Matahari tenggelam di ufuk Barat, gelap malam menyapa, setelah pertengkaran tadi pagi, belum sekali pun Mazaya bertemu dengan Riki. Dia mengurung diri di kamar, hatinya terluka karena penolakan berkali-kali terhadapnya. Baru kali ini dia jatuh cinta, jatuh cinta pada orang yang salah. Riki adalah keinginan mustahil baginya, takkan ada harapan mendapatkan balasan dari laki-laki itu.Mazaya tak ingin melepasnya, dia ingin Riki menjadi miliknya sendiri, jika sampai mereka bercerai maka Riki pasti akan menikah dengan wanita lain.Mazaya mengikat rambutnya, berjalan keluar dari kamar, dia butuh udara segar, sudah lama dia tidak keluar dari rumah. Setidaknya dia bisa mendinginkan hatinya yang terasa panas karena memikirkan cinta yang bertepuk sebelah tangan.Mazaya melirik kamar Riki yang terbuka, pria itu asik dengan laptop di pangkuannnya. Riki sempat melihat Mazaya sekilas saat mendengar langkah kaki tergesa-gesa di lantai marmer itu.Mazaya berjalan lurus, meraih kunci mobilnya yang t
Riki menjalani hidupnya seperti biasa, tak ada yang berubah, dia sekarang lebih leluasa jika berada di rumah, tak perlu was-was dengan Mazaya.Dua bulan sudah Mazaya bekerja, selama dua bulan ini pun mereka berjumpa sekilas, itu pun cuma hitungan jari. Riki berangkat sebelum wanita itu bangun, dan pulang saat dia sudah tidur.Tak ada perkembangan dari hubungan mereka, masih seperti dulu, datar dan dingin.Riki tak pernah lagi mendengar Mazaya muntah di pagi hari, mungkin morning sicknessnya sudah berakhir, dia juga terlihat lebih sehat daripada dua bulan yang lalu.Riki mematikan komputernya, jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Sebelum tidur dia punya kebiasaan minum air putih terlebih dahulu. Riki meregangkan ototnya, beranjak pergi ke dapur. Baru saja dia menuju dapur, sebuah pemandangan tak biasa di lihatnya. Mazaya sedang asik menikmati sepiring nasi goreng dengan lahapnya, di sebelah nasi goreng ada gelas berisi segelas jus.Dia terlihat agak berisi, wajahnya segar dengan
Mereka duduk di kursi tunggu bersama dengan pasien lainnya, semuanya adalah wanita hamil dengan besar perut yang berbeda. Para wanita datang dengan suaminya, wanita berbaju biru di sebelah Mazaya sedang bergelayut manja di lengan suaminya, sambil mengeluhkan betapa capek kakinya karena membawa perut sebesar itu, sang suami meraih betis sembabnya, memijit berlahan penuh kasih sayang.Di ujung sana ada juga pasangan muda, yang terlihat baru menikah, sang istri menunjukkan foto hasil USG dengan wajah berbinar, suaminya mengecup pipinya kemudian mengusap perut buncit itu.Masih banyak lagi... hanya dia dan Mazaya satu-satunya pasangan yang terlihat aneh, mereka duduk berjauhan, dipisahkan oleh dua anak balita yang sedang menunggu ibunya diperiksa.Riki memandang Mazaya, wanita itu tengah mengusap perutnya pelan, sambil melihat penuh harap menunggu pintu dokter kandungan terbuka. Dia tidak begitu peduli dengan semua pasangan di sana, hanya Riki yang sedikit merasa bersalah kepada wanita it
Selama perjalanan mereka saling diam, Mazaya mengatupkan bibirnya dengan mata menerawang jauh. Riki pun kehabisan topik, mobil melaju dengan tenang. Sesampainya di rumah Mazaya langsung masuk ke dalam kamarnya, matanya berkaca-kaca, semenjak hamil ini hatinya menjadi lemah. Dia sering menangis sendiri.Mazaya mengganti bajunya dengan daster selutut yang membuatnya nyaman. Udara sangat panas, semenjak hamil ini kulitnya menjadi lebih mudah gatal-gatal jika berkeringat.Mazaya meraih tasnya, mengeluarkan foto hasil USG nya barusan, dia sangat bahagia, akan menjadi seorang ibu di usianya yang ke dua puluh delapan tahun, andaikan ayahnya masih hidup alangkah gembiranya dia, dari dulu dia mengidamkan ingin memiliki cucu laki laki, tapi tak pernah kesampaian karena Mazaya tak berniat menikah.Tangannya mengelus foto itu, anaknya dengan Riki, sebuah anugrah yang awalnya tidak begitu di pedulikannya. Seiring berjalannya waktu, Mazaya mulai mencintai bayinya itu, bahkan tidak sabar ingin sege
Hari ini Riki cukup sibuk mempersiapkan acara besar ulang tahun perusahaan. Acaranya tinggal tiga hari lagi, sementara persiapan baru empat puluh persen.Dia den Celin masih di kantor, padahal ini sudah jam sebelas malam, masih banyak juga karyawan lain yang berkutat dengan tanggung jawab masing masing. Celin dari tadi tidak berhenti menggerutu, dia berencana pulang cepat karena anak keduanya demam tinggi, tapi kepala bagian tak memberinya izin karena pekerjaan Celin belum selesai."Nenek sihir itu, pantas saja tidak diberi anak, tak ada toleransi sedikit pun, terkadang aku ingin keluar dari perusahaan ini, tapi ketika memikirkan gajiku sudah dua puluh juta, aku jadi dilema...."Celin membuka kacamatanya, Riki hanya tersenyum mendengar ocehan sehabatnya itu."Andai saja gaji Bram bisa mencukupi kebutuhan keluarga, pasti aku lebih memilih jadi ibu rumah tangga, tapi gajinya sebagai pelukis tidak bisa diharapkan, oh ya bagaimana hubungan kalian?"Celin mengalihkan topik pembicaraan, Rik
Mazaya membuka matanya, dia terbangun karena perutnya terasa lapar padahal dia sangat mengantuk.Dia kaget berusaha mencerna, langit-langit kamar yang tidak seperti kamarnya. Lebih kaget lagi saat menemukan Riki bergelung di sampingnya tanpa memakai selimut.Mazaya ingat, awalnya dia cuma rebahan di kamar Riki karena suaminya itu tidak kunjung pulang, tapi malah tertidur kelelahan, aroma kamar itu bagaikan obat tidur yang membuatnya langsung mengantuk.Mazaya memiringkan tubuhnya, bergerak sepelan mungkin. Wajah itu, laki-laki yang dicintainya, menemukan dia tidur di sebelahnya tanpa pemaksaan membuat hatinya bahagia sendiri, apakah boleh dia serakah? memiliki cinta Riki untuknya tanpa syarat. Akan tetapi sejauh ini belum ada perkembangan perasaan Riki terhadapnya, hanya bayi itu yang membuat dia bertahan di sisi Mazaya.Mazaya tak ingin memikirkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi, tangannya membelai wajah itu dengan kerinduan, menikmati setiap pahatan sempurna tanpa ada penolak
Riki melirik wajah Mazaya, wajah sembab yang dari tadi memalingkan wajah enggan menatap wajahnya.Sesekali dia meringis menahan sakit saat Riki mengoleskan alkohol ke telapak tangannya, kakinya sudah dibalut perban, pecahan kaca menancap di mana-mana.Riki tak habis pikir, Mazaya bisa menyakiti dirinya sendiri, dia tak mengerti kenapa wanita itu sangat mudah tersinggung, padahal dia tak berniat mengusir Mazaya dari kamarnya, dia sendiri yang berinisiatif untuk kembali kekamarnya.Mazaya memalingkan wajah ke jendela dengan pandangan kosong, tak berkomentar apapun, hatinya sekarang sedang tidak baik.Riki meraih dagu itu untuk menatap ke arahnya, Mazaya tidak menolak, namun matanya masih menunduk, dia tak ingin terlihat lemah, berbulan- bulan dia membangun cintanya sendirian, cukup terakhir kali dia menangis beberapa saat yang lalu.Riki menyelipkan anak rambut yang menutupi wajah Mazaya ke telinganya, simpati muncul di hatinya, bagaimanapun mereka pernah tumbuh bersama, tinggal satu at
Riki tidak bisa tidur, Mazaya sudah tenggelam dalam mimpinya. Bagaimana dia bisa tidur, ranjang kecil ini sangat membuat gerakannya terbatas, bergeser sedikit saja, tubuh mereka akan saling menempel. Riki menahan nafasnya, Mazaya kembali menendang selimut, gaun tidurnya tersibak. Riki dengan cepat menyelimutinya lagi, dan untuk yang kesekian kalinya Mazaya kembali menendang selimut sambil bergumam panas.Padahal dia harus bangun pagi untuk bekerja, tapi sudah jam empat pagi, matanya tidak bisa tidur, padahal masih bersisa satu jam untuk memejamkan mata, dia akan lembur menyelesaikan persiapan acara ulang tahun perusahaan, kurang tidur akan membuatnya tidak fokus.Dirinya sekarang sangat tersiksa, bayangkan saja, tubuh pasrah tergolek tak berdaya di sampingnya, dengan pakaian yang entahlah...halal untuk disentuh.Benar kata teman-temannya, bahwa jangan main-main dengan pesona istri yang sedang hamil, perut buncit itu bahkan membuatmu semakin membuatnya mempesona.Riki bangkit dari ran