"Kamu ini ya..." Govan mendecak menatapnya sekilas. Nabila tertawa kecil, lalu kembali makan. Namun, pipinya masih merah. Setelah sarapan selesai, Nabila membawa piring-piring kotor ke wastafel dan mulai mencuci.Govan menghampirinya, menyandarkan tubuhnya ke meja dapur sambil menatapnya."Mau dibantuin gak," katanya."Santai Om, aku bisa sendiri." Nabila menoleh dan tersenyum. Govan menghela napas, lalu tiba-tiba mengulurkan tangannya dan mengacak rambut Nabila dengan lembut.Nabila terkejut, matanya membesar."Apa-apaan sih," gerutu Nabila dengan wajah yang seketika memerah."Makasih udah masakin sarapan." Govan hanya tersenyum kecil. Nabila menatapnya beberapa detik, lalu buru-buru menunduk, kembali mencuci piring dengan panik.Govan tersenyum kecil melihat telinga Nabila yang ikut memerah.***Di ruang tamu, suasana cukup tenang.Govan duduk di salah satu ujung sofa, laptopnya terbuka di atas meja dengan beberapa dokumen yang perlu ia tinjau. Ia mengetik dengan tenang, sesekal
Govan merapikan dasi di depan cermin, memastikan bahwa setelannya tampak rapi dan sempurna. Hari ini ia mengenakan kemeja hitam yang dipadukan dengan jas abu-abu gelap. Rambutnya sudah tertata rapi, dan parfum segar maskulin yang khas sudah ia semprotkan.Setelah memastikan semuanya sudah siap, ia mengambil jam tangan di atas meja dan memakainya."Baiklah, saatnya berangkat," gumamnya sebelum membuka pintu kamar dan melangkah keluar.Namun begitu ia keluar dari kamarnya dan menoleh ke arah tangga, langkahnya langsung terhenti.Matanya melebar, napasnya seolah tertahan melihat Nabila tengah menuruni tangga dengan anggun.Ia mengenakan gaun hitam selutut yang memiliki potongan simpel tapi elegan. Bagian atasnya pas di badan, menonjolkan siluet rampingnya, memberikan kesan manis dan berkelas. Rambut panjangnya yang biasanya terurai kini ditata dalam gelombang lembut, membuatnya tampak lebih dewasa dari biasanya.Govan tak bisa mengalihkan pandangannya.Dia terpesona.Sangat sangat terpes
"Orang-orang seperti aku?" Govan mengangkat alis."Maksudku... orang-orang kaya, pebisnis, eksekutif. Pasti suasananya beda dengan pesta anak kuliahan.""Yah, jangan berharap terlalu banyak. Pesta seperti ini biasanya lebih formal dan membosankan dibandingkan pesta mahasiswa." Govan terkekeh geli. "Ah masa. Gak mungkin ah!" Nabila tertawa kecil, tak sabar ingin melihatnya sendiri.Begitu mereka tiba di lokasi, atmosfer mewah langsung menyambut mereka.Tempat pesta dihiasi dengan lampu-lampu elegan, meja-meja bundar berlapis kain putih, dan pelayan yang sibuk mondar-mandir membawa nampan berisi minuman serta makanan ringan. Para tamu yang hadir tampak berkelas, sebagian besar mengenakan pakaian formal yang mahal dan elegan.Dan begitu Nabila masuk ke dalam ruangan bersama Govan, hampir seketika perhatian orang-orang langsung tertuju padanya.Beberapa pria meliriknya dengan takjub, sementara beberapa wanita menatapnya dengan tatapan penuh penilaian.Nabila, meskipun awalnya percaya dir
Nabila berdiri di salah satu sudut ruangan, mengamati kemewahan pesta yang belum pernah ia hadiri sebelumnya. Musik lembut mengalun, gelas-gelas kristal berkilauan di bawah lampu gantung, dan para tamu tampak bercengkerama dengan elegan.Saat ia sibuk menikmati suasana, seorang pria asing tiba-tiba mendekatinya dengan membawa dua gelas minuman.Pria itu tinggi, mengenakan jas biru tua dengan kemeja putih yang beberapa kancingnya sengaja dibuka, menampilkan dada bidangnya. Rambutnya tertata rapi, dan senyumannya yang penuh percaya diri seakan menyiratkan sesuatu yang tersembunyi.“Hai,” sapanya dengan suara dalam menyodorkan satu gelas minuman ada Nabila, “Aku perhatikan sejak tadi, kamu sendirian di sini.”“Oh, tidak. Aku hanya menikmati suasana.” Nabila tersenyum sopan melirik gelas itu. Cairan di dalamnya berwarna jingga keemasan, tampak seperti c*ckt**l yang biasa ia lihat di film-film.Ragu sejenak, namun karena tak ingin terlihat aneh, ia akhirnya menerimanya.“Terima kasih,” uca
Pesta ulang tahun Laras masih berlangsung meriah, tapi lama kelamaan Nabila merasa sedikit bosan. Ia memang menikmati hidangan lezat dan suasana mewah, tetapi tanpa teman untuk diajak berbincang, rasanya seperti terjebak di tempat yang asing.Sementara itu, Govan tampak sibuk berbicara dengan rekan-rekan kerjanya. Pria itu terlihat begitu tenang dan percaya diri, sesekali tersenyum tipis saat berbicara dengan mereka.Nabila menghela napas pelan, memainkan gelas jusnya dengan bosan. Sejak tadi, banyak pria yang mencuri pandang ke arahnya, tetapi tak ada yang cukup berani mendekatinya setelah melihat bagaimana Govan bersikap protektif sebelumnya.Setelah sekian lama hanya duduk di meja sendirian, akhirnya Govan kembali menghampirinya.“Bosan?” tanyanya dengan nada lembut.“Lumayan.” Nabila menoleh, mengangkat bahunya. “Kalau begitu, kita pulang sekarang.” Govan tersenyum kecil, lalu melirik jam tangannya. Nabila tidak keberatan. Ia segera berdiri dan mengikuti Govan keluar dari venue
Govan keluar dari kamar Nabila dengan langkah tergesa. Ia menutup pintu dengan pelan, mengusap wajahnya dengan frustrasi.“Apa yang baru saja kulakukan?” gumamnya.Ia duduk di tepi kasur di kamarnya sendiri, menundukkan kepala sambil meremas rambutnya. Pikirannya penuh dengan kejadian barusan.Bibirnya masih bisa merasakan kelembutan bibir Nabila.Sial. Ia baru saja merebut ciuman pertama keponakannya. Walaupun itu tidak disengaja, tetap saja perasaan bersalah menghantamnya tanpa ampun.Govan menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Ia harus melupakan ini. Ia harus menjaga batasan.Namun... Kejadian itu tidak mudah dilupakan begitu saja. ***Tik... Tik... Suara keyboard terdengar berulang kali di dalam ruangan kerja Govan. Ia duduk tegak di kursinya, menatap layar laptop yang menampilkan dokumen-dokumen penting. Pekerjaan menumpuk, dan ia harus segera menyelesaikannya.Namun, pikirannya tidak bisa sepenuhnya fokus.Setiap kali ia mencoba membaca laporan, bayangan keja
"Soal mimpi aku..." Seketika tangan Govan berkeringat dingin. “Semalam aku mimpi aneh,” ujarnya santai.Govan yang tengah menyuap nasi gorengnya langsung berhenti. Ia melirik Nabila dengan waspada.“Mimpi apa?” tanyanya, mencoba terdengar biasa saja.Nabila mengunyah makanannya, lalu wajahnya mulai memerah sedikit.“A-aku mimpi dicium seseorang,” katanya pelan, seakan malu mengakuinya."Uhuk..." Govan tersedak. Ia buru-buru meraih gelas air dan meneguknya, sementara Nabila menatapnya dengan heran.“Om nggak apa-apa?” tanya gadis itu, mengernyitkan dahi.“Om… aku baik-baik saja.” Govan batuk kecil, lalu mengangguk cepat. “Aneh banget, di dalam mimpiku wajah nggak kelihatan. Semuanya gelap.” Nabila memutar-mutar sendoknya di dalam piring. Govan menelan ludah. Tentu saja gelap. Itu bukan mimpi, namun kenyataan. Tapi… apakah mungkin Nabila tidak menyadari kalau itu adalah dirinya kan? Govan berusaha fokus pada makanannya, tapi semakin sulit ketika Nabila terus menatapnya dengan ekspr
Govan merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia mengalihkan pandangan, berharap bisa menghindari pertanyaan Nabila yang semakin berani."Om, kalau aku bukan keponakan Om, pasti Om bakal tergoda, kan?"Suara Nabila terdengar main-main, tapi Govan tahu betul bahwa gadis itu sedang menguji batas.Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan debaran dalam dadanya."Udah jangan naya yang aneh-aneh." Govan berkata dengan nada tegas."Jadi Om tetap nggak tergoda?" Nabila tersenyum tipis, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. "Bil, jangan nanya yang aneh-aneh. Om lagi makan ini," kata Govan dengan kesabaran yang mulai menipis. Nabila mengangkat bahunya, seolah tidak terlalu peduli, tapi ada kilatan menggoda di matanya."Aku cuma penasaran.""Udah selesai makannya?" tanya Govan, sengaja mengalihkan pembicaraan, Nabila menjawab dengan anggukan kecil. "Ya udah, aku mau ganti baju dulu, Om takut aku pakai baju terbuka, kan?" godanya sambil beranjak dari kursi.Govan tidak mer
Nabila turun dari tangga beberapa menit kemudian dengan hoodie abu-abu dan celana jeans ketat. Rambutnya yang setengah kering diikat asal ke belakang, membuat wajah mungilnya semakin terlihat segar. Govan yang menunggu di lobi, hanya bisa tersenyum kecil melihatnya.“Nah, sekarang udah cakep,” kata Govan.“Ayo, perut Om udah protes nih.” Goavan berkata sambil menarik lengan Nabila. Mereka melangkah keluar penginapan, berjalan ke parkiran kecil di mana mobil sewaan Govan terparkir. Baru saja Govan membuka pintu untuk Nabila, tiba-tiba dua sosok muncul dari arah penginapan, memanggil.“Nabiiilaa!” suara Riska terdengar ceria, disusul dengan langkah Berlian di belakangnya.“Ris! Ayo cepet!” Nabila menoleh, wajahnya langsung berseri-seri. Govan yang baru hendak menikmati malam berdua dengan Nabila, langsung menoleh dengan kaku. Ia memandang dua remaja itu dengan tatapan datar, bibirnya menegang tipis.“Ayo kita pergi makan, aku udah laper banget ini!" seru Riska, tanpa basa basi ia mend
"Hah," Nabila menghela nafas segar, langkahnya ringan keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih sedikit basah, tergerai mengenai pundaknya. Ia mengenakan piyama santai warna pastel, terlihat segar dan natural.Dengan malas, ia membanting tubuh ke atas kasur empuk, memejamkan mata sejenak menikmati kehangatan selimut yang membungkus tubuhnya. Hawa dingin dari luar membuat tubuhnya enggan beranjak.Tiba-tiba, suara dering ponsel mengagetkannya.Nabila melirik malas ke arah meja kecil. Nama Govan tertera jelas di layar.“Duh...” gumamnya, baru sadar bahwa ia belum mengabari Govan sama sekali selama seharian ini. Ia menggigit bibir bawahnya, merasa bersalah.Segera ia meraih ponselnya dan mengangkat panggilan itu.“H-Halo, Om...” suaranya terdengar canggung.“Nabila, kamu kemana aja hari ini?!” tegur Govan langsung, suaranya sedikit meninggi. Ada nada kekhawatiran yang terselip di balik teguran itu.“A-aku maaf, aku lupa ngabarin... Aku habis dari kebun teh, terus danau, terus ya... baru b
Matahari mulai naik ke atas, saat mereka menemukan sebuah warung makan sederhana di pinggir jalan, beratapkan daun kelapa, dengan pemandangan kebun teh membentang di kejauhan. Angin sepoi-sepoi membawa aroma sedap dari dapur.Mereka memilih duduk di meja kayu panjang di sudut, yang langsung menghadap hamparan hijau.“Gila, enak banget udaranya. Bikin lapar,” seru Riska sambil membuka buku menu.Tak butuh waktu lama, mereka memesan makanan sederhana nasi liwet, ayam goreng, sambal terasi, dan lalapan segar. Sambil menunggu pesanan datang, mereka membuka galeri kamera, melihat-lihat hasil foto yang tadi diambil.“Woi, liat nih. Ini fotoku, Bil!” seru Riska sambil menunjuk salah satu foto hasil jepretan Nabila.“Wah, keren juga. Sudutnya pas. Cahaya juga dapet. Bil, kamu punya bakat terpendam nih.” Berlian mengintip. Nabila nyengir malu-malu, pipinya sedikit memerah.“Serius, Bil. Nih ya,” Berlian bergeser mendekat, hampir membuat bahu mereka bersentuhan. Ia mengambil kamera dari tangan
Pagi Menjelang Siang di sebuah Gedung Perkantoran Modern. Govan duduk tegap di salah satu ruang meeting bergaya minimalis. Jas hitamnya tampak rapi, kemeja biru muda berpadu pas, memperlihatkan ketegasannya sebagai profesional. Di hadapannya duduk tiga orang klien. Laras duduk di sampingnya, mencatat poin-poin penting, sekali-kali menyodorkan dokumen untuk ditandatangani Govan.Ruangannya sejuk. Tapi suasana cukup menegangkan. Klien-klien ini bukan orang sembarangan mereka orang besar, dan proyek yang sedang dibicarakan bernilai miliaran rupiah. Namun wajah Govan tetap tenang. Suaranya datar dan percaya diri.“Jika semuanya sesuai timeline yang kita sepakati, fase pertama pembangunan bisa dimulai dua bulan dari sekarang. Kami hanya butuh konfirmasi akhir dari pihak Bapak dan tim,” ujar Govan sambil menyerahkan berkas presentasinya.“Kami puas dengan perencanaan Anda, Pak Govan. Saya pribadi suka dengan sikap profesional dan efisiensi tim Anda.” Salah satu klien mengangguk pelan.Lara
Sinar mentari pertama menelusup masuk melalui celah gorden, menyapu lembut wajah Nabila yang masih terlelap. Udara dingin pagi menggelitik, membuatnya menggeliat pelan dan mengerjapkan mata. Ia menoleh ke samping, melihat Riska masih memeluk guling dengan mulut sedikit terbuka dan suara napas pelannya. Nabila melihat jam di ponselnya. Pukul 05.12 pagi. Ia tersenyum kecil, mengingat rencana mereka menonton matahari terbit di danau tak jauh dari penginapan.Dengan semangat, ia turun dari ranjang dan merapikan hoodie-nya. Rambutnya diikat setengah, dan wajahnya masih segar tanpa riasan, tapi tetap manis. Ia menepuk-nepuk kaki Riska.“Ris… bangun. Udah jam lima lewat. Ayo ke danau,” bisiknya.“Hmm…” Riska meringkuk. “Dingin, Bil… lima menit lagi…”“Lima menit kamu bisa tidur selamanya kalau kita gak keburu liat sunrise,” canda Nabila sambil menepuk Riska.Tak lama, ketiganya sudah berada di luar, berjalan menyusuri jalan menuju danau. Udara pagi masih menusuk kulit, tapi langit perlahan
Musik mengalun santai, lampu-lampu gantung menerangi area dengan cahaya kuning redup yang menciptakan suasana hangat sekaligus menggoda. Gelas-gelas minuman berderet di atas meja. Riska dan Wiwin sudah mulai sedikit mabuk, tertawa-tawa sambil berceloteh tak jelas.Nabila, yang biasanya hanya menyentuh jus, malam ini entah kenapa menuruti ajakan mereka. Satu tegukan, dua… tiga… hingga pipinya mulai memerah, kepalanya ringan, dan suara di sekitarnya terasa mengambang.“Hei, kamu masih kuat?” tanya Berlian sambil tertawa, mencondongkan tubuhnya ke arah Nabila yang sedang menyandarkan dagu ke tangan.“Aku... aku baik-baik aja kok,” jawab Nabila dengan suara yang nyaris seperti bisikan. Matanya mengerjap pelan, fokusnya buyar. “Cuma pusing dikit...”“Kamu gak biasa minum, ya?” Berlian mendekat, wajahnya hanya berjarak beberapa jengkal dari wajah Nabila. “Tapi kamu cantik banget malam ini…”“Hah?” Nabila mengerutkan kening. “Aku serius.” Berlian tersenyum, lalu tangannya terulur menyentuh
Di kamar hotel, lantai delapan.Laras masuk ke dalam kamarnya dengan langkah pelan, namun jantungnya masih berdetak tak beraturan. Seolah udara malam tadi menyisakan sesuatu yang berbeda di dalam dadanya.Tangannya masih menggenggam erat mantel milik Govan yang tebal, hangat, dan wangi. Wangi yang selama ini hanya ia rasakan sekilas saat mereka bekerja bersama, tapi malam ini, terasa jauh lebih dekat… lebih personal.Ia menutup pintu, mematikan lampu utama dan membiarkan lampu meja kecil menyala temaram. Setelah melepas sepatunya, Laras berjalan cepat menuju tempat tidur, seperti sedang menyembunyikan sesuatu dari dirinya sendiri. Ia membenamkan wajah ke dalam mantel itu, menghirup dalam-dalam.“Duh, Pak Govan…” gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan rahasia. “Kenapa sih harus sebaik ini…”Ia tertawa pelan, malu sendiri. Jantungnya masih deg-degan. Laras tidak pernah membayangkan akan memiliki momen seperti tadi, makan malam berdua, Govan memberinya perhatian kecil, dan akhirnya menye
Govan melemparkan tubuhnya ke atas kasur hotel yang empuk. AC menyala dingin, menyejukkan udara panas yang menempel di kulitnya sejak tadi. Rambutnya masih basah karena baru saja mandi setelah seharian penuh rapat dengan klien. Kemeja putih santai membalut tubuhnya, dan celana kain longgar memberikan kenyamanan yang telah lama ia rindukan setelah duduk seharian.Ia mengambil ponsel dari atas nakas. Layarnya menyala, ada notifikasi dari WhatsApp.Nabila.Senyum tipis terbit di bibir Govan saat jempolnya menyapu layar. Beberapa foto masuk. Nabila dengan latar pegunungan hijau, danau biru yang tenang, dan satu selfie dengan teman-temannya, termasuk Berlian. “Akhirnya sampai juga! Pemandangannya bener-bener kayak di TV ya, Om! Wish you were here…”Govan menyentuh satu foto lebih lama, memperbesar wajah Nabila yang tersenyum lebar dengan kacamata hitam dan rambut dikuncir ke atas. Bahunya terbuka, terlihat dari tank top putih yang ia kenakan, namun tetap tertutup dengan jaket tipis yang s
Sinar matahari sore menembus jendela mobil, menciptakan bayangan-bayangan hangat di dashboard. Setelah hampir delapan jam perjalanan, akhirnya mobil yang ditumpangi Nabila dan teman-temannya memasuki kawasan resort pegunungan yang sejuk dan rindang. Jalanan menanjak, diapit pepohonan yang menjulang tinggi dan aroma tanah lembap yang menenangkan.“Wah... tempatnya keren banget!” seru Riska dari kursi belakang, hidungnya nyaris menempel ke jendela.“Kita nginep di sini?” tanya Riska lagi antusias, matanya tak lepas dari bangunan penginapan yang berdiri di tepi tebing, menghadap langsung ke hamparan danau biru yang tenang.“Iya. Aku booking tempat ini karena paling deket sama spot sunrise. View-nya cakep banget,” sahut Nabila .Nabila membuka pintu mobil dan turun perlahan. Angin sejuk langsung menyambutnya, meniup helai-helai rambutnya yang tergerai. Ia mendongak menatap langit, menghirup udara segar dalam-dalam dan tersenyum puas.“Udara di sini seger banget... asli nagih,” gumamnya p