Selama akhir pekan itu kami disibukkan dengan memilih desain undangan, mendatangi hotel, memilih dekorasi, menu makanan, buket bunga, dan membicarakan mengenai konsep pesta kebun. Bunda yang lebih banyak memberikan pendapatnya. Aku tidak keberatan dengan semua itu.
Kembali bekerja pada hari Senin, aku merasa sangat bosan saat mengikuti rapat. Libur selama empat hari berturut-turut membuatku kesulitan menemukan kembali semangat kerjaku. Usai rapat, kami beristirahat sejenak sambil menikmati minuman hangat dan makanan ringan.
“Lihat, lihat!” Sari mendekatkan ponselnya ke arahku dan Retno. Kami serentak melihat ke arah layar. Ada sebuah video yang sepertinya dari rekaman CCTV. Samar-samar aku bisa mengingat tempat itu. Ada dua orang laki-laki sedang mengganggu seorang perempuan. Wajah gadis itu disamarkan, sedangkan wajah kedua laki-laki itu bisa terlihat cukup jelas.
Aku terbatuk-batuk begitu mengenali siapa saja yang ada dalam video tersebut. Itu adal
Pagi itu aku berolahraga seperti biasa. Walaupun kami hanya melakukannya selama beberapa hari sebelum Jason meninggal, aku merasa sedikit kehilangan tidak joging bersamanya lagi. Aku baru saja terbiasa dengan hubungan kami yang membaik, dia diambil dengan paksa dariku. Siapa yang ingin mengakhiri hidup kakakku? Mengapa begitu sulit untuk menemukan jejaknya?Tidak sanggup mengenangnya lebih lama lagi, aku memutuskan untuk kembali ke kamar. Aku tidak bisa berolahraga jika pikiranku tidak tenang. Theo sudah melakukan yang terbaik, aku tahu itu. Tetapi aku benci berada dalam keadaan tidak pasti seperti ini. Penyelidikan yang dilakukan oleh pihak yang berwajib juga belum memberikan angin segar.Aku membuka pintu kamar, menyalakan lampunya, dan segera mengurung niatku untuk masuk ke kamar. “Sial,” umpatku pelan. Perempuan itu duduk di tepi tempat tidurku dengan hanya bagian perutnya yang tertutup oleh selimut. Bagian tubuhnya yang lain polos tanpa sehelai benang
Aku tidak tahu apa yang telah terjadi. Tetapi saat aku bertanya apa yang membuat mereka saling membenci satu sama lain, tidak Kakak atau Naura yang mau menjawabnya. Setelah saling bertukar tatapan penuh kebencian, Kak Nevan kembali bergabung bersama teman-temannya di meja mereka, sedangkan kami melanjutkan makan siang kami.“Kalian ada rencana melakukan apa setelah ini?” tanyaku untuk mencairkan suasana.“Aku dan temanku akan berjalan ke pantai, lalu minum es kelapa. Itu adalah surga,” ucap Naura yang sudah kembali ceria.“Aku ingin di kamar saja. Aku janji akan bicara dengan Nimas lewat panggilan video,” ucap Nola sambil memberiku senyuman termanisnya. Mungkin dia berpikir bahwa aku ingin pergi bersamanya ke suatu tempat. Padahal kali ini aku tidak keberatan berada di kamar saja. Aku menoleh ke arah Jonah. Tanpa bertanya, aku sudah tahu dia akan menjawab apa.Usai makan siang, kami berpisah menuju aktivitas kami masing
Aku tahu bahwa ada yang aneh dengan tingkah Nevan dan Naura. Jika mereka hanya kenalan biasa, masalah yang pernah ada di antara mereka tidak akan berbuntut panjang. Tetapi mereka bertengkar tanpa peduli ada orang lain yang akan melihat mereka. Kemudian semalam Nevan malah mengajak Naura untuk menjadi rekannya menghadiri undangan pernikahan. Pagi ini adalah yang paling aneh.Mereka melihat sendiri bahwa ada kamera CCTV di koridor. Koridor ini juga tidak sepi. Hampir semua kamar terisi. Lalu apa yang mereka lakukan di depan kamar Naura? Mereka berciuman begitu panas, entah karena mereka saling membenci atau tertarik terhadap satu sama lain.Celeste yang berjalan di sisiku berhenti, lalu dia menarik tanganku untuk kembali ke koridor di mana elevator berada. Kami berdiri di balik tembok agar Nevan maupun Naura tidak menyadari kehadiran kami. Aku ingin mengatakan sesuatu, tetapi gadis itu meletakkan telunjuknya di depan mulutnya.Hm. Untuk apa kami hanya berdiri diam
“Celeste, kamu sudah periksa pesan yang masuk?” tanya Sari dari biliknya. Aku mengangkat kepala dan melihat ke arahnya dengan bingung. “Hari ini kita gajian!”“Oh!” Aku menghentikan pekerjaanku sejenak dan mengambil ponselku yang ada di samping keyboard. Ada satu pesan masuk, aku membacanya. Iya, gaji kami sudah masuk. Hanya setengah dari jumlah gaji kami yang sebenarnya karena kami baru dua minggu bekerja. Tetapi aku sangat bahagia membacanya. Gaji pertamaku.“Makan malam bersama nanti?” ajak Retno. Aku dan Sari serentak menganggukkan kepala kami.Aku memberitahu Jonah mengenai hal itu dan dia mengatakan agar aku berhati-hati. Dia tidak bisa ikut makan malam bersamaku dan teman-temanku. Walaupun aku sedikit kecewa dengan jawaban itu, aku tidak mengatakannya. Dia pasti sudah ada janji yang ada hubungannya dengan pekerjaan. Dia bisa menjemputku agar kami bisa pulang bersama malam nanti sudah lebih dari cuku
Tentu saja mereka berdua menyangkal hal itu. Kakak dan Naura serentak mengatakan bahwa dugaan Papa itu tidak benar. Mereka berdua bertengkar lagi. Tangan Jonah yang ada di pangkuanku mengusap-usap punggung tanganku. Aku menoleh ke arahnya dan melihat dia tersenyum penuh arti. Bukan hanya aku, dia pun menganggap pemandangan di hadapan kami itu sangat lucu.“Aku menyukaimu, Naura. Dan aku yakin, putraku juga menyukaimu. Maukah kamu memberinya satu kesempatan? Dia tidak akan pernah mengatakan ini kepadamu, jadi dia membutuhkan bantuan,” kata Papa membujuk atasanku. Papa memang orang tua yang sangat bijak.“Aku tidak pernah bilang,” kata Kakak, Papa segera menatapnya dengan tajam. Kak Nevan terpaksa menutup mulutnya.“Maaf, Om. Aku tidak bisa.”“Mengapa tidak? Dia tampan, seorang dokter yang sedang mengambil spesialis, dia belum pernah punya kekasih tetapi dia memperlakukan wanita dengan baik. Kamu bisa tanyakan itu k
“Kamu tidak bisa menghindariku selamanya, Jonah,” ucap Jovita yang berdiri penuh rasa percaya diri di depanku, menghalangi langkahku untuk masuk ke restoran. Siang ini aku punya janji makan siang dengan Ayah dan salah satu investor kami. Aku hanya berjalan melewatinya tanpa mengatakan apa pun. Dia memegang tanganku yang segera aku tepis sampai dia terdorong ke kiri dua langkah. Fabian segera menolong dengan memegang kedua lengannya agar dia tidak jatuh. Aku membuka pintu restoran itu. “Kamu harus datang besok ke gereja atau sesuatu yang buruk akan terjadi,” katanya mengancam. Aku sudah tidak takut pada apa pun lagi, jadi aku tidak ambil pusing dengan kalimatnya itu. Semua bukti yang aku butuhkan untuk membongkar kejahatan Om Gunawan sudah terkumpul. Aku hanya perlu memberi perintah, maka semua bukti itu bisa disebarkan di internet. Dalam waktu singkat, orang-orang perpajakan pasti akan memulai penyelidikan langsung dan polisi menangkap pria itu atas perbuatan
“Oh, tidak. Tidak. Jangan sekarang.” pekiknya panik. Ayahnya segera memegang tangannya kembali. “Vita, apakah kamu tidak apa-apa?” tanya Om Gunawan kebingungan. “Aku tidak apa-apa. Pernikahan harus diteruskan. Aku tidak apa-apa, Pa,” ucap Jovita yang mencoba untuk kembali berdiri dengan tegak, tetapi tidak bisa. Dia harus ditopang oleh ayahnya. “Tidak bisa. Kamu akan segera melahirkan.” Kalimat Om Gunawan itu mengundang istrinya juga beberapa tamu untuk maju ke altar. “Kita harus ke rumah sakit sekarang. Usia kandungannya baru tujuh bulan, air ketuban sudah pecah. Ini pertanda buruk.” ucap Tante Hesti panik. “Ayo, Pa. Kita tidak bisa menunggu sampai ambulans datang. Kita harus pergi sekarang.” “Tidak, Ma. Pernikahannya harus diteruskan,” ucap Jovita bersikeras. Beberapa orang menggotongnya keluar dari pintu yang baru saja dimasukinya tadi dengan penuh rasa percaya diri. Lydia melihat ke arahku dengan kesal, lalu mengikuti rombongan yan
Suara dan bunyi di sekitarku sangat mengganggu. Aku masih mengantuk, tetapi kumemaksa untuk membuka mata ingin meminta agar semuanya diam. Kepalaku terasa sakit sekali. Saat nyerinya berkurang, aku kembali membuka mata dan melihat ke sekelilingku. Aku hanya melihat warna putih. Langit-langit, tirai, semuanya berwarna putih. Apakah aku sedang berada di surga? Apa yang terjadi sehingga aku berada di ruangan ini? Merasakan sentuhan pada kedua tanganku, aku menoleh. Di sebelah kiri ada seorang pria, sedangkan di sebelah kanan seorang wanita. Mereka mengatakan sesuatu yang tidak bisa aku dengar. “Tidak apa-apa, Om. Dia hanya sedang membiasakan diri setelah beberapa jam tidak sadarkan diri.” Aku sayup-sayup mendengar suara Kakak. Kemudian dia berada dalam jangkauan penglihatanku. Dia berdiri di dekat kepalaku. “Hai, Este. Kamu sudah membuat kami semua khawatir.” “Kakak,” kataku pelan. Suaraku terdengar serak. Barulah aku menyadari bahwa aku sangat haus. “Aku haus.”