PoV Sabrina
Kedua mata Kak Inggit menerawang, mungkin sedang memikirkan jawaban atas pertanyaanku.
“Menurut kamu diapain, Rin?”
“Bakar!!” Emosiku kian tak terkendali. Kak Inggit tertawa lepas sampai memegang perutnya.
“Gak mau! Ada-ada aja kamu!”
Sebal sih, udah ngerebut suami orang, malah sengaja pamer pernikahan ke istri pertama. Pelakor emang gak punya hati!
“Kita ketemuan aja, Kak! Jambak rambutnya sampe putus!” kataku masih dengan emosi meluap. Kak Inggit menarik napas panjang.
“Kakak mau gugat cerai aja kali ya?”
“Kakak mundur?” Kak Inggit menggeleng.
“Bukan. Cuma pengen tau aja, hidup Mas Genta sama si Dita itu nantinya gimana. Kakak udah capek, lihat kelakuannya. Bilang janji gak akan mengulangi, gak taunya sekarang malah maki
PoV Dokter Rahmat (Papa Sabrina)‘Anak pembuat onar! Gak tau diri! Selalu saja bikin masalah.’ Aku terus memaki sepanjang jalan.Sabrina dari dulu sangat sulit diatur, anak pembangkang. Berbeda sekali dengan anak pertamaku, Inggit. Dia adalah anak yang membanggakan.Mengeluarkan ponsel, menghubungi sahabat karib. Aku ingin berbincang banyak hal dengannya.“Hallo, Pras?” sapaku saat sambungan telepon terhubung.“Berkali-kali aku bilang jangan panggil dengan nama itu!!”Ya Tuhan, dia malah marah-marah. Kuembuskan napas perlahan. Jangan sampai terpancing emosi.“Sorry, Bram ... aku lupa.”“Sudah tua kau! Selalu saja lupa!”“Aku tidak mau berdebat. Kau sedang di mana, Bram?”“Di rumahlah ....” Aku
PoV Abang“Bohong apa, Yu?” Bukannya menjawab, Ayu justru menatapku dengan tatapan yang sangat menusuk. Seolah kebohongan yang aku lakukan sangat menyakitkannya. Tapi kebohongan apa?Seingatku, selama ini tidak ada yang aku tutupi darinya. Semua telah aku ceritakan. Apalagi keseharian kami selalu bersama-sama. Ayu memalingkan wajah. Enggan memandangku. Air matanya merembas.“Sayang ... bilang ke Abang. Abang bohong soal apa? Tolong ....” Kuusap air mata yang membasahi pipinya.“Yu ... tolong bilang, kesalahan Abang apa?” Dia tetap bungkam. Sepertinya Ayu sedang tidak mau bicara padaku. Mungkin lebih baik membiarkan Ayu sendiri dulu.“Ya udah kalau Ayu gak mau ngomong sama Abang. Lebih baik, Ayu istirahat dulu. Biar sehat lagi. Abang sayang Ayu.” Mengecup keningnya lama. Kedua bibir Ayu masih terkatup rapat. Aku b
PoV SilviAku sangat menyesal, membahas dan bertanya soal wanita bugil itu. Ayu benar-benar shock. Aku kira dia tahu, ternyata tidak. Sekarang Abang dan Ayu sedang berdua di dalam kamar. Aku tak bisa membayangkan bagaimana reaksi Ayu pada suaminya. Duh, semua ini memang salahku.“Mbak Silvi, diminum dulu tehnya.” Bi Sumi duduk di kursi sebelahku.“Udah, Mbak ... jangan terlalu dipikirin. Insya Allah Mbak Ayu sama Mas Dendi baik-baik saja.” Hibur Bi Sumi yang memang tahu akar permasalahannya. Tadi selepas keluar kamar Ayu, aku langsung bercerita soal obrolan di ruang tamu.“Silvi takut ... Ayu sama Abang berantem, Bi.” Suaraku bergetar. Menahan rasa sesal di dada. Kalau ada apa-apa dengan rumah tangga sahabatku, akulah orang pertama yang pantas disalahkan. Mengangkat cangkir yang disuguhkan Bi sumi, menyesap teh hangat perlahan-lahan.
PoV AyuUntuk kesekian kalinya, aku membentak Abang. Rasa sesak dan sesal menyelimuti dada. Kedua bola mata suamiku membulat, tapi tak ada amarah sedikitpun yang keluar dari mulutnya. Ia mendesah panjang, lalu berdiri.“Abang udah jelasin yang sebenarnya. Perkara Ayu percaya atau gak, itu hak Ayu. Oke, Abang ke kantor lagi. Ayu baik-baik di rumah.”Sesungguhnya aku pun ingin mempercayai penjelasan Abang tapi entah kenapa ada keraguan tersendiri dalam hati ini.Ya Allah ... jangan sampai aku dibutakan oleh rasa cemburu dan curiga yang berlebihan.Suara derum mobil Abang sudah menjauh. Aku beranjak keluar, menemui Silvi dan Bi Sumi.Silvi sedang termangu di kursi meja makan seorang diri. Dia tampak bersedih, mungkin merasa bersalah padaku. Padahal tidak perlu seperti itu, justru aku berterima kasih padanya jadi tahu masalah ini.****Jam lima sore,
PoV DiraPenugasan keluar kota dari Pak Dendi membuatku sedikit ragu. Bukan tak mau. Persoalannya masalahku dengan Sabrina belum selesai. Apalagi kalau tugasnya mengawasi pekerja, mengecek bahan-bahan bangunan dan juga keluar masuk keuangan, itu membutuhkan pikiran yang ekstra.Pukul sembilan malam baru tiba di kost. Sebelumnya mampir sebentar di sebuah cafe bersama Rico dan Leo. Dua sahabatku semasa kuliah.Aku menemui mereka meminta pendapat perihal hubunganku dengan Sabrina. Kalau menurut Rico, aku harus tetap meminta restu pada orang tua Sabrina dengan membuktikan jika aku bisa meraih kesuksesan tapi itu butuh waktu yang sangat lama.Sementara Leo, memberi saran agar aku dan Sabrina kawin lari saja. Dari pada melakukan hal-hal yang tak diinginkan. Karena menurutnya, sampai kapanpun orang tua Sabrina tidak akan merestui.Entahlah, hingga detik ini belum ada keputusan yang kuam
PoV Ayu Sambil berjalan di pinggir trotoar, aku memesan taksi online. Berdiri di halte yang tak jauh dari butik. Menyeka air mata yang mulai membasahi pipi. Ucapan dan pertanyaan Silvi membuatku takut. Takut apa yang dikatakannya benar adanya. Tidak! Itu tidak boleh terjadi. Aku harus mempercayai penjelasan Abang. Benar kata Silvi, aku harus mampu berdamai dengan masa lalu Abang. Taksi yang kupesan sudah berhenti tepat di depan. Segera masuk, memberi tahu alamat yang akan dituju. Melirik arloji sudah pukul delapan lewat tiga puluh lima menit. Apakah Abang masih di rumah atau sudah berangkat di kantor? Mengeluarkan ponsel kembali, mengetik nomor Bi Sumi. Menanyakan keberadaan Abang. Tapi nihil, beberapa panggilanku tidak diangkat. Apakah Abang sudah berangkat ke kantor? Aku malu kalau menghubungi Abang langsung. Menyandarkan punggung pada jok mobil sambil memejamkan mata. Bingung harus k
PoV DahliaSemenjak tinggal bersama Silvi, hidupku menjadi lebih tenang. Meski awal hidup seatap dengan anak itu, hatiku masih saja menyimpan rasa benci, tapi aku akui, di sini lebih aman, nyaman, dan tentram.Selang beberapa hari, Silvi memutuskan untuk pindah ke kontrakan lain. Mungkin sudah tak sanggup lagi menghadapi sikapku yang selalu tak baik padanya. Ya aku tahu, aku bukanlah ibu yang baik. Sangat buruk. Anak yang tidak tahu menahu, menjadi pelampiasan kebencian dan kekesalan yang kualami pada seorang laki-laki bernama Supriyatna. Yang tiada lain adalah Bapak kandung Silvi.Tidak hanya itu, peristiwa yang paling membuatku terkejut, berita pernikahan Putri, anak kesayanganku yang menikah dengan laki-laki bermental authis. Lebih parah, Putri sudah hamil sebelum menikah.Itu semua menjadi masa lalu. Dimulai saat bertemu ibu mertua Silvi, pikiran dan hatiku mulai terbuka. Aku yang d
PoV AyuAku membawa tas kerja Abang ke dalam kamar. Bi Sumi sudah tidak lagi di dapur, mungkin sedang menemani Bang Parto. Di dalam kamar, membuka kembali tas kerja yang biasa Abang bawa. Bibirku tersenyum saat menemukan buku agenda yang sudah lusuh. Buku agenda keseharian suamiku sejak dulu.Naik ke atas tempat tidur, punggung kusandarkan pada kepala ranjang. Membaca lembaran-lembaran curhatan Abang. Hampir semua yang dialami ditulis dalam buku ini. Hingga soal pertengkaran aku dengannya.Bukan maksud merahasiakan masalah itu padanya. Hanya saja, menurutku tidaklah penting. Aku tak menyangka, Ayu sangat marah dan parahnya tidak percaya pada penjelasanku.Yu, harus bagaimana lagi Abang ngeyakinin Ayu? Semua yang Ayu tuduhkan tidak benar. Sumpah! Demi Tuhan! Abang tidak melakukan seperti yang Ayu pikirkan. Jika sumpah atas nama-Nya tidak dipercayai, lantas dengan sumpah apalagi? Bukankah s
PoV Abang Setelah acara peresmian selesai, aku segera meninggalkan tempat acara. Ingin cepat-cepat menemui Ayu. Tadi Bunda menelepon, katanya Ayu sudah dibawa ke rumah sakit. Dokter bilang, Ayu sudah mulai pembukaan dua. “Bang, tunggu!” seru Sabrina yang memang ikut datang bersama Sudira. Aku menghentikkan langkah, membalikkan badan. Sabrina dan Dira mendekati. “Ada apa?” sabrina mengatur napas. “Papa gimana kabarnya?” Aku menghela napas. “Udah nemuin belum?” Aku balik tanya. Kali ini Sabrina harus mau menemui Papanya. Kasihan Om Rahmat, kesepian. Aku tidak akan membiarkan salah satu amggota keluarga hidup sebatang kara lagi. Sabrina menggeleng. “Kamu temui dulu. Sorry, gue lagi buru-buru.” Aku melanjutkan langkah dengan cepat menuju parkiran. tapi pasangan itu terus mengikuti. “Bang, aku serius. Papa gimana keadaannya?” Sabrina berusaha mensejajarkan langkah. “Nanti aku kirim alamat apartemennya.” Ucapku masuk ke dalam mobil. “Ada apa sih buru-buru?” Rina tidak sabaran. “Ay
PoV Abang“Om gak nyangka secepat ini ditinggalkan Cindy. Padahal Om mulai yakin, kalau dia benar-benar sayang Om. Tidak hanya menginginkan uang Om.” Tutur Om Rahmat di tengah isak tangisnya. Aku menghela napas sebelum menanggapi.“Jodoh, rejeki, kematian, itu semua rahasia Tuhan. Om harus sabar dan ikhlas, biar Cindy tenang di sana.” Kucoba menghibur Papanya Sabrina. Ia terlihat sedih sekali. Kepalanya merunduk. Sesekali menyeka cairan yang keluar dari hidung dan mata. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang kita sayangi. Saat kehilangan Ayah, berbulan-bulan kehilangan gairah hidup. Murung di kamar, enggan berbicara, bahkan kebiasaanku menjahili Ayu pun hilang dalam beberapa waktu.“Iya, Den. Om akan berusaha untuk ikhlas. Terima kasih.”Aku melongok ke atas, melihat keadaan apartemen yang sebagiannya sudah hangus terbakar. Api sudah tidak lagi berkobar.&
PoV Abang Pukul delapan pagi, tiba di kantor. Bertepatan dengan kedatangan Dion. Kami bertemu di area parkir. “Dira udah datang dari jam tujuh katanya,” ujar Dion mensejajari langkahku. “Wah tumben? Ada apa?” “Ada yang mau dibicarain soal perumahan itu. Dia mau langsung ke sana hari ini.” Saat melewati lobby, terlihat Dira sedang berbincang dengan seorang wanita. Aku dan Dion menghampiri Dira seketika pembicaraan mereka terhenti. “Pagi, Pak Dendi, Pak Dion.” Sapa Dira berdiri. Wanita di sampingnya membuang muka, menyeka air mata. “Pagi. Eh, bukannya itu Rina ya?” tanyaku melongok wanita yang kini berdiri di samping Dira. “Iya, Bang. Aku Rina,” sahut anak kedua Om Rahmat. “Ya udah, Ayo kita naik ke atas.” Ajakku pada mereka. Dion sudah lebih dahulu naik ke atas. Mungkin mempersiapkan beberapa berkas terkait proyek perumahan yang ditangani Dira. “Aku nunggu di sini aja,” ucap Rina. “Kamu ikut. Ada yang mau saya bicarakan.” Kataku berjalan lebih dulu dari Sabrina dan Sudira. M
PoV BundaAku hanya menghela napas. Bingung, harus bersikap bagaimana. Kakak kandungku menikah dengan wanita yang pernah dekat dengan Mas Bram. Haruskah berdiam diri, membiarkan Bang Yadi dikuras uangnya perlahan-lahan?“Riana, aku berani sumpah. Aku tidak pernah lagi menghubungi dia. Aku juga gak tahu, kalau dokter punya hubungan dengannya? Riana aku minta maaf.” Menoleh, menatap kedua netra laki-laki yang telah bertahun-tahun aku cintai. Kupaksakan bibir ini untuk tersenyum.“Aku percaya sama kamu, Mas.” Mas Bram terlihat lega. Ia menggenggam telapak tanganku lalu mengecupnya berkali-kali.“Aku janji! Gak akan mendekati wanita lain lagi. Apalagi mendekati Cindy atau Sari. Tidak akan, Riana!”“Sari? Maksud Mas apa?” Aku heran, kenapa Mas Bram menyebut nama Sari? Sikap suamiku salah tingkah kembali. Ia sekarang tampak gusar. Melepas
PoV BundaTak kusangka, dokter Rahmat yang tak lain adalah Kakak kandungku bertandang ke rumah lagi. Mas Bram yang kebetulan sedang ada di rumah menyambutnya cukup ramah, seolah kejadian malam tempo hari itu tidak terjadi. Bang Yadi dan Mas Bram duduk di kursi teras, mereka berbincang seolah tidak terjadi apa-apa. Aku ke dalam membawa dua cangkir kopi, menyuguhkannya pada suamiku dan Bang Yadi.“Jadi, kau juga sudah menemui Ibu?”Degh!Pertanyaan Mas Bram yang dilontarkan untuk Bang Yadi membuatku tersentak. Maksud Mas Bram Ibu siapa ya? Aku menarik kursi satunya, duduk di sebelah Mas Bram.“Sudah. Aku yakin, kalau beliau memang wanita yang telah melahirkanku dan Tari.”Jawaban Bang Yadi membuatku salah tingkah. Mas Bram dan Bang Yadi sudah bertemu dengan wanita itu, dan mereka sangat yakin kalau wanita yang tinggal di rumah Dendi adalah Ibuku dan B
PoV Abang“On, telepon Pak Heru. Kita nunggu di rumah Firman aja. Sekalian bilang ke Pak Heru, jenazah Herlina langsung urus di sana. Dari mulai dimandiin, dikafanin, dan juga dishalatin. Biar nanti di daerah kediaman Firman, kita persiapkan pemakamannya aja.” Kataku sambil menyetir.“Oke.” Dion langsung menghubungi komandan Heru Rudhiat.Sekian menit Dion berbicara dengan Komandan Heru. Sesekali aku menoleh, memastikan segala yang aku usulkan disanggupi.“Gimana, On?” tanyaku, begitu Dion mengakhiri sambungan telepon.“Iya. Jenazah Herlina diurus di sana. Tadi Pak Heru bilang, jam dua siang, Herlina dibawa ke rumah sakit. Sempat mengalami perawatan. Nah jam tiga, dia meninggal.”“Oh begitu. Sekarang udah dikafani belum?”“Tadi katanya lagi dimandiin sama pihak pemandi mayat rumah sakit
PoV AbangSetelah dua hari istirahat di rumah, akhirnya aku bisa keluar juga. Menghadiri acara pernikahan Mama Dahlia dan Pak Supriyatna. Acaranya dilaksanakan di kediaman baru Pak Supriyatna yang berlokasi tidak jauh dari rumah Ibu.“Kalau kata Ibu, Pak Supri sengaja beli rumah dekat rumah Ibu supaya Mama Dahlia ada temannya. Udah gitu kan, ibu sama Mama Dahlia lagi produksi usaha kue kering.” Jelas Ayu saat aku bertanya alasan Pak Supri membeli rumah di daerah situ.Tidak hanya aku dan Ayu yang datang di acara pernikahan orang tua Silvi itu, Nenek, Bi Sumi dan Bang Parto pun ikut datang.Setelah semuanya siap, kami meluncur ke lokasi acara tersebut. Bang Parto yang mengemudikan mobil.Tidak memerlukan waktu lama, kami telah sampai di tempat. Suasana sudah mulai ramai. Aku memapah dan memperkenalkan Nenek pada Ibu dan yang lainnya. Alhamdulillah mereka menerima dan percaya kalau N
PoV AbangAku membiarkan Nenek dan Om Rahmat hanyut dalam isak tangis kerinduan. Meninggalkan mereka dan Masuk ke dalam kamar, air mataku turut mengalir. Ayu yang sedang berselonjor di atas pembaringan terhenyak.“Bang, Abang kenapa?” Bergegas Ayu menghampiriku, duduk di tepi ranjang. Menyeka air mata.“Om Rahmat mengakui Nenek sebagai Ibunya?” Aku menoleh, menganggukkan kepala.“Alhamdulillah ....” Ayu memeluk pinggangku. Aku membelai kepalanya, mengecup cukup lama.“Abang terharu ya?”“Iya. Tapi sayang, Abang gagal bikin Bunda mau menemui Nenek.” Ayu mengembuskan napas. Mengusap punggung tanganku.“Gak apa-apa. Insya Allah, Bunda juga sebentar lagi mau mengakui Nenek.”“Sebentar lagi kan, Ayu mau lahiran. Abang pengen semua keluarga berkum
PoV dokter RahmatApa benar begitu? Perasaan sayang yang aku rasakan pada Tari, karena kami ada hubungan darah?Memang, kerap kali Tari merasa tersakiti, hatiku ikut tersakiti. Melihatnya bahagia, hatiku pun ikut bahagia. Apalagi jika mengingat kejadian malam itu. Di mana sebelumnya kami tertawa bersama, namun sikap kasar yang dilakukan oleh Bram terhadap Tari membuatku sangat amat marah.“Om, kalau ingin mendengar cerita lebih jelasnya, Om bisa ikut saya untuk ketemu Nenek. Kasihan Nenek, Om. Apakah Om tidak merindukan sosok wanita yang telah mengandung dan melahirkan Om?”“Kau ... telah bertemu dengan dia?” Bergetar aku melempar tanya.“Iya.”“Apa kau yakin, kalau dia wanita yang telah melahirkan Om dan Bundamu?”“Yakin. Walaupun kami belum melakukan tes DNA, tapi saya yakin kalau be