Itu nggak kecepetan ya, Nak Gema?” tanya Jayanti gugup. Tangannya mulai meremas satu sama lain sebagai tanda kegelisahannya.Nampaknya tidak semudah dulu memengaruhi Prabu. Lelaki bernama Bahtiar Gema ini amatlah berbeda. Mata Mosa menatapnya lembut. Menelisik penuh nilai. Mencari-cari di mana letak perbedaan yang tak bias di sandingkan dengan Prabu. Dan, ah dapat, yakni kharisma. Benar. Lelaki ini penuh dengan karakter tak terduga yang tersimpan di dalam dirinya. Sebagai perempuan berpengalaman, Mosa tahu itu. Dan pantas jika Ala
Bachtiar Gema nggak punya cara simpel buat mengalihkan kegalauannya. Ditinggal Alara seorang diri, Gema cuma geluntang-geluntung di dalam rumah. Gabut dan nggak tahu mau ngapain. Mana sekarang kantornya libur pula. Mau ngantor sendiri kelihatan banget kalau Gema ini mata duwitan. Tapi di rumah cuma rebahan, bangun, duduk, rebahan lagi, bangun lagi, duduk lagi dan main PS. Main PS sendiri nggak ada lawan juga persis orang gila. Kalah diam, menang diam, lagi nyerang apa lagi. Gema kangen Alara.Kira-kira salahnya Gema tuh apa? Kok bisa Alara pergi seorang diri tanpa dirinya atau mencari dirinya dan merasa kangen? Kenapa Gema kelihatannya murahan banget setelah menikahi Alara, ya? Kenapa? Apa semua cowok kayak gitu? Jadi goblok dan sedikit dungu? Ah mbohlah. Gema mumet sendiri.Sekarang Gema bangun dari rebahannya di sofa. Jam masih menunjukkan pukul 2 siang lebih dikit. Cuaca di luar juga panas enggak, mendung juga enggak tapi panas maksimal–semromong maksimal kayak di neraka. Gema hen
Cuma manusia bodoh yang selalu ikut-ikutan dan gampang kepengaruh omongan manusia lainnya dengan modal 'katanya'. Yang katanya begini, begitu mendengarnya akan langsung membenci. Yang katanya begitu, langsung memusuhi. Hanya dengan katanya semua masalah akan muncul dan menjadi serangan secara bertubi-tubi.Daniah Maheswari juga seperti itu. Modal katanya yang Mosa Hutama sampaikan mempengaruhi cara pikir otaknya yang waras mendadak jadi gila. Katanya Prabu Setiawan itu baik, perhatian dan penuh kasih sayang. Katanya yang pada faktanya tidak demikian. Bagaimana nggak baik, perhatian dan penuh kasih sayang kalau Mosa Hutama adalah istri kesayangannya? Siapa sih yang nggak waras di sini? Terus sekarang Daniah kudu gimana ngadepin Prabu yang cuma diam kayak patung pancoran disertai tatapan matanya yang nyalang–persis hendak menerkam Daniah? Ah entah, Daniah nggak tahu lagi mesti gimana?"Kenapa belum pesen?" Prabu berucap seraya mengambil buku menunya. Kedua bola matanya menyisir setiap k
Alara memang belum sepenuhnya merasakan pahit manisnya hidup. Tapi kalau dibenci hanya lewat 'katanya' oleh para penggosip, jangan ditanya sesering apa Gema menerima perlakuan kayak gitu. Memang dirinya ini bukan manusia ribet yang pilih-pilih temen. Tapi setidaknya butuh yang satu frekuensi dan nggak suka basa-basi ngomongin yang nggak jelas. Masa muda Alara juga habis di tempat kerja. Jadi buat kumpul sama nongkrong sana-sini mana sempat. Masih bisa napas dengan lancar saja sudah hamdalah banget. Kok ini dituntut buat ikut acara-acara nggak jelas. Buang-buang waktu dan tenaga.Kehidupan yang Alara jalani nggak sesempurna kelihatannya kok. Tapi sekali lagi, bersyukur adalah caranya. Ada yang bilang kalau omongan adalah doa. Maka Alara iyakan saja setiap orang yang berkata 'enak ya jadi kamu', 'senang ya jadi kamu', dan lain sebagainya. Alara iyakan saja.Sadar sih, mengikuti standar kehidupan manusia nggak ada habisnya. Kita yang menjalani eh orang lain yang mengatur. Kayak lalu lin
Puasa-puasa kok bohong itu, 'kan dosa ya? Kata Jayanti, Mama Alara gitu. Dulu sewaktu Alara kecil setiap puasa selalu di wangsit buat jangan berbohong. Kalau nggak kuat puasa dan pengen makan mending ngomong. Nanti lanjut lagi puasanya sampai adzan magrib berkumandang. Pokoknya sekuatnya aja, nggak perlu memaksa diri timbang nanti nggak berpahala puasanya.Nah sekarang juga sama. Alara merasakan momen puasa yang mana dirinya tidak sedang berpuasa. Alasannya hamil walaupun seandainya mampu buat berpuasa boleh saja melakukannya. Sekarang ini yang sedang Alara alami kasusnya sama: puasa dan nggak boleh bohong. Cuma beda konsepnya aja. Kalau yang dikatakan oleh Jayanti perihal jangan bohong misal nggak kuat berpuasa sedang yang Alara alami adalah bohong lantaran nggak mau mengakui kebohongannya. Ini konsepnya gimana sih Ra?Begini, ingat yang sering Alara katakan kepada Bachtiar Gema, suaminya? Kalau mau poligami, silakan. Daripada membohongi lebih baik mengatakan jujur saja. Menginginka
"Lo nikah tapi lo ngasih izin ke suami lo buat nikah lagi." Adalah teman Mosa yang sedang memasukkan bolu pisang ke dalam mulutnya. Tawa di bibirnya belum luntur dan matanya menyipit seiring tawa yang di keluarkan."Gue heran sama cara pikir lo. Dari dulu kayak gitu nggak pernah berubah. Kenapa gitu Sa, why?"Teman satunya lagi yang baru menyesap kopi panasnya. Kedua teman Mosa yang sejak dulu menjalin hubungan dengannya selalu penuh keheranan. Jawaban yang selalu Mosa berikan nggak pernah membuat keduanya puas. "Gue pemegang tahta poligami tertinggi." Tawa ketiganya renyah. Mengundang seluruh pengunjung kafe yang ada di dekat ketiganya menoleh. Tatapan matanya penasaran dan penuh tanya."Seolah-olah Prabu nggak pernah ada artinya di mata lo. Wah, lo hebat! Bikin kakak lo kena mental dan sekarang suami lo di bikin nggak bisa ngomong apa-apa lagi. Seyogyanya orang nikah karena butuh anak buat hadir di antara pernikahan mereka. Alih-alih penyaluran napsu ya, Sa. Tapi lo … bukan maen!
Alara ujug-ujug ngidam ke Yogyakarta. Jari-jarinya dari pagi yang cerah ini scroll internet tanpa henti. Sampai mengabaikan suaminya yang pengen dimanja. Lagian puasa-puasa ada-ada aja pengen dimanja. Sementang libur kerja jadi seenak jidat sendiri maunya. "Abang minggir dulu ih!"Alara dorong Gema yang sejak tadi ngerungkel di belakang tubuhnya. Rasanya gerah padahal AC udah dinyalakan. Asli, Alara butuh suasana gunung yang dingin dan sejuk kayak Dieng mungkin."Ini suami kamu loh Yang!"Bukan Bachtiar Gema namanya kalau nggak protes. Laki satu itu cerewetnya kayak perempuan misal lagi butuh dimanja. Alara geram jadinya."Yang bilang suami tetangga siapa?" Itu bukan hardikan, 'kan ya? Alara cuma ngomong senyatanya aja kalau emang Gema suaminya. Ah bodo amatlah! Alara butuh piknik tapi perutnya makin membuncit."Kamu asli deh Yang makin galak aja tiap harinya. Salah aku di mana sih?"Aduh Biyung! Kok bisa banget suaminya baper kayak gini? Lebih-lebih dari Alara pula tingkahnya. Ini
Alara udah nggak marah sama Gema. Cuma kalau kesal iya. Terutama pada omongan Gema yang mau ngatur kehidupan anak-anaknya nanti. Itu masih terngiang-ngiang hingga detik ini di kepala Alara. Rungunya jadi sensitif mengingat kalimat ini dan hatinya jadi kacau. Alara tuh paling nggak bisa kalau anaknya diatur-atur nyampe dikekang pula. Selama masih tahap wajar, Alara pribadi pengen anak-anaknya bebas kayak burung. Bisa terbang dan menjelajah alam raya. Gema kalau ngomong langsung nandes, membekas dan bikin dada Alara sesak. Kalau beneran iya kayak gitu, artinya Gema sedang menciptakan neraka baru buat anak-anaknya. Lebih dari apa pun, Gema nggak mau belajar soal sakit mental yang Alara alami selama ini. Cuma butuh ambisi buat tercapai. Huh, mulut Alara inginnya mengumpat sekotor-kotornya, sumpah! Kalau nggak sadar dosa, ini spatula nyampe ke kepala Bachtiar Gema, Alara jabanin deh.Saking sakit hatinya, Alara sampai nggak percaya sama apa pun yang dirinya lihat. Terutama jika bersumber
Radit Wicaksono mencintai Nora Bachtiar setengah mati, setengahnya lagi tentang napsu dan kebutuhan biologisnya. Radit nggak munafik hanya mencoba jujur jika sebagai lelaki memenuhi kebutuhannya memanglah wajib.Sebelum dipertemukan kembali dengan Nora di salah satu kelab malam, secara acak Radit akan membawa wanita sewaannya ke dalam apartemennya. Puas tidak puas, dipikiran Radit hanya tentang menyalurkan napsunya. Selebihnya hanya helaan napas yang Radit embuskan.Namun setelah malam itu, merasai kembali Nora dalam kondisi mabuk dan setelah bertahun-tahun berlalu. Radit makin menggila. Seolah hari esok akan kiamat, Radit hanya menginginkan tubuh Nora untuk dirinya lahap. Radit hanya butuh Nora untuk dirinya kendalikan seorang diri. Katakanlah Radit gagal move on. Pesona Nora tiada tandingan sehingga nggak gampang baginya yang bucin buat pindah ke lain hati. Berapa kali pun Radit dijodohkan oleh kedua orang tuanya, hasilnya akan selalu berakhir di ranjang untuk kemudian terjadi peno
Hidup itu pilihan.Yang Alara Senja tahu sejak dulu seperti itu. Tapi Bachtiar Gema memang nggak ada akhlak. Tengah malam begini saat Alara sudah dibuai oleh mimpi, dengan sopannya terus menggedor pintu kamar tamu di mana Alara tidur. Marah sih memang tapi setelah kalah dengan rasa kantuknya, Alara singkirkan egonya. Tidak lagi memikirkan perkara obrolan yang Gema dan Papanya bangun. Mungkin saja cara pendekatan Papanya ke Gema sebagai menantu memang begitu caranya."Yang."Alara berdecak sebal dalam tidurnya. Gema berisik sekali dibalik pintu sana dan Alara terganggu total. Tidurnya tidak lagi nyenyak dan Gema penyebabnya."Abang laper."Ya Tuhan! Kutuk saja Pangeran Kodok yang legendaris itu jadi tanaman hias mahal. Alara benci jika tidurnya terganggu.Melongok jam yang ada di nakas, kekesalan Alara berkali-kali lipat. Pukul 00.49 dini hari dan Gema kelaparan? Bukan maen."Yang."Sekali lagi dan Alara benar-benar terbangun. Terduduk dengan terpaksa, wajah masam lalu menghempaskan s