Maura dan Mawar dalam perjalanan pulang, mereka tak ada yang berbicara sepatah katapun. Jam enam tepat sampai ke kediaman orangtua Hamdan, bertamu sebentar lalu mengajak Delia karena harus sekolah. Sehabis sampai di rumah, Delia langsung menyuruh ini itu pada Mawar.
"Mas ... Aku sangat lelah, tapi Delia terus menyuruhku," keluh Mawar saat menjatuhkan tubuhnya di sofa, melihat suaminya telah rapi dengan setelan jas.
"Sudahlah, bersabar saja. Aku berusaha agar kita bisa menikah secara sah agama dan negara," rayu Hamdan agar tidak mendengar keluhan istrinya.
"Kamu juga harus belajar menjadi istri yang baik, kamu harus banyak belajar dari Mbakmu," ujar Hamdan membuat Mawar mengerucutkan bibirnya.
"Serius Mas? bukannya kita hanya," ucapan Mawar terhenti saat melihat Maura mendekat.
"Mas, aku pergi antar Delia dulu," kata Maura lalu tangannya ditahan Hamdan.
"Aku antar ya," ucap Hamdan meraih tas kerja meninggalkan Mawar sendiri di rum
Hamdan keluar dari mobil, melihat kendaraan roda empat dibagasi. Matanya membulat, apalagi mengingat pengeluaran Maura beberapa hari yang lalu. Melangkah cepat masuk ke rumah, disambut oleh Mawar dengan wajah masam. Tak terlihat sang buah hati dan istri pertamanya."Mas ...!" pekik Mawar membuat Hamdan terkejut."Apaan sih kamu, War. Ngomong sama Mas sampe nada tinggi gitu!" geram Hamdan menatap tajam istri keduanya.Mawar langsung menunduk saat tau dia salah, Hamdan mengembuskan napasnya lalu menerobos masuk menjatuhkan tubuh ke sofa. Untuk menarik perhatian sang suami, Mawar berusaha melayani sebaik mungkin. Lelaki itu sampai terbingung-bingung, melihat tingkah si istri kedua tersebut."Tumben kamu gini," ujar Hamdan karena biasanya Mawar setelah melihat dia hanya keluhan yang keluar."Kamu tidak adil sebagai suami, Mas." Perkataan Mawar membuat Hamdan mengeryitkan alisnya bingung."Maksudmu apa, sih! Ngomong yang jelas, biar Mas tau," sah
Ternyata Hamdan benar-benar meninggalkan Mawar di rumah. Tapi dia tak lupa memberikan beberapa lembar uang pada istri keduanya. Dia tak mau dianggap tak bertanggung jawab. Tujuan mereka adalah pantai.Senyuman terukir di bibir Delia, pekikkan bahagia keluar dari mulut. "Ah ... Delia bahagia bisa jalan-jalan sekeluarga lagi," ucap gadis itu, dia meminta agar Hamdan dan Maura sedikit menunduk mendaratkan kecupan di pipi orangtuanya."Bun, ayo kita berenang," ajak Delia menarik lengan Maura."Nanti, Sayang. Kita harus cari hotel dulu," sahut Maura membuat Delia mengerucutkan bibirnya."Sudah kalian berenang aja gih, nanti Mas yang cari hotelnya," seru Hamdan dibalas anggukan keduanya."Makasih Ayah, Lia sayang Ayah," kata Delia memeluk kaki Hamdan.Maura tersenyum melihat kebersamaan keluarga kecil tanpa diganggu. Ia tengah menikmati bahagianya kalau Hamdan tidak membawa Mawar dalam rumah tangga mereka. Seketika hati wanita itu nyeri mengingat
"Mbak! Apa-apa sih, bikin kaget aja," ketus Mawar mengusap dadanya lalu menatap sinis pada Maura."Kamu tuh, kamu masukin apa ke kopi Mas Hamdan?" tanya Maura sekali lagi lalu mengambil keresek hitam itu."Itu gula, Mbak. Kamaren aku beli gula, soalnya stok gula habis, tapi aku beli dikit doang," seru Mawar lalu mengaduk kopi itu dan melangkah menuju Hamdan berada."Kukira dia mau pelet Mas Hamdan," gumam Maura mengurut keningnya, mungkin dia masih kecapean jadi pikirannya ke mana-mana."Aku tidur aja deh," tutur Maura.Melangkah menuju kamar, ia malu kalau harus ke sana dan menemui Hamdan. Pasti wanita itu sudah bilang pada sang suami, atau bahkan melebih-lebihkan. Menatap langit-langit kamar, memilih memejamkan mata."Ini Mas," ucap Mawar menyodorkan kopi."Makasih, War." Hamdan mengambil secangkir kopi itu lalu ia tiup dan seruput."Kenapa Maura lama sekali?" tanya Hamdan melirik dapur lalu Mawar yang bersa
"Kenapa mundur Sayang, gak usah malu-malu ---," ucapan lelaki itu terhenti saat suara pintu terbuka membuat dia menoleh."Anda siapa! Anda salah masuk toilet," tegur perempuan yang tadi sempat tertidur dan mendengar suara lelaki di dalam toilet wanita."Oh maaf, saya juga habis minta maaf dengan Mbak, ini. Ya sudah, saya pergi." Lelaki itu langkah melangkah keluar sedang malas mencari keributan."Kamu gak papa, Mbak?" tanya penjaga toilet wanita, Mawar mengangguk dan mengucapkan terimakasih.Mawar melangkah dengan cepat bahkan bisa di sebut berlari. Wanita itu langsung memeluk lengan Hamdan. Ia menelusupkan wajahnya ke dada sang suami."Ada apa, Sayang?" tanya Hamdan membelai surai Mawar."Ayo kita pulang," pinta Mawar, pria itu langsung mengiyakan keinginan sang istri."Ternyata dia sudah punya suami, pasti sudah hambar," ucap lelaki itu lalu melangkah pergi menemui kekasihnya.Mawar saat sampai langsung masuk ke kamar. Maura
Suara dering ponsel membuat Hamdan terbangun. Pria itu lekas mengambil handphone dan menempelkan ke telinga. Mendengar suara sang Mama yang akan ke sini, membuat mata dia langsung terbuka."Apa, Ma! Mama mau menginap disini?" tanya Hamdan dengan pekikkan, membuat Mawar terbangun."Kenapa sih, Mas. Kok masih pagi teriak-teriak," ujar Mawar dengan mata terpejam."Suara siapa itu, Dan! Kayanya bukan Maura, kamu jangan main serong, Dan!" bentak wanita yang melahirkannya membuat nyali Hamdan menciut."Anu ... Mah," ucapan Hamdan terhenti."Apaan Anu-anu, awas kalau kamu main serong dan menyakiti menantu kesayangan Mama! Kami akan kesitu, ini lagi diperjalanan, assalamualaikum," ucap Mama Hamdan, wanita itu langsung mematikan sambungan telepon."Gawat! Mama dan Papa akan ke sini," ujar Hamdan panik, ia bergegas turun dari ranjang dan langsung membersihkan diri."Memang kenapa kalau Mama dan Papa mertua datang, baguskan kamu bisa ngena
"Dia pembantu baru kami, Mah," sahut Hamdan cepat, takut Mawar menjawab."Ohhh, pembantu ... tapi kenapa dia manggil Maura dengan sebutan Mbak, itu gak sopan tahu!" sinis Mama mertua menatap benci pada Mawar."Kenapa pembantumu memakai pakaian bagus begini dan kurang bahan lagi. Hei ... kamu mau menggoda anakku ha!" bentak Mama mertua membuat mereka terkejut."Maaf Mah, bukan begitu. Aku ...," ucapan Mawar terhenti saat Maura berbicara."Mama, sudahlah. Ayo mau masak, mau buatin makanan special buat kalian," ujar Maura membuat Mama mertua yang tadinya sangar langsung mengembangkan senyuman begitu lebar."Lihat dong, kalau Mas Hamdan tidak mau memberitahu Mama jika dia menikahimu!" sinis Maura saat Mawar telah selesai menyiapkan minuman."Diam lo Mbak! Mbak gak tau alasan Mas Hamdan tidak mengakuiku," geram Mawar.Wanita itu menaruh nampan di meja. Menatap tajam Maura, ia tersenyum sinis. Membuat Maura geli dengan tingkah adik ma
Setelah kepala sekolah pamit, Wita datang tersenyum sinis pada trio julid. Maura memilih untuk pergi duduk di kursi mengistirahatkan tubuhnya. Tangan Aira terkepal dengan penuh kebencian menatap Maura."Makanya, jangan terlalu sombong! Lihat orang kaya yang udah lama mah gak pamer ke kamu," sinis Wita akhirnya bisa mendapatkan kesempatan menghina wanita ini."Diam lo miskin!" bentak Aira lalu mendekati Maura lalu menampar Maura."Sudah puas tamparnya? Mau lagi, ini masih nganggur," ujar Maura dengan sinis menatap dingin Aira."Ini semua karna lo! Lo permalukan gue," bentak Aira menunjuk wajah Maura lalu ditepis wanita itu."Lo gak punya etitut apa, main tunjuk-tunjuk wajah orang aja!" ucap Maura datar, berusaha agar tidak terpancing emosi."Lo bikin gue malu, setan! Harusnya gue gak pernah kenal sama lo," hardik Aira menarik lengan Maura dan mendorong tubuh wanita itu sampai Maura jatuh terduduk."Aww ...," pekik Maura mengusap tangan
"Sudah, lo jangan cari masalah. Mendingan lo jangan langganan lagi di sini, takutnya pelangan gue yang lain malah kagak mau ke sini karna ada lo," usir pemilik salon itu membalas tatapan Aira yang membulatkan matanya terkejut. "Apa! Kalian semua bakal tau akibatnya ngusir gue," geram Aira menghentakan kakinya melangkah pergi ke salon. "Pergi jauh sana! Jangan ke sini lagi," teriak Dewi. "Sial! Siapa yang merekam kelakuan gue," gerutu Aira masuk ke kendaraan roda empat miliknya. "Cepat! Antar gue ke rumah aja," perintah Aira dibalas anggukan supir. Sesampai di kediaman Aira, wanita itu turun. Saat melangkah dengan anggun, sebuah lemparan telor terkena kepalanya. Membuat dia geram dan jijik melihat sekitar untuk mencari tau sang pelaku. "Anjing! Jijik gue. Siapa yang lempar," maki Aira menoleh ke sekitar dan melihat tetangganya keluar dari rumah. "Eh sorry, gue kira gak ada orang," ujar wanita itu cengar-cengir tanpa rasa bersala
"Sudahlah, La! Kamu menyerah saja," geram sang Papa menatap murka ke arah Shilla."Gak bisa, Pah. Mas Aji harus jadi suami Shilla," rengek Shilla akhirnya memilih menitihkan air mata dan sang Mama langsung mendekap anak gadisnya. "Jangan terlalu keras pada Shilla, Pah," tegur Mama Shilla membelai rambut anaknya merasa sakit kala melihat Shilla menitihkan air mata."Papa kesal, Mah. Shilla berbohong pada kita, kalau Aulia gak beritahu kita, kita gak bakal tau kelakukan anak kita, Mah," lirih Papa Shilla pelan, ia sangat terlihat frustasi dan memijit keningnya."Aku gak bohong, Pah. Mas Aji gak bakal bahagia dengan wanita lain, dia hanya akan bahagia bersamaku," teriak Shilla seraya menangis, sang Mama semakin mendekap anaknya."Mas akan luruskan, La. Mas hanya mengangap kamu sebagai adik, tidak lebih, tolong jangan ganggu kebahagiaann Mas. Mas sudah bahagia bersama Ma dan anak-anak," jelas Aji membuat Shilla semakin terisak. "Sadarlah, La. Masa depanmu masih panjang, kamu bukan cinta
Sebelas hari berlalu setelah kepergian Aulia, Aji masih terlihat murung. Maura wanita itu sibuk mengurus ini dan itu, beruntung ia memiliki pengasuh untuk menjaga anak-anaknya. Sehabis selesai melakukan semua, Maura bergegas melihat sang suami di kamar, terlihat Shilla tengah berusaha membujuk Aji. "Ayo, Mas. Kamu makan ya," bujuk Shilla menyodorkan sendok yang berisi nasi ke bibir Aji. "Sana keluar, Mas gak mau makan," usir Aji membuat Shilla sedikit gemas."Kamu punya telinga, kan, kamu udah diusir. Tolong keluar, biar Mbak yang kasih makan Mas Aji," cecar Maura merebut mangkuk yang berisi bubur, lalu Shilla menghentakan kaki kesal. "Nyebelin! Aku yang beli bubur ini lho," sunggut Shilla menatap kesal ke arah Maura."Ini, Mbak bayar harga buburnya. Sana kamu pergi, oh iya. Kalau mau bantuin tolong urusin aja yang lain, biar Mas Aji aku yang urus saja, karena dia adalah suamiku," sembur Maura membuat Shilla mengepalkan tangannya lalu memilih pergi."Mas ...," panggil Maura dengan
"Enggak, Ma. Ibu mau beli gamis warna kuning aja tuh," ujar Aulia menaruh daster tersebut dan melangkah mendekati jejeran gamis."Ini, Ibu beli ini, tolong pegangin ya," pinta Aulia menyerahkan gamis set dengan hijabnya."Wah ... mukenanya bagus banget, Ibu juga mau beli ini deh," ucap Aulia lagi lalu memgambil mukena berwarna hijau. "Bu, bukannya Ibu suka pake mukena warna putih ya?" tanya Maura mendekati wanita yang menjadi mertuanya. "Emang gak boleh Ibu pengen warna ini," kata Aulia langsung disambut gelengan Maura. "Kamu udah milihnya belum?" tanya Aulia memandang menantunya yang disambut gelengan Maura."Enggak ah, Bu. Baju baru Ma masih banyak yang belum kepake," kata Maura membuat Aulia mengangguk."Ya sudah, ayo antar Ibu bayar dulu," ucap Aulia yang langsung disambut anggukan Maura."Wah, bajunya gemesin," tutur Maura membuat Aulia menoleh memandang menantunya dan ikut melihat apa yang dipandang wanita itu."Iya gemesin, ayo kita ke sana, Ibu pengen beliin. Sekalian buat
Waktu beranjak siang, matahari sudah diatas kepala. Suhu badan Aulia kembali normal, ia sekarang sedang mengajak main di ruang tengah. Wanita itu sempat menanyakan dimana Shilla, bahkan Aulia langsung menelepon gadis tersebut. Setelah tau keberadaan Shilla, Aulia akhirnya fokus bersenang-senang dengan anak, menantu dan sang cucu. "Aku buat makan siang dulu ya," pamit Maura bangkit dari duduknya lalu menyerangkan Kenzie pada Aji karena habis menyusui. "Ayo Ibu bantu, Ibu lagi pengen masak bareng kamu," seru Aulia ikut bangkit dan akhirnya mereka melangkah ke dapur bersama, biarkan Aji menjaga anak-anak. "Pah," panggil Delia membuat Aji mendongak memandang putri sambungnya."Ada apa, hmmm ...," sahut Aji mengeryitkan alis kala melihat Delia seperti menimang-nimang mengatakan sesuatu. "Eummm ... anu, Lia pengen ikut bantu masak ya," ujar Delia membuat Aji terus memandangnya."Boleh ya, Pah. Kalo Papa udah bilang boleh, Bunda gak bakal larang aku," tutur Delia menangkupkan tangannya d
Aji langsung menarik lengannya kala menyadari bahwa ada Maura. Karena tadi tangan itu ternyata menggenggam jemari lentik Shillaa. Terlihat paras Maura memancarkan kekecewaan, Aulia pun merasa bersalah. "Nenek, Nenek jangan sakit. Delia sayang, Nenek," kata Delia dengan nada cemring ia menaiki kasur dan memeluk tubuh Aulia. "Nenek gak sakit kok, cuma lemes aja," balas Aulia menoleh ke arah Delia dan membalas pelukkan gadis kecil itu lalu mencium pucuk kepala Delia. "Huh, Nenek bohong! Katanya gak sakit, tapi ini apa, badan dan kening Nenek sangat panas," gerutu Delia, gadis kecil itu mengusap sayang wajah Aulia."Semoga cara Lia ampun ya," tutur Delia terus membelai sayang puncuk kepala Aulia."Ma ...," ucap Aji pelan, ia bangkit hendak mendekati sang istri, tetapi keduluan oleh Maura yang berjalan ke arahnya. "Bu, berobat yuk! Ma gak tega liat Ibu," ajak Maura melewati sang suami, lalu ikut duduk di ranjang dan membelai puncuk kepala Aulia. "Nenek pasti cepet sembuh, karna sekara
"Papa, aku pinjem handphone. Maim games, boleh ya, Pah ...," rayu Delia memandang Aji dengan pupy eyes. Aji tersenyum geli melihat wajah sang anak sambung, ia mengangguk sebagai jawaban lalu mulai melahap hidangan saat sudah tersedia di piring. Delia langsung bersorak girang, dia bergegas mengambil ponsel Aji dan membawanya ke ruang makan. Karena gadis kecil tersebut akan makan disuapi oleh sang Bunda."Papa, Nenek sakit," kata Delia kala selesai mengeja huruf demi huruf dari pesan whatsapp Shilla. "Kata siapa, Lia?" tanya Aji mendongak memandang anak sambungnya seraya mengeryitkan alis. "Ini Pah, whatsapp dari Tante Shilla," balas Delia menyodorkan handphone lalu ia langsung turun dari kursi. "Ayo Pah, Bun. Kita ke rumah Nenek, kasian Nenek sakit, gak tega Lia lihat fotonya," pinta Delia memegang tangan sang Bunda."Astagfirullah, Ibuu ... ayo Ma! Kita langsung ke rumah Ibu," ajak Aji bangkit dari duduknya lalu menggendong Delia agar ikut ke mobil sedangkan Maura meminta Kenzie
Seminggu berlalu, Aji kini lebih fokus ke anak dan istrinya. Shilla juga pura-pura ngambek semenjak kejadian itu. Wanita tersebut sangat kesal karena ketidak pedulian sang lelaki pujaan. "Ahhh ... sial! Teleponku bahkan gak diangkat," maki Shilla kala menelepon Aji, memang hari ini libur jadi tak ada kepentingan. "Ini semua gara-gara, Mbak Maura," geram Shilla dengan nada frutasi dan memberantakan meja riasnya. "Uhuk, uhuk, La, ayo keluar! Kamu harus makan," panggil Aulia mengetuk pintu kamar Shilla, wanita itu memang belum keluar dari kamarnya. "Ahhh ... iya sebentar, Tan." Shilla segera merapikan rambutnya yang berantakan lalu setelah dirasa rapi ia melangkah menuju pintu dan membukanya. "Muka Tante kenapa pucet banget, Tante juga panas," ucap Shilla kala memegang wajah Ibunya Aji, ia segera menuntun Aulia menuju kamar milik wanita tersebut."Tante harus istirahat di kamar, nanti Shilla telepon Mas Aji agar ke sini," lanjut Shilla lalu membaringkan Aulia di tempat tidur lalu me
"Hey, kamu beneran marah," kata Aji mengejar langkah sang istri. "Pikirin aja sendiri, udah ah mendingan aku tidur aja," sahut Maura dengan nada ketus, ia menepis lengan sang suami yang hendak memegang tangannya."Dengerin dulu kelanjutannya, lah, Sayang. Aku belum selesai lho," tutur Aji membuat Maura mendengkus lalu menatap malas sang suami, ia memilih berhenti di depan pintu agar tak menganggu sang anak yang terlelap."Apa yang mau kamu katakan, Mas," seru Maura dengan nada ketus membuat Aji terkekeh mendengarnya. "Ngapain kamu ketawa, ih ... bikin kesal aja, gak jadi deh kasih kamu kesempatan bela diri," cicit Maura dengan mata memerah karena merasa terhina."Dih marah-marah mulu, lagi PMS ya," goda Aji membuat Maura menggeram dan memilih pergi dan menutup pintu kamar. "Eh, Sayang. Kok dikunci sih," panggil Aji mengetuk pintu dan berusaha membuka benda tersebut."Bodo! Kamunya nyebelin," cecar Maura dibalik pintu membuat Aji mengembuskan napasnya."Sayang ... emang kamu gak mau
maaf ya baru update, beberapa hari meriang. terus kemaren liat ponakan baru😅 jadi baru kekeja segini lgi subuh. happy readers Shilla melakukan pekerjaannya dengan wajah tertekuk. Maura memilih berkeliling dari pada tidur, wanita itu cepat akrab dengan karyawan baru ditemuinya. Sedangkan Aji mulai bekerja lagi dan mengembuskan napas kala melihat riak muka Shilla yang terus masam."Bu, boleh saya bertanya sesuatu?" tanya seorang karyawati dengan nada pelan membuat Maura menoleh menatapnya."He, bertanya apa? boleh kok," balas Maura dengan nada ramah, tak ada kesombongan dalam dirinya."Itu ... apa benar kalau si Shilla bakal jadi madu, Ibu?" tanya ragu-ragu membuat Maura mengerutkan alisnya."Heh, kata siapa?" seru Maura balik bertanya, membuat karyawati itu semakin gugup."Eumm ... itu, Bu," karyawati itu berkata dengan nada terbata-bata. "Si Shilla sendiri yang ngomongnya, Bu. Saya pun sejak dulu tak percaya, beruntung Ibu ke sini dan Ibu bisa klafikasikan," tukas karyawati yang me