"Awwww, Bun. Sakit ...," keluh Delia. Tangannya mendorong lengan Maura yang mengompres.
"Jangan gitu, Sayang, harus di kompres. Emang mau kening kamu jadi benjol besar nanti?" bujuk Maura, dibalas gelengan Delia.
"Ya sudah, Bun. Tapi kompresnya pelan-pelan jangan di pindah-pindahin." Delia memelas.
"Ya sudah." Maura dengan telaten mengompres kening sang buah hati.
"Bun, dia siapa?" tanya Delia. Tangannya menunjuk Mawar yang berdiri menatap khawatir Delia.
Maura menoleh memandang Mawar, ia mengembuskan napas kasar. Sungguh hatinya masih kesal dengan Mawar. Sudah merusak rumah tangga sekarang malah membuat Delia terluka walau tak sengaja.
"Dia Mbak Mawar, pembantu di sini. Nanti kamu minta tolong saja sama Mbak Mawar ya," seru Maura membuat Mawar menoleh menatapnya tak percaya.
"Iya, Bun. Mbak, tolong lanjutkan buat susu dong, ini juga, kan, salah Mbak."
Permintaan Delia membuat Mawar mengembuskan napas kasar, tapi tak kuasa menolak permintaan gadis itu. Delia selalu meminta ini itu pada Mawar, membuat perempuan tersebut frustasi dan kelelahan.
Jarum jam sudah menunjuk angka tujuh, terdengar deru mobil, membuat senyuman Delia mengembang lalu bergegas ke pintu utama. Maura dan Mawar mengikuti langkah gadis kecil itu. Semuanya menyambut Hamdan yang pulang.
Saat Mawar hendak menerima kecupan di kening oleh Hamdan, suara Delia berseru melarang.
"No, Ayah. Ayah gak boleh bersentuhan sama wanita yang bukan muhrim. Itukan yang Ayah ajarkan pada Delia," ujar gadis kecil itu.
Mendengarnya, Hamdan terasa bagai terhantap batu besar.
"Maaf, Sayang. Ayah lupa, ayo sini Ayah gendong," kata Hamdan.
Dia segera berjongkok setelah memberikan tas kerja pada Maura.
"Ayah, Lia kangen." Gadis kecil itu menghadiahi kecupan di wajah Hamdan.
Hamdan terkekeh lalu balas mengecup wajah Delia bertubi-tubi. Hamdan terdiam saat matanya menangkap benjolan di kening sang buah hati. Dia langsung menatap tajam istri pertamanya.
"Kenapa bisa benjol kening anakku?" hardik Hamdan dengan nada tinggi. Maura mendengkus karenanya.
"Ayah, ini bukan salah Bunda," bela Delia. Tangan kecilnya memegang wajah Hamdan agar memandangnya.
"Terus ini salah siapa?" tanya Hamdan dengan lembut. Ia tak menyadari riak wajah Mawar yang ketakutan.
"Mbak Mawar, dia masuk bukannya ketuk pintu dulu malah langsung bukan pintu, jadi deh jidat Lia begini," terang Delia.
Hamdan menatap kesal ke arah Mawar. Wanita tersebut lansung menunduk.
"Lain kali hati-hati!" nasehat Hamdan membuat Delia cemberut.
"Ayah, ini. Kenapa Mbak Mawar tidak diomelin, sedangkan Bunda tadi diomelin sama Ayah. Ayah gak adil."
Delia memukul dada Hamdan membuat lelaki itu mengadu.
"Maaf, Sayang, ya sudah. Ayo kita masuk!"
Hamdan menggandeng lengan Maura, membuat Mawar iri. Wanita itu hanya mengikuti dari belakang.
"Seperti benar-benar seperti pembantu saja," keluh Mawar.
Hamdan duduk di sofa sedangkan Delia di pangkuannya. Maura pergi menaruh tas kerja Hamdan ke kamar. Baru saja Mawar hendak duduk, Delia langsung melarang.
"Eittt, nanti, Mbak, jangan duduk dulu. Ayah, Ayah haus tidak?" tanya Delia membuat Hamdan mengeryitkan alisnya tapi masih menjawab.
"Haus, Sayang."
"Mau kopi atau jus?" tanya Delia sekali lagi. Bersamaan dengan itu Maura datang dan duduk di samping suaminya, ia tersenyum saat menampak pandangan iri dari mata Mawar.
"Kopi saja," sahut Hamdan. Ia masih kebingungan dengan pertanyaan sang putri.
"Mbak Mawar, buatin kopi, teh manis sama ambilin aku susu kotak aja. Ehhh, jangan lupa bawa cemilan juga," pinta Delia. Hamdan melongo.
Maura tersenyum geli lalu menatap Mawar yang memberengut kesal, mungkin karena di suruh anak kecil.
"Ayo cepat buatkan, Mawar! Jangan bengong aja," tegur Maura membuat Mawar menghentak-entakan kaki lalu berjalan pergi.
Saat Mawar melakukan pekerjaan sambil menggerutu, tanpa ia sadari salah menuangkan air mendidih. Akhirnya cairan itu mengetahui kaki membuat Mawar menjerit. Semua yang mendengar langsung tergopoh-gopoh ke dapur.
Mawar mengibaskan tangannya, ia terus berkata, "Aduh ... sakit."Hamdan masih menggendong Delia, menatap khawatir istri keduanya. Sedangkan Maura menatap kesal Mawar karna baru disuruh begitu saja sudh celaka. Ia mengembuskan napas lalu mendekat, menatap kaki adik madu yang sedikit memerah."Kukira parah, ternyata cuma segitu. Kamu lebay banget sih!" sinis Maura lalu menarik wanita itu agar ke kamar mandi."Mbak, mau ngapain!" hardik Mawar saat masuk kamar mandi."Mau bunuh kamu! Cepat pelan-pelan siram pake air, lalu cepat ke kamarmu. Jangan manja, Nanti Mbak ambilkan salep," sinis Maura lalu pergi meninggalkan Mawar.Benar ucapan Maura, setelah Mawar beristirahat sebentar. Wanita itu membuka pintu dan menyodorkan salep. Dia berlalu pergi, tidak mau terlalu lama dengan adik madunya, muak melihat wajah sok lugu."Bunda, Delia laper. Mbak Mawar sih, segala belum masak," keluh Delia mengusap perutnya."Ya sudah, kamu main aja sama
"Buuuu, kenapa pagi-pagi nelepon. Tenang saja, Mawar tidak hidup terlantar kok. Mawar masih tidur di kasur empu," ujar Mawar menjelaskan pada wanita yang melahirkannya."Sebutkan alamatmu Nak, Ibu hanya ingin memastikan," ucap Ibu Mawar dari telepon, wanita itu melost spaker karena hendak mengambil mengambil jajanan di atas."Ibu tak perlu ke sini, Mawar baik-baik aja," ucap Mawar menegaskan, ia sungguh tak mau sang Ibu mengetahui bahwa dia menjadi pelakor."Enggak, War. Ibu harus memastikan kamu tidak nakal di sana," ujar Ibunya tegas.Maura yang hendak mengambil air akhirnya berhenti untuk mendengar percakapan Mawar di telepon. Ia tersenyum senang lalu mendekat mengambil handphone Mawar membuat sang empu menjerit. Tatapan adik ipar membulat dan menyodorkan tangan meminta ponsel dikembalikan."Ini dengan Ibunya Mawar?" tanya Maura dengan nada sopan."Iya, ini siapa ya?" tanya Ibu Mawar."Mawar berada di rumah saya Bu, ban
"Kamu aja, Ra. Kamu masak sarapan, liat ... tangan Mawar kecipratan minyak," ujar Hamdan menunjukan bintik-bintik merah."Gitu aja lebay, War. Gimana kalau kaya Mbak dulu, ke guyur gara-gara kamu senggol wajan," sinis Maura lalu berbalik memilih ke dapur untuk membuatkan sarapan buat anaknya."Bun, kok masaknya cuma sedikit, nanti Ayah gimana?" tanya Delia saat Maura menyodorkan piring yang berisi nasi goreng."Udah mendingan kamu makan aja, Sayang. Biar Mbak Mawar aja yang masakin Ayah sarapan," sahut Maura membuat Delia mengangguk.Setelah sarapan keduanya beranjak keluar lalu menatap Hamdan yang ternyata berbincang dengan Mawar. Mereka tertawa bahagia membuat Maura tersenyum kecut, wanita itu langsung menyodorkan tangan ke hadapan suaminya membikin Hamdan menoleh. Delia sudah menarik-narik agar cepat pergi, kata Maura bentar lagi telat memicu takut Delia."Bun ... cepat, katanya Bunda udah telat," pinta Delia."Iya Sayang, bentar. M
Cepat kugoyangkan kepala ke kiri kanan. Tidak! Aku tidak boleh menyerah. Memberikan Mawar hidup bahagia dengan Mas Hamdan, gak bisa egois memikirkan diri sendiri. Tanpa mementingkan Delia. Sudah banyak peristiwa orangtua bercerai lalu anak menjadi korban broken home. Harusnya itu menjadi pelajaran untukku."Bundaaa, Delia bisa!" pekik anakku saat waktu pulang sudah tiba, ia memeluk lalu melepaskan melompat-lompat girang."Anak Bunda, pintar," ucapku seraya berjongkok lalu mencium pipi Delia."Ayo sekarang kita pulang!" ajakku menggendong putri kecil tapi dia memberontak."Tidak, Bunda. Lia sudah besar, jangan digendong." Dia meminta diturunkan, membuatku kewalahan lalu minta agar dia diam untuk bisa menurunkannya."Oke-oke, anak Bunda sudah besar. Ayo kita pulang," ajakku lalu masuk ke taksi yang telah dipesan sejak tadi.Setelah sampai rumah, bergegas masuk untuk mengistirahatkan tubuh. Sungguh letih raga ini, padahal hanya dudu
Hamdan masuk ke kamarnya dan Maura tetapi tidak menemukan wanita itu. Melangkah menuju bilik Delia, lalu tatapan menangkap pandangan keseruan anak dan sang istri. Senyuman pria tersebut terukir, ikut bergabung duduk di samping Maura."Sayang ... lagi apa nih anak Ayah? kok Ayah gak di ajak," ujar Hamdan mengusap surai Delia.Delia menoleh mendengar ucapan sang Ayah. "Ayah sibuk terus, sampe gak bisa ngajak Lia jalan-jalan," ketus Delia membuat Hamdan terdiam."Maafin Ayah, Sayang. Ya sudah, besok kita jalan-jalan yuk!" ajak Hamdan lembut dibalas gelengan Delia."No ... Ayah. Lihat di sana, Lia tadi habis sekolah langsung jalan-jalan sama Bunda." Tolak Delia menunjukan beberapa tote bag yang belum dirapikan."Maaf, kapan-kapan kita liburan deh," kata Hamdan lalu mendongak melirik Maura yang membuang muka saat dia menatapnya."Mas ... aku izin mau jalan-jalan lusa sama Mawar, Delia mau aku titipkan ke Mama dulu." Mendengar ucapan san
Maura telah berpakaian rapi, wanita itu sudah mendandani Delia dengan sangat imut. Membuat semua orang yang melihat ingin menciumnya. Bulu mata lentik Maura mengerjap, dia sangat tampil menawan. Setelah puas memandang pantulan di cermin, bergegas turun menggandeng Delia."Asik ... Delia main ke rumah Oma lagi," pekik Delia girang membuat Maura tersenyum.Mawar terbengok melihat meja makan penuh makanan begitu pula Hamdan. Air liurnya sampai menetes saat melihat hidangan di hadapan itu semua kesukaan dia dan Delia. Pria tersebut langsung beralih menatap Maura, memandang dengan senyuman gembira lalu mendekat mengecup pipi sang istri membikin Mawar cemburu."Terimakasih, Sayang. Aku tau kamu tidak akan membiarkan aku sampai melupakan hasil masakan terlezat dari hasil tangan cantikmu," puji Hamdan lalu matanya terpana saat melihat penampilan baru sang istri."Kamu cantik banget, Sayang." Puji Hamdan memegang pipi Maura hendak mencium bibir ranum itu tet
"Buah tidak akan jauh jatuh dari pohonnya," batin Indah berseru, tangannya mengepal saat mengingat peristiwa itu."Kamu tidak berbohong'kan?" tanya Indah menatap wajah Maura yang berlinang air mata.Maura mendongak mendengar nada emosi di suara Indah, wanita itu langsung menggeleng. "Tidak, Bu. Ini buktinya, mereka berzina. Aku meminta warga yang menvideokan agar tidak menviralkan ini," jelas Maura menyodorkan handphone.Napas Indah memburu melihat video penggerebekan sejoli mesum. Ia tercenah saat mendengar bahwa Maura memilih menikahkan mereka. Memberikan handphone itu kembali pada pemiliknya ia menatap manik yang menyejukan kalbu."Beri hukuman pada Mawar, agar dia jera," ucapan Indah membuat Maura terkejut."Kenapa kamu malah menikahkan, mereka?" tanya Indah menarik lengan Maura agar mereka duduk di kursi."Maaf, Bu. Itu caraku untuk membalas mereka," seloroh Maura pelan."Jika Ibu menjadi kamu, Ibu lebih memilih pergi
Maura dan Mawar dalam perjalanan pulang, mereka tak ada yang berbicara sepatah katapun. Jam enam tepat sampai ke kediaman orangtua Hamdan, bertamu sebentar lalu mengajak Delia karena harus sekolah. Sehabis sampai di rumah, Delia langsung menyuruh ini itu pada Mawar."Mas ... Aku sangat lelah, tapi Delia terus menyuruhku," keluh Mawar saat menjatuhkan tubuhnya di sofa, melihat suaminya telah rapi dengan setelan jas."Sudahlah, bersabar saja. Aku berusaha agar kita bisa menikah secara sah agama dan negara," rayu Hamdan agar tidak mendengar keluhan istrinya."Kamu juga harus belajar menjadi istri yang baik, kamu harus banyak belajar dari Mbakmu," ujar Hamdan membuat Mawar mengerucutkan bibirnya."Serius Mas? bukannya kita hanya," ucapan Mawar terhenti saat melihat Maura mendekat."Mas, aku pergi antar Delia dulu," kata Maura lalu tangannya ditahan Hamdan."Aku antar ya," ucap Hamdan meraih tas kerja meninggalkan Mawar sendiri di rum
"Sudahlah, La! Kamu menyerah saja," geram sang Papa menatap murka ke arah Shilla."Gak bisa, Pah. Mas Aji harus jadi suami Shilla," rengek Shilla akhirnya memilih menitihkan air mata dan sang Mama langsung mendekap anak gadisnya. "Jangan terlalu keras pada Shilla, Pah," tegur Mama Shilla membelai rambut anaknya merasa sakit kala melihat Shilla menitihkan air mata."Papa kesal, Mah. Shilla berbohong pada kita, kalau Aulia gak beritahu kita, kita gak bakal tau kelakukan anak kita, Mah," lirih Papa Shilla pelan, ia sangat terlihat frustasi dan memijit keningnya."Aku gak bohong, Pah. Mas Aji gak bakal bahagia dengan wanita lain, dia hanya akan bahagia bersamaku," teriak Shilla seraya menangis, sang Mama semakin mendekap anaknya."Mas akan luruskan, La. Mas hanya mengangap kamu sebagai adik, tidak lebih, tolong jangan ganggu kebahagiaann Mas. Mas sudah bahagia bersama Ma dan anak-anak," jelas Aji membuat Shilla semakin terisak. "Sadarlah, La. Masa depanmu masih panjang, kamu bukan cinta
Sebelas hari berlalu setelah kepergian Aulia, Aji masih terlihat murung. Maura wanita itu sibuk mengurus ini dan itu, beruntung ia memiliki pengasuh untuk menjaga anak-anaknya. Sehabis selesai melakukan semua, Maura bergegas melihat sang suami di kamar, terlihat Shilla tengah berusaha membujuk Aji. "Ayo, Mas. Kamu makan ya," bujuk Shilla menyodorkan sendok yang berisi nasi ke bibir Aji. "Sana keluar, Mas gak mau makan," usir Aji membuat Shilla sedikit gemas."Kamu punya telinga, kan, kamu udah diusir. Tolong keluar, biar Mbak yang kasih makan Mas Aji," cecar Maura merebut mangkuk yang berisi bubur, lalu Shilla menghentakan kaki kesal. "Nyebelin! Aku yang beli bubur ini lho," sunggut Shilla menatap kesal ke arah Maura."Ini, Mbak bayar harga buburnya. Sana kamu pergi, oh iya. Kalau mau bantuin tolong urusin aja yang lain, biar Mas Aji aku yang urus saja, karena dia adalah suamiku," sembur Maura membuat Shilla mengepalkan tangannya lalu memilih pergi."Mas ...," panggil Maura dengan
"Enggak, Ma. Ibu mau beli gamis warna kuning aja tuh," ujar Aulia menaruh daster tersebut dan melangkah mendekati jejeran gamis."Ini, Ibu beli ini, tolong pegangin ya," pinta Aulia menyerahkan gamis set dengan hijabnya."Wah ... mukenanya bagus banget, Ibu juga mau beli ini deh," ucap Aulia lagi lalu memgambil mukena berwarna hijau. "Bu, bukannya Ibu suka pake mukena warna putih ya?" tanya Maura mendekati wanita yang menjadi mertuanya. "Emang gak boleh Ibu pengen warna ini," kata Aulia langsung disambut gelengan Maura. "Kamu udah milihnya belum?" tanya Aulia memandang menantunya yang disambut gelengan Maura."Enggak ah, Bu. Baju baru Ma masih banyak yang belum kepake," kata Maura membuat Aulia mengangguk."Ya sudah, ayo antar Ibu bayar dulu," ucap Aulia yang langsung disambut anggukan Maura."Wah, bajunya gemesin," tutur Maura membuat Aulia menoleh memandang menantunya dan ikut melihat apa yang dipandang wanita itu."Iya gemesin, ayo kita ke sana, Ibu pengen beliin. Sekalian buat
Waktu beranjak siang, matahari sudah diatas kepala. Suhu badan Aulia kembali normal, ia sekarang sedang mengajak main di ruang tengah. Wanita itu sempat menanyakan dimana Shilla, bahkan Aulia langsung menelepon gadis tersebut. Setelah tau keberadaan Shilla, Aulia akhirnya fokus bersenang-senang dengan anak, menantu dan sang cucu. "Aku buat makan siang dulu ya," pamit Maura bangkit dari duduknya lalu menyerangkan Kenzie pada Aji karena habis menyusui. "Ayo Ibu bantu, Ibu lagi pengen masak bareng kamu," seru Aulia ikut bangkit dan akhirnya mereka melangkah ke dapur bersama, biarkan Aji menjaga anak-anak. "Pah," panggil Delia membuat Aji mendongak memandang putri sambungnya."Ada apa, hmmm ...," sahut Aji mengeryitkan alis kala melihat Delia seperti menimang-nimang mengatakan sesuatu. "Eummm ... anu, Lia pengen ikut bantu masak ya," ujar Delia membuat Aji terus memandangnya."Boleh ya, Pah. Kalo Papa udah bilang boleh, Bunda gak bakal larang aku," tutur Delia menangkupkan tangannya d
Aji langsung menarik lengannya kala menyadari bahwa ada Maura. Karena tadi tangan itu ternyata menggenggam jemari lentik Shillaa. Terlihat paras Maura memancarkan kekecewaan, Aulia pun merasa bersalah. "Nenek, Nenek jangan sakit. Delia sayang, Nenek," kata Delia dengan nada cemring ia menaiki kasur dan memeluk tubuh Aulia. "Nenek gak sakit kok, cuma lemes aja," balas Aulia menoleh ke arah Delia dan membalas pelukkan gadis kecil itu lalu mencium pucuk kepala Delia. "Huh, Nenek bohong! Katanya gak sakit, tapi ini apa, badan dan kening Nenek sangat panas," gerutu Delia, gadis kecil itu mengusap sayang wajah Aulia."Semoga cara Lia ampun ya," tutur Delia terus membelai sayang puncuk kepala Aulia."Ma ...," ucap Aji pelan, ia bangkit hendak mendekati sang istri, tetapi keduluan oleh Maura yang berjalan ke arahnya. "Bu, berobat yuk! Ma gak tega liat Ibu," ajak Maura melewati sang suami, lalu ikut duduk di ranjang dan membelai puncuk kepala Aulia. "Nenek pasti cepet sembuh, karna sekara
"Papa, aku pinjem handphone. Maim games, boleh ya, Pah ...," rayu Delia memandang Aji dengan pupy eyes. Aji tersenyum geli melihat wajah sang anak sambung, ia mengangguk sebagai jawaban lalu mulai melahap hidangan saat sudah tersedia di piring. Delia langsung bersorak girang, dia bergegas mengambil ponsel Aji dan membawanya ke ruang makan. Karena gadis kecil tersebut akan makan disuapi oleh sang Bunda."Papa, Nenek sakit," kata Delia kala selesai mengeja huruf demi huruf dari pesan whatsapp Shilla. "Kata siapa, Lia?" tanya Aji mendongak memandang anak sambungnya seraya mengeryitkan alis. "Ini Pah, whatsapp dari Tante Shilla," balas Delia menyodorkan handphone lalu ia langsung turun dari kursi. "Ayo Pah, Bun. Kita ke rumah Nenek, kasian Nenek sakit, gak tega Lia lihat fotonya," pinta Delia memegang tangan sang Bunda."Astagfirullah, Ibuu ... ayo Ma! Kita langsung ke rumah Ibu," ajak Aji bangkit dari duduknya lalu menggendong Delia agar ikut ke mobil sedangkan Maura meminta Kenzie
Seminggu berlalu, Aji kini lebih fokus ke anak dan istrinya. Shilla juga pura-pura ngambek semenjak kejadian itu. Wanita tersebut sangat kesal karena ketidak pedulian sang lelaki pujaan. "Ahhh ... sial! Teleponku bahkan gak diangkat," maki Shilla kala menelepon Aji, memang hari ini libur jadi tak ada kepentingan. "Ini semua gara-gara, Mbak Maura," geram Shilla dengan nada frutasi dan memberantakan meja riasnya. "Uhuk, uhuk, La, ayo keluar! Kamu harus makan," panggil Aulia mengetuk pintu kamar Shilla, wanita itu memang belum keluar dari kamarnya. "Ahhh ... iya sebentar, Tan." Shilla segera merapikan rambutnya yang berantakan lalu setelah dirasa rapi ia melangkah menuju pintu dan membukanya. "Muka Tante kenapa pucet banget, Tante juga panas," ucap Shilla kala memegang wajah Ibunya Aji, ia segera menuntun Aulia menuju kamar milik wanita tersebut."Tante harus istirahat di kamar, nanti Shilla telepon Mas Aji agar ke sini," lanjut Shilla lalu membaringkan Aulia di tempat tidur lalu me
"Hey, kamu beneran marah," kata Aji mengejar langkah sang istri. "Pikirin aja sendiri, udah ah mendingan aku tidur aja," sahut Maura dengan nada ketus, ia menepis lengan sang suami yang hendak memegang tangannya."Dengerin dulu kelanjutannya, lah, Sayang. Aku belum selesai lho," tutur Aji membuat Maura mendengkus lalu menatap malas sang suami, ia memilih berhenti di depan pintu agar tak menganggu sang anak yang terlelap."Apa yang mau kamu katakan, Mas," seru Maura dengan nada ketus membuat Aji terkekeh mendengarnya. "Ngapain kamu ketawa, ih ... bikin kesal aja, gak jadi deh kasih kamu kesempatan bela diri," cicit Maura dengan mata memerah karena merasa terhina."Dih marah-marah mulu, lagi PMS ya," goda Aji membuat Maura menggeram dan memilih pergi dan menutup pintu kamar. "Eh, Sayang. Kok dikunci sih," panggil Aji mengetuk pintu dan berusaha membuka benda tersebut."Bodo! Kamunya nyebelin," cecar Maura dibalik pintu membuat Aji mengembuskan napasnya."Sayang ... emang kamu gak mau
maaf ya baru update, beberapa hari meriang. terus kemaren liat ponakan baru😅 jadi baru kekeja segini lgi subuh. happy readers Shilla melakukan pekerjaannya dengan wajah tertekuk. Maura memilih berkeliling dari pada tidur, wanita itu cepat akrab dengan karyawan baru ditemuinya. Sedangkan Aji mulai bekerja lagi dan mengembuskan napas kala melihat riak muka Shilla yang terus masam."Bu, boleh saya bertanya sesuatu?" tanya seorang karyawati dengan nada pelan membuat Maura menoleh menatapnya."He, bertanya apa? boleh kok," balas Maura dengan nada ramah, tak ada kesombongan dalam dirinya."Itu ... apa benar kalau si Shilla bakal jadi madu, Ibu?" tanya ragu-ragu membuat Maura mengerutkan alisnya."Heh, kata siapa?" seru Maura balik bertanya, membuat karyawati itu semakin gugup."Eumm ... itu, Bu," karyawati itu berkata dengan nada terbata-bata. "Si Shilla sendiri yang ngomongnya, Bu. Saya pun sejak dulu tak percaya, beruntung Ibu ke sini dan Ibu bisa klafikasikan," tukas karyawati yang me