Hamdan langsung masuk ke ruangannya lagi setelah berbincang dengan istrinya. Sungguh ia tak percaya bahwa Maura bisa setega itu. Dengan kasar ia menghempas bokong ke kursi. Jadwal pulang tiba, dia lekas bergegas keluar dan tersenyum melihat Maura masih disibukkan dengan berkas, langkah angkuh ia mendekat membuat Maura mendongak sebentar lalu fokus ke beberapa berkas lagi.
"Sudahlah, mendingan kamu di rumah saja, biar Mas yang menghandle kantor," seru Hamdan menghempaskan bokong ke sofa.
"Mas sudah waktunya pulang 'kan, mendingan Mas pulang saja, atau jemput istri kedua Mas itu," seloroh Maura tak menghiraukan keberadaan Hamdan.
"Kamu ini keras kepala banget, Ra! Ya sudah, Mas pulang dulu," ujar Hamdan melangkah pergi.
Mengendarai mobil dengan kecepatan sedang menuju kampus. Melihat semua tengah berhamburan keluar. Mendekati teman sekelas Mawar ia bertanya.
"Mawar sudah pulang belum?" tanya Hamdan pada lelaki yang baru saja hendak melajukan mo
Mawar sangat frustasi, ia benar-benar tidak ingin membeli benda itu. Karena dia tak tau kaya gimana bentuk tespack tersebut, dengan cepat mencari tahu di google. Hamdan yang pamit membeli rujak masuk ke mobil, memberikan pada sang istri."Ah ... ternyata ini bentuknya, ya sudah aku mau beli saja," ujar Mawar membuat Hamdan menoleh tak paham."Kamu mau beli apa, War?" tanya Hamdan menaikan satu alisnya."Itu, tespack. Biar aku aja yang beli," ujar Mawar menyodorkan tangan pada Hamdan."Mau ngapain nyodorin tangan?" tanya Hamdan."Minta uanglah, kan, disuruh beli tespack," seru Mawar dibalas anggukan Hamdan."Berapa?" tanya Hamdan mengeluarkan dompetnya."Dua ratus ribu," pinta Mawar membuat Hamdan menoleh."Serius, semahal itu? Duh rasanya bersalah saat inget Maura dulu beli tespack hasil uang sendiri," keluh Hamdan lalu menyodorkan tiga lembar berwarna merah."Aku, kan, cuma minta dua ratus, Mas," ujar Mawar pura-p
"Kamu bohong sama Mas, Mawar!" seru Hamdan menatap nyalang pada istri keduanya."Memang kenapa, Mas! Apa kamu merasa rugi karna memberikan semua uang cashmu," ujar Mawar padahal dalam hatinya ia bergetar ketahuan.Hamdan mengembuskan napasnya. "Bukan begitu, kenapa kamu pakai bohong cuma karna pengen uang, Mas. Kamu tinggal minta aja nanti Mas kasih," ujar Hamdan melembutkan suaranya, entahlah dia tidak kuasa memarahi istri keduanya."Dramanya dicut dulu ya, ini tinggal air pipis kamu taruh di wadah. Terus masukin smpe garis max tunggu tiga puluh detik terus angkat tinggal tunggu hasilnya keluar satu menitan," seru Maura menaruh tespack itu ke meja lalu bergegas ke kamar karena tidak mau ikut campur dulu, memilih melihat buah hati karena marah dengan sang Ayah."Siapa yang lagi ngedrama lagi, Mbak!" pekik Mawar kesal."Sudahlah, War. Mendingan kamu cobain tespack itu," ujar Hamdan disambut Mawar dengan hentakan kakinya.Di bilik lain Maura t
"Apa kamu bilang, War!" hardik Maura pura-pura terkejut."Aku mau nikah secara agama dan negara!" seru Mawar dengan berani."War! Apaan sih," bentak Hamdan menatap istri keduanya dengan tatapan murka."Apa itu benar, Mas? sudah kubilang saat kalian terpergok aku hanya mengizinkan kalian menikah secara siri," seloroh Maura beralih menatap suaminya."Eh, anu ...," ucapan Hamdan terpotong oleh tawa keras Mawar."Haha ... selamat Mbak Maura kena prank," ujar Mawar membuat Maura tersenyum sinis dan mendengkus marah."Kamu ini, ya sudah. Mbak pamit pergi dulu," ujar Maura melangkah menggenggam jemari anaknya menuju mobil.Delia duduk di kursi kemudi, cengiran manisnya tak luntur. Gadis kecil itu terus berceloteh menceritakan saat dia tak diantar Maura pertama kali. Beruntung Mirna bisa mengambil hati Delia kalau tidak ia masih harus mencari pengasuh."Bunda hanya mengantar ya, Sayang. Gak bisa nungguin kamu, nanti kalau pekerjaan Bun
"Talak satu sudah jatuh," gumam Maura saat melihat video itu."Tega banget kamu, Mas! Menalak aku demi menikahi Mawar secara sah negara dan agama," bisik Maura pelan, lalu menaruh ponselnya lagi lebih memilih melakukan pekerjaan kantor.Setelah selesai Maura mengambil berkas. Menatap sendu kertas itu, sebenarnya ia tak mau. Tapi dia hanya seorang wanita yang tak mau di duakan, lebih baik berpisah bukan. Dari pada terus merasakan sakit hati, dengan penuh keyakinan mentanda tangani surat cerai.Mereka sampai rumah bersamaan, Hamdan bergandengan mesra dengan istri kedua. Sedangkan Maura menatap sinis, lalu pergi tanpa memperdulikan suami dan madunya. Wanita itu mendapatkan sambutan dengan sang buah hati, Hamdan yang mendengar suara Delia teralihkan, menatap iri Maura nan disambut."Kok Ayah gak disambut, Sayang," rajuk Hamdan mendekati anaknya, sedangkan Mawar memilih ke kamar untuk mengistirahatkan diri."Kok kalian bisa pulang bareng, terus ya
[Nyonya, Non Delia ada di rumah Omanya,] - Marni[Ya sudah, jaga Delia ya! Nanti saya jemput setelah urusan saya selesai.] - Maura"Akhirnya sampe rumah, gue harus buru-buru ngeluarin barang-barang mereka," ujar Maura membuka pintu dan masuk ke kamarnya terlebih dahulu.Setelah selesai membereskan barang-barang suaminya, Maura semakin tersenyum sumringah saat melihat ponsel Hamdan. Dengan semangat ia mengambil benda pipih itu dan masuk ke M-banking mengirim semua uang di dalam rekening itu kepada miliknya. Sehabis melakukan hal tersebut, melangkah menuju bilik Mawar."Itu apaan," gumam Maura saat melihat sesuatu di kolong ranjang.Mengambil plastik itu lalu memotret dan mengirim ke orang kepercayaannya. Dengan cekatan menyimpan pakaian Mawar yang ternyata banyak lingerie di dalam lemari. Maura menatap mual pada bekas kondom yang berada di tempat menyimpan pakaian."Astagfirullah, mereka berhubung sudah berapa lama. Bodohnya aku tid
"Masa Ibu tega sama anak Ibu sendiri, kami tidur dijalanan gitu? Kami udah gak punya uang Bu," lirih Mawar memelas, menatap sendu pada Indah.Baru saja Indah hendak berseru, suara notifikasi pesan berbunyi. Wanita itu memilih melihat isi chat itu yang ternyata dari Maura. Indah menarik napas sedikit panjang saat membaca deretan huruf itu.[Bu, jika Mawar dan Mas Hamdan ke rumah Ibu tolong izinkan saya jika mereka ingin menginap. Aku akan ke sana, mengambil mobil yang dipakai mereka. Tolong bantuannya ya, Bu.] - Maura"Ya sudah, masuk cepat! Tapi kalian jangan berzina di rumahku," ucap Indah memberikan wejangan, dia memang menyayangi Mawar tapi ia juga perlu mendidik wanita itu jika berbuat salah."Kok gitu, Bu. Kami itu udah menikah secara sah agama dan negara, sebentar lagi juga Ibu akan mendapatkan cucu," protes Mawar lalu tersenyum saat membicarakan janin di rahim tak lupa ia mengusap sayang perutnya."Apa! Kamu hamil? Semoga dia tid
Jangan lupa dukung aku ya, dengan memberi gams sebanyak-banyaknya. Kasih rate bintang 5"Kamu! Serakah sekali Ra, mengambil semua barang-barangku," hardik Hamdan menarik lengan Maura agar berdiri di hadapannya."Memang kenapa, ha! Wajar itu hartaku, kamu dan selingkuhanmu tak berhak menggunakannya! Kalau bukan karna aku, kamu sudah jadi gembel," geram Maura tak tahan mengeluarkan semua amarahnya."Tapikan," ucapan Hamdan terhenti saat Indah mengangkat tangannya."Sudahlah, Dan. Kasih kunci mobil itu, itu milik Maura. Itulah akibatnya jika kamu hanya mementingkan nafsu, cepat kasih!" perintah Indah dengan suara meninggi."Ibu gak perlu ikut campur! Ini masalah aku dan Maura," seru Hamdan tanpa sengaja membentak wanita paruh baya itu."Kamu lelaki bukan! Tau diri sedikit, cepat kasih! Kalau tidak saya akan menelepon polisi, karena kamu mengambil milik orang lain," ancam Indah membuat wajah Hamdan memucat bersamaan Mawar yan
"Maaf Mas, aku hanya ingin kamu memperhatikanku," lirih Mawar dengan suara yang diselingi isakkan."Gak gitu caranya, War! Kamu membuat rumah tanggaku hancur, bahkan karirku," hardik Hamdan menyalahkan istri keduanya."Itu juga karna kamu, Mas! Kamu menjanjikan akan membuat aku bahagia, tapi kamu malah sibuk dengan istri tuamu itu," ungkap Mawar membuat Hamdan memijit keningnya."Sudahlah kalian kenapa jadi bertengkar begini," ujar Indah menatap kedua sejoli itu."Terus aku harus bagaimana, Bu! Karna keegoisan dia aku bercerai dengan Maura," seru Hamdan membuat Mawar membeliakkan mata tak terima."Itu salah kalian berdua, bukan salah Mawar doang! Jadi jangan saling menunduh begini seperti anak kecil saja, ingat dari hasil perbuatan kalian ada janin yang harus kalian jaga!" hardik Indah."Sial!" maki Hamdan ia memukul sofa dengan penuh emosi melampiaskan amarahnya."Sudahlah, mendingan kalian cek kandungan Mawar saja." Hamdan dan Mawar
"Sudahlah, La! Kamu menyerah saja," geram sang Papa menatap murka ke arah Shilla."Gak bisa, Pah. Mas Aji harus jadi suami Shilla," rengek Shilla akhirnya memilih menitihkan air mata dan sang Mama langsung mendekap anak gadisnya. "Jangan terlalu keras pada Shilla, Pah," tegur Mama Shilla membelai rambut anaknya merasa sakit kala melihat Shilla menitihkan air mata."Papa kesal, Mah. Shilla berbohong pada kita, kalau Aulia gak beritahu kita, kita gak bakal tau kelakukan anak kita, Mah," lirih Papa Shilla pelan, ia sangat terlihat frustasi dan memijit keningnya."Aku gak bohong, Pah. Mas Aji gak bakal bahagia dengan wanita lain, dia hanya akan bahagia bersamaku," teriak Shilla seraya menangis, sang Mama semakin mendekap anaknya."Mas akan luruskan, La. Mas hanya mengangap kamu sebagai adik, tidak lebih, tolong jangan ganggu kebahagiaann Mas. Mas sudah bahagia bersama Ma dan anak-anak," jelas Aji membuat Shilla semakin terisak. "Sadarlah, La. Masa depanmu masih panjang, kamu bukan cinta
Sebelas hari berlalu setelah kepergian Aulia, Aji masih terlihat murung. Maura wanita itu sibuk mengurus ini dan itu, beruntung ia memiliki pengasuh untuk menjaga anak-anaknya. Sehabis selesai melakukan semua, Maura bergegas melihat sang suami di kamar, terlihat Shilla tengah berusaha membujuk Aji. "Ayo, Mas. Kamu makan ya," bujuk Shilla menyodorkan sendok yang berisi nasi ke bibir Aji. "Sana keluar, Mas gak mau makan," usir Aji membuat Shilla sedikit gemas."Kamu punya telinga, kan, kamu udah diusir. Tolong keluar, biar Mbak yang kasih makan Mas Aji," cecar Maura merebut mangkuk yang berisi bubur, lalu Shilla menghentakan kaki kesal. "Nyebelin! Aku yang beli bubur ini lho," sunggut Shilla menatap kesal ke arah Maura."Ini, Mbak bayar harga buburnya. Sana kamu pergi, oh iya. Kalau mau bantuin tolong urusin aja yang lain, biar Mas Aji aku yang urus saja, karena dia adalah suamiku," sembur Maura membuat Shilla mengepalkan tangannya lalu memilih pergi."Mas ...," panggil Maura dengan
"Enggak, Ma. Ibu mau beli gamis warna kuning aja tuh," ujar Aulia menaruh daster tersebut dan melangkah mendekati jejeran gamis."Ini, Ibu beli ini, tolong pegangin ya," pinta Aulia menyerahkan gamis set dengan hijabnya."Wah ... mukenanya bagus banget, Ibu juga mau beli ini deh," ucap Aulia lagi lalu memgambil mukena berwarna hijau. "Bu, bukannya Ibu suka pake mukena warna putih ya?" tanya Maura mendekati wanita yang menjadi mertuanya. "Emang gak boleh Ibu pengen warna ini," kata Aulia langsung disambut gelengan Maura. "Kamu udah milihnya belum?" tanya Aulia memandang menantunya yang disambut gelengan Maura."Enggak ah, Bu. Baju baru Ma masih banyak yang belum kepake," kata Maura membuat Aulia mengangguk."Ya sudah, ayo antar Ibu bayar dulu," ucap Aulia yang langsung disambut anggukan Maura."Wah, bajunya gemesin," tutur Maura membuat Aulia menoleh memandang menantunya dan ikut melihat apa yang dipandang wanita itu."Iya gemesin, ayo kita ke sana, Ibu pengen beliin. Sekalian buat
Waktu beranjak siang, matahari sudah diatas kepala. Suhu badan Aulia kembali normal, ia sekarang sedang mengajak main di ruang tengah. Wanita itu sempat menanyakan dimana Shilla, bahkan Aulia langsung menelepon gadis tersebut. Setelah tau keberadaan Shilla, Aulia akhirnya fokus bersenang-senang dengan anak, menantu dan sang cucu. "Aku buat makan siang dulu ya," pamit Maura bangkit dari duduknya lalu menyerangkan Kenzie pada Aji karena habis menyusui. "Ayo Ibu bantu, Ibu lagi pengen masak bareng kamu," seru Aulia ikut bangkit dan akhirnya mereka melangkah ke dapur bersama, biarkan Aji menjaga anak-anak. "Pah," panggil Delia membuat Aji mendongak memandang putri sambungnya."Ada apa, hmmm ...," sahut Aji mengeryitkan alis kala melihat Delia seperti menimang-nimang mengatakan sesuatu. "Eummm ... anu, Lia pengen ikut bantu masak ya," ujar Delia membuat Aji terus memandangnya."Boleh ya, Pah. Kalo Papa udah bilang boleh, Bunda gak bakal larang aku," tutur Delia menangkupkan tangannya d
Aji langsung menarik lengannya kala menyadari bahwa ada Maura. Karena tadi tangan itu ternyata menggenggam jemari lentik Shillaa. Terlihat paras Maura memancarkan kekecewaan, Aulia pun merasa bersalah. "Nenek, Nenek jangan sakit. Delia sayang, Nenek," kata Delia dengan nada cemring ia menaiki kasur dan memeluk tubuh Aulia. "Nenek gak sakit kok, cuma lemes aja," balas Aulia menoleh ke arah Delia dan membalas pelukkan gadis kecil itu lalu mencium pucuk kepala Delia. "Huh, Nenek bohong! Katanya gak sakit, tapi ini apa, badan dan kening Nenek sangat panas," gerutu Delia, gadis kecil itu mengusap sayang wajah Aulia."Semoga cara Lia ampun ya," tutur Delia terus membelai sayang puncuk kepala Aulia."Ma ...," ucap Aji pelan, ia bangkit hendak mendekati sang istri, tetapi keduluan oleh Maura yang berjalan ke arahnya. "Bu, berobat yuk! Ma gak tega liat Ibu," ajak Maura melewati sang suami, lalu ikut duduk di ranjang dan membelai puncuk kepala Aulia. "Nenek pasti cepet sembuh, karna sekara
"Papa, aku pinjem handphone. Maim games, boleh ya, Pah ...," rayu Delia memandang Aji dengan pupy eyes. Aji tersenyum geli melihat wajah sang anak sambung, ia mengangguk sebagai jawaban lalu mulai melahap hidangan saat sudah tersedia di piring. Delia langsung bersorak girang, dia bergegas mengambil ponsel Aji dan membawanya ke ruang makan. Karena gadis kecil tersebut akan makan disuapi oleh sang Bunda."Papa, Nenek sakit," kata Delia kala selesai mengeja huruf demi huruf dari pesan whatsapp Shilla. "Kata siapa, Lia?" tanya Aji mendongak memandang anak sambungnya seraya mengeryitkan alis. "Ini Pah, whatsapp dari Tante Shilla," balas Delia menyodorkan handphone lalu ia langsung turun dari kursi. "Ayo Pah, Bun. Kita ke rumah Nenek, kasian Nenek sakit, gak tega Lia lihat fotonya," pinta Delia memegang tangan sang Bunda."Astagfirullah, Ibuu ... ayo Ma! Kita langsung ke rumah Ibu," ajak Aji bangkit dari duduknya lalu menggendong Delia agar ikut ke mobil sedangkan Maura meminta Kenzie
Seminggu berlalu, Aji kini lebih fokus ke anak dan istrinya. Shilla juga pura-pura ngambek semenjak kejadian itu. Wanita tersebut sangat kesal karena ketidak pedulian sang lelaki pujaan. "Ahhh ... sial! Teleponku bahkan gak diangkat," maki Shilla kala menelepon Aji, memang hari ini libur jadi tak ada kepentingan. "Ini semua gara-gara, Mbak Maura," geram Shilla dengan nada frutasi dan memberantakan meja riasnya. "Uhuk, uhuk, La, ayo keluar! Kamu harus makan," panggil Aulia mengetuk pintu kamar Shilla, wanita itu memang belum keluar dari kamarnya. "Ahhh ... iya sebentar, Tan." Shilla segera merapikan rambutnya yang berantakan lalu setelah dirasa rapi ia melangkah menuju pintu dan membukanya. "Muka Tante kenapa pucet banget, Tante juga panas," ucap Shilla kala memegang wajah Ibunya Aji, ia segera menuntun Aulia menuju kamar milik wanita tersebut."Tante harus istirahat di kamar, nanti Shilla telepon Mas Aji agar ke sini," lanjut Shilla lalu membaringkan Aulia di tempat tidur lalu me
"Hey, kamu beneran marah," kata Aji mengejar langkah sang istri. "Pikirin aja sendiri, udah ah mendingan aku tidur aja," sahut Maura dengan nada ketus, ia menepis lengan sang suami yang hendak memegang tangannya."Dengerin dulu kelanjutannya, lah, Sayang. Aku belum selesai lho," tutur Aji membuat Maura mendengkus lalu menatap malas sang suami, ia memilih berhenti di depan pintu agar tak menganggu sang anak yang terlelap."Apa yang mau kamu katakan, Mas," seru Maura dengan nada ketus membuat Aji terkekeh mendengarnya. "Ngapain kamu ketawa, ih ... bikin kesal aja, gak jadi deh kasih kamu kesempatan bela diri," cicit Maura dengan mata memerah karena merasa terhina."Dih marah-marah mulu, lagi PMS ya," goda Aji membuat Maura menggeram dan memilih pergi dan menutup pintu kamar. "Eh, Sayang. Kok dikunci sih," panggil Aji mengetuk pintu dan berusaha membuka benda tersebut."Bodo! Kamunya nyebelin," cecar Maura dibalik pintu membuat Aji mengembuskan napasnya."Sayang ... emang kamu gak mau
maaf ya baru update, beberapa hari meriang. terus kemaren liat ponakan baru😅 jadi baru kekeja segini lgi subuh. happy readers Shilla melakukan pekerjaannya dengan wajah tertekuk. Maura memilih berkeliling dari pada tidur, wanita itu cepat akrab dengan karyawan baru ditemuinya. Sedangkan Aji mulai bekerja lagi dan mengembuskan napas kala melihat riak muka Shilla yang terus masam."Bu, boleh saya bertanya sesuatu?" tanya seorang karyawati dengan nada pelan membuat Maura menoleh menatapnya."He, bertanya apa? boleh kok," balas Maura dengan nada ramah, tak ada kesombongan dalam dirinya."Itu ... apa benar kalau si Shilla bakal jadi madu, Ibu?" tanya ragu-ragu membuat Maura mengerutkan alisnya."Heh, kata siapa?" seru Maura balik bertanya, membuat karyawati itu semakin gugup."Eumm ... itu, Bu," karyawati itu berkata dengan nada terbata-bata. "Si Shilla sendiri yang ngomongnya, Bu. Saya pun sejak dulu tak percaya, beruntung Ibu ke sini dan Ibu bisa klafikasikan," tukas karyawati yang me