Maura keluar bilik mandi, ia kini telah rapi berpakaian dengan jubah tidurnya. Lelaki yang berstatus suaminya terlelap begitu pulas, bahkan sampai mendengkur. Dia mendekat dan mengusap puncuk kepala pria itu, lalu menoleh saat mendengar suara notifikasi pesan dari benda pipih milik sang suami.
"Siapa yang chat? Mungkin aja penting, mendingan aku cek aja," ucap Maura.[Mas udah pulang, besok malam kamu ke rumah ya. Mas kangen, jam seperti biasa. Setelah Mas kasih susu buat Maura.] - Hamdan.[Cepetan ya kasih obat tidur ke susu itu, aku pengen ketemu sama Mas Hamdan. Kangen banget,]Mata Maura memerah saat membaca deretan pesan dari ponsel sang suami. Lelaki itu tidak terusik sama sekali dengan notifikasi chat dari handphonenya."Apa maksudnya ini ...."Maura berkata dengan lirih, ia berusaha membuka layar tetapi, benda tersebut memakai sandi."Kenapa pake sandi segala, biasanya, kan, enggak."Wanita itu bergumam, ia masih berusaha menyangkal semua rasa curiga. Tetapi, saat tahu benda pipih tersebut terkunci dengan sandi. Hati perempuan mana yang tidak menduga-duga."Apa Mas Hamdan selingkuh? Aku harus cari tau. Kalau benar, aku harus balas dan mengambil hak anakku," batin Maura.Perempuan yang berstatus istri dan Ibu itu bergegas meletakan benda pipih tersebut. Lalu melangkah keluar dengan perasaan yang campur aduk."Jangan sampe aku minum susu pemberian Mas Hamdan," gumamnya pelan.Dia berusaha tetap tegar untuk sang buah hati. Kini putrinya sedang menginap di kediaman Ibu mertua."Kenapa Mas Hamdan tega menduakanku? Setidaknya apa dia tidak memikirkan Delia."Air mata berjatuhan ke pipi wanita itu. Seberapa pun kuat menahan, dia hanya perempuan yang hatinya rapuh. Dia berlari menuju dapur, ia memekik mengeluarkan rasa sakit hati."Kamu jahat, Mas!"Maura langsung mengusap air matanya saat terdengar suara bel. Bergegas menuju pintu utama lalu membukanya. Terlihat seorang gadis yang mengulas senyum dan memamerkan rantang yang di bawa."Mawar, ada perlu apa ke sini?"Tatapan Maura penuh dengan kebingungan. Banyak tanda tanya di kepalanya karena perempuan itu selalu datang kala sang suami berada di rumah."Denger-denger Mas Hamdan baru pulang? Aku bawain makanan nih buat kalian," jawab Mawar.Maura bersidekap menatap perempuan itu, bahkan sekarang memiringkan kepala."Kenapa kamu selalu kasih makanan buat kami? Kamu, kan perantau. Harusnya yang itu kamu hemat lho," nasihat Maura.Dia menatap dengan tatapan aneh pada gadis itu."Gal papa kok, Mbak. Gak boleh lho nolak rezeki."Gadis itu selalu menampilkan riak bersahabat pada mereka. Maura berusaha mengabaikan rasa penasaran itu lalu mengajaknya masuk."Hm ... makasih. Ayo masuk! Kamu mau minum apa?" tanya Maura.Setelah sampai di ruangan tamu, Mawar langsung mendaratkan bokong ke sofa. Perempuan itu berlaga seperti pemilik rumah saja, tidak ada rasa sungkan sedikitpun."Air putih aja, Mbak. Oh iya, Mas Hamdannya mana ya?" tanya Mawar.Perempuan tersebut celingak-celinguk mencari keberadaan suami Maura."Tidur, emang ada urusan apa cari suamiku?" tanya Maura.Wanita itu sedikit kesal karena Mawar selalu saja mencari suaminya. Dia tidak jadi mengambilkan air minum dan memilih mendaratkan bokong di sofa yang berhadapan dengan Mawar."Eh ... anu, aku besok mau nebeng, Mbak. Kan searah tuh ke kampusku."Mawar menampilkan seringai saat mengatakan demikian. Terlihat Maura menghela napas mendengar jawaban wanita itu."Ya udah, nanti Mbak kasih tau ke Mas Hamdan."Mendengar jawaban Maura, perempuan itu mengulas senyuman. Ia lekas bangkit dan pamit pada istri Hamdan yang dibalas anggukan wanita tersebut.***Malam berikutnya, Hamdan menyodorkan segelas susu pada sang istri."Sayang, ini minum susunya. Habisin ya!"Maura yang tengah bersantai di kamar dengan menyandarkan tubuh di kepala ranjang langsung mendongak."Iya, Mas, makasih ya."Maura menerima gelas yang berisi susu tersebut. Ia bimbang menatap minuman buatan sang suami, yang selalu dibuatkan lelaki itu setiap malam.Suara dering ponsel yang bergetar di saku Hamdan membuat Maura mengulas senyum tipis. Lelaki itu langsung pamit untuk mengangkat telepon. Hamdan memberikan wejangan bahwa susu harus habis kala dia kembali.Setelah lelaki itu menghilang dari balik pintu. Maura bergegas turun dari ranjang dan menuju bilik mandi untuk menumpahkan isi gelas tersebut hingga tandas. Lalu melangkah ke kamar lagi dan meletakan benda itu di nakas."Susunya udah abis?"Saat masuk ke kamar, lelaki itu langsung menanyakan susu tersebut. Melihat gelas tersebut kosong, Hamdan mengulas senyuman bungah."Bagus! Kalau gitu ayo kita tidur sekarang," ajak lelaki itu.Hamdan beranjak ke kasur lalu berbaring di samping sang istri. Mendengar ucapan lelaki itu, Maura membalas dengan anggukan dan berpura-pura menguap lalu menutup mata.Dua puluh tiga menit berlalu, Hamdan bergegas turun dari tempat tidur. Ia tersenyum bahagia kala melihat Maura yang sudah terlelap. Dengan langkah pelan, lelaki itu melangkah keluar untuk menyambut wanita yang telah menunggu di pintu dapur."Mas! Kenapa lama banget," keluh Mawar.Wanita itu langsung berhamburan memeluk tubuh lelaki pujaannya."Maaf. Ayo mendingan kita cepet ke ruang tengah, takut tetangga lihat," ajak lelaki itu.Mawar mengangguk dia langsung melepaskan pelukannya. Sedangkan lelaki itu dengan gerakan cepat mendekap pinggang ramping selingkuhannya.Kedua manusia itu lantas melakukan pergumulan terlarang di ruang tengah. Bahkan mereka tak segan memutar film dewasa seraya meniru adegan tersebut.Maura yang sebenarnya belum tertidur lekas keluar kamar, karena ingin menangkap basah perselingkuhan sang suami. Saat hendak memasuki ruang tengah, ia langsung bersembunyi. Kala melihat sekilas pemandangan yang membuat dia syok."Astagfirullah, ternyata Mawar orang ketiga dalam rumah tanggaku," pekik Maura pelan.Berusaha menetralkan diri dan hati yang terluka. Maura bergegas ke kamarnya lagi, untuk keluar rumah lewat jendela. Setelah dirinya berada di luar kediaman, ia segera berlari ke rumah ketua RT yang jaraknya lumayan dekat.Mendengar penjelasan Maura, Pak RT lantas mengerahkan warga yang belum tertidur. Istri Hamdan mengetuk pintu seorang penghulu dan memintanya untuk ikut ke kediaman.Semua berkumpul di depan kediaman Maura, dia menyuruh mereka langsung masuk ke rumah dengan mengendap-endap. Ternyata Hamdan dan Mawar yang tadinya di ruang tengah sudah berpindah ke kamar tamu. Tanpa pikir panjang, Maura meminta agar beberapa warga untuk mendobrak pintu tersebut.Pintu kamar itu terbuka, terlihat Hamdan dan Mawar kini tengah asik bercumbu. Mungkin tadi mereka larut dalam gairah sampai tidak menyadari pintu yang di dobrak. Keduanya terkejut mendapatkan kejadian yang mungkin tidak dipikirkan oleh mereka."Cepat pake baju kalian!"Pak RT memerintahkan dengan nada tinggi. Dengan tergesa-gesa mereka langsung bergegas menyelimuti tubuh. Lelaki yang berstatus suami Maura menatap sang istri dengan nanar. Masih terlihat wajah sembab dan hidung merah itu.Maura langsung melangkah dengan lebar, dia mendekati keduanya dan menampar pasangan mesum tersebut."Tega kamu, War."Dia menjambak rambut gadis itu, karena perempuan tersebut menunduk sambil terisak. Seperti seorang yang habis diperkosa, padahal dia menikmati kegiatan itu."Dasar jalang! Apa kamu gak mikirin perasaanku, kamu juga wanita, bukan!"Maura dengan emosi menampar pipi perempuan itu lagi. Tatapannya beralih pada sang suami, ia memancarkan pandangan terluka."Kamu jahat, Mas! Setidaknya pikirkan Delia dulu sebelum kamu melakukan sejauh ini."Hamdan terus berkata maaf saat mendengar ucapan Maura. Wanita itu mengembuskan napas kasar."Cepat pake baju kalian! Lalu keluar. Kami menunggu di ruangan tamu, untuk menikahkan kalian."Hamdan terkejut mendengar ucapan sang istri. Sampai netranya membulat, pria itu tidak percaya. Jika wanitanya malah mau menikahkan dia dan Mawar."Mbak serius? Makasih ya, Mbak."Wanita itu memekik girang saat mendengar perintah Maura yang sama sekali tidak ada dipikirannya."Kalian hanya bisa nikah siri."Maura keluar dan mengajak semua orang untuk meninggalkan kamar itu menunggu mereka bersiap."Mas! Akhirnya kita bisa menikah. Aku seneng banget," pekik Mawar.Dia memeluk Hamdan lalu berlari menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan memakai pakaian."Kenapa Maura ngomong gitu, tapi ... sudahlah. Mungkin ini resekiku dapet istri dua,' ucap Hamdan.Lelaki itu langsung mengikuti calon istrinya yang membersihkan diri di bilik mandi. Sedangkan Maura yang mendengar perkataan pasangan mesum itu hanya mengulas senyum sinis."Kalian pikir aku akan membiarkan kalian bahagia! Tunggu saja ... ini baru permulaan. Kalian harus mendapatkan balasan."Mendengar suara pintu terbuka, mereka langsung menoleh. Tatapan sinis terpancar disemua mata semua orang. Mawar yang merasa terimidasi menundukan kepala dan memegang lengan Hamdan."Bisa gak sih kalian gak usah natap kami begitu, udah kaya buronan tau rasanya," sembur Hamdan.Beberapa orang memutarkan bola mata mendengar ucapan Hamdan. "Udah, gak usah debat! Mendingan ayo cepat kalian nikah," tegur Pak RTMaura telah duduk menunggu, wanita itu tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Hamdan melihat sang istri mendekat."Jangan mendekat! Mendingan kalian cepat menikah!"Tatapan Maura begitu dingin pada sang suami. Membuat Hamdan mengembuskan napas dan dia mulai duduk di depan penghulu, begitupun Mawar. "Eh, Mas! Kitakan belum ngomongin maharnya," pekik wanita itu.Hamdan mendengar itu menoleh menatap Mawar, begitupun semua orang. Maura mendengar hal tersebut, menyeringai dan bersidekap. "Aku mau maharnya ...." Ucapan Mawar terpotong saat mendengar Maura menyela."Kamu ini, udah bagus ak
Semua telah pergi, tinggal Mawar yang berada di kediaman. Mendengar suara tukang sayur dia bergegas keluar, karena Maura memerintah belanja bahan makanan. Rasa kesal masih bersemayan di hati, ia tidak terima saat akan diperkenalkan sebagai pembantu saja. "Mang, tunggu!" teriak Mawar. Mawar berlari mengejar tukang sayur yang tak mau berhenti. Lalu yang berjualan itu berteduh saat ada beberapa Ibu-Ibu memanggil."Ish, Mamang nih apa-apaan sih! Sudah Mawar panggil malah nyelonong terus," cecar Mawar. Dia bergabung dengan Ibu-Ibu yang memilih bahan pangan. Mereka langsung bergeser menjauh, saat ada di dekat Mawar membuat wanita itu mengeryit heran."Maaf, Neng, disuruh istri Mamang. Jangan deket-deket ama Neng, Neng pelakor soalnya. Harus jauh-jauh kalau enggak, bisa kagak dikasih jatah Mamang," sahut Kang sayur."Mamang ini apa-apaan sih, mana mau Mawar ama Mamang. Inget umur, Mang!" ledek Mawar lalu menjulurkan lidah."Gak sopan kamu ngomong sama orang yang lebih tua, ternyata sikapmu
Di lain tempat, Maura menggandeng tangan kecil sang buah hati. Mereka turun dari taksi dan menuju kediaman. Lengan mungil yang halus, tawanya membuat di sekitar ikut mengembangkan bibir. Maura lekas mengeluarkan kunci dari tas dan bergegas membuka pintu, Delia langsung berhampuran bermain mainanan baru di karpet dari Oma."Delia, mau Bunda buatin susu?" tanya Maura.Wanita itu ikut selonjoran di karpet bulu tebal. Gadis kecil tersebut mengangguk tanda setuju, sangat fokus bermain sampai tidak mengalihkan tatapannya. Maura tertawa melihat tingkah menggemaskan sang buah cinta dari Hamdan dan dirinya. Ia bergegas ke dapur membuatkan pesanan yang tersayang. Berusaha menguatkan hati, agar selalu melihat kebahagiaan Delia."Aku harus semangat demi Delia," kata Maura. Dia mengembangkan senyuman saat menyuguhkan sebotol susu ke anaknya."Ayo, Sayang diminum sampai habis ya. Jangan dibuang-buang! Ingat ada yang lebih susah dari kita, kamu harus bersyukur karena memiliki semua ini," nasehat Mau
"Awwww, Bun. Sakit ...," keluh Delia. Tangannya mendorong lengan Maura yang mengompres."Jangan gitu, Sayang, harus di kompres. Emang mau kening kamu jadi benjol besar nanti?" bujuk Maura, dibalas gelengan Delia."Ya sudah, Bun. Tapi kompresnya pelan-pelan jangan di pindah-pindahin." Delia memelas."Ya sudah." Maura dengan telaten mengompres kening sang buah hati."Bun, dia siapa?" tanya Delia. Tangannya menunjuk Mawar yang berdiri menatap khawatir Delia.Maura menoleh memandang Mawar, ia mengembuskan napas kasar. Sungguh hatinya masih kesal dengan Mawar. Sudah merusak rumah tangga sekarang malah membuat Delia terluka walau tak sengaja."Dia Mbak Mawar, pembantu di sini. Nanti kamu minta tolong saja sama Mbak Mawar ya," seru Maura membuat Mawar menoleh menatapnya tak percaya."Iya, Bun. Mbak, tolong lanjutkan buat susu dong, ini juga, kan, salah Mbak."Permintaan Delia membuat Mawar mengembuskan napas kasar, tapi ta
Mawar mengibaskan tangannya, ia terus berkata, "Aduh ... sakit."Hamdan masih menggendong Delia, menatap khawatir istri keduanya. Sedangkan Maura menatap kesal Mawar karna baru disuruh begitu saja sudh celaka. Ia mengembuskan napas lalu mendekat, menatap kaki adik madu yang sedikit memerah."Kukira parah, ternyata cuma segitu. Kamu lebay banget sih!" sinis Maura lalu menarik wanita itu agar ke kamar mandi."Mbak, mau ngapain!" hardik Mawar saat masuk kamar mandi."Mau bunuh kamu! Cepat pelan-pelan siram pake air, lalu cepat ke kamarmu. Jangan manja, Nanti Mbak ambilkan salep," sinis Maura lalu pergi meninggalkan Mawar.Benar ucapan Maura, setelah Mawar beristirahat sebentar. Wanita itu membuka pintu dan menyodorkan salep. Dia berlalu pergi, tidak mau terlalu lama dengan adik madunya, muak melihat wajah sok lugu."Bunda, Delia laper. Mbak Mawar sih, segala belum masak," keluh Delia mengusap perutnya."Ya sudah, kamu main aja sama
"Buuuu, kenapa pagi-pagi nelepon. Tenang saja, Mawar tidak hidup terlantar kok. Mawar masih tidur di kasur empu," ujar Mawar menjelaskan pada wanita yang melahirkannya."Sebutkan alamatmu Nak, Ibu hanya ingin memastikan," ucap Ibu Mawar dari telepon, wanita itu melost spaker karena hendak mengambil mengambil jajanan di atas."Ibu tak perlu ke sini, Mawar baik-baik aja," ucap Mawar menegaskan, ia sungguh tak mau sang Ibu mengetahui bahwa dia menjadi pelakor."Enggak, War. Ibu harus memastikan kamu tidak nakal di sana," ujar Ibunya tegas.Maura yang hendak mengambil air akhirnya berhenti untuk mendengar percakapan Mawar di telepon. Ia tersenyum senang lalu mendekat mengambil handphone Mawar membuat sang empu menjerit. Tatapan adik ipar membulat dan menyodorkan tangan meminta ponsel dikembalikan."Ini dengan Ibunya Mawar?" tanya Maura dengan nada sopan."Iya, ini siapa ya?" tanya Ibu Mawar."Mawar berada di rumah saya Bu, ban
"Kamu aja, Ra. Kamu masak sarapan, liat ... tangan Mawar kecipratan minyak," ujar Hamdan menunjukan bintik-bintik merah."Gitu aja lebay, War. Gimana kalau kaya Mbak dulu, ke guyur gara-gara kamu senggol wajan," sinis Maura lalu berbalik memilih ke dapur untuk membuatkan sarapan buat anaknya."Bun, kok masaknya cuma sedikit, nanti Ayah gimana?" tanya Delia saat Maura menyodorkan piring yang berisi nasi goreng."Udah mendingan kamu makan aja, Sayang. Biar Mbak Mawar aja yang masakin Ayah sarapan," sahut Maura membuat Delia mengangguk.Setelah sarapan keduanya beranjak keluar lalu menatap Hamdan yang ternyata berbincang dengan Mawar. Mereka tertawa bahagia membuat Maura tersenyum kecut, wanita itu langsung menyodorkan tangan ke hadapan suaminya membikin Hamdan menoleh. Delia sudah menarik-narik agar cepat pergi, kata Maura bentar lagi telat memicu takut Delia."Bun ... cepat, katanya Bunda udah telat," pinta Delia."Iya Sayang, bentar. M
Cepat kugoyangkan kepala ke kiri kanan. Tidak! Aku tidak boleh menyerah. Memberikan Mawar hidup bahagia dengan Mas Hamdan, gak bisa egois memikirkan diri sendiri. Tanpa mementingkan Delia. Sudah banyak peristiwa orangtua bercerai lalu anak menjadi korban broken home. Harusnya itu menjadi pelajaran untukku."Bundaaa, Delia bisa!" pekik anakku saat waktu pulang sudah tiba, ia memeluk lalu melepaskan melompat-lompat girang."Anak Bunda, pintar," ucapku seraya berjongkok lalu mencium pipi Delia."Ayo sekarang kita pulang!" ajakku menggendong putri kecil tapi dia memberontak."Tidak, Bunda. Lia sudah besar, jangan digendong." Dia meminta diturunkan, membuatku kewalahan lalu minta agar dia diam untuk bisa menurunkannya."Oke-oke, anak Bunda sudah besar. Ayo kita pulang," ajakku lalu masuk ke taksi yang telah dipesan sejak tadi.Setelah sampai rumah, bergegas masuk untuk mengistirahatkan tubuh. Sungguh letih raga ini, padahal hanya dudu
"Sudahlah, La! Kamu menyerah saja," geram sang Papa menatap murka ke arah Shilla."Gak bisa, Pah. Mas Aji harus jadi suami Shilla," rengek Shilla akhirnya memilih menitihkan air mata dan sang Mama langsung mendekap anak gadisnya. "Jangan terlalu keras pada Shilla, Pah," tegur Mama Shilla membelai rambut anaknya merasa sakit kala melihat Shilla menitihkan air mata."Papa kesal, Mah. Shilla berbohong pada kita, kalau Aulia gak beritahu kita, kita gak bakal tau kelakukan anak kita, Mah," lirih Papa Shilla pelan, ia sangat terlihat frustasi dan memijit keningnya."Aku gak bohong, Pah. Mas Aji gak bakal bahagia dengan wanita lain, dia hanya akan bahagia bersamaku," teriak Shilla seraya menangis, sang Mama semakin mendekap anaknya."Mas akan luruskan, La. Mas hanya mengangap kamu sebagai adik, tidak lebih, tolong jangan ganggu kebahagiaann Mas. Mas sudah bahagia bersama Ma dan anak-anak," jelas Aji membuat Shilla semakin terisak. "Sadarlah, La. Masa depanmu masih panjang, kamu bukan cinta
Sebelas hari berlalu setelah kepergian Aulia, Aji masih terlihat murung. Maura wanita itu sibuk mengurus ini dan itu, beruntung ia memiliki pengasuh untuk menjaga anak-anaknya. Sehabis selesai melakukan semua, Maura bergegas melihat sang suami di kamar, terlihat Shilla tengah berusaha membujuk Aji. "Ayo, Mas. Kamu makan ya," bujuk Shilla menyodorkan sendok yang berisi nasi ke bibir Aji. "Sana keluar, Mas gak mau makan," usir Aji membuat Shilla sedikit gemas."Kamu punya telinga, kan, kamu udah diusir. Tolong keluar, biar Mbak yang kasih makan Mas Aji," cecar Maura merebut mangkuk yang berisi bubur, lalu Shilla menghentakan kaki kesal. "Nyebelin! Aku yang beli bubur ini lho," sunggut Shilla menatap kesal ke arah Maura."Ini, Mbak bayar harga buburnya. Sana kamu pergi, oh iya. Kalau mau bantuin tolong urusin aja yang lain, biar Mas Aji aku yang urus saja, karena dia adalah suamiku," sembur Maura membuat Shilla mengepalkan tangannya lalu memilih pergi."Mas ...," panggil Maura dengan
"Enggak, Ma. Ibu mau beli gamis warna kuning aja tuh," ujar Aulia menaruh daster tersebut dan melangkah mendekati jejeran gamis."Ini, Ibu beli ini, tolong pegangin ya," pinta Aulia menyerahkan gamis set dengan hijabnya."Wah ... mukenanya bagus banget, Ibu juga mau beli ini deh," ucap Aulia lagi lalu memgambil mukena berwarna hijau. "Bu, bukannya Ibu suka pake mukena warna putih ya?" tanya Maura mendekati wanita yang menjadi mertuanya. "Emang gak boleh Ibu pengen warna ini," kata Aulia langsung disambut gelengan Maura. "Kamu udah milihnya belum?" tanya Aulia memandang menantunya yang disambut gelengan Maura."Enggak ah, Bu. Baju baru Ma masih banyak yang belum kepake," kata Maura membuat Aulia mengangguk."Ya sudah, ayo antar Ibu bayar dulu," ucap Aulia yang langsung disambut anggukan Maura."Wah, bajunya gemesin," tutur Maura membuat Aulia menoleh memandang menantunya dan ikut melihat apa yang dipandang wanita itu."Iya gemesin, ayo kita ke sana, Ibu pengen beliin. Sekalian buat
Waktu beranjak siang, matahari sudah diatas kepala. Suhu badan Aulia kembali normal, ia sekarang sedang mengajak main di ruang tengah. Wanita itu sempat menanyakan dimana Shilla, bahkan Aulia langsung menelepon gadis tersebut. Setelah tau keberadaan Shilla, Aulia akhirnya fokus bersenang-senang dengan anak, menantu dan sang cucu. "Aku buat makan siang dulu ya," pamit Maura bangkit dari duduknya lalu menyerangkan Kenzie pada Aji karena habis menyusui. "Ayo Ibu bantu, Ibu lagi pengen masak bareng kamu," seru Aulia ikut bangkit dan akhirnya mereka melangkah ke dapur bersama, biarkan Aji menjaga anak-anak. "Pah," panggil Delia membuat Aji mendongak memandang putri sambungnya."Ada apa, hmmm ...," sahut Aji mengeryitkan alis kala melihat Delia seperti menimang-nimang mengatakan sesuatu. "Eummm ... anu, Lia pengen ikut bantu masak ya," ujar Delia membuat Aji terus memandangnya."Boleh ya, Pah. Kalo Papa udah bilang boleh, Bunda gak bakal larang aku," tutur Delia menangkupkan tangannya d
Aji langsung menarik lengannya kala menyadari bahwa ada Maura. Karena tadi tangan itu ternyata menggenggam jemari lentik Shillaa. Terlihat paras Maura memancarkan kekecewaan, Aulia pun merasa bersalah. "Nenek, Nenek jangan sakit. Delia sayang, Nenek," kata Delia dengan nada cemring ia menaiki kasur dan memeluk tubuh Aulia. "Nenek gak sakit kok, cuma lemes aja," balas Aulia menoleh ke arah Delia dan membalas pelukkan gadis kecil itu lalu mencium pucuk kepala Delia. "Huh, Nenek bohong! Katanya gak sakit, tapi ini apa, badan dan kening Nenek sangat panas," gerutu Delia, gadis kecil itu mengusap sayang wajah Aulia."Semoga cara Lia ampun ya," tutur Delia terus membelai sayang puncuk kepala Aulia."Ma ...," ucap Aji pelan, ia bangkit hendak mendekati sang istri, tetapi keduluan oleh Maura yang berjalan ke arahnya. "Bu, berobat yuk! Ma gak tega liat Ibu," ajak Maura melewati sang suami, lalu ikut duduk di ranjang dan membelai puncuk kepala Aulia. "Nenek pasti cepet sembuh, karna sekara
"Papa, aku pinjem handphone. Maim games, boleh ya, Pah ...," rayu Delia memandang Aji dengan pupy eyes. Aji tersenyum geli melihat wajah sang anak sambung, ia mengangguk sebagai jawaban lalu mulai melahap hidangan saat sudah tersedia di piring. Delia langsung bersorak girang, dia bergegas mengambil ponsel Aji dan membawanya ke ruang makan. Karena gadis kecil tersebut akan makan disuapi oleh sang Bunda."Papa, Nenek sakit," kata Delia kala selesai mengeja huruf demi huruf dari pesan whatsapp Shilla. "Kata siapa, Lia?" tanya Aji mendongak memandang anak sambungnya seraya mengeryitkan alis. "Ini Pah, whatsapp dari Tante Shilla," balas Delia menyodorkan handphone lalu ia langsung turun dari kursi. "Ayo Pah, Bun. Kita ke rumah Nenek, kasian Nenek sakit, gak tega Lia lihat fotonya," pinta Delia memegang tangan sang Bunda."Astagfirullah, Ibuu ... ayo Ma! Kita langsung ke rumah Ibu," ajak Aji bangkit dari duduknya lalu menggendong Delia agar ikut ke mobil sedangkan Maura meminta Kenzie
Seminggu berlalu, Aji kini lebih fokus ke anak dan istrinya. Shilla juga pura-pura ngambek semenjak kejadian itu. Wanita tersebut sangat kesal karena ketidak pedulian sang lelaki pujaan. "Ahhh ... sial! Teleponku bahkan gak diangkat," maki Shilla kala menelepon Aji, memang hari ini libur jadi tak ada kepentingan. "Ini semua gara-gara, Mbak Maura," geram Shilla dengan nada frutasi dan memberantakan meja riasnya. "Uhuk, uhuk, La, ayo keluar! Kamu harus makan," panggil Aulia mengetuk pintu kamar Shilla, wanita itu memang belum keluar dari kamarnya. "Ahhh ... iya sebentar, Tan." Shilla segera merapikan rambutnya yang berantakan lalu setelah dirasa rapi ia melangkah menuju pintu dan membukanya. "Muka Tante kenapa pucet banget, Tante juga panas," ucap Shilla kala memegang wajah Ibunya Aji, ia segera menuntun Aulia menuju kamar milik wanita tersebut."Tante harus istirahat di kamar, nanti Shilla telepon Mas Aji agar ke sini," lanjut Shilla lalu membaringkan Aulia di tempat tidur lalu me
"Hey, kamu beneran marah," kata Aji mengejar langkah sang istri. "Pikirin aja sendiri, udah ah mendingan aku tidur aja," sahut Maura dengan nada ketus, ia menepis lengan sang suami yang hendak memegang tangannya."Dengerin dulu kelanjutannya, lah, Sayang. Aku belum selesai lho," tutur Aji membuat Maura mendengkus lalu menatap malas sang suami, ia memilih berhenti di depan pintu agar tak menganggu sang anak yang terlelap."Apa yang mau kamu katakan, Mas," seru Maura dengan nada ketus membuat Aji terkekeh mendengarnya. "Ngapain kamu ketawa, ih ... bikin kesal aja, gak jadi deh kasih kamu kesempatan bela diri," cicit Maura dengan mata memerah karena merasa terhina."Dih marah-marah mulu, lagi PMS ya," goda Aji membuat Maura menggeram dan memilih pergi dan menutup pintu kamar. "Eh, Sayang. Kok dikunci sih," panggil Aji mengetuk pintu dan berusaha membuka benda tersebut."Bodo! Kamunya nyebelin," cecar Maura dibalik pintu membuat Aji mengembuskan napasnya."Sayang ... emang kamu gak mau
maaf ya baru update, beberapa hari meriang. terus kemaren liat ponakan baru😅 jadi baru kekeja segini lgi subuh. happy readers Shilla melakukan pekerjaannya dengan wajah tertekuk. Maura memilih berkeliling dari pada tidur, wanita itu cepat akrab dengan karyawan baru ditemuinya. Sedangkan Aji mulai bekerja lagi dan mengembuskan napas kala melihat riak muka Shilla yang terus masam."Bu, boleh saya bertanya sesuatu?" tanya seorang karyawati dengan nada pelan membuat Maura menoleh menatapnya."He, bertanya apa? boleh kok," balas Maura dengan nada ramah, tak ada kesombongan dalam dirinya."Itu ... apa benar kalau si Shilla bakal jadi madu, Ibu?" tanya ragu-ragu membuat Maura mengerutkan alisnya."Heh, kata siapa?" seru Maura balik bertanya, membuat karyawati itu semakin gugup."Eumm ... itu, Bu," karyawati itu berkata dengan nada terbata-bata. "Si Shilla sendiri yang ngomongnya, Bu. Saya pun sejak dulu tak percaya, beruntung Ibu ke sini dan Ibu bisa klafikasikan," tukas karyawati yang me