Nabila berdiri di depan wastafel dapur, menyalakan keran air. Derasnya air mengalir membasahi tangan mungilnya yang mulai bergerak mencuci piring-piring kotor. Gerakannya cepat, lincah, tapi matanya kosong.Bayangan wajah Govan tak juga hilang dari benaknya. Setiap senyumnya, tatapan matanya, bahkan caranya menyebut namanya pun selalu membuat detak jantungnya tak beraturan.Wajahnya yang tegas, tatapan mata tajam yang selalu membuatnya gugup, suara beratnya yang dalam, yang bahkan saat memanggil namanya terdengar seperti mantera yang menjerat.“Om…” bisiknya lirih.“Aku jatuh cinta…” Sebuah senyum tipis muncul di sudut bibirnya. Ia menggigit bibir bawahnya, membasuh piring terakhir dan mengeringkan tangannya.lalu membuka kulkas. Ia mengambil beberapa buah dan bahan makanan lain. Tangannya mulai bergerak lagi, kali ini di atas talenan. Pisau tajam mencincang bawang, aroma menyengat menyeruak, tapi wajahnya tetap tenang, bahkan berbinar.Sesekali ia melirik jam dinding. Jarum jam ter
Setelah makan, Nabila berdiri, membawa piring-piring kotor ke dapur. Tapi ia tetap mengobrol sambil mencuci.“Om, kalau aku buka rumah makan, kira-kira bisa sukses nggak?”“Kalau semua makanannya kayak gini, kamu nggak cuma sukses… kamu bisa jadi legenda.” Govan menyahut. “Halah… muji mulu. Tapi aku serius lho, kadang mikir buka rumah kecil aja yang hangat. Bukan soal uang, cuma… soal ngebagiin rasa.”“Kalau kamu bikin warung yang pakai hati kayak gitu, orang bakal datang bukan cuma buat makan. Tapi buat pulang juga.” Govan tersenyum, menatap punggung Nabila dari sofa. “Dan kalau mereka tanya, ‘kenapa sup-nya seenak ini?’ Aku tinggal jawab… karena aku masak sambil mikirin seseorang.” Nabila menjawab setelah terdiam beberapa detik. Suara air kran tak mampu menutupi degup pelan yang mulai berdentum di antara mereka. Kalimat itu menggantung di udara, seolah menunggu respon yang tak juga datang.Tak lama kemudian, Nabila berjalan ke ruang tengah sambil membawa semangkuk popcorn.“Yuk,
"Om..." suara Nabila terdengar pelan."Hm?""Lihat deh, pemandangannya..." Nabila menunjuk layar televisi, tepat pada adegan yang memperlihatkan hamparan danau biru jernih yang dikelilingi pegunungan hijau. Kabut tipis menggantung di atas air, dan langit senja melukis warna keemasan yang menenangkan."Indah banget," gumamnya, seperti bicara pada dirinya sendiri."Itu kayaknya di Alpen, Swiss. Tempatnya kayak dari dunia lain." Govan menoleh ke arah layar, lalu kembali menatap Nabila yang masih bersandar di dadanya. "Aku pengen ke sana... Pengen ngerasain udara dingin, duduk di pinggir danau, terus diem aja berdua sambil minum cokelat panas..." Nabila mengangguk pelan. Govan hanya tersenyum kecil. "Minggu ini... kita pergi, yuk om? Ke tempat yang mirip, nggak harus sejauh Swiss. Yang penting sejuk, tenang, dan cuma kita berdua."Govan terdiam sejenak. Ajakan Nabila cukup sederhana, tapi pekerjaannya sulit untuk ditinggalkan. "Kamu serius?" tanya Govan lagi, memastikan. "Serius bange
Pagi datang dengan sinar mentari yang menyusup lembut lewat sela-sela tirai jendela. Govan berdiri di depan cermin kamarnya, merapikan dasi biru gelap yang menjadi bagian dari gaya kerjanya yang formal. Udara masih dingin, menyisakan aroma sisa hujan semalam yang tercium samar dari jendela yang sedikit terbuka.Sambil menatap pantulan dirinya, Govan menarik napas dalam-dalam. Bayangan semalam kembali bermain di pikirannya tatapan Nabila, suaranya yang lembut, dan percakapan mereka yang perlahan mulai menggoyahkan batas-batas yang selama ini ia bangun sendiri.Suara ketukan ringan di pintu kamarnya membuat Govan tersadar dari lamunannya. Ia menoleh. Nabila muncul di ambang pintu dengan piyama longgar dan rambut yang masih berantakan."Om, sarapan dulu, yuk. Aku udah masak telur orak-arik dan roti panggang," ujarnya sambil mengucek mata.“Wah, pagi-pagi udah rajin banget.” Govan tersenyum. “Kan aku harus membalas kebaikan Om yang udah mau ajak aku liburan,” kata Nabila sambil menyering
Nabila tengah berbaring santai di sofa ruang tengah, mengenakan kaus longgar dan celana pendek, selimut tipis menyelimuti kakinya. Lampu ruang tengah diredupkan, sementara film diputar di layar televisi. Ia tidak benar-benar menonton, lebih tepatnya hanya menunggu.Tiba-tiba, suara pintu depan terbuka perlahan.Nabila sontak menoleh, tubuhnya terangkat setengah. Ia tidak mendengar suara mobil tadi. Apa karena dia melamun sampai tidak dengar? “Om?”Govan masuk dengan langkah pelan, meletakkan tas kerjanya di dekat pintu dan melepas sepatu. Matanya tampak lelah, tapi ia tetap tersenyum saat melihat Nabila.“Kok nggak tidur?” tanyanya.“Katanya jangan tidur duluan,” sahut Nabila sambil bangkit dan berjalan menghampiri. “Kaget! Kirain Om baru sampe jam sebelas.”“Om baru selesai meeting setengah jam lalu. Lanjut nyetir langsung pulang.” Govan duduk di sofa dan menghela napas dalam, sementara Nabila duduk di sampingnya.“Capek, ya?” Suara Nabila lembut, penuh perhatian.“Banget.” Govan me
Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya.Di dalam kamarnya, Nabila duduk di tepi ranjang, menatap koper yang sudah siap di sudut ruangan. Ia merasa konyol. Seakan-akan semua antusiasmenya sepanjang hari tadi berubah jadi gurauan semesta.Ia membuka ponselnya dan memandangi foto penginapan yang sudah ia pilih. Tempat itu terlalu indah untuk dilewatkan. Tapi tanpa Govan, semua jadi kehilangan makna.Di ruangan lain, Govan duduk di kursi dekat jendela kamarnya. Ia memandangi langit malam yang gelap tanpa bintang. Hatinya penuh dengan rasa bersalah. Ia ingin memberi yang terbaik untuk Nabila, tapi dunia nyatanya tak selalu bisa tunduk pada keinginan hati.“Nanti kita cari waktu yang lebih baik. Janji.” Ia berbisik pelan, nyaris tak terdengar.***Sejak malam itu, hari yang sunyi, dingin, dan penuh jeda tak biasa. Sejak pembatalan liburan mendadak
Malam itu, Govan berbaring di tempat tidurnya yang terasa terlalu luas dan terlalu sepi. Lampu kamar sengaja dibiarkan menyala redup, tapi matanya sama sekali tak mau terpejam. Pikirannya terus melayang pada satu nama.Nabila.Wajah kesalnya, suara tingginya saat berdebat, dan punggungnya yang menjauh dari ruang tengah sore tadi… semua itu terus mengulang di kepalanya. Bukan karena Nabila membantahnya, bukan karena dia bersikeras pergi. Tapi karena Govan tahu… dia menyakiti gadis itu.“Bodoh…” gumamnya pelan sambil menatap langit-langit. “Harusnya Om gak ngomong kayak tadi…”Ia membalikkan badan. Berkali-kali. Tapi tak ada posisi yang membuatnya nyaman. Akhirnya, ia bangkit, berjalan ke dapur, dan menuang segelas air putih. Hening malam hanya diisi suara detik jam dan denting gelas saat disentuh meja.Matanya melirik ke arah kam
Malam itu, rumah sudah sepi. Lampu-lampu sebagian besar telah dimatikan, menyisakan cahaya redup dari kamar Nabila yang masih menyala terang. Di balik pintu yang terbuka sedikit, terdengar suara gemerisik kain dan gemerincing resleting koper.Govan yang baru saja keluar dari kamar mandi hendak menuju dapur untuk mengambil air, namun langkahnya terhenti saat melihat pintu kamar Nabila yang terbuka. Rasa penasaran membuatnya mendekat.Saat ia mengintip ke dalam, Nabila terlihat sedang duduk di lantai, dikelilingi tumpukan pakaian. Koper terbuka lebar, dan isinya seperti habis diacak-acak.“Belum tidur?” Govan mengetuk pintu pelan. “Belum. Lagi bongkar ulang koper.” Nabila menoleh. “Bongkar ulang? Bukannya udah siap dari kemarin?”“Iya, tapi temen-temenku katanya kita mau nyesuaiin outfit biar matching buat foto-foto,” jawab Nabila santai, sambil mengangkat sehelai atasan warna pastel. “Jadi aku ubah semua rencananya.”“Banyak banget. Kamu cuma pergi tiga hari, bukan pindahan rumah.” G
Pagi itu, rumah masih diselimuti udara dingin sisa embun malam. Matahari baru saja naik, mewarnai langit dengan semburat jingga pucat. Di dalam rumah, suasana sedikit berbeda. Ada aroma harum dari kopi yang baru diseduh, suara langkah kaki yang sibuk di lantai atas, dan sesekali suara resleting koper yang dibuka-tutup tergesa.Govan berdiri di dapur, memegang cangkir kopi yang belum disentuh sejak tadi. Matanya mengarah ke jam dinding—07.49. Lima menit lagi, jemputan Nabila akan datang. Lima menit lagi, rumah akan terasa lebih hening. Dan kosong.“Nabila…” panggilnya, sedikit keras.Dari atas terdengar jawaban, “Iya, Om! Udah mau turun ini!”Beberapa detik kemudian, Nabila turun dari tangga sambil membawa ransel. Koper kecilnya sudah ditinggalkan di dekat pintu.Govan langsung menoleh. Mata laki-laki itu menyapu seluruh penampilan Nabila. Hoodie oversized warna abu, jeans gelap, dan sneakers putih bersih. Rambutnya dikuncir kuda tinggi, wajah tanpa riasan, tapi tetap terlihat segar.“
Malam itu, rumah sudah sepi. Lampu-lampu sebagian besar telah dimatikan, menyisakan cahaya redup dari kamar Nabila yang masih menyala terang. Di balik pintu yang terbuka sedikit, terdengar suara gemerisik kain dan gemerincing resleting koper.Govan yang baru saja keluar dari kamar mandi hendak menuju dapur untuk mengambil air, namun langkahnya terhenti saat melihat pintu kamar Nabila yang terbuka. Rasa penasaran membuatnya mendekat.Saat ia mengintip ke dalam, Nabila terlihat sedang duduk di lantai, dikelilingi tumpukan pakaian. Koper terbuka lebar, dan isinya seperti habis diacak-acak.“Belum tidur?” Govan mengetuk pintu pelan. “Belum. Lagi bongkar ulang koper.” Nabila menoleh. “Bongkar ulang? Bukannya udah siap dari kemarin?”“Iya, tapi temen-temenku katanya kita mau nyesuaiin outfit biar matching buat foto-foto,” jawab Nabila santai, sambil mengangkat sehelai atasan warna pastel. “Jadi aku ubah semua rencananya.”“Banyak banget. Kamu cuma pergi tiga hari, bukan pindahan rumah.” G
Malam itu, Govan berbaring di tempat tidurnya yang terasa terlalu luas dan terlalu sepi. Lampu kamar sengaja dibiarkan menyala redup, tapi matanya sama sekali tak mau terpejam. Pikirannya terus melayang pada satu nama.Nabila.Wajah kesalnya, suara tingginya saat berdebat, dan punggungnya yang menjauh dari ruang tengah sore tadi… semua itu terus mengulang di kepalanya. Bukan karena Nabila membantahnya, bukan karena dia bersikeras pergi. Tapi karena Govan tahu… dia menyakiti gadis itu.“Bodoh…” gumamnya pelan sambil menatap langit-langit. “Harusnya Om gak ngomong kayak tadi…”Ia membalikkan badan. Berkali-kali. Tapi tak ada posisi yang membuatnya nyaman. Akhirnya, ia bangkit, berjalan ke dapur, dan menuang segelas air putih. Hening malam hanya diisi suara detik jam dan denting gelas saat disentuh meja.Matanya melirik ke arah kam
Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya.Di dalam kamarnya, Nabila duduk di tepi ranjang, menatap koper yang sudah siap di sudut ruangan. Ia merasa konyol. Seakan-akan semua antusiasmenya sepanjang hari tadi berubah jadi gurauan semesta.Ia membuka ponselnya dan memandangi foto penginapan yang sudah ia pilih. Tempat itu terlalu indah untuk dilewatkan. Tapi tanpa Govan, semua jadi kehilangan makna.Di ruangan lain, Govan duduk di kursi dekat jendela kamarnya. Ia memandangi langit malam yang gelap tanpa bintang. Hatinya penuh dengan rasa bersalah. Ia ingin memberi yang terbaik untuk Nabila, tapi dunia nyatanya tak selalu bisa tunduk pada keinginan hati.“Nanti kita cari waktu yang lebih baik. Janji.” Ia berbisik pelan, nyaris tak terdengar.***Sejak malam itu, hari yang sunyi, dingin, dan penuh jeda tak biasa. Sejak pembatalan liburan mendadak
Nabila tengah berbaring santai di sofa ruang tengah, mengenakan kaus longgar dan celana pendek, selimut tipis menyelimuti kakinya. Lampu ruang tengah diredupkan, sementara film diputar di layar televisi. Ia tidak benar-benar menonton, lebih tepatnya hanya menunggu.Tiba-tiba, suara pintu depan terbuka perlahan.Nabila sontak menoleh, tubuhnya terangkat setengah. Ia tidak mendengar suara mobil tadi. Apa karena dia melamun sampai tidak dengar? “Om?”Govan masuk dengan langkah pelan, meletakkan tas kerjanya di dekat pintu dan melepas sepatu. Matanya tampak lelah, tapi ia tetap tersenyum saat melihat Nabila.“Kok nggak tidur?” tanyanya.“Katanya jangan tidur duluan,” sahut Nabila sambil bangkit dan berjalan menghampiri. “Kaget! Kirain Om baru sampe jam sebelas.”“Om baru selesai meeting setengah jam lalu. Lanjut nyetir langsung pulang.” Govan duduk di sofa dan menghela napas dalam, sementara Nabila duduk di sampingnya.“Capek, ya?” Suara Nabila lembut, penuh perhatian.“Banget.” Govan me
Pagi datang dengan sinar mentari yang menyusup lembut lewat sela-sela tirai jendela. Govan berdiri di depan cermin kamarnya, merapikan dasi biru gelap yang menjadi bagian dari gaya kerjanya yang formal. Udara masih dingin, menyisakan aroma sisa hujan semalam yang tercium samar dari jendela yang sedikit terbuka.Sambil menatap pantulan dirinya, Govan menarik napas dalam-dalam. Bayangan semalam kembali bermain di pikirannya tatapan Nabila, suaranya yang lembut, dan percakapan mereka yang perlahan mulai menggoyahkan batas-batas yang selama ini ia bangun sendiri.Suara ketukan ringan di pintu kamarnya membuat Govan tersadar dari lamunannya. Ia menoleh. Nabila muncul di ambang pintu dengan piyama longgar dan rambut yang masih berantakan."Om, sarapan dulu, yuk. Aku udah masak telur orak-arik dan roti panggang," ujarnya sambil mengucek mata.“Wah, pagi-pagi udah rajin banget.” Govan tersenyum. “Kan aku harus membalas kebaikan Om yang udah mau ajak aku liburan,” kata Nabila sambil menyering
"Om..." suara Nabila terdengar pelan."Hm?""Lihat deh, pemandangannya..." Nabila menunjuk layar televisi, tepat pada adegan yang memperlihatkan hamparan danau biru jernih yang dikelilingi pegunungan hijau. Kabut tipis menggantung di atas air, dan langit senja melukis warna keemasan yang menenangkan."Indah banget," gumamnya, seperti bicara pada dirinya sendiri."Itu kayaknya di Alpen, Swiss. Tempatnya kayak dari dunia lain." Govan menoleh ke arah layar, lalu kembali menatap Nabila yang masih bersandar di dadanya. "Aku pengen ke sana... Pengen ngerasain udara dingin, duduk di pinggir danau, terus diem aja berdua sambil minum cokelat panas..." Nabila mengangguk pelan. Govan hanya tersenyum kecil. "Minggu ini... kita pergi, yuk om? Ke tempat yang mirip, nggak harus sejauh Swiss. Yang penting sejuk, tenang, dan cuma kita berdua."Govan terdiam sejenak. Ajakan Nabila cukup sederhana, tapi pekerjaannya sulit untuk ditinggalkan. "Kamu serius?" tanya Govan lagi, memastikan. "Serius bange
Setelah makan, Nabila berdiri, membawa piring-piring kotor ke dapur. Tapi ia tetap mengobrol sambil mencuci.“Om, kalau aku buka rumah makan, kira-kira bisa sukses nggak?”“Kalau semua makanannya kayak gini, kamu nggak cuma sukses… kamu bisa jadi legenda.” Govan menyahut. “Halah… muji mulu. Tapi aku serius lho, kadang mikir buka rumah kecil aja yang hangat. Bukan soal uang, cuma… soal ngebagiin rasa.”“Kalau kamu bikin warung yang pakai hati kayak gitu, orang bakal datang bukan cuma buat makan. Tapi buat pulang juga.” Govan tersenyum, menatap punggung Nabila dari sofa. “Dan kalau mereka tanya, ‘kenapa sup-nya seenak ini?’ Aku tinggal jawab… karena aku masak sambil mikirin seseorang.” Nabila menjawab setelah terdiam beberapa detik. Suara air kran tak mampu menutupi degup pelan yang mulai berdentum di antara mereka. Kalimat itu menggantung di udara, seolah menunggu respon yang tak juga datang.Tak lama kemudian, Nabila berjalan ke ruang tengah sambil membawa semangkuk popcorn.“Yuk,
Nabila berdiri di depan wastafel dapur, menyalakan keran air. Derasnya air mengalir membasahi tangan mungilnya yang mulai bergerak mencuci piring-piring kotor. Gerakannya cepat, lincah, tapi matanya kosong.Bayangan wajah Govan tak juga hilang dari benaknya. Setiap senyumnya, tatapan matanya, bahkan caranya menyebut namanya pun selalu membuat detak jantungnya tak beraturan.Wajahnya yang tegas, tatapan mata tajam yang selalu membuatnya gugup, suara beratnya yang dalam, yang bahkan saat memanggil namanya terdengar seperti mantera yang menjerat.“Om…” bisiknya lirih.“Aku jatuh cinta…” Sebuah senyum tipis muncul di sudut bibirnya. Ia menggigit bibir bawahnya, membasuh piring terakhir dan mengeringkan tangannya.lalu membuka kulkas. Ia mengambil beberapa buah dan bahan makanan lain. Tangannya mulai bergerak lagi, kali ini di atas talenan. Pisau tajam mencincang bawang, aroma menyengat menyeruak, tapi wajahnya tetap tenang, bahkan berbinar.Sesekali ia melirik jam dinding. Jarum jam ter