"Sudahlah, La! Kamu menyerah saja," geram sang Papa menatap murka ke arah Shilla."Gak bisa, Pah. Mas Aji harus jadi suami Shilla," rengek Shilla akhirnya memilih menitihkan air mata dan sang Mama langsung mendekap anak gadisnya. "Jangan terlalu keras pada Shilla, Pah," tegur Mama Shilla membelai rambut anaknya merasa sakit kala melihat Shilla menitihkan air mata."Papa kesal, Mah. Shilla berbohong pada kita, kalau Aulia gak beritahu kita, kita gak bakal tau kelakukan anak kita, Mah," lirih Papa Shilla pelan, ia sangat terlihat frustasi dan memijit keningnya."Aku gak bohong, Pah. Mas Aji gak bakal bahagia dengan wanita lain, dia hanya akan bahagia bersamaku," teriak Shilla seraya menangis, sang Mama semakin mendekap anaknya."Mas akan luruskan, La. Mas hanya mengangap kamu sebagai adik, tidak lebih, tolong jangan ganggu kebahagiaann Mas. Mas sudah bahagia bersama Ma dan anak-anak," jelas Aji membuat Shilla semakin terisak. "Sadarlah, La. Masa depanmu masih panjang, kamu bukan cinta
Maura keluar bilik mandi, ia kini telah rapi berpakaian dengan jubah tidurnya. Lelaki yang berstatus suaminya terlelap begitu pulas, bahkan sampai mendengkur. Dia mendekat dan mengusap puncuk kepala pria itu, lalu menoleh saat mendengar suara notifikasi pesan dari benda pipih milik sang suami."Siapa yang chat? Mungkin aja penting, mendingan aku cek aja," ucap Maura.[Mas udah pulang, besok malam kamu ke rumah ya. Mas kangen, jam seperti biasa. Setelah Mas kasih susu buat Maura.] - Hamdan.[Cepetan ya kasih obat tidur ke susu itu, aku pengen ketemu sama Mas Hamdan. Kangen banget,] Mata Maura memerah saat membaca deretan pesan dari ponsel sang suami. Lelaki itu tidak terusik sama sekali dengan notifikasi chat dari handphonenya. "Apa maksudnya ini ...."Maura berkata dengan lirih, ia berusaha membuka layar tetapi, benda tersebut memakai sandi. "Kenapa pake sandi segala, biasanya, kan, enggak." Wanita itu bergumam, ia masih berusaha menyangkal semua rasa curiga. Tetapi, saat tahu bend
Mendengar suara pintu terbuka, mereka langsung menoleh. Tatapan sinis terpancar disemua mata semua orang. Mawar yang merasa terimidasi menundukan kepala dan memegang lengan Hamdan."Bisa gak sih kalian gak usah natap kami begitu, udah kaya buronan tau rasanya," sembur Hamdan.Beberapa orang memutarkan bola mata mendengar ucapan Hamdan. "Udah, gak usah debat! Mendingan ayo cepat kalian nikah," tegur Pak RTMaura telah duduk menunggu, wanita itu tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Hamdan melihat sang istri mendekat."Jangan mendekat! Mendingan kalian cepat menikah!"Tatapan Maura begitu dingin pada sang suami. Membuat Hamdan mengembuskan napas dan dia mulai duduk di depan penghulu, begitupun Mawar. "Eh, Mas! Kitakan belum ngomongin maharnya," pekik wanita itu.Hamdan mendengar itu menoleh menatap Mawar, begitupun semua orang. Maura mendengar hal tersebut, menyeringai dan bersidekap. "Aku mau maharnya ...." Ucapan Mawar terpotong saat mendengar Maura menyela."Kamu ini, udah bagus ak
Semua telah pergi, tinggal Mawar yang berada di kediaman. Mendengar suara tukang sayur dia bergegas keluar, karena Maura memerintah belanja bahan makanan. Rasa kesal masih bersemayan di hati, ia tidak terima saat akan diperkenalkan sebagai pembantu saja. "Mang, tunggu!" teriak Mawar. Mawar berlari mengejar tukang sayur yang tak mau berhenti. Lalu yang berjualan itu berteduh saat ada beberapa Ibu-Ibu memanggil."Ish, Mamang nih apa-apaan sih! Sudah Mawar panggil malah nyelonong terus," cecar Mawar. Dia bergabung dengan Ibu-Ibu yang memilih bahan pangan. Mereka langsung bergeser menjauh, saat ada di dekat Mawar membuat wanita itu mengeryit heran."Maaf, Neng, disuruh istri Mamang. Jangan deket-deket ama Neng, Neng pelakor soalnya. Harus jauh-jauh kalau enggak, bisa kagak dikasih jatah Mamang," sahut Kang sayur."Mamang ini apa-apaan sih, mana mau Mawar ama Mamang. Inget umur, Mang!" ledek Mawar lalu menjulurkan lidah."Gak sopan kamu ngomong sama orang yang lebih tua, ternyata sikapmu
Di lain tempat, Maura menggandeng tangan kecil sang buah hati. Mereka turun dari taksi dan menuju kediaman. Lengan mungil yang halus, tawanya membuat di sekitar ikut mengembangkan bibir. Maura lekas mengeluarkan kunci dari tas dan bergegas membuka pintu, Delia langsung berhampuran bermain mainanan baru di karpet dari Oma."Delia, mau Bunda buatin susu?" tanya Maura.Wanita itu ikut selonjoran di karpet bulu tebal. Gadis kecil tersebut mengangguk tanda setuju, sangat fokus bermain sampai tidak mengalihkan tatapannya. Maura tertawa melihat tingkah menggemaskan sang buah cinta dari Hamdan dan dirinya. Ia bergegas ke dapur membuatkan pesanan yang tersayang. Berusaha menguatkan hati, agar selalu melihat kebahagiaan Delia."Aku harus semangat demi Delia," kata Maura. Dia mengembangkan senyuman saat menyuguhkan sebotol susu ke anaknya."Ayo, Sayang diminum sampai habis ya. Jangan dibuang-buang! Ingat ada yang lebih susah dari kita, kamu harus bersyukur karena memiliki semua ini," nasehat Mau
"Awwww, Bun. Sakit ...," keluh Delia. Tangannya mendorong lengan Maura yang mengompres."Jangan gitu, Sayang, harus di kompres. Emang mau kening kamu jadi benjol besar nanti?" bujuk Maura, dibalas gelengan Delia."Ya sudah, Bun. Tapi kompresnya pelan-pelan jangan di pindah-pindahin." Delia memelas."Ya sudah." Maura dengan telaten mengompres kening sang buah hati."Bun, dia siapa?" tanya Delia. Tangannya menunjuk Mawar yang berdiri menatap khawatir Delia.Maura menoleh memandang Mawar, ia mengembuskan napas kasar. Sungguh hatinya masih kesal dengan Mawar. Sudah merusak rumah tangga sekarang malah membuat Delia terluka walau tak sengaja."Dia Mbak Mawar, pembantu di sini. Nanti kamu minta tolong saja sama Mbak Mawar ya," seru Maura membuat Mawar menoleh menatapnya tak percaya."Iya, Bun. Mbak, tolong lanjutkan buat susu dong, ini juga, kan, salah Mbak."Permintaan Delia membuat Mawar mengembuskan napas kasar, tapi ta
Mawar mengibaskan tangannya, ia terus berkata, "Aduh ... sakit."Hamdan masih menggendong Delia, menatap khawatir istri keduanya. Sedangkan Maura menatap kesal Mawar karna baru disuruh begitu saja sudh celaka. Ia mengembuskan napas lalu mendekat, menatap kaki adik madu yang sedikit memerah."Kukira parah, ternyata cuma segitu. Kamu lebay banget sih!" sinis Maura lalu menarik wanita itu agar ke kamar mandi."Mbak, mau ngapain!" hardik Mawar saat masuk kamar mandi."Mau bunuh kamu! Cepat pelan-pelan siram pake air, lalu cepat ke kamarmu. Jangan manja, Nanti Mbak ambilkan salep," sinis Maura lalu pergi meninggalkan Mawar.Benar ucapan Maura, setelah Mawar beristirahat sebentar. Wanita itu membuka pintu dan menyodorkan salep. Dia berlalu pergi, tidak mau terlalu lama dengan adik madunya, muak melihat wajah sok lugu."Bunda, Delia laper. Mbak Mawar sih, segala belum masak," keluh Delia mengusap perutnya."Ya sudah, kamu main aja sama
"Buuuu, kenapa pagi-pagi nelepon. Tenang saja, Mawar tidak hidup terlantar kok. Mawar masih tidur di kasur empu," ujar Mawar menjelaskan pada wanita yang melahirkannya."Sebutkan alamatmu Nak, Ibu hanya ingin memastikan," ucap Ibu Mawar dari telepon, wanita itu melost spaker karena hendak mengambil mengambil jajanan di atas."Ibu tak perlu ke sini, Mawar baik-baik aja," ucap Mawar menegaskan, ia sungguh tak mau sang Ibu mengetahui bahwa dia menjadi pelakor."Enggak, War. Ibu harus memastikan kamu tidak nakal di sana," ujar Ibunya tegas.Maura yang hendak mengambil air akhirnya berhenti untuk mendengar percakapan Mawar di telepon. Ia tersenyum senang lalu mendekat mengambil handphone Mawar membuat sang empu menjerit. Tatapan adik ipar membulat dan menyodorkan tangan meminta ponsel dikembalikan."Ini dengan Ibunya Mawar?" tanya Maura dengan nada sopan."Iya, ini siapa ya?" tanya Ibu Mawar."Mawar berada di rumah saya Bu, ban
"Sudahlah, La! Kamu menyerah saja," geram sang Papa menatap murka ke arah Shilla."Gak bisa, Pah. Mas Aji harus jadi suami Shilla," rengek Shilla akhirnya memilih menitihkan air mata dan sang Mama langsung mendekap anak gadisnya. "Jangan terlalu keras pada Shilla, Pah," tegur Mama Shilla membelai rambut anaknya merasa sakit kala melihat Shilla menitihkan air mata."Papa kesal, Mah. Shilla berbohong pada kita, kalau Aulia gak beritahu kita, kita gak bakal tau kelakukan anak kita, Mah," lirih Papa Shilla pelan, ia sangat terlihat frustasi dan memijit keningnya."Aku gak bohong, Pah. Mas Aji gak bakal bahagia dengan wanita lain, dia hanya akan bahagia bersamaku," teriak Shilla seraya menangis, sang Mama semakin mendekap anaknya."Mas akan luruskan, La. Mas hanya mengangap kamu sebagai adik, tidak lebih, tolong jangan ganggu kebahagiaann Mas. Mas sudah bahagia bersama Ma dan anak-anak," jelas Aji membuat Shilla semakin terisak. "Sadarlah, La. Masa depanmu masih panjang, kamu bukan cinta
Sebelas hari berlalu setelah kepergian Aulia, Aji masih terlihat murung. Maura wanita itu sibuk mengurus ini dan itu, beruntung ia memiliki pengasuh untuk menjaga anak-anaknya. Sehabis selesai melakukan semua, Maura bergegas melihat sang suami di kamar, terlihat Shilla tengah berusaha membujuk Aji. "Ayo, Mas. Kamu makan ya," bujuk Shilla menyodorkan sendok yang berisi nasi ke bibir Aji. "Sana keluar, Mas gak mau makan," usir Aji membuat Shilla sedikit gemas."Kamu punya telinga, kan, kamu udah diusir. Tolong keluar, biar Mbak yang kasih makan Mas Aji," cecar Maura merebut mangkuk yang berisi bubur, lalu Shilla menghentakan kaki kesal. "Nyebelin! Aku yang beli bubur ini lho," sunggut Shilla menatap kesal ke arah Maura."Ini, Mbak bayar harga buburnya. Sana kamu pergi, oh iya. Kalau mau bantuin tolong urusin aja yang lain, biar Mas Aji aku yang urus saja, karena dia adalah suamiku," sembur Maura membuat Shilla mengepalkan tangannya lalu memilih pergi."Mas ...," panggil Maura dengan
"Enggak, Ma. Ibu mau beli gamis warna kuning aja tuh," ujar Aulia menaruh daster tersebut dan melangkah mendekati jejeran gamis."Ini, Ibu beli ini, tolong pegangin ya," pinta Aulia menyerahkan gamis set dengan hijabnya."Wah ... mukenanya bagus banget, Ibu juga mau beli ini deh," ucap Aulia lagi lalu memgambil mukena berwarna hijau. "Bu, bukannya Ibu suka pake mukena warna putih ya?" tanya Maura mendekati wanita yang menjadi mertuanya. "Emang gak boleh Ibu pengen warna ini," kata Aulia langsung disambut gelengan Maura. "Kamu udah milihnya belum?" tanya Aulia memandang menantunya yang disambut gelengan Maura."Enggak ah, Bu. Baju baru Ma masih banyak yang belum kepake," kata Maura membuat Aulia mengangguk."Ya sudah, ayo antar Ibu bayar dulu," ucap Aulia yang langsung disambut anggukan Maura."Wah, bajunya gemesin," tutur Maura membuat Aulia menoleh memandang menantunya dan ikut melihat apa yang dipandang wanita itu."Iya gemesin, ayo kita ke sana, Ibu pengen beliin. Sekalian buat
Waktu beranjak siang, matahari sudah diatas kepala. Suhu badan Aulia kembali normal, ia sekarang sedang mengajak main di ruang tengah. Wanita itu sempat menanyakan dimana Shilla, bahkan Aulia langsung menelepon gadis tersebut. Setelah tau keberadaan Shilla, Aulia akhirnya fokus bersenang-senang dengan anak, menantu dan sang cucu. "Aku buat makan siang dulu ya," pamit Maura bangkit dari duduknya lalu menyerangkan Kenzie pada Aji karena habis menyusui. "Ayo Ibu bantu, Ibu lagi pengen masak bareng kamu," seru Aulia ikut bangkit dan akhirnya mereka melangkah ke dapur bersama, biarkan Aji menjaga anak-anak. "Pah," panggil Delia membuat Aji mendongak memandang putri sambungnya."Ada apa, hmmm ...," sahut Aji mengeryitkan alis kala melihat Delia seperti menimang-nimang mengatakan sesuatu. "Eummm ... anu, Lia pengen ikut bantu masak ya," ujar Delia membuat Aji terus memandangnya."Boleh ya, Pah. Kalo Papa udah bilang boleh, Bunda gak bakal larang aku," tutur Delia menangkupkan tangannya d
Aji langsung menarik lengannya kala menyadari bahwa ada Maura. Karena tadi tangan itu ternyata menggenggam jemari lentik Shillaa. Terlihat paras Maura memancarkan kekecewaan, Aulia pun merasa bersalah. "Nenek, Nenek jangan sakit. Delia sayang, Nenek," kata Delia dengan nada cemring ia menaiki kasur dan memeluk tubuh Aulia. "Nenek gak sakit kok, cuma lemes aja," balas Aulia menoleh ke arah Delia dan membalas pelukkan gadis kecil itu lalu mencium pucuk kepala Delia. "Huh, Nenek bohong! Katanya gak sakit, tapi ini apa, badan dan kening Nenek sangat panas," gerutu Delia, gadis kecil itu mengusap sayang wajah Aulia."Semoga cara Lia ampun ya," tutur Delia terus membelai sayang puncuk kepala Aulia."Ma ...," ucap Aji pelan, ia bangkit hendak mendekati sang istri, tetapi keduluan oleh Maura yang berjalan ke arahnya. "Bu, berobat yuk! Ma gak tega liat Ibu," ajak Maura melewati sang suami, lalu ikut duduk di ranjang dan membelai puncuk kepala Aulia. "Nenek pasti cepet sembuh, karna sekara
"Papa, aku pinjem handphone. Maim games, boleh ya, Pah ...," rayu Delia memandang Aji dengan pupy eyes. Aji tersenyum geli melihat wajah sang anak sambung, ia mengangguk sebagai jawaban lalu mulai melahap hidangan saat sudah tersedia di piring. Delia langsung bersorak girang, dia bergegas mengambil ponsel Aji dan membawanya ke ruang makan. Karena gadis kecil tersebut akan makan disuapi oleh sang Bunda."Papa, Nenek sakit," kata Delia kala selesai mengeja huruf demi huruf dari pesan whatsapp Shilla. "Kata siapa, Lia?" tanya Aji mendongak memandang anak sambungnya seraya mengeryitkan alis. "Ini Pah, whatsapp dari Tante Shilla," balas Delia menyodorkan handphone lalu ia langsung turun dari kursi. "Ayo Pah, Bun. Kita ke rumah Nenek, kasian Nenek sakit, gak tega Lia lihat fotonya," pinta Delia memegang tangan sang Bunda."Astagfirullah, Ibuu ... ayo Ma! Kita langsung ke rumah Ibu," ajak Aji bangkit dari duduknya lalu menggendong Delia agar ikut ke mobil sedangkan Maura meminta Kenzie
Seminggu berlalu, Aji kini lebih fokus ke anak dan istrinya. Shilla juga pura-pura ngambek semenjak kejadian itu. Wanita tersebut sangat kesal karena ketidak pedulian sang lelaki pujaan. "Ahhh ... sial! Teleponku bahkan gak diangkat," maki Shilla kala menelepon Aji, memang hari ini libur jadi tak ada kepentingan. "Ini semua gara-gara, Mbak Maura," geram Shilla dengan nada frutasi dan memberantakan meja riasnya. "Uhuk, uhuk, La, ayo keluar! Kamu harus makan," panggil Aulia mengetuk pintu kamar Shilla, wanita itu memang belum keluar dari kamarnya. "Ahhh ... iya sebentar, Tan." Shilla segera merapikan rambutnya yang berantakan lalu setelah dirasa rapi ia melangkah menuju pintu dan membukanya. "Muka Tante kenapa pucet banget, Tante juga panas," ucap Shilla kala memegang wajah Ibunya Aji, ia segera menuntun Aulia menuju kamar milik wanita tersebut."Tante harus istirahat di kamar, nanti Shilla telepon Mas Aji agar ke sini," lanjut Shilla lalu membaringkan Aulia di tempat tidur lalu me
"Hey, kamu beneran marah," kata Aji mengejar langkah sang istri. "Pikirin aja sendiri, udah ah mendingan aku tidur aja," sahut Maura dengan nada ketus, ia menepis lengan sang suami yang hendak memegang tangannya."Dengerin dulu kelanjutannya, lah, Sayang. Aku belum selesai lho," tutur Aji membuat Maura mendengkus lalu menatap malas sang suami, ia memilih berhenti di depan pintu agar tak menganggu sang anak yang terlelap."Apa yang mau kamu katakan, Mas," seru Maura dengan nada ketus membuat Aji terkekeh mendengarnya. "Ngapain kamu ketawa, ih ... bikin kesal aja, gak jadi deh kasih kamu kesempatan bela diri," cicit Maura dengan mata memerah karena merasa terhina."Dih marah-marah mulu, lagi PMS ya," goda Aji membuat Maura menggeram dan memilih pergi dan menutup pintu kamar. "Eh, Sayang. Kok dikunci sih," panggil Aji mengetuk pintu dan berusaha membuka benda tersebut."Bodo! Kamunya nyebelin," cecar Maura dibalik pintu membuat Aji mengembuskan napasnya."Sayang ... emang kamu gak mau
maaf ya baru update, beberapa hari meriang. terus kemaren liat ponakan baru😅 jadi baru kekeja segini lgi subuh. happy readers Shilla melakukan pekerjaannya dengan wajah tertekuk. Maura memilih berkeliling dari pada tidur, wanita itu cepat akrab dengan karyawan baru ditemuinya. Sedangkan Aji mulai bekerja lagi dan mengembuskan napas kala melihat riak muka Shilla yang terus masam."Bu, boleh saya bertanya sesuatu?" tanya seorang karyawati dengan nada pelan membuat Maura menoleh menatapnya."He, bertanya apa? boleh kok," balas Maura dengan nada ramah, tak ada kesombongan dalam dirinya."Itu ... apa benar kalau si Shilla bakal jadi madu, Ibu?" tanya ragu-ragu membuat Maura mengerutkan alisnya."Heh, kata siapa?" seru Maura balik bertanya, membuat karyawati itu semakin gugup."Eumm ... itu, Bu," karyawati itu berkata dengan nada terbata-bata. "Si Shilla sendiri yang ngomongnya, Bu. Saya pun sejak dulu tak percaya, beruntung Ibu ke sini dan Ibu bisa klafikasikan," tukas karyawati yang me