"Dia pembantu baru kami, Mah," sahut Hamdan cepat, takut Mawar menjawab.
"Ohhh, pembantu ... tapi kenapa dia manggil Maura dengan sebutan Mbak, itu gak sopan tahu!" sinis Mama mertua menatap benci pada Mawar.
"Kenapa pembantumu memakai pakaian bagus begini dan kurang bahan lagi. Hei ... kamu mau menggoda anakku ha!" bentak Mama mertua membuat mereka terkejut.
"Maaf Mah, bukan begitu. Aku ...," ucapan Mawar terhenti saat Maura berbicara.
"Mama, sudahlah. Ayo mau masak, mau buatin makanan special buat kalian," ujar Maura membuat Mama mertua yang tadinya sangar langsung mengembangkan senyuman begitu lebar.
"Lihat dong, kalau Mas Hamdan tidak mau memberitahu Mama jika dia menikahimu!" sinis Maura saat Mawar telah selesai menyiapkan minuman.
"Diam lo Mbak! Mbak gak tau alasan Mas Hamdan tidak mengakuiku," geram Mawar.
Wanita itu menaruh nampan di meja. Menatap tajam Maura, ia tersenyum sinis. Membuat Maura geli dengan tingkah adik ma
Setelah kepala sekolah pamit, Wita datang tersenyum sinis pada trio julid. Maura memilih untuk pergi duduk di kursi mengistirahatkan tubuhnya. Tangan Aira terkepal dengan penuh kebencian menatap Maura."Makanya, jangan terlalu sombong! Lihat orang kaya yang udah lama mah gak pamer ke kamu," sinis Wita akhirnya bisa mendapatkan kesempatan menghina wanita ini."Diam lo miskin!" bentak Aira lalu mendekati Maura lalu menampar Maura."Sudah puas tamparnya? Mau lagi, ini masih nganggur," ujar Maura dengan sinis menatap dingin Aira."Ini semua karna lo! Lo permalukan gue," bentak Aira menunjuk wajah Maura lalu ditepis wanita itu."Lo gak punya etitut apa, main tunjuk-tunjuk wajah orang aja!" ucap Maura datar, berusaha agar tidak terpancing emosi."Lo bikin gue malu, setan! Harusnya gue gak pernah kenal sama lo," hardik Aira menarik lengan Maura dan mendorong tubuh wanita itu sampai Maura jatuh terduduk."Aww ...," pekik Maura mengusap tangan
"Sudah, lo jangan cari masalah. Mendingan lo jangan langganan lagi di sini, takutnya pelangan gue yang lain malah kagak mau ke sini karna ada lo," usir pemilik salon itu membalas tatapan Aira yang membulatkan matanya terkejut. "Apa! Kalian semua bakal tau akibatnya ngusir gue," geram Aira menghentakan kakinya melangkah pergi ke salon. "Pergi jauh sana! Jangan ke sini lagi," teriak Dewi. "Sial! Siapa yang merekam kelakuan gue," gerutu Aira masuk ke kendaraan roda empat miliknya. "Cepat! Antar gue ke rumah aja," perintah Aira dibalas anggukan supir. Sesampai di kediaman Aira, wanita itu turun. Saat melangkah dengan anggun, sebuah lemparan telor terkena kepalanya. Membuat dia geram dan jijik melihat sekitar untuk mencari tau sang pelaku. "Anjing! Jijik gue. Siapa yang lempar," maki Aira menoleh ke sekitar dan melihat tetangganya keluar dari rumah. "Eh sorry, gue kira gak ada orang," ujar wanita itu cengar-cengir tanpa rasa bersala
Dua hari berlalu, Mawar begitu merasa tersingkir kan. Ia sama sekali belum berbincang dengan sang suami. Dengan tekat yang kuat, hari ini harus bisa memberikan kopi buatannya yang sudah dicampur sesuatu dan mantra. "Mas ...," panggil Mawar membuat Hamdan menoleh ia baru saja keluar dari kamar. "Ada apa, War?" tanya Hamdan mendekati istri keduanya. "Mas ini, gak ada waktu banget sama aku. Kalian sibuk terus, Mas pasti lupain aku," rengek Mawar manja, memegang lengan suaminya. "Maaf, Sayang. Bukan maksud Mas begitu, tapi ini, kan, ada Mama sama Papa War. Tolong mengertilah," tutur Hamdan. "Mas terus meminta agar dimengerti, tapi Mas tidak berusaha agar mengerti aku. Itu tak adil Mas," lirih Mawar lalu pergi membuat Hamdan merasa bersalah. "Haduh ... apa yang harus gue lakuin," ujar Hamdan lelaki itu memijit keningnya. "Punya bini dua malah bikin pusing," ucap Hamdan ia menyandarkan tubuh di tembok. "Hamdan ... cepat ke si
"Aku yang menikahkan mereka, Mah." Mata Mama mertua langsung membulat saat mendengar penuturan menantunya."Apa kamu bilang! Kenapa kamu malah menikahkan mereka, mereka 'kan jadi keenakan," seru Mama mertua protes membuat Maura tersenyum kecil."Haruskan aku mengarak mereka, Mah? atas perzinaan mereka," ucapan Maura membuat Mama mertua terdiam, wanita muda itu langsung terkekeh."Aku tidak sejahat itu, Mah. Aku membalas mereka dengan menikahkan keduanya. Bahkan Ibu Mawar mendukungku untuk membalas perbuatan Mawar," perkataan Maura sekali lagi membuat Mama mertua terkejut, banyak sekali yang tidak ia ketahui."Maafkan anak Mama ya, Ra! Mama ikhlas kalau kamu mau bercerai dengan dia," seru Mama mertua dengan lesu."Lihat saja nanti Mah, doakan yang terbaik untuk kami," ujar Maura dibalas anggukan Mama mertuanya."Kamu yang kuat ya, Sayang. Mama bakal terus dukung kamu," ucap Mama mertua memeluk tubuh menantunya."Kalau Maura sudah tak t
Seminggu berlalu Aira sungguh frustasi, bukannya gosip itu menghilang malah semakin heboh. Wajah yang biasa terus glowing sekarang sungguh berantakan, bahkan di kediaman sendiri dibully dan para pekerja berhenti. Memaki dia karena terlalu besar kepala dan sombong."Sial!" umpat Aira mengacak-acak rambutnya sendiri."Ai ... siapkan makanan untukku!" perintah Fahri berteriak, ia berada di rumah semenjak itu."Mas ... kenapa tidak bekerja," seru Aira mendekati suaminya."Ini semua karna kamu, gak mau minta maaf sama suami Bosku. Aku malu bertemu temen kerja karna terus menatap hina, mereka terus mencemoh tidak bisa mendidik kamu," seru Fahri membuat Aira mengerucutkan bibir."Aku aja terus yang disalahin," gerutu Aira, ia mulai memasak makanan."Pokoknya kamu harus minta maaf sama istri bosku," perintah Fahri dibalas anggukan Aira, ia memilih mengalah agar kehidupan mewah kembali lagi.***Aira telah berpakaian rap
Maura kini berada di perusahaan yang diurus sang suami, dengan langkah anggun melewati beberapa karyawan menyapa. Mendaratkan bokong di kursi kebesaran, mulai mempelajari berkas-berkas. Sebenarnya ia juga ingin mulai mengurus kantor, mengambil hak miliknya."Sayang ...," panggil Hamdan saat melihat sang istri ternyata datang ke perusahaan."Hm ...," sahut Maura tak peduli, ia memilih fokus membaca berkas-berkas."Kenapa kamu ke sini, mendingan kamu rawat Delia saja," ujar Hamdan mendekati sang istri dan memegang bahu Maura."Lepas Mas, kamu diam saja. Delia sudah dapetin pengasuh jadi mendingan aku mulai handle kantor 'kan," ujar Maura tersenyum sinis sedangkan Hamdan wajahnya memucat."Apa! Kamu pekerjakan pengasuh? ngapain sih, aku pengennya kamu yang asuh Delia," seru Hamdan meninggikan suara."Biar Delia deket sama kamu," lanjut Hamdan sekali lagi, Maura menatap suaminya sekilas."Terserah aku dong Mas, aku gak bakal kaya ka
"Pokoknya Mas harus rebut perusahaan itu," ucap Hamdan hanya dibalas anggukan pelan Mawar."Masa seorang suami jadi bawahan istri," gerutu Hamdan menyandarkan punggung di kursi."Nanti kita buat rencana, ya Mas! Sekarang kita makan aja dulu," seru Mawar menenangkan lalu mereka mulai melahap makanan."Tapi harga diri Mas, seperti diinjak-injak War kalau begini," tutur Hamdan mengeluarkan keresahannya."Kita makan saja dulu, Mas! Tapi jadinya, Mas gak perlu capek-capek kerja. Duit ngalir terus dari Mbak Maura, coba pikirkan! Kita bisa bersenang-senang tanpa harus susah-susah bekerja," jelas Mawar mengeluarkan pendapatnya."Kamu jangan plin-plan War, tadi dukung aku buat rebut perusahaan, sekarang malah milih nikmati duitnya aja," gerutu Hamdan."Hehe ... coba aja Mas pikirin, pas Mas jadi bos di sini susah banget ngeluangin waktu sama aku. Ada sih yang bisa, tapi besoknya kamu pasti lembur aku gak tega Mas. Sekarangkan ada Mbak Maura, nanti ju
Hamdan langsung masuk ke ruangannya lagi setelah berbincang dengan istrinya. Sungguh ia tak percaya bahwa Maura bisa setega itu. Dengan kasar ia menghempas bokong ke kursi. Jadwal pulang tiba, dia lekas bergegas keluar dan tersenyum melihat Maura masih disibukkan dengan berkas, langkah angkuh ia mendekat membuat Maura mendongak sebentar lalu fokus ke beberapa berkas lagi."Sudahlah, mendingan kamu di rumah saja, biar Mas yang menghandle kantor," seru Hamdan menghempaskan bokong ke sofa."Mas sudah waktunya pulang 'kan, mendingan Mas pulang saja, atau jemput istri kedua Mas itu," seloroh Maura tak menghiraukan keberadaan Hamdan."Kamu ini keras kepala banget, Ra! Ya sudah, Mas pulang dulu," ujar Hamdan melangkah pergi.Mengendarai mobil dengan kecepatan sedang menuju kampus. Melihat semua tengah berhamburan keluar. Mendekati teman sekelas Mawar ia bertanya."Mawar sudah pulang belum?" tanya Hamdan pada lelaki yang baru saja hendak melajukan mo
"Sudahlah, La! Kamu menyerah saja," geram sang Papa menatap murka ke arah Shilla."Gak bisa, Pah. Mas Aji harus jadi suami Shilla," rengek Shilla akhirnya memilih menitihkan air mata dan sang Mama langsung mendekap anak gadisnya. "Jangan terlalu keras pada Shilla, Pah," tegur Mama Shilla membelai rambut anaknya merasa sakit kala melihat Shilla menitihkan air mata."Papa kesal, Mah. Shilla berbohong pada kita, kalau Aulia gak beritahu kita, kita gak bakal tau kelakukan anak kita, Mah," lirih Papa Shilla pelan, ia sangat terlihat frustasi dan memijit keningnya."Aku gak bohong, Pah. Mas Aji gak bakal bahagia dengan wanita lain, dia hanya akan bahagia bersamaku," teriak Shilla seraya menangis, sang Mama semakin mendekap anaknya."Mas akan luruskan, La. Mas hanya mengangap kamu sebagai adik, tidak lebih, tolong jangan ganggu kebahagiaann Mas. Mas sudah bahagia bersama Ma dan anak-anak," jelas Aji membuat Shilla semakin terisak. "Sadarlah, La. Masa depanmu masih panjang, kamu bukan cinta
Sebelas hari berlalu setelah kepergian Aulia, Aji masih terlihat murung. Maura wanita itu sibuk mengurus ini dan itu, beruntung ia memiliki pengasuh untuk menjaga anak-anaknya. Sehabis selesai melakukan semua, Maura bergegas melihat sang suami di kamar, terlihat Shilla tengah berusaha membujuk Aji. "Ayo, Mas. Kamu makan ya," bujuk Shilla menyodorkan sendok yang berisi nasi ke bibir Aji. "Sana keluar, Mas gak mau makan," usir Aji membuat Shilla sedikit gemas."Kamu punya telinga, kan, kamu udah diusir. Tolong keluar, biar Mbak yang kasih makan Mas Aji," cecar Maura merebut mangkuk yang berisi bubur, lalu Shilla menghentakan kaki kesal. "Nyebelin! Aku yang beli bubur ini lho," sunggut Shilla menatap kesal ke arah Maura."Ini, Mbak bayar harga buburnya. Sana kamu pergi, oh iya. Kalau mau bantuin tolong urusin aja yang lain, biar Mas Aji aku yang urus saja, karena dia adalah suamiku," sembur Maura membuat Shilla mengepalkan tangannya lalu memilih pergi."Mas ...," panggil Maura dengan
"Enggak, Ma. Ibu mau beli gamis warna kuning aja tuh," ujar Aulia menaruh daster tersebut dan melangkah mendekati jejeran gamis."Ini, Ibu beli ini, tolong pegangin ya," pinta Aulia menyerahkan gamis set dengan hijabnya."Wah ... mukenanya bagus banget, Ibu juga mau beli ini deh," ucap Aulia lagi lalu memgambil mukena berwarna hijau. "Bu, bukannya Ibu suka pake mukena warna putih ya?" tanya Maura mendekati wanita yang menjadi mertuanya. "Emang gak boleh Ibu pengen warna ini," kata Aulia langsung disambut gelengan Maura. "Kamu udah milihnya belum?" tanya Aulia memandang menantunya yang disambut gelengan Maura."Enggak ah, Bu. Baju baru Ma masih banyak yang belum kepake," kata Maura membuat Aulia mengangguk."Ya sudah, ayo antar Ibu bayar dulu," ucap Aulia yang langsung disambut anggukan Maura."Wah, bajunya gemesin," tutur Maura membuat Aulia menoleh memandang menantunya dan ikut melihat apa yang dipandang wanita itu."Iya gemesin, ayo kita ke sana, Ibu pengen beliin. Sekalian buat
Waktu beranjak siang, matahari sudah diatas kepala. Suhu badan Aulia kembali normal, ia sekarang sedang mengajak main di ruang tengah. Wanita itu sempat menanyakan dimana Shilla, bahkan Aulia langsung menelepon gadis tersebut. Setelah tau keberadaan Shilla, Aulia akhirnya fokus bersenang-senang dengan anak, menantu dan sang cucu. "Aku buat makan siang dulu ya," pamit Maura bangkit dari duduknya lalu menyerangkan Kenzie pada Aji karena habis menyusui. "Ayo Ibu bantu, Ibu lagi pengen masak bareng kamu," seru Aulia ikut bangkit dan akhirnya mereka melangkah ke dapur bersama, biarkan Aji menjaga anak-anak. "Pah," panggil Delia membuat Aji mendongak memandang putri sambungnya."Ada apa, hmmm ...," sahut Aji mengeryitkan alis kala melihat Delia seperti menimang-nimang mengatakan sesuatu. "Eummm ... anu, Lia pengen ikut bantu masak ya," ujar Delia membuat Aji terus memandangnya."Boleh ya, Pah. Kalo Papa udah bilang boleh, Bunda gak bakal larang aku," tutur Delia menangkupkan tangannya d
Aji langsung menarik lengannya kala menyadari bahwa ada Maura. Karena tadi tangan itu ternyata menggenggam jemari lentik Shillaa. Terlihat paras Maura memancarkan kekecewaan, Aulia pun merasa bersalah. "Nenek, Nenek jangan sakit. Delia sayang, Nenek," kata Delia dengan nada cemring ia menaiki kasur dan memeluk tubuh Aulia. "Nenek gak sakit kok, cuma lemes aja," balas Aulia menoleh ke arah Delia dan membalas pelukkan gadis kecil itu lalu mencium pucuk kepala Delia. "Huh, Nenek bohong! Katanya gak sakit, tapi ini apa, badan dan kening Nenek sangat panas," gerutu Delia, gadis kecil itu mengusap sayang wajah Aulia."Semoga cara Lia ampun ya," tutur Delia terus membelai sayang puncuk kepala Aulia."Ma ...," ucap Aji pelan, ia bangkit hendak mendekati sang istri, tetapi keduluan oleh Maura yang berjalan ke arahnya. "Bu, berobat yuk! Ma gak tega liat Ibu," ajak Maura melewati sang suami, lalu ikut duduk di ranjang dan membelai puncuk kepala Aulia. "Nenek pasti cepet sembuh, karna sekara
"Papa, aku pinjem handphone. Maim games, boleh ya, Pah ...," rayu Delia memandang Aji dengan pupy eyes. Aji tersenyum geli melihat wajah sang anak sambung, ia mengangguk sebagai jawaban lalu mulai melahap hidangan saat sudah tersedia di piring. Delia langsung bersorak girang, dia bergegas mengambil ponsel Aji dan membawanya ke ruang makan. Karena gadis kecil tersebut akan makan disuapi oleh sang Bunda."Papa, Nenek sakit," kata Delia kala selesai mengeja huruf demi huruf dari pesan whatsapp Shilla. "Kata siapa, Lia?" tanya Aji mendongak memandang anak sambungnya seraya mengeryitkan alis. "Ini Pah, whatsapp dari Tante Shilla," balas Delia menyodorkan handphone lalu ia langsung turun dari kursi. "Ayo Pah, Bun. Kita ke rumah Nenek, kasian Nenek sakit, gak tega Lia lihat fotonya," pinta Delia memegang tangan sang Bunda."Astagfirullah, Ibuu ... ayo Ma! Kita langsung ke rumah Ibu," ajak Aji bangkit dari duduknya lalu menggendong Delia agar ikut ke mobil sedangkan Maura meminta Kenzie
Seminggu berlalu, Aji kini lebih fokus ke anak dan istrinya. Shilla juga pura-pura ngambek semenjak kejadian itu. Wanita tersebut sangat kesal karena ketidak pedulian sang lelaki pujaan. "Ahhh ... sial! Teleponku bahkan gak diangkat," maki Shilla kala menelepon Aji, memang hari ini libur jadi tak ada kepentingan. "Ini semua gara-gara, Mbak Maura," geram Shilla dengan nada frutasi dan memberantakan meja riasnya. "Uhuk, uhuk, La, ayo keluar! Kamu harus makan," panggil Aulia mengetuk pintu kamar Shilla, wanita itu memang belum keluar dari kamarnya. "Ahhh ... iya sebentar, Tan." Shilla segera merapikan rambutnya yang berantakan lalu setelah dirasa rapi ia melangkah menuju pintu dan membukanya. "Muka Tante kenapa pucet banget, Tante juga panas," ucap Shilla kala memegang wajah Ibunya Aji, ia segera menuntun Aulia menuju kamar milik wanita tersebut."Tante harus istirahat di kamar, nanti Shilla telepon Mas Aji agar ke sini," lanjut Shilla lalu membaringkan Aulia di tempat tidur lalu me
"Hey, kamu beneran marah," kata Aji mengejar langkah sang istri. "Pikirin aja sendiri, udah ah mendingan aku tidur aja," sahut Maura dengan nada ketus, ia menepis lengan sang suami yang hendak memegang tangannya."Dengerin dulu kelanjutannya, lah, Sayang. Aku belum selesai lho," tutur Aji membuat Maura mendengkus lalu menatap malas sang suami, ia memilih berhenti di depan pintu agar tak menganggu sang anak yang terlelap."Apa yang mau kamu katakan, Mas," seru Maura dengan nada ketus membuat Aji terkekeh mendengarnya. "Ngapain kamu ketawa, ih ... bikin kesal aja, gak jadi deh kasih kamu kesempatan bela diri," cicit Maura dengan mata memerah karena merasa terhina."Dih marah-marah mulu, lagi PMS ya," goda Aji membuat Maura menggeram dan memilih pergi dan menutup pintu kamar. "Eh, Sayang. Kok dikunci sih," panggil Aji mengetuk pintu dan berusaha membuka benda tersebut."Bodo! Kamunya nyebelin," cecar Maura dibalik pintu membuat Aji mengembuskan napasnya."Sayang ... emang kamu gak mau
maaf ya baru update, beberapa hari meriang. terus kemaren liat ponakan baru😅 jadi baru kekeja segini lgi subuh. happy readers Shilla melakukan pekerjaannya dengan wajah tertekuk. Maura memilih berkeliling dari pada tidur, wanita itu cepat akrab dengan karyawan baru ditemuinya. Sedangkan Aji mulai bekerja lagi dan mengembuskan napas kala melihat riak muka Shilla yang terus masam."Bu, boleh saya bertanya sesuatu?" tanya seorang karyawati dengan nada pelan membuat Maura menoleh menatapnya."He, bertanya apa? boleh kok," balas Maura dengan nada ramah, tak ada kesombongan dalam dirinya."Itu ... apa benar kalau si Shilla bakal jadi madu, Ibu?" tanya ragu-ragu membuat Maura mengerutkan alisnya."Heh, kata siapa?" seru Maura balik bertanya, membuat karyawati itu semakin gugup."Eumm ... itu, Bu," karyawati itu berkata dengan nada terbata-bata. "Si Shilla sendiri yang ngomongnya, Bu. Saya pun sejak dulu tak percaya, beruntung Ibu ke sini dan Ibu bisa klafikasikan," tukas karyawati yang me