PoV Ayu
Tengah malam terbangun, meraba samping tempat tidur, kosong. Menyibakkan selimut, mencari keberadaan suamiku.
‘Kemana dia?’
Aku bangkit, turun dari ranjang. Berjalan menuju toilet.
“Bang? Abang di dalam?” Memanggil sambil mengetuk pintu toilet. Tidak ada jawaban.
“Bang ....” Perlahan pintu toilet terbuka.
“Abang di dalam?” hanya suaraku yang menggema, tidak ada sahutan.
Menutup pintu kembali. “Kemana dia? Jangan-jangan ... Abang keluyuran.”
Mengambil kerudung bergo, jaket, dengan langkah cepat keluar kamar. Mencari keberadaan Abang. Aku gak mau kalau Abang tertarik wanita lain apalagi sampai dia menemui wanita gila yang tempo hari memeluk Abang di kantor.
Baru saja hendak menekan kode pintu apartemen, sebuah tangan menyentuh bahuk
PoV AyuKedua mata Abang membulat, terkejut mendengar permintaanku. Tak lama, tawaku meledak. Lucu sekali melihat ekspresi wajahnya. Abang tampak keheranan.“Kenapa, Yu?”Menghentikkan tawa, memandang wajah Abang.“Ayu becanda, Bang ... perut Ayu emang udah kenyang lihat cara makan Abang yang lahap itu. Tapi gak mungkinlah Ayu suruh Abang habisin dua mangkuk bakso ini. Ayu pengen disuapin Abang makan baksonya. Mau gak?” jelasku. Abang mendesah sambil mengucap hamdallah.“Abang kira kayak kemarin. Iya, Sayang, Abang mau nyuapin.”“Abang habisin duku makan baksonya. Setelah itu baru suapin Ayu.”Abang mengangguk. Tak lama kemudian, bakso di mangkuk suamiku sudah habis.“Udah selesai. Sekarang nyuapin istri tercinta. Ayok, Satang dibuka mulutnya.” Ucao Abang mengangkat se
PoV AbangTiba di kantor, Dion masuk ke ruanganku untuk membicarakan soal proyek yang akan kami tangani.“Gimana soal lahan kemaren?” Aku membuka percakapan saat berada di ruangan. Dion menarik kursi, duduk, menumpang kaki, ibu jari mengusap bulu di dagunya.“Lancar. Cuma itu lahan ada yang bekas empang. Jadi harus diurug tanah banyak. Kalau gak diurug dulu, bisa ambles nanti perumahannya.”Aku berpikir sejenak. Membayangkan lahan tersebut. Kalau begitu, berarti harus tambah anggaran dari rencana anggaran sebelumnya.“Strategis lokasinya?”“Lumayan. Dekat area pabrik aja sih. Lokasinya di belakang pabrik itu. Kita udah sepakat soal harga. Tinggal ngebangun.”“Good. Kalau kurang budget, tinggal bilang. Usahakan mandornya jujur.”Dion mengubah posisi duduk. Menum
PoV Dira Hubunganku dengan Sabrina sudah berjalan hampir tiga bulan. Tidak ada kendala selama ini. Bahkan, aku sempat dikenalkan oleh keluarganya. Ternyata, Ayah Sabrina seorang dokter. Ayahnya bernama Rahmat Hardian, sedangakan ibunya Widya Yargadinata. Keluarga terhormat dan kaya raya. Sejujurnya aku merasa minder, apalagi Sabrina kerap kali berbicara soal pernikahan. Entahlah, aku tak mengerti. Kenapa dia begitu ingin menikah denganku? Terus terang aku pun telah jatuh hati padanya. Sabrina yang dulu terkenal populer di kampus, dan sering kali bergaya centil, sekarang sudah berubah 180 derajat. “Dir, besok Kakak aku yang tinggal di Semarang mau datang. Kamu ke rumah ya? Mau aku kenalin.” Ucapnya saat kami baru tiba di kos-an pukul delapan malam. Aku dan Rina menikmati hembusan angin malam di depan teras. Terdiam, memikirkan pembicaraan atau pertanyaan yang akan
PoV SabrinaSungguh! Aku tak menyangka kalau Dira anak tukang bakso. Penampilannya selama ini sangat mencerminkan orang yang berada, seperti orang yang memiliki ekonomi menengah ke atas. Lebih tak menyangka lagi, ternyata dia seorang duda! Astaga ... kenapa kisah cintaku selalu rumit?Memejamkan mata, mengingat kembali kedekatan kami yang baru terajut hitungan bulan.Hingga tiba di rumah, air mataku tak henti berlinang.“Rina, kamu nangis?” Mama menghentikkan langkah saat menuju kamar. Kuseka air mata, terbata menjawab pertanyaan wanita yang telah melahirkanku.“Ng-Nggak apa-apa, Ma. Rina mau ke atas dulu.” Menaiki anak tangga, tidak menghiraukan panggilan Mama.Di dalam kamar, kutumpahkan segala beban di hati. Menangis histeris. Aku tidak mau kehilangan Sudira. Aku ingin menikah dengannya, bagaimana pun masa lalunya yang terpenting se
PoV Sabrina.Di depanku sudah duduk lelaki yang kusayangi. Kami sengaja bertemu di salah satu cafe dekat kampus.“Makasih, Rin. Kamu masih mau ketemu sama aku.” Dira membuka percakapan setelah dua cangkir kopi diletakkan oleh waiters di atas meja.“Iya. Ada yang mau aku bicarakan.” Jawabku menatap lelaki yang sangat kurindukan.“Bicaralah. Tentang hubungan kita?” mendongak, menatap lelaki berkulit sawo matang.“Iya. Bukan Cuma itu, aku juga ... ingin jujur soal masa laluku.”Dira mengerutkan kening. Alisnya tertaut, kedua bola mata memandang intens.“Masa lalu? Oke, aku akan dengarkan masa lalu kamu.”Menarik napas panjang. Bingung, mau mulai dari mana. Mengingat masa lalu yang sempat dulu aku kubur dalam-dalam.“Dira, aku bukan perempuan baik-ba
PoV SabrinaAku bersyukur, Dira dengan lapang hati mau menerima masa laluku. Bahkan dia ingin memperjuangkan cinta kami.Tiba di rumah, aku langsung mencari Kak Inggit.“Kakak kamu ada di taman belakang. Lagi ngobrol sama suaminya. Ada apa sih?” jawab Mama saat aku menanyakan keberadaan Kak Inggit.“Nanti juga Mama tau kok. Dah ya, aku mau ketemu Kak Inggit dulu.” Setengah berlari ke taman belakang. Langkah kaki terhenti, ketika kulihat Kak Inggit dan suaminya seperti sedang bertengkar. Aku segera membalikkan badan, memilih pergi ke kamar, menunggu mereka selesai.Dari balkon kamar yang menjorok ke taman belakang, diam-diam memerhatikan pasangan suami istri itu. Mereka masih saja berdebat. Entah apa yang menyebabkan pertengkaran mereka. Eh, si kembar di mana ya?Berlari menuruni anak tangga, mencari Rafi dan Rifa.“Bi, si
PoV SabrinaKedua mata Kak Inggit menerawang, mungkin sedang memikirkan jawaban atas pertanyaanku.“Menurut kamu diapain, Rin?”“Bakar!!” Emosiku kian tak terkendali. Kak Inggit tertawa lepas sampai memegang perutnya.“Gak mau! Ada-ada aja kamu!”Sebal sih, udah ngerebut suami orang, malah sengaja pamer pernikahan ke istri pertama. Pelakor emang gak punya hati!“Kita ketemuan aja, Kak! Jambak rambutnya sampe putus!” kataku masih dengan emosi meluap. Kak Inggit menarik napas panjang.“Kakak mau gugat cerai aja kali ya?”“Kakak mundur?” Kak Inggit menggeleng.“Bukan. Cuma pengen tau aja, hidup Mas Genta sama si Dita itu nantinya gimana. Kakak udah capek, lihat kelakuannya. Bilang janji gak akan mengulangi, gak taunya sekarang malah maki
PoV Dokter Rahmat (Papa Sabrina)‘Anak pembuat onar! Gak tau diri! Selalu saja bikin masalah.’ Aku terus memaki sepanjang jalan.Sabrina dari dulu sangat sulit diatur, anak pembangkang. Berbeda sekali dengan anak pertamaku, Inggit. Dia adalah anak yang membanggakan.Mengeluarkan ponsel, menghubungi sahabat karib. Aku ingin berbincang banyak hal dengannya.“Hallo, Pras?” sapaku saat sambungan telepon terhubung.“Berkali-kali aku bilang jangan panggil dengan nama itu!!”Ya Tuhan, dia malah marah-marah. Kuembuskan napas perlahan. Jangan sampai terpancing emosi.“Sorry, Bram ... aku lupa.”“Sudah tua kau! Selalu saja lupa!”“Aku tidak mau berdebat. Kau sedang di mana, Bram?”“Di rumahlah ....” Aku