Malam. Ketika mereka selesai makan malam, dengan wajah lesu Nabila menghampiri Govan yang tengah duduk di ruang keluarga sambil menonton televisi.
Govan menoleh begitu menyadari kedatangan Nabila.
"Ada apa? Dari tadi Om perhatikan muka mu lesu amat. Tadi gimana ujiannya? Lancar?" tanyanya Govan.
"Jangan tanya lagi, Om. Aku lagi bete parah. Ujiannya parah banget! Sumpah! Soalnya kayak dari planet lain." Nabila mendesah, menjatuhkan tubuhnya ke sofa dengan dramatis.
"Sesusah itu?" Govan mengerutkan kening, sedikit khawatir.
"Iya. Aku belajar semalaman, tapi soal yang keluar malah nggak nyambung," gerutunya. "Satu kelas pada ngeluh semua."
"Setidaknya kamu udah usaha maksimal, itu yang penting." Govan tersenyum simpati.
"Iya sih… tapi tetep aja nyesek." Nabila mengambil gelas itu dan menyesap perlahan.
"Besok masih ada ujian, kan?" Govan menatap gadis itu dalam-dalam.
"Nab?" panggil Govan, sedikit bingung dengan tatapan gadis itu.Tanpa menjawab, Nabila tiba-tiba mencondongkan tubuhnya. Dalam hitungan detik, bibirnya menyentuh bibir Govan.Cup... Sensasi lembutnya dan hangatnya bibir Nabila sekilas tidak cukup untuk membuat jantung Govan berhenti berdetak sejenak.Govan terpaku. Matanya membelalak, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Ia bahkan tidak sempat merespons, karena begitu bibir mereka terpisah, Nabila langsung tersenyum lebar dan membuka pintu mobil."Doain aku, ya, Om!" katanya ceria, sebelum menutup pintu dan berlari menuju gedung kampus.Govan masih diam di tempat. Tangannya menggenggam setir erat-erat. Nafasnya sedikit tersengal. Ia masih belum sepenuhnya mencerna kejadian barusan."Apa… yang barusan terjadi?"Bibirnya masih terasa hangat. Ia menyentuhnya perlahan, seolah ingin memastikan itu bukan mimpi."Dia… nyium aku?"Govan menoleh ke arah kampus, tempat Nabila sudah menghilang dari pandangan. Dadanya berdebar tak karu
Nabila masih duduk di ruang tamu, memeluk bantal dan menatap layar televisi yang bahkan tak ia perhatikan. Pikiran gadis itu melayang entah ke mana, tepatnya pada pria yang baru saja masuk ke kamarnya dan meninggalkan hawa canggung di udara.Govan akhir-akhir ini jadi berbeda. Lebih pendiam, lebih sering melamun, dan yang paling terasa, dia seperti sedang menjaga jarak darinya. Nabila bisa merasakannya. Bukan karena ia terlalu sensitif, tapi karena selama ini Govan selalu hangat padanya. Kini, senyumnya seakan diselimuti kabut tipis. Jauh dan penuh beban.“Apa aku salah ngomong ya tadi?” gumam Nabila pelan. “Apa dia marah karena aku pulang telat? Tapi kan aku udah bilang…”Matanya menatap kotak kue yang masih utuh di atas meja. Belum disentuh. Padahal, Govan biasanya langsung membuka dan mencicipinya, apalagi kalau tahu itu kue favoritnya.Nabila mendesah. Ia memeluk lututnya, meletakkan dagu di sana, lalu bergumam pelan, “Om kenapa sih? Aku salah apa?”Beberapa detik ia terdiam, sebe
“Yang kayak kamu nggak ada dua, kok.” Govan terkekeh.Nabila tertawa pelan, tapi kemudian diam. Ada sorot berbeda di matanya saat ia menatap Govan yang mulai melangkah ke pintu.“Om...” panggilnya pelan.“Hm?” Govan menoleh. Tanpa banyak kata, Nabila melangkah cepat, lalu memeluknya dari belakang. Pelukan itu hangat, erat, dan penuh perasaan yang tak diucapkan.Govan terdiam. Jantungnya berdetak lebih cepat, tubuhnya menegang beberapa detik sebelum perlahan ia menoleh setengah, mencoba menangkap wajah Nabila yang menyandarkan kepalanya di punggungnya.“Aku nggak tahu sejak kapan... tapi Om tahu nggak? Rumah ini mulai terasa benar-benar rumah sejak ada Om di dalamnya,” bisik Nabila.Govan memejamkan mata. Kata-kata itu menghantamnya lebih dalam dari yang bisa ia bayangkan.Ia memutar tubuhnya perlahan, menatap gadis itu. Jarak mereka sangat dekat. Nafas Nabila terasa di dadanya. Mata mereka saling terkunci.“Om...” bisik Nabila lagi. Suaranya nyaris tak terdengar.Dan sebelum Govan bi
Nabila berdiri di depan wastafel dapur, menyalakan keran air. Derasnya air mengalir membasahi tangan mungilnya yang mulai bergerak mencuci piring-piring kotor. Gerakannya cepat, lincah, tapi matanya kosong.Bayangan wajah Govan tak juga hilang dari benaknya. Setiap senyumnya, tatapan matanya, bahkan caranya menyebut namanya pun selalu membuat detak jantungnya tak beraturan.Wajahnya yang tegas, tatapan mata tajam yang selalu membuatnya gugup, suara beratnya yang dalam, yang bahkan saat memanggil namanya terdengar seperti mantera yang menjerat.“Om…” bisiknya lirih.“Aku jatuh cinta…” Sebuah senyum tipis muncul di sudut bibirnya. Ia menggigit bibir bawahnya, membasuh piring terakhir dan mengeringkan tangannya.lalu membuka kulkas. Ia mengambil beberapa buah dan bahan makanan lain. Tangannya mulai bergerak lagi, kali ini di atas talenan. Pisau tajam mencincang bawang, aroma menyengat menyeruak, tapi wajahnya tetap tenang, bahkan berbinar.Sesekali ia melirik jam dinding. Jarum jam ter
Setelah makan, Nabila berdiri, membawa piring-piring kotor ke dapur. Tapi ia tetap mengobrol sambil mencuci.“Om, kalau aku buka rumah makan, kira-kira bisa sukses nggak?”“Kalau semua makanannya kayak gini, kamu nggak cuma sukses… kamu bisa jadi legenda.” Govan menyahut. “Halah… muji mulu. Tapi aku serius lho, kadang mikir buka rumah kecil aja yang hangat. Bukan soal uang, cuma… soal ngebagiin rasa.”“Kalau kamu bikin warung yang pakai hati kayak gitu, orang bakal datang bukan cuma buat makan. Tapi buat pulang juga.” Govan tersenyum, menatap punggung Nabila dari sofa. “Dan kalau mereka tanya, ‘kenapa sup-nya seenak ini?’ Aku tinggal jawab… karena aku masak sambil mikirin seseorang.” Nabila menjawab setelah terdiam beberapa detik. Suara air kran tak mampu menutupi degup pelan yang mulai berdentum di antara mereka. Kalimat itu menggantung di udara, seolah menunggu respon yang tak juga datang.Tak lama kemudian, Nabila berjalan ke ruang tengah sambil membawa semangkuk popcorn.“Yuk,
"Om..." suara Nabila terdengar pelan."Hm?""Lihat deh, pemandangannya..." Nabila menunjuk layar televisi, tepat pada adegan yang memperlihatkan hamparan danau biru jernih yang dikelilingi pegunungan hijau. Kabut tipis menggantung di atas air, dan langit senja melukis warna keemasan yang menenangkan."Indah banget," gumamnya, seperti bicara pada dirinya sendiri."Itu kayaknya di Alpen, Swiss. Tempatnya kayak dari dunia lain." Govan menoleh ke arah layar, lalu kembali menatap Nabila yang masih bersandar di dadanya. "Aku pengen ke sana... Pengen ngerasain udara dingin, duduk di pinggir danau, terus diem aja berdua sambil minum cokelat panas..." Nabila mengangguk pelan. Govan hanya tersenyum kecil. "Minggu ini... kita pergi, yuk om? Ke tempat yang mirip, nggak harus sejauh Swiss. Yang penting sejuk, tenang, dan cuma kita berdua."Govan terdiam sejenak. Ajakan Nabila cukup sederhana, tapi pekerjaannya sulit untuk ditinggalkan. "Kamu serius?" tanya Govan lagi, memastikan. "Serius bange
Pagi datang dengan sinar mentari yang menyusup lembut lewat sela-sela tirai jendela. Govan berdiri di depan cermin kamarnya, merapikan dasi biru gelap yang menjadi bagian dari gaya kerjanya yang formal. Udara masih dingin, menyisakan aroma sisa hujan semalam yang tercium samar dari jendela yang sedikit terbuka.Sambil menatap pantulan dirinya, Govan menarik napas dalam-dalam. Bayangan semalam kembali bermain di pikirannya tatapan Nabila, suaranya yang lembut, dan percakapan mereka yang perlahan mulai menggoyahkan batas-batas yang selama ini ia bangun sendiri.Suara ketukan ringan di pintu kamarnya membuat Govan tersadar dari lamunannya. Ia menoleh. Nabila muncul di ambang pintu dengan piyama longgar dan rambut yang masih berantakan."Om, sarapan dulu, yuk. Aku udah masak telur orak-arik dan roti panggang," ujarnya sambil mengucek mata.“Wah, pagi-pagi udah rajin banget.” Govan tersenyum. “Kan aku harus membalas kebaikan Om yang udah mau ajak aku liburan,” kata Nabila sambil menyering
Nabila tengah berbaring santai di sofa ruang tengah, mengenakan kaus longgar dan celana pendek, selimut tipis menyelimuti kakinya. Lampu ruang tengah diredupkan, sementara film diputar di layar televisi. Ia tidak benar-benar menonton, lebih tepatnya hanya menunggu.Tiba-tiba, suara pintu depan terbuka perlahan.Nabila sontak menoleh, tubuhnya terangkat setengah. Ia tidak mendengar suara mobil tadi. Apa karena dia melamun sampai tidak dengar? “Om?”Govan masuk dengan langkah pelan, meletakkan tas kerjanya di dekat pintu dan melepas sepatu. Matanya tampak lelah, tapi ia tetap tersenyum saat melihat Nabila.“Kok nggak tidur?” tanyanya.“Katanya jangan tidur duluan,” sahut Nabila sambil bangkit dan berjalan menghampiri. “Kaget! Kirain Om baru sampe jam sebelas.”“Om baru selesai meeting setengah jam lalu. Lanjut nyetir langsung pulang.” Govan duduk di sofa dan menghela napas dalam, sementara Nabila duduk di sampingnya.“Capek, ya?” Suara Nabila lembut, penuh perhatian.“Banget.” Govan me
Pagi itu, rumah masih diselimuti udara dingin sisa embun malam. Matahari baru saja naik, mewarnai langit dengan semburat jingga pucat. Di dalam rumah, suasana sedikit berbeda. Ada aroma harum dari kopi yang baru diseduh, suara langkah kaki yang sibuk di lantai atas, dan sesekali suara resleting koper yang dibuka-tutup tergesa.Govan berdiri di dapur, memegang cangkir kopi yang belum disentuh sejak tadi. Matanya mengarah ke jam dinding—07.49. Lima menit lagi, jemputan Nabila akan datang. Lima menit lagi, rumah akan terasa lebih hening. Dan kosong.“Nabila…” panggilnya, sedikit keras.Dari atas terdengar jawaban, “Iya, Om! Udah mau turun ini!”Beberapa detik kemudian, Nabila turun dari tangga sambil membawa ransel. Koper kecilnya sudah ditinggalkan di dekat pintu.Govan langsung menoleh. Mata laki-laki itu menyapu seluruh penampilan Nabila. Hoodie oversized warna abu, jeans gelap, dan sneakers putih bersih. Rambutnya dikuncir kuda tinggi, wajah tanpa riasan, tapi tetap terlihat segar.“
Malam itu, rumah sudah sepi. Lampu-lampu sebagian besar telah dimatikan, menyisakan cahaya redup dari kamar Nabila yang masih menyala terang. Di balik pintu yang terbuka sedikit, terdengar suara gemerisik kain dan gemerincing resleting koper.Govan yang baru saja keluar dari kamar mandi hendak menuju dapur untuk mengambil air, namun langkahnya terhenti saat melihat pintu kamar Nabila yang terbuka. Rasa penasaran membuatnya mendekat.Saat ia mengintip ke dalam, Nabila terlihat sedang duduk di lantai, dikelilingi tumpukan pakaian. Koper terbuka lebar, dan isinya seperti habis diacak-acak.“Belum tidur?” Govan mengetuk pintu pelan. “Belum. Lagi bongkar ulang koper.” Nabila menoleh. “Bongkar ulang? Bukannya udah siap dari kemarin?”“Iya, tapi temen-temenku katanya kita mau nyesuaiin outfit biar matching buat foto-foto,” jawab Nabila santai, sambil mengangkat sehelai atasan warna pastel. “Jadi aku ubah semua rencananya.”“Banyak banget. Kamu cuma pergi tiga hari, bukan pindahan rumah.” G
Malam itu, Govan berbaring di tempat tidurnya yang terasa terlalu luas dan terlalu sepi. Lampu kamar sengaja dibiarkan menyala redup, tapi matanya sama sekali tak mau terpejam. Pikirannya terus melayang pada satu nama.Nabila.Wajah kesalnya, suara tingginya saat berdebat, dan punggungnya yang menjauh dari ruang tengah sore tadi… semua itu terus mengulang di kepalanya. Bukan karena Nabila membantahnya, bukan karena dia bersikeras pergi. Tapi karena Govan tahu… dia menyakiti gadis itu.“Bodoh…” gumamnya pelan sambil menatap langit-langit. “Harusnya Om gak ngomong kayak tadi…”Ia membalikkan badan. Berkali-kali. Tapi tak ada posisi yang membuatnya nyaman. Akhirnya, ia bangkit, berjalan ke dapur, dan menuang segelas air putih. Hening malam hanya diisi suara detik jam dan denting gelas saat disentuh meja.Matanya melirik ke arah kam
Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya.Di dalam kamarnya, Nabila duduk di tepi ranjang, menatap koper yang sudah siap di sudut ruangan. Ia merasa konyol. Seakan-akan semua antusiasmenya sepanjang hari tadi berubah jadi gurauan semesta.Ia membuka ponselnya dan memandangi foto penginapan yang sudah ia pilih. Tempat itu terlalu indah untuk dilewatkan. Tapi tanpa Govan, semua jadi kehilangan makna.Di ruangan lain, Govan duduk di kursi dekat jendela kamarnya. Ia memandangi langit malam yang gelap tanpa bintang. Hatinya penuh dengan rasa bersalah. Ia ingin memberi yang terbaik untuk Nabila, tapi dunia nyatanya tak selalu bisa tunduk pada keinginan hati.“Nanti kita cari waktu yang lebih baik. Janji.” Ia berbisik pelan, nyaris tak terdengar.***Sejak malam itu, hari yang sunyi, dingin, dan penuh jeda tak biasa. Sejak pembatalan liburan mendadak
Nabila tengah berbaring santai di sofa ruang tengah, mengenakan kaus longgar dan celana pendek, selimut tipis menyelimuti kakinya. Lampu ruang tengah diredupkan, sementara film diputar di layar televisi. Ia tidak benar-benar menonton, lebih tepatnya hanya menunggu.Tiba-tiba, suara pintu depan terbuka perlahan.Nabila sontak menoleh, tubuhnya terangkat setengah. Ia tidak mendengar suara mobil tadi. Apa karena dia melamun sampai tidak dengar? “Om?”Govan masuk dengan langkah pelan, meletakkan tas kerjanya di dekat pintu dan melepas sepatu. Matanya tampak lelah, tapi ia tetap tersenyum saat melihat Nabila.“Kok nggak tidur?” tanyanya.“Katanya jangan tidur duluan,” sahut Nabila sambil bangkit dan berjalan menghampiri. “Kaget! Kirain Om baru sampe jam sebelas.”“Om baru selesai meeting setengah jam lalu. Lanjut nyetir langsung pulang.” Govan duduk di sofa dan menghela napas dalam, sementara Nabila duduk di sampingnya.“Capek, ya?” Suara Nabila lembut, penuh perhatian.“Banget.” Govan me
Pagi datang dengan sinar mentari yang menyusup lembut lewat sela-sela tirai jendela. Govan berdiri di depan cermin kamarnya, merapikan dasi biru gelap yang menjadi bagian dari gaya kerjanya yang formal. Udara masih dingin, menyisakan aroma sisa hujan semalam yang tercium samar dari jendela yang sedikit terbuka.Sambil menatap pantulan dirinya, Govan menarik napas dalam-dalam. Bayangan semalam kembali bermain di pikirannya tatapan Nabila, suaranya yang lembut, dan percakapan mereka yang perlahan mulai menggoyahkan batas-batas yang selama ini ia bangun sendiri.Suara ketukan ringan di pintu kamarnya membuat Govan tersadar dari lamunannya. Ia menoleh. Nabila muncul di ambang pintu dengan piyama longgar dan rambut yang masih berantakan."Om, sarapan dulu, yuk. Aku udah masak telur orak-arik dan roti panggang," ujarnya sambil mengucek mata.“Wah, pagi-pagi udah rajin banget.” Govan tersenyum. “Kan aku harus membalas kebaikan Om yang udah mau ajak aku liburan,” kata Nabila sambil menyering
"Om..." suara Nabila terdengar pelan."Hm?""Lihat deh, pemandangannya..." Nabila menunjuk layar televisi, tepat pada adegan yang memperlihatkan hamparan danau biru jernih yang dikelilingi pegunungan hijau. Kabut tipis menggantung di atas air, dan langit senja melukis warna keemasan yang menenangkan."Indah banget," gumamnya, seperti bicara pada dirinya sendiri."Itu kayaknya di Alpen, Swiss. Tempatnya kayak dari dunia lain." Govan menoleh ke arah layar, lalu kembali menatap Nabila yang masih bersandar di dadanya. "Aku pengen ke sana... Pengen ngerasain udara dingin, duduk di pinggir danau, terus diem aja berdua sambil minum cokelat panas..." Nabila mengangguk pelan. Govan hanya tersenyum kecil. "Minggu ini... kita pergi, yuk om? Ke tempat yang mirip, nggak harus sejauh Swiss. Yang penting sejuk, tenang, dan cuma kita berdua."Govan terdiam sejenak. Ajakan Nabila cukup sederhana, tapi pekerjaannya sulit untuk ditinggalkan. "Kamu serius?" tanya Govan lagi, memastikan. "Serius bange
Setelah makan, Nabila berdiri, membawa piring-piring kotor ke dapur. Tapi ia tetap mengobrol sambil mencuci.“Om, kalau aku buka rumah makan, kira-kira bisa sukses nggak?”“Kalau semua makanannya kayak gini, kamu nggak cuma sukses… kamu bisa jadi legenda.” Govan menyahut. “Halah… muji mulu. Tapi aku serius lho, kadang mikir buka rumah kecil aja yang hangat. Bukan soal uang, cuma… soal ngebagiin rasa.”“Kalau kamu bikin warung yang pakai hati kayak gitu, orang bakal datang bukan cuma buat makan. Tapi buat pulang juga.” Govan tersenyum, menatap punggung Nabila dari sofa. “Dan kalau mereka tanya, ‘kenapa sup-nya seenak ini?’ Aku tinggal jawab… karena aku masak sambil mikirin seseorang.” Nabila menjawab setelah terdiam beberapa detik. Suara air kran tak mampu menutupi degup pelan yang mulai berdentum di antara mereka. Kalimat itu menggantung di udara, seolah menunggu respon yang tak juga datang.Tak lama kemudian, Nabila berjalan ke ruang tengah sambil membawa semangkuk popcorn.“Yuk,
Nabila berdiri di depan wastafel dapur, menyalakan keran air. Derasnya air mengalir membasahi tangan mungilnya yang mulai bergerak mencuci piring-piring kotor. Gerakannya cepat, lincah, tapi matanya kosong.Bayangan wajah Govan tak juga hilang dari benaknya. Setiap senyumnya, tatapan matanya, bahkan caranya menyebut namanya pun selalu membuat detak jantungnya tak beraturan.Wajahnya yang tegas, tatapan mata tajam yang selalu membuatnya gugup, suara beratnya yang dalam, yang bahkan saat memanggil namanya terdengar seperti mantera yang menjerat.“Om…” bisiknya lirih.“Aku jatuh cinta…” Sebuah senyum tipis muncul di sudut bibirnya. Ia menggigit bibir bawahnya, membasuh piring terakhir dan mengeringkan tangannya.lalu membuka kulkas. Ia mengambil beberapa buah dan bahan makanan lain. Tangannya mulai bergerak lagi, kali ini di atas talenan. Pisau tajam mencincang bawang, aroma menyengat menyeruak, tapi wajahnya tetap tenang, bahkan berbinar.Sesekali ia melirik jam dinding. Jarum jam ter