PoV Ayu
Kedua mata Abang membulat, terkejut mendengar permintaanku. Tak lama, tawaku meledak. Lucu sekali melihat ekspresi wajahnya. Abang tampak keheranan.
“Kenapa, Yu?”
Menghentikkan tawa, memandang wajah Abang.
“Ayu becanda, Bang ... perut Ayu emang udah kenyang lihat cara makan Abang yang lahap itu. Tapi gak mungkinlah Ayu suruh Abang habisin dua mangkuk bakso ini. Ayu pengen disuapin Abang makan baksonya. Mau gak?” jelasku. Abang mendesah sambil mengucap hamdallah.
“Abang kira kayak kemarin. Iya, Sayang, Abang mau nyuapin.”
“Abang habisin duku makan baksonya. Setelah itu baru suapin Ayu.”
Abang mengangguk. Tak lama kemudian, bakso di mangkuk suamiku sudah habis.
“Udah selesai. Sekarang nyuapin istri tercinta. Ayok, Satang dibuka mulutnya.” Ucao Abang mengangkat se
PoV AbangTiba di kantor, Dion masuk ke ruanganku untuk membicarakan soal proyek yang akan kami tangani.“Gimana soal lahan kemaren?” Aku membuka percakapan saat berada di ruangan. Dion menarik kursi, duduk, menumpang kaki, ibu jari mengusap bulu di dagunya.“Lancar. Cuma itu lahan ada yang bekas empang. Jadi harus diurug tanah banyak. Kalau gak diurug dulu, bisa ambles nanti perumahannya.”Aku berpikir sejenak. Membayangkan lahan tersebut. Kalau begitu, berarti harus tambah anggaran dari rencana anggaran sebelumnya.“Strategis lokasinya?”“Lumayan. Dekat area pabrik aja sih. Lokasinya di belakang pabrik itu. Kita udah sepakat soal harga. Tinggal ngebangun.”“Good. Kalau kurang budget, tinggal bilang. Usahakan mandornya jujur.”Dion mengubah posisi duduk. Menum
PoV Dira Hubunganku dengan Sabrina sudah berjalan hampir tiga bulan. Tidak ada kendala selama ini. Bahkan, aku sempat dikenalkan oleh keluarganya. Ternyata, Ayah Sabrina seorang dokter. Ayahnya bernama Rahmat Hardian, sedangakan ibunya Widya Yargadinata. Keluarga terhormat dan kaya raya. Sejujurnya aku merasa minder, apalagi Sabrina kerap kali berbicara soal pernikahan. Entahlah, aku tak mengerti. Kenapa dia begitu ingin menikah denganku? Terus terang aku pun telah jatuh hati padanya. Sabrina yang dulu terkenal populer di kampus, dan sering kali bergaya centil, sekarang sudah berubah 180 derajat. “Dir, besok Kakak aku yang tinggal di Semarang mau datang. Kamu ke rumah ya? Mau aku kenalin.” Ucapnya saat kami baru tiba di kos-an pukul delapan malam. Aku dan Rina menikmati hembusan angin malam di depan teras. Terdiam, memikirkan pembicaraan atau pertanyaan yang akan
PoV SabrinaSungguh! Aku tak menyangka kalau Dira anak tukang bakso. Penampilannya selama ini sangat mencerminkan orang yang berada, seperti orang yang memiliki ekonomi menengah ke atas. Lebih tak menyangka lagi, ternyata dia seorang duda! Astaga ... kenapa kisah cintaku selalu rumit?Memejamkan mata, mengingat kembali kedekatan kami yang baru terajut hitungan bulan.Hingga tiba di rumah, air mataku tak henti berlinang.“Rina, kamu nangis?” Mama menghentikkan langkah saat menuju kamar. Kuseka air mata, terbata menjawab pertanyaan wanita yang telah melahirkanku.“Ng-Nggak apa-apa, Ma. Rina mau ke atas dulu.” Menaiki anak tangga, tidak menghiraukan panggilan Mama.Di dalam kamar, kutumpahkan segala beban di hati. Menangis histeris. Aku tidak mau kehilangan Sudira. Aku ingin menikah dengannya, bagaimana pun masa lalunya yang terpenting se
PoV Sabrina.Di depanku sudah duduk lelaki yang kusayangi. Kami sengaja bertemu di salah satu cafe dekat kampus.“Makasih, Rin. Kamu masih mau ketemu sama aku.” Dira membuka percakapan setelah dua cangkir kopi diletakkan oleh waiters di atas meja.“Iya. Ada yang mau aku bicarakan.” Jawabku menatap lelaki yang sangat kurindukan.“Bicaralah. Tentang hubungan kita?” mendongak, menatap lelaki berkulit sawo matang.“Iya. Bukan Cuma itu, aku juga ... ingin jujur soal masa laluku.”Dira mengerutkan kening. Alisnya tertaut, kedua bola mata memandang intens.“Masa lalu? Oke, aku akan dengarkan masa lalu kamu.”Menarik napas panjang. Bingung, mau mulai dari mana. Mengingat masa lalu yang sempat dulu aku kubur dalam-dalam.“Dira, aku bukan perempuan baik-ba
PoV SabrinaAku bersyukur, Dira dengan lapang hati mau menerima masa laluku. Bahkan dia ingin memperjuangkan cinta kami.Tiba di rumah, aku langsung mencari Kak Inggit.“Kakak kamu ada di taman belakang. Lagi ngobrol sama suaminya. Ada apa sih?” jawab Mama saat aku menanyakan keberadaan Kak Inggit.“Nanti juga Mama tau kok. Dah ya, aku mau ketemu Kak Inggit dulu.” Setengah berlari ke taman belakang. Langkah kaki terhenti, ketika kulihat Kak Inggit dan suaminya seperti sedang bertengkar. Aku segera membalikkan badan, memilih pergi ke kamar, menunggu mereka selesai.Dari balkon kamar yang menjorok ke taman belakang, diam-diam memerhatikan pasangan suami istri itu. Mereka masih saja berdebat. Entah apa yang menyebabkan pertengkaran mereka. Eh, si kembar di mana ya?Berlari menuruni anak tangga, mencari Rafi dan Rifa.“Bi, si
PoV SabrinaKedua mata Kak Inggit menerawang, mungkin sedang memikirkan jawaban atas pertanyaanku.“Menurut kamu diapain, Rin?”“Bakar!!” Emosiku kian tak terkendali. Kak Inggit tertawa lepas sampai memegang perutnya.“Gak mau! Ada-ada aja kamu!”Sebal sih, udah ngerebut suami orang, malah sengaja pamer pernikahan ke istri pertama. Pelakor emang gak punya hati!“Kita ketemuan aja, Kak! Jambak rambutnya sampe putus!” kataku masih dengan emosi meluap. Kak Inggit menarik napas panjang.“Kakak mau gugat cerai aja kali ya?”“Kakak mundur?” Kak Inggit menggeleng.“Bukan. Cuma pengen tau aja, hidup Mas Genta sama si Dita itu nantinya gimana. Kakak udah capek, lihat kelakuannya. Bilang janji gak akan mengulangi, gak taunya sekarang malah maki
PoV Dokter Rahmat (Papa Sabrina)‘Anak pembuat onar! Gak tau diri! Selalu saja bikin masalah.’ Aku terus memaki sepanjang jalan.Sabrina dari dulu sangat sulit diatur, anak pembangkang. Berbeda sekali dengan anak pertamaku, Inggit. Dia adalah anak yang membanggakan.Mengeluarkan ponsel, menghubungi sahabat karib. Aku ingin berbincang banyak hal dengannya.“Hallo, Pras?” sapaku saat sambungan telepon terhubung.“Berkali-kali aku bilang jangan panggil dengan nama itu!!”Ya Tuhan, dia malah marah-marah. Kuembuskan napas perlahan. Jangan sampai terpancing emosi.“Sorry, Bram ... aku lupa.”“Sudah tua kau! Selalu saja lupa!”“Aku tidak mau berdebat. Kau sedang di mana, Bram?”“Di rumahlah ....” Aku
PoV Abang“Bohong apa, Yu?” Bukannya menjawab, Ayu justru menatapku dengan tatapan yang sangat menusuk. Seolah kebohongan yang aku lakukan sangat menyakitkannya. Tapi kebohongan apa?Seingatku, selama ini tidak ada yang aku tutupi darinya. Semua telah aku ceritakan. Apalagi keseharian kami selalu bersama-sama. Ayu memalingkan wajah. Enggan memandangku. Air matanya merembas.“Sayang ... bilang ke Abang. Abang bohong soal apa? Tolong ....” Kuusap air mata yang membasahi pipinya.“Yu ... tolong bilang, kesalahan Abang apa?” Dia tetap bungkam. Sepertinya Ayu sedang tidak mau bicara padaku. Mungkin lebih baik membiarkan Ayu sendiri dulu.“Ya udah kalau Ayu gak mau ngomong sama Abang. Lebih baik, Ayu istirahat dulu. Biar sehat lagi. Abang sayang Ayu.” Mengecup keningnya lama. Kedua bibir Ayu masih terkatup rapat. Aku b
PoV Abang Setelah acara peresmian selesai, aku segera meninggalkan tempat acara. Ingin cepat-cepat menemui Ayu. Tadi Bunda menelepon, katanya Ayu sudah dibawa ke rumah sakit. Dokter bilang, Ayu sudah mulai pembukaan dua. “Bang, tunggu!” seru Sabrina yang memang ikut datang bersama Sudira. Aku menghentikkan langkah, membalikkan badan. Sabrina dan Dira mendekati. “Ada apa?” sabrina mengatur napas. “Papa gimana kabarnya?” Aku menghela napas. “Udah nemuin belum?” Aku balik tanya. Kali ini Sabrina harus mau menemui Papanya. Kasihan Om Rahmat, kesepian. Aku tidak akan membiarkan salah satu amggota keluarga hidup sebatang kara lagi. Sabrina menggeleng. “Kamu temui dulu. Sorry, gue lagi buru-buru.” Aku melanjutkan langkah dengan cepat menuju parkiran. tapi pasangan itu terus mengikuti. “Bang, aku serius. Papa gimana keadaannya?” Sabrina berusaha mensejajarkan langkah. “Nanti aku kirim alamat apartemennya.” Ucapku masuk ke dalam mobil. “Ada apa sih buru-buru?” Rina tidak sabaran. “Ay
PoV Abang“Om gak nyangka secepat ini ditinggalkan Cindy. Padahal Om mulai yakin, kalau dia benar-benar sayang Om. Tidak hanya menginginkan uang Om.” Tutur Om Rahmat di tengah isak tangisnya. Aku menghela napas sebelum menanggapi.“Jodoh, rejeki, kematian, itu semua rahasia Tuhan. Om harus sabar dan ikhlas, biar Cindy tenang di sana.” Kucoba menghibur Papanya Sabrina. Ia terlihat sedih sekali. Kepalanya merunduk. Sesekali menyeka cairan yang keluar dari hidung dan mata. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang kita sayangi. Saat kehilangan Ayah, berbulan-bulan kehilangan gairah hidup. Murung di kamar, enggan berbicara, bahkan kebiasaanku menjahili Ayu pun hilang dalam beberapa waktu.“Iya, Den. Om akan berusaha untuk ikhlas. Terima kasih.”Aku melongok ke atas, melihat keadaan apartemen yang sebagiannya sudah hangus terbakar. Api sudah tidak lagi berkobar.&
PoV Abang Pukul delapan pagi, tiba di kantor. Bertepatan dengan kedatangan Dion. Kami bertemu di area parkir. “Dira udah datang dari jam tujuh katanya,” ujar Dion mensejajari langkahku. “Wah tumben? Ada apa?” “Ada yang mau dibicarain soal perumahan itu. Dia mau langsung ke sana hari ini.” Saat melewati lobby, terlihat Dira sedang berbincang dengan seorang wanita. Aku dan Dion menghampiri Dira seketika pembicaraan mereka terhenti. “Pagi, Pak Dendi, Pak Dion.” Sapa Dira berdiri. Wanita di sampingnya membuang muka, menyeka air mata. “Pagi. Eh, bukannya itu Rina ya?” tanyaku melongok wanita yang kini berdiri di samping Dira. “Iya, Bang. Aku Rina,” sahut anak kedua Om Rahmat. “Ya udah, Ayo kita naik ke atas.” Ajakku pada mereka. Dion sudah lebih dahulu naik ke atas. Mungkin mempersiapkan beberapa berkas terkait proyek perumahan yang ditangani Dira. “Aku nunggu di sini aja,” ucap Rina. “Kamu ikut. Ada yang mau saya bicarakan.” Kataku berjalan lebih dulu dari Sabrina dan Sudira. M
PoV BundaAku hanya menghela napas. Bingung, harus bersikap bagaimana. Kakak kandungku menikah dengan wanita yang pernah dekat dengan Mas Bram. Haruskah berdiam diri, membiarkan Bang Yadi dikuras uangnya perlahan-lahan?“Riana, aku berani sumpah. Aku tidak pernah lagi menghubungi dia. Aku juga gak tahu, kalau dokter punya hubungan dengannya? Riana aku minta maaf.” Menoleh, menatap kedua netra laki-laki yang telah bertahun-tahun aku cintai. Kupaksakan bibir ini untuk tersenyum.“Aku percaya sama kamu, Mas.” Mas Bram terlihat lega. Ia menggenggam telapak tanganku lalu mengecupnya berkali-kali.“Aku janji! Gak akan mendekati wanita lain lagi. Apalagi mendekati Cindy atau Sari. Tidak akan, Riana!”“Sari? Maksud Mas apa?” Aku heran, kenapa Mas Bram menyebut nama Sari? Sikap suamiku salah tingkah kembali. Ia sekarang tampak gusar. Melepas
PoV BundaTak kusangka, dokter Rahmat yang tak lain adalah Kakak kandungku bertandang ke rumah lagi. Mas Bram yang kebetulan sedang ada di rumah menyambutnya cukup ramah, seolah kejadian malam tempo hari itu tidak terjadi. Bang Yadi dan Mas Bram duduk di kursi teras, mereka berbincang seolah tidak terjadi apa-apa. Aku ke dalam membawa dua cangkir kopi, menyuguhkannya pada suamiku dan Bang Yadi.“Jadi, kau juga sudah menemui Ibu?”Degh!Pertanyaan Mas Bram yang dilontarkan untuk Bang Yadi membuatku tersentak. Maksud Mas Bram Ibu siapa ya? Aku menarik kursi satunya, duduk di sebelah Mas Bram.“Sudah. Aku yakin, kalau beliau memang wanita yang telah melahirkanku dan Tari.”Jawaban Bang Yadi membuatku salah tingkah. Mas Bram dan Bang Yadi sudah bertemu dengan wanita itu, dan mereka sangat yakin kalau wanita yang tinggal di rumah Dendi adalah Ibuku dan B
PoV Abang“On, telepon Pak Heru. Kita nunggu di rumah Firman aja. Sekalian bilang ke Pak Heru, jenazah Herlina langsung urus di sana. Dari mulai dimandiin, dikafanin, dan juga dishalatin. Biar nanti di daerah kediaman Firman, kita persiapkan pemakamannya aja.” Kataku sambil menyetir.“Oke.” Dion langsung menghubungi komandan Heru Rudhiat.Sekian menit Dion berbicara dengan Komandan Heru. Sesekali aku menoleh, memastikan segala yang aku usulkan disanggupi.“Gimana, On?” tanyaku, begitu Dion mengakhiri sambungan telepon.“Iya. Jenazah Herlina diurus di sana. Tadi Pak Heru bilang, jam dua siang, Herlina dibawa ke rumah sakit. Sempat mengalami perawatan. Nah jam tiga, dia meninggal.”“Oh begitu. Sekarang udah dikafani belum?”“Tadi katanya lagi dimandiin sama pihak pemandi mayat rumah sakit
PoV AbangSetelah dua hari istirahat di rumah, akhirnya aku bisa keluar juga. Menghadiri acara pernikahan Mama Dahlia dan Pak Supriyatna. Acaranya dilaksanakan di kediaman baru Pak Supriyatna yang berlokasi tidak jauh dari rumah Ibu.“Kalau kata Ibu, Pak Supri sengaja beli rumah dekat rumah Ibu supaya Mama Dahlia ada temannya. Udah gitu kan, ibu sama Mama Dahlia lagi produksi usaha kue kering.” Jelas Ayu saat aku bertanya alasan Pak Supri membeli rumah di daerah situ.Tidak hanya aku dan Ayu yang datang di acara pernikahan orang tua Silvi itu, Nenek, Bi Sumi dan Bang Parto pun ikut datang.Setelah semuanya siap, kami meluncur ke lokasi acara tersebut. Bang Parto yang mengemudikan mobil.Tidak memerlukan waktu lama, kami telah sampai di tempat. Suasana sudah mulai ramai. Aku memapah dan memperkenalkan Nenek pada Ibu dan yang lainnya. Alhamdulillah mereka menerima dan percaya kalau N
PoV AbangAku membiarkan Nenek dan Om Rahmat hanyut dalam isak tangis kerinduan. Meninggalkan mereka dan Masuk ke dalam kamar, air mataku turut mengalir. Ayu yang sedang berselonjor di atas pembaringan terhenyak.“Bang, Abang kenapa?” Bergegas Ayu menghampiriku, duduk di tepi ranjang. Menyeka air mata.“Om Rahmat mengakui Nenek sebagai Ibunya?” Aku menoleh, menganggukkan kepala.“Alhamdulillah ....” Ayu memeluk pinggangku. Aku membelai kepalanya, mengecup cukup lama.“Abang terharu ya?”“Iya. Tapi sayang, Abang gagal bikin Bunda mau menemui Nenek.” Ayu mengembuskan napas. Mengusap punggung tanganku.“Gak apa-apa. Insya Allah, Bunda juga sebentar lagi mau mengakui Nenek.”“Sebentar lagi kan, Ayu mau lahiran. Abang pengen semua keluarga berkum
PoV dokter RahmatApa benar begitu? Perasaan sayang yang aku rasakan pada Tari, karena kami ada hubungan darah?Memang, kerap kali Tari merasa tersakiti, hatiku ikut tersakiti. Melihatnya bahagia, hatiku pun ikut bahagia. Apalagi jika mengingat kejadian malam itu. Di mana sebelumnya kami tertawa bersama, namun sikap kasar yang dilakukan oleh Bram terhadap Tari membuatku sangat amat marah.“Om, kalau ingin mendengar cerita lebih jelasnya, Om bisa ikut saya untuk ketemu Nenek. Kasihan Nenek, Om. Apakah Om tidak merindukan sosok wanita yang telah mengandung dan melahirkan Om?”“Kau ... telah bertemu dengan dia?” Bergetar aku melempar tanya.“Iya.”“Apa kau yakin, kalau dia wanita yang telah melahirkan Om dan Bundamu?”“Yakin. Walaupun kami belum melakukan tes DNA, tapi saya yakin kalau be