Govan merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia mengalihkan pandangan, berharap bisa menghindari pertanyaan Nabila yang semakin berani."Om, kalau aku bukan keponakan Om, pasti Om bakal tergoda, kan?"Suara Nabila terdengar main-main, tapi Govan tahu betul bahwa gadis itu sedang menguji batas.Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan debaran dalam dadanya."Udah jangan naya yang aneh-aneh." Govan berkata dengan nada tegas."Jadi Om tetap nggak tergoda?" Nabila tersenyum tipis, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. "Bil, jangan nanya yang aneh-aneh. Om lagi makan ini," kata Govan dengan kesabaran yang mulai menipis. Nabila mengangkat bahunya, seolah tidak terlalu peduli, tapi ada kilatan menggoda di matanya."Aku cuma penasaran.""Udah selesai makannya?" tanya Govan, sengaja mengalihkan pembicaraan, Nabila menjawab dengan anggukan kecil. "Ya udah, aku mau ganti baju dulu, Om takut aku pakai baju terbuka, kan?" godanya sambil beranjak dari kursi.Govan tidak mer
Malam itu…Govan baru saja keluar dari kamar mandi setelah selesai mandi. Dengan handuk yang masih melingkar di lehernya, ia berjalan ke dapur untuk mengambil segelas air.Saat itulah, ia menemukan Nabila yang duduk di kursi dapur, memeluk lututnya dengan wajah yang sedikit muram.“Kenapa belum tidur?” Govan mengernyit. “Nggak bisa tidur.” Nabila menoleh padanya. “Kenapa?” Govan berjalan mendekat, lalu duduk di kursi seberangnya. “Nggak tahu… Aku kayak kepikiran sesuatu.” Nabila menggigit bibirnya ragu. “Tentang apa?” Govan menatapnya lekat. “Tentang Om.” Nabila menghela napas, lalu menatapnya lurus-lurus. “Kenapa dengan Om?” Govan sedikit terkejut, tapi berusaha tetap tenang. Nabila menatapnya dalam diam sejenak, lalu tiba-tiba berdiri dari kursinya dan berjalan ke sisi Govan.Tanpa peringatan, ia melingkarkan tangannya di leher pria itu dan memeluknya erat.Govan terdiam seketika.“Nggak ada apa-apa,” bisik Nabila di bahunya. “Aku cuma pengin manja sebentar.”Govan menelan lu
Aroma Nasgor dan kopi menyebar di dapur. Govan duduk di meja makan sambil membaca berita di ponselnya, sementara Nabila sibuk dengan sarapannya. "Om," panggil Nabila sambil mengunyah pelan."Hm?""Ujian semester sebentar lagi," ujarnya, sedikit menghela napas. "Kayaknya bakal padet banget, deh.""Makanya dari sekarang harus rajin belajar. Jangan sampai kebut semalam." Govan meletakkan ponselnya dan menatap Nabila. "Aku juga bukan tipe yang belajar mendadak, kok." Nabila cemberut. "Bagus kalau begitu. Tapi kalau ada yang nggak ngerti, tanya Om aja." Govan tersenyum tipis. "Om kan bukan mahasiswa lagi. Masih inget nggak pelajarannya?" Nabila terkekeh. "Hei, Om ini dulu mahasiswa berprestasi, tahu." Govan meliriknya tajam. "Iya, iya, Om hebat." Nabila mengangkat bahu sambil menyeringai. "Yang penting serius belajarnya, ya. Om nggak mau lihat nilai kamu jeblok." Govan hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum. "Siap, Om." Nabila memberi hormat main-main, membuat Govan tertawa ke
Minggu-minggu menjelang ujian semester benar-benar menyita waktu dan tenaga Nabila. Pagi hingga sore ia sibuk dengan kelas, lalu sorenya belajar bersama teman-temannya di perpustakaan atau kafe dekat kampus."Nab, nanti sore kita belajar bareng lagi di perpustakaan?" tanya Wiwin sambil menutup bukunya."Iya! Aku masih agak bingung sama materi statistik. Bantu aku lagi, ya?" Nabila mengangguk semangat. "Tentu saja, spesial buat kamu." Wiwin tertawa kecil. "Ikut dong, aku juga belum paham materi statistik." Rina yang duduk di sebelah mereka menyahut. "Aku ajak kak Berlian juga ya, biar kita bisa tanya-tanya." "Boleh tuh." Wiwin terkekeh setuju. Sedangkan nabila hanya bisa tersenyum kecil. ***Govan pulang kerja sedikit telat, tapi saat ia memasuki rumah, suasana rumah terasa sunyi dan kosong. Ia melirik jam di dinding. Sudah pukul tujuh malam."Kemana anak itu? Apa dia dikamarnya?" Hati Govan bertanya-tanya. "Bil?""Nabila?!" Panggil Govan lembut sambil membuka dasi di lehernya.
"Om kenapa ya? Sikapnya aneh banget," gumam Nabila sambil mencuci piring.Setelah selesai mencuci piring dan membereskan meja makan, Nabila membawa buku-bukunya ke ruang tamu. Ia membentangkan buku catatan, laptop, dan beberapa print-out materi kuliah di atas meja. Lampu ruang tamu menyala terang, namun suasana terasa sepi.“Nggak istirahat dulu? Kamu gak cape apa belajar terus?” tanya Govan yang baru saja keluar dari kamarnya, ia menyandarkan punggungnya ke sofa sambil menatap gadis itu yang tampak serius mencoret-coret buku.“Capek sih, tapi materi UAS minggu depan banyak banget, Om. Aku takut ketinggalan. Dosenku killer semua, ngeri kalau sampai remedial,” jawab Nabila tanpa mengalihkan pandangan dari laptopnya.Govan hanya mengangguk kecil. Matanya terus mengawasi gerak-gerik Nabila. Meskipun ia berusaha menutupi perasaannya, tetap saja rasa tak nyaman itu menu
Malam. Ketika mereka selesai makan malam, dengan wajah lesu Nabila menghampiri Govan yang tengah duduk di ruang keluarga sambil menonton televisi.Govan menoleh begitu menyadari kedatangan Nabila."Ada apa? Dari tadi Om perhatikan muka mu lesu amat. Tadi gimana ujiannya? Lancar?" tanyanya Govan."Jangan tanya lagi, Om. Aku lagi bete parah. Ujiannya parah banget! Sumpah! Soalnya kayak dari planet lain." Nabila mendesah, menjatuhkan tubuhnya ke sofa dengan dramatis."Sesusah itu?" Govan mengerutkan kening, sedikit khawatir."Iya. Aku belajar semalaman, tapi soal yang keluar malah nggak nyambung," gerutunya. "Satu kelas pada ngeluh semua.""Setidaknya kamu udah usaha maksimal, itu yang penting." Govan tersenyum simpati."Iya sih… tapi tetep aja nyesek." Nabila mengambil gelas itu dan menyesap perlahan."Besok masih ada ujian, kan?" Govan menatap gadis itu dalam-dalam.
"Nab?" panggil Govan, sedikit bingung dengan tatapan gadis itu.Tanpa menjawab, Nabila tiba-tiba mencondongkan tubuhnya. Dalam hitungan detik, bibirnya menyentuh bibir Govan.Cup... Sensasi lembutnya dan hangatnya bibir Nabila sekilas tidak cukup untuk membuat jantung Govan berhenti berdetak sejenak.Govan terpaku. Matanya membelalak, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Ia bahkan tidak sempat merespons, karena begitu bibir mereka terpisah, Nabila langsung tersenyum lebar dan membuka pintu mobil."Doain aku, ya, Om!" katanya ceria, sebelum menutup pintu dan berlari menuju gedung kampus.Govan masih diam di tempat. Tangannya menggenggam setir erat-erat. Nafasnya sedikit tersengal. Ia masih belum sepenuhnya mencerna kejadian barusan."Apa… yang barusan terjadi?"Bibirnya masih terasa hangat. Ia menyentuhnya perlahan, seolah ingin memastikan itu bukan mimpi."Dia… nyium aku?"Govan menoleh ke arah kampus, tempat Nabila sudah menghilang dari pandangan. Dadanya berdebar tak karu
Nabila masih duduk di ruang tamu, memeluk bantal dan menatap layar televisi yang bahkan tak ia perhatikan. Pikiran gadis itu melayang entah ke mana, tepatnya pada pria yang baru saja masuk ke kamarnya dan meninggalkan hawa canggung di udara.Govan akhir-akhir ini jadi berbeda. Lebih pendiam, lebih sering melamun, dan yang paling terasa, dia seperti sedang menjaga jarak darinya. Nabila bisa merasakannya. Bukan karena ia terlalu sensitif, tapi karena selama ini Govan selalu hangat padanya. Kini, senyumnya seakan diselimuti kabut tipis. Jauh dan penuh beban.“Apa aku salah ngomong ya tadi?” gumam Nabila pelan. “Apa dia marah karena aku pulang telat? Tapi kan aku udah bilang…”Matanya menatap kotak kue yang masih utuh di atas meja. Belum disentuh. Padahal, Govan biasanya langsung membuka dan mencicipinya, apalagi kalau tahu itu kue favoritnya.Nabila mendesah. Ia memeluk lututnya, meletakkan dagu di sana, lalu bergumam pelan, “Om kenapa sih? Aku salah apa?”Beberapa detik ia terdiam, sebe
"Hah," Nabila menghela nafas segar, langkahnya ringan keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih sedikit basah, tergerai mengenai pundaknya. Ia mengenakan piyama santai warna pastel, terlihat segar dan natural.Dengan malas, ia membanting tubuh ke atas kasur empuk, memejamkan mata sejenak menikmati kehangatan selimut yang membungkus tubuhnya. Hawa dingin dari luar membuat tubuhnya enggan beranjak.Tiba-tiba, suara dering ponsel mengagetkannya.Nabila melirik malas ke arah meja kecil. Nama Govan tertera jelas di layar.“Duh...” gumamnya, baru sadar bahwa ia belum mengabari Govan sama sekali selama seharian ini. Ia menggigit bibir bawahnya, merasa bersalah.Segera ia meraih ponselnya dan mengangkat panggilan itu.“H-Halo, Om...” suaranya terdengar canggung.“Nabila, kamu kemana aja hari ini?!” tegur Govan langsung, suaranya sedikit meninggi. Ada nada kekhawatiran yang terselip di balik teguran itu.“A-aku maaf, aku lupa ngabarin... Aku habis dari kebun teh, terus danau, terus ya... baru b
Matahari mulai naik ke atas, saat mereka menemukan sebuah warung makan sederhana di pinggir jalan, beratapkan daun kelapa, dengan pemandangan kebun teh membentang di kejauhan. Angin sepoi-sepoi membawa aroma sedap dari dapur.Mereka memilih duduk di meja kayu panjang di sudut, yang langsung menghadap hamparan hijau.“Gila, enak banget udaranya. Bikin lapar,” seru Riska sambil membuka buku menu.Tak butuh waktu lama, mereka memesan makanan sederhana nasi liwet, ayam goreng, sambal terasi, dan lalapan segar. Sambil menunggu pesanan datang, mereka membuka galeri kamera, melihat-lihat hasil foto yang tadi diambil.“Woi, liat nih. Ini fotoku, Bil!” seru Riska sambil menunjuk salah satu foto hasil jepretan Nabila.“Wah, keren juga. Sudutnya pas. Cahaya juga dapet. Bil, kamu punya bakat terpendam nih.” Berlian mengintip. Nabila nyengir malu-malu, pipinya sedikit memerah.“Serius, Bil. Nih ya,” Berlian bergeser mendekat, hampir membuat bahu mereka bersentuhan. Ia mengambil kamera dari tangan
Pagi Menjelang Siang di sebuah Gedung Perkantoran Modern. Govan duduk tegap di salah satu ruang meeting bergaya minimalis. Jas hitamnya tampak rapi, kemeja biru muda berpadu pas, memperlihatkan ketegasannya sebagai profesional. Di hadapannya duduk tiga orang klien. Laras duduk di sampingnya, mencatat poin-poin penting, sekali-kali menyodorkan dokumen untuk ditandatangani Govan.Ruangannya sejuk. Tapi suasana cukup menegangkan. Klien-klien ini bukan orang sembarangan mereka orang besar, dan proyek yang sedang dibicarakan bernilai miliaran rupiah. Namun wajah Govan tetap tenang. Suaranya datar dan percaya diri.“Jika semuanya sesuai timeline yang kita sepakati, fase pertama pembangunan bisa dimulai dua bulan dari sekarang. Kami hanya butuh konfirmasi akhir dari pihak Bapak dan tim,” ujar Govan sambil menyerahkan berkas presentasinya.“Kami puas dengan perencanaan Anda, Pak Govan. Saya pribadi suka dengan sikap profesional dan efisiensi tim Anda.” Salah satu klien mengangguk pelan.Lara
Sinar mentari pertama menelusup masuk melalui celah gorden, menyapu lembut wajah Nabila yang masih terlelap. Udara dingin pagi menggelitik, membuatnya menggeliat pelan dan mengerjapkan mata. Ia menoleh ke samping, melihat Riska masih memeluk guling dengan mulut sedikit terbuka dan suara napas pelannya. Nabila melihat jam di ponselnya. Pukul 05.12 pagi. Ia tersenyum kecil, mengingat rencana mereka menonton matahari terbit di danau tak jauh dari penginapan.Dengan semangat, ia turun dari ranjang dan merapikan hoodie-nya. Rambutnya diikat setengah, dan wajahnya masih segar tanpa riasan, tapi tetap manis. Ia menepuk-nepuk kaki Riska.“Ris… bangun. Udah jam lima lewat. Ayo ke danau,” bisiknya.“Hmm…” Riska meringkuk. “Dingin, Bil… lima menit lagi…”“Lima menit kamu bisa tidur selamanya kalau kita gak keburu liat sunrise,” canda Nabila sambil menepuk Riska.Tak lama, ketiganya sudah berada di luar, berjalan menyusuri jalan menuju danau. Udara pagi masih menusuk kulit, tapi langit perlahan
Musik mengalun santai, lampu-lampu gantung menerangi area dengan cahaya kuning redup yang menciptakan suasana hangat sekaligus menggoda. Gelas-gelas minuman berderet di atas meja. Riska dan Wiwin sudah mulai sedikit mabuk, tertawa-tawa sambil berceloteh tak jelas.Nabila, yang biasanya hanya menyentuh jus, malam ini entah kenapa menuruti ajakan mereka. Satu tegukan, dua… tiga… hingga pipinya mulai memerah, kepalanya ringan, dan suara di sekitarnya terasa mengambang.“Hei, kamu masih kuat?” tanya Berlian sambil tertawa, mencondongkan tubuhnya ke arah Nabila yang sedang menyandarkan dagu ke tangan.“Aku... aku baik-baik aja kok,” jawab Nabila dengan suara yang nyaris seperti bisikan. Matanya mengerjap pelan, fokusnya buyar. “Cuma pusing dikit...”“Kamu gak biasa minum, ya?” Berlian mendekat, wajahnya hanya berjarak beberapa jengkal dari wajah Nabila. “Tapi kamu cantik banget malam ini…”“Hah?” Nabila mengerutkan kening. “Aku serius.” Berlian tersenyum, lalu tangannya terulur menyentuh
Di kamar hotel, lantai delapan.Laras masuk ke dalam kamarnya dengan langkah pelan, namun jantungnya masih berdetak tak beraturan. Seolah udara malam tadi menyisakan sesuatu yang berbeda di dalam dadanya.Tangannya masih menggenggam erat mantel milik Govan yang tebal, hangat, dan wangi. Wangi yang selama ini hanya ia rasakan sekilas saat mereka bekerja bersama, tapi malam ini, terasa jauh lebih dekat… lebih personal.Ia menutup pintu, mematikan lampu utama dan membiarkan lampu meja kecil menyala temaram. Setelah melepas sepatunya, Laras berjalan cepat menuju tempat tidur, seperti sedang menyembunyikan sesuatu dari dirinya sendiri. Ia membenamkan wajah ke dalam mantel itu, menghirup dalam-dalam.“Duh, Pak Govan…” gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan rahasia. “Kenapa sih harus sebaik ini…”Ia tertawa pelan, malu sendiri. Jantungnya masih deg-degan. Laras tidak pernah membayangkan akan memiliki momen seperti tadi, makan malam berdua, Govan memberinya perhatian kecil, dan akhirnya menye
Govan melemparkan tubuhnya ke atas kasur hotel yang empuk. AC menyala dingin, menyejukkan udara panas yang menempel di kulitnya sejak tadi. Rambutnya masih basah karena baru saja mandi setelah seharian penuh rapat dengan klien. Kemeja putih santai membalut tubuhnya, dan celana kain longgar memberikan kenyamanan yang telah lama ia rindukan setelah duduk seharian.Ia mengambil ponsel dari atas nakas. Layarnya menyala, ada notifikasi dari WhatsApp.Nabila.Senyum tipis terbit di bibir Govan saat jempolnya menyapu layar. Beberapa foto masuk. Nabila dengan latar pegunungan hijau, danau biru yang tenang, dan satu selfie dengan teman-temannya, termasuk Berlian. “Akhirnya sampai juga! Pemandangannya bener-bener kayak di TV ya, Om! Wish you were here…”Govan menyentuh satu foto lebih lama, memperbesar wajah Nabila yang tersenyum lebar dengan kacamata hitam dan rambut dikuncir ke atas. Bahunya terbuka, terlihat dari tank top putih yang ia kenakan, namun tetap tertutup dengan jaket tipis yang s
Sinar matahari sore menembus jendela mobil, menciptakan bayangan-bayangan hangat di dashboard. Setelah hampir delapan jam perjalanan, akhirnya mobil yang ditumpangi Nabila dan teman-temannya memasuki kawasan resort pegunungan yang sejuk dan rindang. Jalanan menanjak, diapit pepohonan yang menjulang tinggi dan aroma tanah lembap yang menenangkan.“Wah... tempatnya keren banget!” seru Riska dari kursi belakang, hidungnya nyaris menempel ke jendela.“Kita nginep di sini?” tanya Riska lagi antusias, matanya tak lepas dari bangunan penginapan yang berdiri di tepi tebing, menghadap langsung ke hamparan danau biru yang tenang.“Iya. Aku booking tempat ini karena paling deket sama spot sunrise. View-nya cakep banget,” sahut Nabila .Nabila membuka pintu mobil dan turun perlahan. Angin sejuk langsung menyambutnya, meniup helai-helai rambutnya yang tergerai. Ia mendongak menatap langit, menghirup udara segar dalam-dalam dan tersenyum puas.“Udara di sini seger banget... asli nagih,” gumamnya p
Langit di bandara dipenuhi warna abu kebiruan, pesawat-pesawat hilir mudik di landasan, sibuk seperti semut-semut raksasa yang tak pernah tidur. Di salah satu ruang tunggu gate keberangkatan, Govan duduk dengan tubuh tegak namun wajah lesu. Koper hitam kecil berada di samping kursinya. Di sebelahnya, Laras sang asisten pribadi tengah sibuk memeriksa email di tablet."Boarding jam berapa?" tanya Govan pelan, suaranya sedikit serak.Laras menoleh, “Sekitar lima belas menit lagi, Pak. Tapi biasanya mereka mulai panggil sepuluh menit sebelumnya.”Govan mengangguk, lalu memalingkan wajah ke jendela besar di hadapannya. Di luar sana, pesawat-pesawat terlihat seperti makhluk asing yang hendak terbang ke dunia lain. Tatapan matanya kosong, namun pikirannya justru penuh. Bayangan wajah Nabila muncul jelas, dia tersenyum, tertawa, marah, hingga manja. Semua campur aduk.Laras melirik pria itu, ragu sejenak sebelum akhirnya bertanya, “Masih kepikiran Nabila, Pak?”“Ya… Gak tahu kenapa rasanya g