"Baiklah, tiketnya sia-sia dan kita juga tidak menyelesaikan filmnya.""Aku bahkan tidak tahu filmnya bercerita tentang apa, Sierra. Haha!"Sierra hanya ikut tertawa sambil melangkah keluar dari gedung bioskop sebelum filmnya selesai. "Kurasa memang kita tidak boleh menonton, Bastian. Lebih baik kita kembali ke kantor saja!""Hei, siapa bilang kita akan kembali sekarang? Aku belum selesai.""Belum selesai bagaimana?" "Aku mau mengajakmu ke suatu tempat, Sierra! Ikutlah denganku!" Bastian menggandeng tangan Sierra berkeliling mall dan masuk ke sebuah toko perhiasan. Sierra pun membelalak penuh tanya, tapi Bastian hanya tersenyum dan terus menarik Sierra ke sana. Bastian memilih sebuah kalung, sedangkan Sierra hanya duduk menunggu tanpa banyak bicara, sampai tidak lama kemudian, Bastian pun berdiri di belakang Sierra dan mendadak memasangkan kalung di leher Sierra. "Astaga, Bastian! Apa yang kau lakukan?" pekik Sierra kaget. "Jangan bergerak, Sierra! Aku mau kau mencobanya!"Sierr
Sierra akhirnya kembali ke kantornya sore itu. Setelah menikmati kencan singkatnya dengan Bastian, Sierra merasa puas, sangat puas. Bahkan, Sierra mendapatkan kenang-kenangan foto bersama Bastian, foto yang akan ia simpan nanti agar saat Sierra merindukan Bastian, Sierra bisa melihatnya. Sierra sempat tersenyum menatap foto di ponselnya sejenak, sebelum akhirnya ia sadar waktunya tidak banyak. Seperti janjinya pada Jacob, tiga hari lagi ia harus angkat kaki dari rumah dan perusahaan. Sierra sangat paham itu sampai Sierra menyelesaikan pekerjaannya dengan begitu giat sepanjang sisa hari itu. "Aku sudah menandatangani semua yang harus kutandatangani dan mulai hari ini, semua wewenang akan pindah ke Pak Bastian. Aku sudah tidak punya wewenang apa pun. Semua proyek yang kutangani juga sudah kualihkan ke Pak Bastian. Termasuk proyek baru tadi. Tapi jangan memberitahunya dulu! Hari Senin saja. Ya, hari Senin nanti, kau baru boleh memberitahunya sekaligus mulai bekerja padanya," pesan Sie
"Hei, matamu bengkak, Sierra! Apa yang terjadi? Kau habis menangis?" Bastian yang malam itu masuk ke ruang kerja Sierra untuk mengajak Sierra pulang pun nampak cemas melihat wajah dan mata Sierra yang sembab. Bastian langsung menghampiri Sierra dan menangkup sebelah pipinya sambil ibu jarinya membelai mata Sierra. "Ah, aku tidak apa, Bastian. Tapi tadi sempat ada debu masuk ke mataku. Cukup lama aku menggosoknya sampai keluar air mata, mungkin itu yang membuat mataku bengkak," dusta Sierra. Tentu saja ia tidak akan mengaku kalau ia menangis begitu heboh tadi saat mengucapkan perpisahan dengan ruang kerjanya. "Ah, benarkah begitu? Apa rasanya sakit? Biar kutiup ...." Bastian membelai lembut mata Sierra dan meniupnya juga dengan lembut. Jantung Sierra pun berdebar kencang merasakannya dan ia membiarkan Bastian melakukannya. "Apa sudah baikan, Sierra? Kau mau matamu dikompres saja?" "Hmm, tidak perlu, Bastian. Rasanya sudah lebih baik.""Baiklah, kalau begitu ayo pulang, aku aka
"Aku sudah melihat semua berkasnya. Benar dan lengkap. Sekarang kau sudah tidak punya wewenang apa pun di perusahaanku.""Kau benar, Pak Tua. Aku sudah bukan siapa-siapa lagi di sana. Seperti yang sudah seharusnya, semua wewenang sudah pindah kepada Bastian. Dia pimpinannya sekarang."Jacob hanya mengangguk mendengar laporan Sierra. "Baguslah! Kau sudah melakukan tugasmu dengan baik, Sierra! Semuanya sudah berakhir. Kasus hukum Laura dan Stephanie pun berjalan lancar walaupun mereka tidak bisa diajak bekerja sama di sana.""Apa mereka akan dipenjara?""Harus! Mereka harus dipenjara dan aku sudah mencabut semua hak mereka di perusahaan, termasuk tidak akan mengijinkan mereka masuk ke rumahku dan daerah kekuasaanku lagi. Itu sudah seperti yang aku mau." Sierra mengembuskan napas panjang dan mengangguk. "Ya, akhirnya selesai. Semua persis seperti yang kau mau.""Hmm, tentu saja! Aku tidak membayarmu begitu mahal untuk gagal, Sierra. Walaupun kau sudah membuat kekacauan dan masalah baru
"Mengapa kau tidak bisa, Sierra? Apa kau akan pergi dari sini, Sierra?"Entah mengapa Bik Mala mendadak bertanya seperti itu. Jujur Bik Mala tidak sempat berpikir panjang, namun semua yang dikatakan Sierra seolah wanita itu akan pergi dan menitipkan semuanya. Sierra sendiri langsung berdiri mematung dan menghentikan langkahnya mendengar pertanyaan Bik Mala. Apa ia sudah ketahuan sekarang? Apa Bik Mala tahu ia akan pergi? Apa Bik Mala akan memberitahu semua orang? Bukankah semuanya akan makin sulit kalau ada orang yang mengetahuinya, apalagi Bastian. Jantung Sierra pun memacu begitu kencang, namun ia mencoba bertahan dan bersikap setenang mungkin, bahkan ia menghapus air matanya sampai bersih. Sierra pun berbalik menatap Bik Mala sambil mencoba tersenyum. "Apa yang Bibik katakan? Bukankah sudah kubilang, banyaknya beban di pikiranku membuatku lelah dan akhirnya aku bicara ngelantur."Sierra terus tersenyum tanpa menjawab iya atau tidak, namun Bik Mala malah mengernyit. Ia merasak
Sierra tidak berhenti menyeka air matanya saat ia menyetir mobilnya ke rumah sakit. Ia tertawa dan menangis bersamaan sambil memacu mobilnya begitu kencang. "Terima kasih, Tuhan! Kau mengabulkan doaku! Setelah penantian yang begitu panjang, akhirnya Kau membawa ibuku kembali!""Terima kasih, Ibu! Terima kasih karena sudah berjuang untuk kembali sadar!" Sierra tidak berhenti mengucapkan syukurnya dengan air mata yang tidak berhenti berlinang. Sierra terus memeluk Bik Mala tadi begitu ia menutup teleponnya. Bik Mala sendiri nampak begitu senang sampai ia melupakan pembicaraan mereka tadi. Memang pembicaraan mereka terasa tidak penting lagi setelah mendengar kabar bahwa ibu Sierra telah sadar. Bik Mala pun meminta Sierra segera pergi ke rumah sakit dan ia yang menemui Jacob untuk meminta ijin. Tapi baru saja Sierra berlari dari kamar Lalita dan melewati kamar Jacob, Jacob yang hendak keluar kamar pun akhirnya melihat Sierra. "Ada apa?" tanya Jacob tadi. "Ibuku sadar, Pak Tua! I
"Apa, ibunya Sierra sudah sadar?""Benar. Dia sendiri yang mengatakannya padaku. Sekarang dia sedang ke rumah sakit.""Terima kasih sudah memberitahuku, Pak! Aku akan ke sana sekarang!""Hmm, pastikan semuanya baik-baik saja, Valdo! Tapi jangan salah paham! Aku mau semuanya baik-baik saja karena aku mau kepergian Sierra berjalan lancar nanti. Jangan sampai kondisi ibunya membuatnya mengurungkan rencananya pergi." Valdo terdiam sejenak di telepon mendengar ucapan Jacob, namun sedetik kemudian Valdo pun mengangguk. "Aku akan memastikan semuanya sesuai dengan rencana. Tidak ada yang perlu Anda khawatirkan, Pak!""Baguslah! Sekalian bantu aku menyelesaikan administrasinya saat dia akan pindah nanti. Selama Sierra belum pergi, ibunya masih menjadi tanggung jawabku.""Aku mengerti, Pak!""Baiklah, cepatlah ke sana dan lihat keadaan di sana!" Valdo tersenyum lega begitu ia menutup telepon dari Jacob. Valdo memencet nomor telepon Sierra dan berniat meneleponnya, namun ia mengurungkan niatn
Sierra masih terus tersenyum menatap wajah cantik ibunya yang sedang tertidur itu. Sesekali dahi ibunya akan mengkerut, mungkin ibunya bermimpi atau apa pun itu, yang jelas Sierra senang, karena gerakan itu menandakan bahwa ibunya sedang dalam kondisi sadar, bukan koma lagi. "Ibu, cepatlah membuka mata Ibu, aku sudah tidak sabar melihat Ibu." Sierra terus membelai kepala ibunya dan ia pun menceritakan tentang rumah baru mereka di luar kota. Sierra menceritakan semua rencananya pada ibunya dan memberikan gambaran masa depan yang bahagia untuk mereka. "Hanya ada Ibu, aku, Rosella, dan Julio. Kita akan kembali berkumpul seperti dulu lagi, Ibu."Entah berapa lama Sierra menemani ibunya di kamar itu, namun suster pun akhirnya meminta Sierra keluar karena memang ruang ICU harus steril dari semua pengunjung. Sierra menurut, namun ia sama sekali tidak berniat untuk pulang malam itu. Dengan wajah lelah tapi bahagianya, Sierra pun keluar dari sana dan mendapati dua pria yang masih duduk b